TS
Grande.Samael
[FanFict] Fate / Nusantara
Berawal dari saya yang sangat mengidolakan fate/series, tapi cuma bisa ngikutin animenya karena ga punya console untuk mainin game-gamenya. T-T
Setelah FSN dan FZ, dan karena translation Fate/Apocrypha ga keluar-keluar, ga ada lagi bahan bacaan, maka saya membuat inisiatif untuk bikin fanfict Fate saya sendiri, judulnya Fate/Nusantara. (Uda kebayang kan haluan ceritanya bakal kayak gimana?)
Tapi awalnya F/N ini adalah proyek gabungan 7 Author, yang belakangan saya coba tulis sendiri, meski masih minta-minta bantuan juga untuk menyelesaikannya. Hoho
Credit
Character Designer (Master & Servant)
Faksi Saber : Robin_Lee
Faksi Archer : Error
Faksi Lancer : luna.love
Faksi Caster : nereid
Faksi Berserker : Sam_Riilme
Faksi Rider : panglimaub
Faksi Assassin : Grande_Samael
Writer
Grande_Samael
Illustrator
Sam_Riilme
.
Untuk terbitnya sendiri diusahakan seminggu sekali, yang di post di suatu website. Sampai sekarang masih dikit chapternya. Nah, beginilah ceritanya~
INDEX
Prolog - A Man And A Rider
Chapter 1 - Das Magus Pumkin
Chapter 2 - Road To War
Chapter 3 - Last Summoning
Chapter 4 - Hunting Begin
Chapter 5 - Heart of The Princess ~ update
Ikuti juga update nya di https://www.facebook.com/FateNusantara
Setelah FSN dan FZ, dan karena translation Fate/Apocrypha ga keluar-keluar, ga ada lagi bahan bacaan, maka saya membuat inisiatif untuk bikin fanfict Fate saya sendiri, judulnya Fate/Nusantara. (Uda kebayang kan haluan ceritanya bakal kayak gimana?)
Tapi awalnya F/N ini adalah proyek gabungan 7 Author, yang belakangan saya coba tulis sendiri, meski masih minta-minta bantuan juga untuk menyelesaikannya. Hoho
Quote:
Credit
Character Designer (Master & Servant)
Faksi Saber : Robin_Lee
Faksi Archer : Error
Faksi Lancer : luna.love
Faksi Caster : nereid
Faksi Berserker : Sam_Riilme
Faksi Rider : panglimaub
Faksi Assassin : Grande_Samael
Writer
Grande_Samael
Illustrator
Sam_Riilme
Untuk terbitnya sendiri diusahakan seminggu sekali, yang di post di suatu website. Sampai sekarang masih dikit chapternya. Nah, beginilah ceritanya~
INDEX
Prolog - A Man And A Rider
Chapter 1 - Das Magus Pumkin
Chapter 2 - Road To War
Chapter 3 - Last Summoning
Chapter 4 - Hunting Begin
Chapter 5 - Heart of The Princess ~ update
Ikuti juga update nya di https://www.facebook.com/FateNusantara
Diubah oleh Grande.Samael 29-03-2014 11:55
0
6.9K
Kutip
27
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•264Anggota
Tampilkan semua post
TS
Grande.Samael
#10
Chapter 3
Last Summoning
Sejak aku dapat mengingat, aku sudah mengenal keris. Bahkan sebelum aku mulai berjalan, aku sudah bermain dengan keris. Dan entah sejak kapan aku jatuh hati pada keris. Kudedikasikan hidupku untuk membuat keris-keris terbaik.
Hingga suatu hari aku sadar akan sesuatu. Keris-keris yang kuciptakan, kuciptakan untuk siapa? Aku bahkan tidak memiliki tangan sebanyak keris yang kumiliki. Lalu, untuk para raja? Ya, kerisku hanyalah untuk para raja yang agung.
Tapi tetap saja, aku merasa kekosongan. Selain pujian dan harta, apa yang bisa para raja berikan padaku? Aku tidak tahu, aku tidak tahu. Mungkin sebaiknya aku berhenti.
Namun di saat itulah, muncul ia yang menjadi alasanku menempa keris sekali lagi. Laki-laki yang tidak mungkin kumiliki tapi dengan bodohnya tetap kutaruh harapan padanya. Dialah orang yang ingin kucintai, juga kubunuh dengan kerisku sendiri.
***
Pumkin terbangun di kamarnya dengan tatapan kosong ke arah langit-langit. Ia yakin sekali baru saja merasakan berbagai macam paduan emosi. Kebahagiaan, kesedihan, gairah, keputusasaan, dan... cinta. Sensasi luar biasa yang tak pernah ia miliki.
“Apa – Apa kau melihatnya, Tuanku?”terdengar suara panik Caster yang sosoknya tidak terlihat di mana pun. Ia tengah berada dalam wujud roh.
“Iya,” jawab sang pemuda singkat. “Apa itu?”
“Bukan apa-apa!”
Tapi Pumkin dapat menduga arti gambaran yang masuk ke dalam mimpinya. “Itu kenangan masa lalumu kan?”
Caster tak menjawab, namun Pumkin merasakan atmosfir udara mengental. Segera terbayang di benaknya wajah sang pelayan yang sedang memerah.
Mendadak sebuah pikiran menggelikan terlintas. Sebelumnya pemuda itu selalu mengira Mpu Gandring yang termahsyur adalah laki-laki. Ketika gambaran sang pelayan yang sedang memadu kasih dengan laki-laki lainnya muncul, ia tak tahan untuk tertawa.
“Hahahahahahaha!!!”
“Apa yang kau tertawakan, Tuan?!” seru Caster makin panik.
“Tidak ada, hehehe,” jawab Pumkin berusaha keras mengendalikan diri. “Jadi siapa dia, cinta pertamamu?”
Pemuda itu tidak sadar telah melewati batas yang tak seharusnya dilewati. Sedetik kemudian Caster berteriak keras disetai tekanan yang menggetarkan seisi ruangan.
“DIAM! JANGAN KAU BICARA SEMBARANGAN!!!”
“Maaf!” Pumkin terlonjak. Wajahnya langsung menegang.
“Kau memang Tuanku, tapi kuharap hanya sebatas itu hubungan kita,” kata Caster masih dipenuhi amarah. “Aku tidak akan melangkahi privasimu, dan sebaiknya kau juga demikian, Tuanku.”
“Baik, aku mengerti,” jawab Pumkin patuh. Ia tidak mau menjadi penyihir yang bernasib mengenaskan karena ditikam pelayannya sendiri.
“Semua orang memiliki rahasia dan motivasinya sendiri, bukan begitu Tuanku?”
“Eh,” Pumkin tak lekas menjawab. Sesungguhnya ia sama sekali tidak berniat untuk menyembunyikan motivasinya. Tapi apa mau dikata, jika sang pelayan mengharapkan hal itu. “Mungkin...”
“Mungkin?”
“Bukan... Bukan mungkin, tapi memang begitu.”
“Ya, bagus kalau kau sudah paham.”
Dalam hati Pumkin mendesah kecewa. Untuk pertama kali ia bertemu dengan orang yang sepertinya tidak terpengaruh oleh kutukannya. Hal itu membuat sang pemuda ingin mengenal Caster lebih dekat. Lagipula, kapan lagi ia bisa menguak informasi dari legenda yang telah terkubur ratusan tahun silam?
Namun rupanya Caster tidak menginginkan hal itu. Dan karena rasa saling percaya adalah modal utama apabila ingin memenangkan perang ini, sang pemuda tak bisa berbuat apa-apa. Ia terlalu takut mengambil resiko membuat pelayannya murka.
Tok tok tok.
Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di jendeka. Spontan Pumkin menoleh, mendapati seekor burung merpati sudah hinggap di luar. Pemuda itu lekas beranjak membuka jendela. Kesegaran udara pagi pun berhembus masuk, menghilangkan rasa kantuk yang tersisa.
“Halo,” sapa Pumkin seraya mengambil kertas kecil yang terikat pada kaki sang merpati. Kemudian ia membiarkan makhluk itu terbang kembali ke tuannya.
“Apa itu Tuan?” tanya Caster penasaran.
“Berita dari padepokan, pengawas perang ini,” jelas Pumkin singkat. Dengan sekali lihat, ia sudah mengerti seluruh pesan yang tertulis di sana. “Semalam dua ritual pemanggilan berhasil dilaksanakan. Waktunya sudah dekat.”
Mendadak aura tegang, tapi sudah tak sabar, terasa di atmosfer. Pumkin baru tahu, ternyata seorang pelayan juga bisa merasakan hal itu, hal yang ia rasakan sekarang.
“Aku mau siap-siap,” ujar pemuda itu lalu keluar menuju kemar mandi.
“Kau mau ke mana Tuan? Bukankah ritualnya masih belum lengkap?”
“Tidak, aku mau ke pasar,” jawab Pumkin lalu menyunggingkan senyum tipis. “Aku perlu membeli sesuatu untuk nanti malam.”
“Memangnya ada apa nanti malam?”
“Pesta kembang api.”
***
Di tempat yang jauh terpisah, di dalam sebuah pondok bambu dekat area persawahan, Melati juga baru membuka mata. Awalnya ingatan gadis itu agak kacau. Ia tak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri, dan bagaimana bisa sampai di sana. Namun saat melihat pemuda yang duduk bersila di samping dipan tempatnya berbaring, secercah memori kembali padanya.
Gadis itu telah berhasil melakukan ritual, dan sekarang sang pelayan – Lancer – sudah terpanggil ke dunia. Dalam diam ia memperhatikan sosok itu yang tengah memejamkan mata. Sungguh muda, jauh lebih muda dari yang ia perkirakan. Panggilan kakek jelas tidak akan cocok untuk Lancer.
“Kak,” bisik Melati. “Kak Lancer.”
Namun yang dipanggil diam saja. Ah, mungkin ia sedang tidur. Tapi, apa roh pahlawan membutuhkan tidur layaknya manusia?
“Kak Lancer,” Melati menaikkan suaranya seraya bangkit. Dikibasnya risih debu-debu dan dedaunan bambu yang menempel di baji. “Kak Lancer!”
Pemuda itu masih diam. Tiba-tiba sebuah firasat mengerikan melintas dalam benak Melati. Langsung saja ia berjalan sempoyongan mendekati Lancer.
“Kak!” Gadis itu menepuk tubuh sang pelayan, yang ternyata begitu ringan. Lancer pun roboh tanpa daya.
Kelihatannya benar dugaan Melati, Lancer berada dalam kondisi yang tidak baik. Tapi mengapa? Apa karena... gadis itu pingsan terlalu lama?
Roh pahlawan yang dipanggil ke dunia memang membutuhkan prana dari penyihir yang memanggilnya untuk mempertahankan wujud. Tapi jika pingsan membuat aliran prana terhenti, bagaimana dengan tidur? Harusnya para pelayan juga akan melemah apabila Tuannya tertidur. Rasanya itu bukan penyebab.
Melati mengerutkan kening. Lancer bisa saja menghisap prananya, kecuali jika – gadis itu teringat bagaimana ia kehilangan kesadaran. Kecuali jika memang sudah tidak ada prana yang bisa dihisap. Setelah ritual yang melelahkan, ia tak memiliki apa pun untuk disantap pelayannya.
Yang lebih parah, apa mungkin selama ini Lancer terus mematerialisasi diri untuk menjaga Melati? Hal itu tentu akan menghabiskan tenaga sayang pelayan lebih cepat.
Bodoh. Aku benar-benar bodoh.
Melati menggigit bibirnya sendiri. Ia tak bisa memaafkan dirinya yang telah salah memperhitungkan. Ternyata memakai bantuan aliran prana bumi pun masih belum cukup untuk melakukan ritual yang sempurna. Menyedihkan sekali, memanggil roh pahlawan hanya untuk musnah sebelum bertempur.
Dalam keputusasaan gadis itu mencoba melakukan usaha terakhir. Ia menempelkan kedua telapak tangan di tubuh Lancer. Lalu perlahan ia mengalirkan prana secara hati-hati.
“Kak Lancer, bangunlah,” pintanya serak.
Bulir air mata pun mulai meleleh membasahi pipinya. Tiba-tiba kepalanya merasa pusing yang teramat sangat. Tubuhnya limbung. Nyaris saja ia terjatuh, kalau bukan karena sang pemuda yang menangkapnya untuk kedua kali.
“Nona, air matamu terlalu berharga apabila dilinangkan untukku,” ujar lembut Lancer. Kesadarannya sudah kembali. Sambil tersenyum hangat ia menyeka air mata Melati.
“Kak Lancer?” Gadis itu buru-buru mengelap kedua mata yang sembab dengan lengan baju. “Ka-Kakak sudah baikan?”
“Ya, berkat prana Nona,” jawab sang pemuda sambil meraih sebotol air mineral, lalu diserahkan pada Melati. “Maaf aku membuka tasmu untuk mencari ini.”
“Tidak apa kak,” ujar Melati gugup saat menerima botol airnya. “Kakak mau minum?”
“Roh pahlawan tidak memerlukan minuman,” kata Lancer. “Nona minumlah.”
Melati mengangguk lalu menenggak airnya. Kesejukan yang luar biasa segera mengalir deras di kerongkongannya. Meski sedikit, tubuhnya kini menjadi lebih segar.
Setelah menunggu beberapa saat, barulah Lancer melanjutkan apa yang terhenti. “Oh ya Nona, kita belum menyelesaikan kontraknya.”
“Kontrak?” Melati spontan bertanya tapi ia tahu pasti apa yang dimaksud oleh pemuda itu.
“Ya,” Lancer tersenyum. “Apakah Nona yang memanggilku?”
“Itu benar,” jawab Melati hati-hati.
“Maka aku akan melindungi dengan sepenuh hati sebagai pelayan Nona,” kata Lancer sambil menempelkan telapak tangan di dada.
Aneh. Selama ini sudah banyak anak laki-laki yang menyatakan cinta pada gadis itu, tapi baru sekarang ada yang bertekad untuk melindunginya sepenuh hati. Sebuah sensasi panas pun menggelitik dadanya, membuat sesuatu di dalamnya berdebar keras.
“Te–terima kasih... Kak – Lancer.”
“Itu sudah kewajibanku.”
Melati yang masih salah tingkah tak tahu harus bicara apa. Kedua orang itu pun terdiam untuk beberapa saat. Namun, sebenarnya ada satu hal yang terus mengganjal di pikiran Lancer.
“Nona, aku mungkin lancang,” ujarnya memecah keheningan. “Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?”
“Silahkan,” jawab Melati tanpa pikir panjang.
“Maaf sebelumnya, tapi mengapa Nona mengikuti perang ini?”
Sebuah pertanyaan yang... Membuat Melati bingung. Kenapa? “Karena...” Gadis itu mengangkat punggung tangan yang terukir dengan segel perintah, “Aku mendapatkan ini.”
Lancer mengangguk. “Kesempatan ini memang langka. Lalu apakah keinginan besar yang Nona inginkan dari Cawan Suci?”
“Eh?” Melati tampak terkejut. “Itu...”
“Maaf,” sela Lancer cepat-cepat. “Memang aku tidak berhak bertanya demikian.”
“Tidak kak, bukan begitu!” kata Melati panik. Masalahnya, memang bukan karena ia tak mau memberi tahu. Tapi, pertanyaan barusan telah menyadarkannya akan sesuatu. “Aku tidak tahu,” ujar gadis itu tanpa berani menatap mata Lancer, “Aku tidak tahu ingin meminta apa.”
Sang pemuda terenyak. “Perang ini bisa jadi sangat berbahaya.” Menurutnya sangat tidak bijak mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa.
“Aku tahu,” kata Melati pelan, hanya sedikit lebih keras dari bisikan. “Tapi aku mendapat segel perintah ini...” sebelum Lancer sempat menyela ia menyelesaikan kalimatnya. “Dari ibu.”
Bagaimana bisa, pikir Lancer. Sepengetahuannya hak untuk memberikan segel perintah hanya dimiliki Sang Cawan Suci. Kecuali mungkin, penyihir yang terpilih memberinya pada orang lain.
“Mengapa ibu Nona tidak jadi mengikuti perang ini?”
“Ibu... meninggal.”
Lancer langsung merasa tidak enak hati. “Maaf Nona... Aku turut berduka cita.”
“Tidak apa-apa,” ujar Melati mendadak riang, mencoba membuat suasana tidak terlalu muram. “Lagipula itu sudah terjadi lima tahun lalu.” Kemudian ia melanjutkan, “Pada saat itulah ibu berpesan untuk menjaga perdamaian dan memberikan segel ini padaku.”
“Menjaga perdamaian?”
Tampak Lancer tidak mengerti. Maka Melati memutuskan untuk menjelaskan semuanya.
“Ibu mengatakan bahwa ibu dan aku adalah keturunan kakak,”gadis itu berhenti sesaat karena merasakan kecanggungan. Bagaimana mungkin ia menjadi keturunan dari orang yang ia panggil kakak? Tapi itu tidak penting. “Karenanya aku harus menjaga perdamaian untuk menjalankan wasiat terakhir kakak.”
Kedua mata Lancer terbuka lebar. Mengertilah ia akan posisi gadis di hadapannya.
“Perang itu sudah ditakdirkan. Begitu pun dengan kematianku, sesuai dengan yang digariskan. Tapi tetap saja, aku ingin anak cucuku menjaga perdamaian. Tragisnya, hal itu malah menempatkan Nona sepertimu dalam bahaya.”
“Tapi Nona,” lanjut Lancer. “Perdamaian bisa kau dapatkan dengan cara lain. Kurasa alangkah baiknya bila Nona segera keluar dari lingkaran penuh darah yang akan terjadi.”
Tiba-tiba ekspresi wajah Melati menjadi kaku. Ia menatap Lancer dalam-dalam. “Lalu aku harus berbuat apa, kak?”
Ada banyak hal yang bisa dilakukan, namun Lancer belum paham benar maksud pertanyaan gadis itu.
“Pesan terakhir ibu, adalah satu-satunya tujuan hidupku...”
Lancer tersenyum. “Bagaimana dengan yang lain, aku yakin masih banyak orang-orang yang membutuhkan – “
“Tidak!” Mendadak suara gadis itu meninggi. “Tidak ada. Selain ibu, tidak ada...”
Entah bagaimana Lancer dapat merasakan kekerasan hati sang Nona. Layaknya batu yang tidak mudah untuk dikikis, perlu waktu lama untuk melunakkannya. Namun ia tak mau semua sampai terlambat.
“Apa maksud ibu Nona, kita harus menjauhkan Sang Cawan Suci dari keinginan-keinginan buruk?” tanya Lancer mengubah arah pembicaraan.
“A... Aku juga tidak terlalu mengerti... Tapi mungkin begitu.”
“Kalau begitu ayo kita lakukan,” meski berat, Lancer tetap mengatakannya. Setidaknya untuk saat ini. Kemudian ia bangkit berdiri. “Aku, Hadiwijaya, bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu, Nona yang mewarisi darah dan dagingku.”
Tampak wajah cantik sang gadis bersemi.
“Tapi sebelumnya Nona harus mengisi tenaga,” Lancer mengulurkan tangannya pada Melati yang masih duduk di atas dipan. “Ayo.”
“Ya,” angguk Melati tak bisa melawan pesona Lancer. Lalu ia meraih uluran tangan sang pemuda.
***
Ketika salah satu sisi masih cukup tertinggal dengan gubuk dan pematang sawah, pusat Kota Padipura sudah menjadi daerah yang selalu ramai. Terlebih, di saat-saat istimewa seperti pergantian tahun – seperti sekarang. Dan seperti kota besar lainnya, di balik gemerlap selalu tersembunyi dunia yang diliputi kegelapan. Tempat di mana prostitusi dan obat-obatan terlarang bebas beredar. Sialnya, di situlah Iksa Nimazkarya harus menghabiskan malam ini.
Pemuda berkacamata hitam itu berjalan canggung melewati kerumunan gang. Sebagian wajahnya tertutup oleh tudung jaket kelabu. Sekuat hati ia berusaha untuk tidak mempedulikan para wanita malam yang tertawa geli sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya. Kedua tangannya yang tersembunyi di dalam kantung sama sekali tak bisa berhentu mengepal erat.
“Berserker!” Tak tahan, akhirnya ia berseru melalui telepati. “Ayo kita pergi!”
“Sabar, ini sedang asyik-asyiknya,” jawab sang pelayan santai entah dari dalam rumah bordil yang mana. “Kau juga nikmatilah masa mudamu!”
Iksa bingung harus menjawab apa. Ia bahkan tak tahu jika roh pahlawan masih menginginkan nikmat duniawi seperti itu...“Sebentar lagi perang akan dimulai."
“Tapi masih kurang satu ritual lagi kan? Santai saja. Ah... sedap... Sudah, jangan ganggu aku lagi, Tuan!” ujar sang pelayan dengan penekanan meledek pada kata terakhir.
Kemudian Berserker benar-benar memutus telepati di antara mereka. Tampaknya ia sama sekali tidak khawatir apabila tuannya diserang. Iksa pun hanya bisa pasrah, memperhatikan orang berlalu lalang.
“Ayolah Iksa, sekalian saja kau cicipi wanita!”
“Jangan, keperjakaanmu tidak boleh disia-siakan di tempat seperti ini!”
Mendadak alis pemuda itu terangkat. Ia lekas memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kedua telapak tangan, lalu menggeleng keras. Seolah ingin mengguncang apa pun yang berbisik di balik tengkoraknya.
“Aku pergi saja,” gumam pemuda itu, lalu menjauhi orang-orang yang tertawa melihat ulahnya barusan. Tapi tetap saja ada perasaan yang membuatnya tak mau jauh-jauh dari Berserker. Intuisinya berkata, bahwa saat yang ditunggu sudah dekat.
bersambung ke bawah...
Last Summoning
Spoiler for chapter 3:
Sejak aku dapat mengingat, aku sudah mengenal keris. Bahkan sebelum aku mulai berjalan, aku sudah bermain dengan keris. Dan entah sejak kapan aku jatuh hati pada keris. Kudedikasikan hidupku untuk membuat keris-keris terbaik.
Hingga suatu hari aku sadar akan sesuatu. Keris-keris yang kuciptakan, kuciptakan untuk siapa? Aku bahkan tidak memiliki tangan sebanyak keris yang kumiliki. Lalu, untuk para raja? Ya, kerisku hanyalah untuk para raja yang agung.
Tapi tetap saja, aku merasa kekosongan. Selain pujian dan harta, apa yang bisa para raja berikan padaku? Aku tidak tahu, aku tidak tahu. Mungkin sebaiknya aku berhenti.
Namun di saat itulah, muncul ia yang menjadi alasanku menempa keris sekali lagi. Laki-laki yang tidak mungkin kumiliki tapi dengan bodohnya tetap kutaruh harapan padanya. Dialah orang yang ingin kucintai, juga kubunuh dengan kerisku sendiri.
***
Pumkin terbangun di kamarnya dengan tatapan kosong ke arah langit-langit. Ia yakin sekali baru saja merasakan berbagai macam paduan emosi. Kebahagiaan, kesedihan, gairah, keputusasaan, dan... cinta. Sensasi luar biasa yang tak pernah ia miliki.
“Apa – Apa kau melihatnya, Tuanku?”terdengar suara panik Caster yang sosoknya tidak terlihat di mana pun. Ia tengah berada dalam wujud roh.
“Iya,” jawab sang pemuda singkat. “Apa itu?”
“Bukan apa-apa!”
Tapi Pumkin dapat menduga arti gambaran yang masuk ke dalam mimpinya. “Itu kenangan masa lalumu kan?”
Caster tak menjawab, namun Pumkin merasakan atmosfir udara mengental. Segera terbayang di benaknya wajah sang pelayan yang sedang memerah.
Mendadak sebuah pikiran menggelikan terlintas. Sebelumnya pemuda itu selalu mengira Mpu Gandring yang termahsyur adalah laki-laki. Ketika gambaran sang pelayan yang sedang memadu kasih dengan laki-laki lainnya muncul, ia tak tahan untuk tertawa.
“Hahahahahahaha!!!”
“Apa yang kau tertawakan, Tuan?!” seru Caster makin panik.
“Tidak ada, hehehe,” jawab Pumkin berusaha keras mengendalikan diri. “Jadi siapa dia, cinta pertamamu?”
Pemuda itu tidak sadar telah melewati batas yang tak seharusnya dilewati. Sedetik kemudian Caster berteriak keras disetai tekanan yang menggetarkan seisi ruangan.
“DIAM! JANGAN KAU BICARA SEMBARANGAN!!!”
“Maaf!” Pumkin terlonjak. Wajahnya langsung menegang.
“Kau memang Tuanku, tapi kuharap hanya sebatas itu hubungan kita,” kata Caster masih dipenuhi amarah. “Aku tidak akan melangkahi privasimu, dan sebaiknya kau juga demikian, Tuanku.”
“Baik, aku mengerti,” jawab Pumkin patuh. Ia tidak mau menjadi penyihir yang bernasib mengenaskan karena ditikam pelayannya sendiri.
“Semua orang memiliki rahasia dan motivasinya sendiri, bukan begitu Tuanku?”
“Eh,” Pumkin tak lekas menjawab. Sesungguhnya ia sama sekali tidak berniat untuk menyembunyikan motivasinya. Tapi apa mau dikata, jika sang pelayan mengharapkan hal itu. “Mungkin...”
“Mungkin?”
“Bukan... Bukan mungkin, tapi memang begitu.”
“Ya, bagus kalau kau sudah paham.”
Dalam hati Pumkin mendesah kecewa. Untuk pertama kali ia bertemu dengan orang yang sepertinya tidak terpengaruh oleh kutukannya. Hal itu membuat sang pemuda ingin mengenal Caster lebih dekat. Lagipula, kapan lagi ia bisa menguak informasi dari legenda yang telah terkubur ratusan tahun silam?
Namun rupanya Caster tidak menginginkan hal itu. Dan karena rasa saling percaya adalah modal utama apabila ingin memenangkan perang ini, sang pemuda tak bisa berbuat apa-apa. Ia terlalu takut mengambil resiko membuat pelayannya murka.
Tok tok tok.
Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di jendeka. Spontan Pumkin menoleh, mendapati seekor burung merpati sudah hinggap di luar. Pemuda itu lekas beranjak membuka jendela. Kesegaran udara pagi pun berhembus masuk, menghilangkan rasa kantuk yang tersisa.
“Halo,” sapa Pumkin seraya mengambil kertas kecil yang terikat pada kaki sang merpati. Kemudian ia membiarkan makhluk itu terbang kembali ke tuannya.
“Apa itu Tuan?” tanya Caster penasaran.
“Berita dari padepokan, pengawas perang ini,” jelas Pumkin singkat. Dengan sekali lihat, ia sudah mengerti seluruh pesan yang tertulis di sana. “Semalam dua ritual pemanggilan berhasil dilaksanakan. Waktunya sudah dekat.”
Mendadak aura tegang, tapi sudah tak sabar, terasa di atmosfer. Pumkin baru tahu, ternyata seorang pelayan juga bisa merasakan hal itu, hal yang ia rasakan sekarang.
“Aku mau siap-siap,” ujar pemuda itu lalu keluar menuju kemar mandi.
“Kau mau ke mana Tuan? Bukankah ritualnya masih belum lengkap?”
“Tidak, aku mau ke pasar,” jawab Pumkin lalu menyunggingkan senyum tipis. “Aku perlu membeli sesuatu untuk nanti malam.”
“Memangnya ada apa nanti malam?”
“Pesta kembang api.”
***
Di tempat yang jauh terpisah, di dalam sebuah pondok bambu dekat area persawahan, Melati juga baru membuka mata. Awalnya ingatan gadis itu agak kacau. Ia tak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri, dan bagaimana bisa sampai di sana. Namun saat melihat pemuda yang duduk bersila di samping dipan tempatnya berbaring, secercah memori kembali padanya.
Gadis itu telah berhasil melakukan ritual, dan sekarang sang pelayan – Lancer – sudah terpanggil ke dunia. Dalam diam ia memperhatikan sosok itu yang tengah memejamkan mata. Sungguh muda, jauh lebih muda dari yang ia perkirakan. Panggilan kakek jelas tidak akan cocok untuk Lancer.
“Kak,” bisik Melati. “Kak Lancer.”
Namun yang dipanggil diam saja. Ah, mungkin ia sedang tidur. Tapi, apa roh pahlawan membutuhkan tidur layaknya manusia?
“Kak Lancer,” Melati menaikkan suaranya seraya bangkit. Dikibasnya risih debu-debu dan dedaunan bambu yang menempel di baji. “Kak Lancer!”
Pemuda itu masih diam. Tiba-tiba sebuah firasat mengerikan melintas dalam benak Melati. Langsung saja ia berjalan sempoyongan mendekati Lancer.
“Kak!” Gadis itu menepuk tubuh sang pelayan, yang ternyata begitu ringan. Lancer pun roboh tanpa daya.
Kelihatannya benar dugaan Melati, Lancer berada dalam kondisi yang tidak baik. Tapi mengapa? Apa karena... gadis itu pingsan terlalu lama?
Roh pahlawan yang dipanggil ke dunia memang membutuhkan prana dari penyihir yang memanggilnya untuk mempertahankan wujud. Tapi jika pingsan membuat aliran prana terhenti, bagaimana dengan tidur? Harusnya para pelayan juga akan melemah apabila Tuannya tertidur. Rasanya itu bukan penyebab.
Melati mengerutkan kening. Lancer bisa saja menghisap prananya, kecuali jika – gadis itu teringat bagaimana ia kehilangan kesadaran. Kecuali jika memang sudah tidak ada prana yang bisa dihisap. Setelah ritual yang melelahkan, ia tak memiliki apa pun untuk disantap pelayannya.
Yang lebih parah, apa mungkin selama ini Lancer terus mematerialisasi diri untuk menjaga Melati? Hal itu tentu akan menghabiskan tenaga sayang pelayan lebih cepat.
Bodoh. Aku benar-benar bodoh.
Melati menggigit bibirnya sendiri. Ia tak bisa memaafkan dirinya yang telah salah memperhitungkan. Ternyata memakai bantuan aliran prana bumi pun masih belum cukup untuk melakukan ritual yang sempurna. Menyedihkan sekali, memanggil roh pahlawan hanya untuk musnah sebelum bertempur.
Dalam keputusasaan gadis itu mencoba melakukan usaha terakhir. Ia menempelkan kedua telapak tangan di tubuh Lancer. Lalu perlahan ia mengalirkan prana secara hati-hati.
“Kak Lancer, bangunlah,” pintanya serak.
Bulir air mata pun mulai meleleh membasahi pipinya. Tiba-tiba kepalanya merasa pusing yang teramat sangat. Tubuhnya limbung. Nyaris saja ia terjatuh, kalau bukan karena sang pemuda yang menangkapnya untuk kedua kali.
“Nona, air matamu terlalu berharga apabila dilinangkan untukku,” ujar lembut Lancer. Kesadarannya sudah kembali. Sambil tersenyum hangat ia menyeka air mata Melati.
“Kak Lancer?” Gadis itu buru-buru mengelap kedua mata yang sembab dengan lengan baju. “Ka-Kakak sudah baikan?”
“Ya, berkat prana Nona,” jawab sang pemuda sambil meraih sebotol air mineral, lalu diserahkan pada Melati. “Maaf aku membuka tasmu untuk mencari ini.”
“Tidak apa kak,” ujar Melati gugup saat menerima botol airnya. “Kakak mau minum?”
“Roh pahlawan tidak memerlukan minuman,” kata Lancer. “Nona minumlah.”
Melati mengangguk lalu menenggak airnya. Kesejukan yang luar biasa segera mengalir deras di kerongkongannya. Meski sedikit, tubuhnya kini menjadi lebih segar.
Setelah menunggu beberapa saat, barulah Lancer melanjutkan apa yang terhenti. “Oh ya Nona, kita belum menyelesaikan kontraknya.”
“Kontrak?” Melati spontan bertanya tapi ia tahu pasti apa yang dimaksud oleh pemuda itu.
“Ya,” Lancer tersenyum. “Apakah Nona yang memanggilku?”
“Itu benar,” jawab Melati hati-hati.
“Maka aku akan melindungi dengan sepenuh hati sebagai pelayan Nona,” kata Lancer sambil menempelkan telapak tangan di dada.
Aneh. Selama ini sudah banyak anak laki-laki yang menyatakan cinta pada gadis itu, tapi baru sekarang ada yang bertekad untuk melindunginya sepenuh hati. Sebuah sensasi panas pun menggelitik dadanya, membuat sesuatu di dalamnya berdebar keras.
“Te–terima kasih... Kak – Lancer.”
“Itu sudah kewajibanku.”
Melati yang masih salah tingkah tak tahu harus bicara apa. Kedua orang itu pun terdiam untuk beberapa saat. Namun, sebenarnya ada satu hal yang terus mengganjal di pikiran Lancer.
“Nona, aku mungkin lancang,” ujarnya memecah keheningan. “Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?”
“Silahkan,” jawab Melati tanpa pikir panjang.
“Maaf sebelumnya, tapi mengapa Nona mengikuti perang ini?”
Sebuah pertanyaan yang... Membuat Melati bingung. Kenapa? “Karena...” Gadis itu mengangkat punggung tangan yang terukir dengan segel perintah, “Aku mendapatkan ini.”
Lancer mengangguk. “Kesempatan ini memang langka. Lalu apakah keinginan besar yang Nona inginkan dari Cawan Suci?”
“Eh?” Melati tampak terkejut. “Itu...”
“Maaf,” sela Lancer cepat-cepat. “Memang aku tidak berhak bertanya demikian.”
“Tidak kak, bukan begitu!” kata Melati panik. Masalahnya, memang bukan karena ia tak mau memberi tahu. Tapi, pertanyaan barusan telah menyadarkannya akan sesuatu. “Aku tidak tahu,” ujar gadis itu tanpa berani menatap mata Lancer, “Aku tidak tahu ingin meminta apa.”
Sang pemuda terenyak. “Perang ini bisa jadi sangat berbahaya.” Menurutnya sangat tidak bijak mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa.
“Aku tahu,” kata Melati pelan, hanya sedikit lebih keras dari bisikan. “Tapi aku mendapat segel perintah ini...” sebelum Lancer sempat menyela ia menyelesaikan kalimatnya. “Dari ibu.”
Bagaimana bisa, pikir Lancer. Sepengetahuannya hak untuk memberikan segel perintah hanya dimiliki Sang Cawan Suci. Kecuali mungkin, penyihir yang terpilih memberinya pada orang lain.
“Mengapa ibu Nona tidak jadi mengikuti perang ini?”
“Ibu... meninggal.”
Lancer langsung merasa tidak enak hati. “Maaf Nona... Aku turut berduka cita.”
“Tidak apa-apa,” ujar Melati mendadak riang, mencoba membuat suasana tidak terlalu muram. “Lagipula itu sudah terjadi lima tahun lalu.” Kemudian ia melanjutkan, “Pada saat itulah ibu berpesan untuk menjaga perdamaian dan memberikan segel ini padaku.”
“Menjaga perdamaian?”
Tampak Lancer tidak mengerti. Maka Melati memutuskan untuk menjelaskan semuanya.
“Ibu mengatakan bahwa ibu dan aku adalah keturunan kakak,”gadis itu berhenti sesaat karena merasakan kecanggungan. Bagaimana mungkin ia menjadi keturunan dari orang yang ia panggil kakak? Tapi itu tidak penting. “Karenanya aku harus menjaga perdamaian untuk menjalankan wasiat terakhir kakak.”
Kedua mata Lancer terbuka lebar. Mengertilah ia akan posisi gadis di hadapannya.
“Perang itu sudah ditakdirkan. Begitu pun dengan kematianku, sesuai dengan yang digariskan. Tapi tetap saja, aku ingin anak cucuku menjaga perdamaian. Tragisnya, hal itu malah menempatkan Nona sepertimu dalam bahaya.”
“Tapi Nona,” lanjut Lancer. “Perdamaian bisa kau dapatkan dengan cara lain. Kurasa alangkah baiknya bila Nona segera keluar dari lingkaran penuh darah yang akan terjadi.”
Tiba-tiba ekspresi wajah Melati menjadi kaku. Ia menatap Lancer dalam-dalam. “Lalu aku harus berbuat apa, kak?”
Ada banyak hal yang bisa dilakukan, namun Lancer belum paham benar maksud pertanyaan gadis itu.
“Pesan terakhir ibu, adalah satu-satunya tujuan hidupku...”
Lancer tersenyum. “Bagaimana dengan yang lain, aku yakin masih banyak orang-orang yang membutuhkan – “
“Tidak!” Mendadak suara gadis itu meninggi. “Tidak ada. Selain ibu, tidak ada...”
Entah bagaimana Lancer dapat merasakan kekerasan hati sang Nona. Layaknya batu yang tidak mudah untuk dikikis, perlu waktu lama untuk melunakkannya. Namun ia tak mau semua sampai terlambat.
“Apa maksud ibu Nona, kita harus menjauhkan Sang Cawan Suci dari keinginan-keinginan buruk?” tanya Lancer mengubah arah pembicaraan.
“A... Aku juga tidak terlalu mengerti... Tapi mungkin begitu.”
“Kalau begitu ayo kita lakukan,” meski berat, Lancer tetap mengatakannya. Setidaknya untuk saat ini. Kemudian ia bangkit berdiri. “Aku, Hadiwijaya, bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu, Nona yang mewarisi darah dan dagingku.”
Tampak wajah cantik sang gadis bersemi.
“Tapi sebelumnya Nona harus mengisi tenaga,” Lancer mengulurkan tangannya pada Melati yang masih duduk di atas dipan. “Ayo.”
“Ya,” angguk Melati tak bisa melawan pesona Lancer. Lalu ia meraih uluran tangan sang pemuda.
***
Ketika salah satu sisi masih cukup tertinggal dengan gubuk dan pematang sawah, pusat Kota Padipura sudah menjadi daerah yang selalu ramai. Terlebih, di saat-saat istimewa seperti pergantian tahun – seperti sekarang. Dan seperti kota besar lainnya, di balik gemerlap selalu tersembunyi dunia yang diliputi kegelapan. Tempat di mana prostitusi dan obat-obatan terlarang bebas beredar. Sialnya, di situlah Iksa Nimazkarya harus menghabiskan malam ini.
Pemuda berkacamata hitam itu berjalan canggung melewati kerumunan gang. Sebagian wajahnya tertutup oleh tudung jaket kelabu. Sekuat hati ia berusaha untuk tidak mempedulikan para wanita malam yang tertawa geli sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya. Kedua tangannya yang tersembunyi di dalam kantung sama sekali tak bisa berhentu mengepal erat.
“Berserker!” Tak tahan, akhirnya ia berseru melalui telepati. “Ayo kita pergi!”
“Sabar, ini sedang asyik-asyiknya,” jawab sang pelayan santai entah dari dalam rumah bordil yang mana. “Kau juga nikmatilah masa mudamu!”
Iksa bingung harus menjawab apa. Ia bahkan tak tahu jika roh pahlawan masih menginginkan nikmat duniawi seperti itu...“Sebentar lagi perang akan dimulai."
“Tapi masih kurang satu ritual lagi kan? Santai saja. Ah... sedap... Sudah, jangan ganggu aku lagi, Tuan!” ujar sang pelayan dengan penekanan meledek pada kata terakhir.
Kemudian Berserker benar-benar memutus telepati di antara mereka. Tampaknya ia sama sekali tidak khawatir apabila tuannya diserang. Iksa pun hanya bisa pasrah, memperhatikan orang berlalu lalang.
“Ayolah Iksa, sekalian saja kau cicipi wanita!”
“Jangan, keperjakaanmu tidak boleh disia-siakan di tempat seperti ini!”
Mendadak alis pemuda itu terangkat. Ia lekas memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kedua telapak tangan, lalu menggeleng keras. Seolah ingin mengguncang apa pun yang berbisik di balik tengkoraknya.
“Aku pergi saja,” gumam pemuda itu, lalu menjauhi orang-orang yang tertawa melihat ulahnya barusan. Tapi tetap saja ada perasaan yang membuatnya tak mau jauh-jauh dari Berserker. Intuisinya berkata, bahwa saat yang ditunggu sudah dekat.
bersambung ke bawah...
Diubah oleh Grande.Samael 18-01-2014 11:47
0
Kutip
Balas