TS
redxiv
[OriFic] Tear of Fate
Halo salam kenal,
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Index :
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Quote:
Bergabung di akademi militer saat menginjak umur empat belas tahun, lulus setahun kemudian dengan memecahkan berbagai rekor. Memberikan kontribusi pertamanya pada aliansi kerajaan Riviera saat memimpin lima ratus pasukan memasuki benteng Frostia pada umurnya yang keenam belas tahun, dan meruntuhkan benteng itu enam jam kemudian. Mencapai puncak prestasi di umur yang kedua puluh tahun dengan di angkat sebagai komandan tertinggi kerajaan Riviera.
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Index :
Quote:
Diubah oleh redxiv 10-02-2014 20:11
0
2.8K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
redxiv
#9
Chapter 2 #2
Quote:
Mereka sampai di padangrumput luas di tengah hutan. Sebuah pondok terbuat kayu berdiri kokoh dan mencolok. Padang rumput yang seolah dipagari oleh pepohonan hutan pohon pinus. Serta aroma wewangian bunga yang sangat menenangkan, jelas tercium saat Shou menjejakkan kaki di rerumputan yang terpotong rapi, dan sama tinggi. Setelah mengamati sekilas padang rumput luas itu, ia yakin bau wangi-wangi bunga berasal dari ladang bunga di dekat pondok kayu tersebut.
Ladang bunga berukuran delapan kali delapan meter, terlihat sangat cantik. Warna-warni bunga yang tertata anggun, dan Shou yakin, kombinasi warna bunga-bunga itu tak disusun dan ditanam secara asal-asalan. Ia pernah melakukannya bersama beberapa teman, menyusun warna bunga jauh lebih rumit dan sulit dari yang dibayangkan walau masih jauh lebih menyusahkan jika harus merawat, dan mempertahankan warna-warni bunga itu.
Shou berjalan melambat, membuat jarak dirinya dengan Giulietta semakin melebar jauh. Kedua matanya terus memperhatian tiap sudut padang rumput tersebut. Sebuah danau berukuran sepertiga dari luas tempat itu, semakin membuat suasana tampak mengesankan. Danau itu terletak di sudut timur, dan berbatasan langsung dengan hutan. Dan sebuah lukisan berdiri terabaikan di tepi danau. Ditemani meja, dan kursi kayu yang jelas buatan seorang pengerajin kayu professional. Di atas meja terdapat palet, dan berbagai peralatan lukis lainnya, tersusun tak beraturan, sepetinya si pelukis meninggalkannya dengan terburu-buru.
Terdengar bunyi berdecit lirih yang menarik perhatiannya. Giulietta telah berjalan menaiki anak tangga pondok kayu. Pondok kayu itu berdiri satu meter di atas permukaan rumput, ditopang oleh banyak tiang kayu penyangga yang berdiri kokoh. Jika di depan ada enam tiang penyangga, dan disampingnya ada empat, berarti jika tersusun rapi, pondok itu berdiri dengan dua puluh empat tiang kayu. Sangat kokoh walau mungkin terjadi gempa bumi sekalipun.
Shou melangkah menaiki anak tangga, dan terdengar bunyi kayu berdecit sama dengan saat Giulietta menaiki tangga itu. Dalam diam sepasang matanya terus memperhatikan sekelilingnya, dirinya benar-benar tak bisa melepas keindahan tempat itu. Diselingi oleh beberapa kupu-kupu berwarna cantik menikmati taman bunga, yang kini bisa dilihatnya dengan semakin jelas. Dia juga bisa melihat beberapa hewan jinak seperti, kelinci, kijang, tupai, monyet-monyet, yang bermain-main disekitar danau.
Jika ada taman eden di dunia ini, mungkin di sinilah tempatnya, pikir Shou saat itu.
Sudah tak terdengar lagi bunyi berdecit, saat Shou menginjakkan kaki diteras kayu pondok. Teras panjang dengan lebar dua meter, terlihat sangat minimalis dengan hanya ada dua kursi kayu panjang, dan sebuah meja kayu yang dihiasi vas kaca berisikan tangkai-tangkai bunga tulip berwarna putih pucat.
Di langit-langit, tergantung bunga rambat berwarna hijau cerah setinggi dua setengah meter. Lumayan tinggi jika dia membayangkan Giulietta yang tingginya beberapa sentimeter lebih pendek darinya, harus merawat bunga rambat itu sendirian.
Shou berdiri disatu-satunya pintu yang terlihat dari luar pondok. Pintu itu sedikit terbuka, dan dia merasa Giulietta sudah pasti ada di dalam sana. Ya, mau menghilang kemana lagi seorang wanita yang sedari tadi berjalan santai di depannya, sementara hanya ada satu pintu terbuka di tempat itu.
Dengan mengucapkan kalimat basa-basi yang santun, Shou masuk ke dalam.
****
Terdengar bunyi berderap cepat, yang diikuti suara decitan pintu kayu yang terbuka lebar, lalu suara bantingan pintu keras-keras. Kembali suara-suara menderap di lantai kayu, suara mendecit menuruni tangga, dan terakhir suara terengah-engah saat berlari di rerumputan.
Pintu kayu terbuka berlahan, dan Giulietta menjulurkan kepalanya keluar. Mimik wajahnya keheranan melihat punggung pria yang saat ini tengah mengatur nafasnya di dekat taman bunga. Dan lalu, seekor kucing putih besar yang juga terlihat menjulurkan kepalanya keluar, sama persis seperti yang dilakukan tuannya. Muka harimau itu juga seperti keheranan—kalau memang kucing bisa menunjukkan ekspresi keheranan—memandang punggung pria yang tengah mengatur nafas di dekat taman bunga.
Pria itu berbalik, wajahnya pucat, terlipat-lipat, dan jelas ingin menunjukkan ekspresi kekesalan bercampur kengerian pada wanita yang kini tengah berdiri di depan pintu.
“Berarti kau kan!” teriaknya sangat lantang. “Aku ingat singa putih itu. Dia mengejarku sampai aku terperosok ke lubang, dan aku yakin, itu karena kau yang memerintahkannya! Benar, kau menjadikanku tahanan bukan tanpa alasan, sejak awal kau memang berniat menjebakku di dalam sana selama tiga hari. Kejam, kau memang wanita sadis, saat ini pun kau pasti ingin menjebakku! Aku tak akan termakan perangkapmu un—“
Harimau itu berlari riang mendekati pria yang terus berceloteh.
Sontak Shou membalikkan badan, dan langsung melangkahkan kakinya lebar-lebar. Ya, manusia normal pasti akan sangat ketakutan jika didekati oleh hewan buas pemakan daging. Dan manusia normal manapun tak akan memelihara hewan buas rumahnya, apalagi membiarkannya bersantai di sofa empuk berwarna merah tua di ruang tamu.
“Tunggu!!” seru Giulietta lantang seraya berjalan mendekati tangga. “Kau juga Kael.”—lanjutnya pada binatang peliharaannya. “Dia benar-benar ketakutan, jadi jangan memperkeruh suasana. Bermainlah di luar, dan bukankah sudah kubilang untuk belajar tentang seni. Saat dia sudah terbiasa, kau baru boleh bermain dengannya.”
Dengan enggan harimau itu menatap majikannya. Lalu beralih menatap pria—yang sepertinya asyik untuk diajak bermain—lalu kembali menatap wajah Tuannya. Tapi tuannya tak bergeming, tak mengatakan apapun, hanya melototinya serius. Penuh kepasrahan, harimau itupun melangkah menjauhi majikannya, melompati pagar kayu setinggi setengah meter dan mendarat mulus direrumputan. Kemudian berlari mendekati sekelompok kijang yang sedang menikmati rerumputan yang menjadi santap sore kawanan itu, sepertinya ingin mengajak kijang-kijang itu bermain—atau kalau tidak menjadikannya cemilan di sore hari.
Giulietta menatap Shou lekat-lekat, lalu berkata, “Dan kau. Pertama, aku tak tau sejauh mana kau mengerti soal binatang, tapi kupikir orang awam pun tau kalau itu harimau, bukan singa. Kedua, aku sama sekali tak punya niat menjebakmu. Kupikir kau sudah menyadarinya sejak aku mengatakan ‘kau adalah tahananku’, dan lalu kau sendiri yang mengatakan ‘mengurung orang malang’, dari situ aku berpendapat bahwa kau memang sudah tahu bahwa memang aku yang mengurungmu di cheda. Ketiga, aku sama sekali tak ingat pernah memaksamu untuk datang kesini.”
Seketika suasananya berubah senyap, awan-awan berarak pelan mengikuti semilir angin sepoi. Burung-burung bercuit riang, berpesta karena hari ini terlewati tanpa adanya suara-suara gemuruh tank dan jet-jet tempur seperti tiga hari lalu. Semilir angin membawa beberapa rumput berterbangan, melewati seorang pria berambut hitam yang berdiri di dekat ladang bunga. Wajah pria itu berlipat-lipat, mukanya merah padam. Dan saat ini pria itu merasa telah menjadi manusia paling tolol sedunia.
“Baiklah.”—ucapnya akhirnya. “Kalau gitu sampai di sini saja, aku akan pergi, dan anggap kita tak pernah saling mengenal. Masalah selesai.”
Shou berbalik mantap, dan melangkah tegas menjauhi pondok kayu.
Giulietta menyipitkan mata dan menatapnya enggan, duduk dipagar kayu, melipat kedua tangannya di dada, dan menunggu sejenak.
“Baiklah,” tukasnya akhirnya. “tapi jangan katakan bahwa aku tak pernah memperingatkanmu soal ini. Ratusan pasukan Vain masih menunggumu di seluruh sudut luar hutan. Dan kupikir pelarianmu akan berakhir, saat kau keluar dari sini.”
Giu terdiam sejenak, melirik kearah Shou yang menghentikan langkah kakinya. Tak mengatakan apapun, pria itu hanya berdiri diam, mematung.
“Aku tak tahu siapa kau, aku juga tak tahu apa yang mereka inginkan darimu.”—lanjutnya, kali ini dengan menatap tegas punggung Shou. “Tapi satu hal yang perlu kau tahu, aku membenci mereka. Dan kurasa, aku cukup percaya diri untuk bisa mengeluarkanmu hidup-hidup tanpa di ketahui oleh para tentara bodoh itu.”
Shou berbalik, dan menatap mata Giulietta lekat-lekat. Memastikan dari sorot mata wanita itu—walau tak tahu bagaimana cara melakukannya—bahwa ia serius dengan apa yang diucapkannya. Lalu berpikir, menelan ludah sebelum akhirnya mulutnya terbuka—“Dan kenapa kau harus sampai melakukan itu?”
“Sudah kukatakan aku membenci mereka,” jawab Giu. “memastikan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, sebagai balasan karena telah mengacau di hutanku.”
“Lalu, tujuan sebenarnya kau mengurungku?”
Giulietta tersenyum—“memastikan seberapa berharga buronan yang mereka incar.”
Shou menyipitkan mata, diam, dan berpikir.
Begitupun Giulietta, tidak mengatakan apapun, hanya menatap penuh keseriusan. “Baiklah,” ujarnya akhirnya, lalu berbalik, berjalan santai menuju pintu. “Masuklah, kau terlihat sangat membutuhkan istirahat dan makanan.”
Untuk sesaat shou tak mengindahkannya ajakkan wanita itu. Kedua matanya menerawang, memikirkan sesuatu dikepalanya. Tangan kanannya bergerak, menyentuh dada, dan menggenggam sesuatu dibalik baju lusuhnya. Kepalanya mengadah, menatap langit-langit penuh arti, tangan meremas benda dibalik bajunya kuat-kuat. Dan berkata tanpa suara, “kuharap aku tak mempercayai orang yang salah, kek.”
****
Ladang bunga berukuran delapan kali delapan meter, terlihat sangat cantik. Warna-warni bunga yang tertata anggun, dan Shou yakin, kombinasi warna bunga-bunga itu tak disusun dan ditanam secara asal-asalan. Ia pernah melakukannya bersama beberapa teman, menyusun warna bunga jauh lebih rumit dan sulit dari yang dibayangkan walau masih jauh lebih menyusahkan jika harus merawat, dan mempertahankan warna-warni bunga itu.
Shou berjalan melambat, membuat jarak dirinya dengan Giulietta semakin melebar jauh. Kedua matanya terus memperhatian tiap sudut padang rumput tersebut. Sebuah danau berukuran sepertiga dari luas tempat itu, semakin membuat suasana tampak mengesankan. Danau itu terletak di sudut timur, dan berbatasan langsung dengan hutan. Dan sebuah lukisan berdiri terabaikan di tepi danau. Ditemani meja, dan kursi kayu yang jelas buatan seorang pengerajin kayu professional. Di atas meja terdapat palet, dan berbagai peralatan lukis lainnya, tersusun tak beraturan, sepetinya si pelukis meninggalkannya dengan terburu-buru.
Terdengar bunyi berdecit lirih yang menarik perhatiannya. Giulietta telah berjalan menaiki anak tangga pondok kayu. Pondok kayu itu berdiri satu meter di atas permukaan rumput, ditopang oleh banyak tiang kayu penyangga yang berdiri kokoh. Jika di depan ada enam tiang penyangga, dan disampingnya ada empat, berarti jika tersusun rapi, pondok itu berdiri dengan dua puluh empat tiang kayu. Sangat kokoh walau mungkin terjadi gempa bumi sekalipun.
Shou melangkah menaiki anak tangga, dan terdengar bunyi kayu berdecit sama dengan saat Giulietta menaiki tangga itu. Dalam diam sepasang matanya terus memperhatikan sekelilingnya, dirinya benar-benar tak bisa melepas keindahan tempat itu. Diselingi oleh beberapa kupu-kupu berwarna cantik menikmati taman bunga, yang kini bisa dilihatnya dengan semakin jelas. Dia juga bisa melihat beberapa hewan jinak seperti, kelinci, kijang, tupai, monyet-monyet, yang bermain-main disekitar danau.
Jika ada taman eden di dunia ini, mungkin di sinilah tempatnya, pikir Shou saat itu.
Sudah tak terdengar lagi bunyi berdecit, saat Shou menginjakkan kaki diteras kayu pondok. Teras panjang dengan lebar dua meter, terlihat sangat minimalis dengan hanya ada dua kursi kayu panjang, dan sebuah meja kayu yang dihiasi vas kaca berisikan tangkai-tangkai bunga tulip berwarna putih pucat.
Di langit-langit, tergantung bunga rambat berwarna hijau cerah setinggi dua setengah meter. Lumayan tinggi jika dia membayangkan Giulietta yang tingginya beberapa sentimeter lebih pendek darinya, harus merawat bunga rambat itu sendirian.
Shou berdiri disatu-satunya pintu yang terlihat dari luar pondok. Pintu itu sedikit terbuka, dan dia merasa Giulietta sudah pasti ada di dalam sana. Ya, mau menghilang kemana lagi seorang wanita yang sedari tadi berjalan santai di depannya, sementara hanya ada satu pintu terbuka di tempat itu.
Dengan mengucapkan kalimat basa-basi yang santun, Shou masuk ke dalam.
****
Terdengar bunyi berderap cepat, yang diikuti suara decitan pintu kayu yang terbuka lebar, lalu suara bantingan pintu keras-keras. Kembali suara-suara menderap di lantai kayu, suara mendecit menuruni tangga, dan terakhir suara terengah-engah saat berlari di rerumputan.
Pintu kayu terbuka berlahan, dan Giulietta menjulurkan kepalanya keluar. Mimik wajahnya keheranan melihat punggung pria yang saat ini tengah mengatur nafasnya di dekat taman bunga. Dan lalu, seekor kucing putih besar yang juga terlihat menjulurkan kepalanya keluar, sama persis seperti yang dilakukan tuannya. Muka harimau itu juga seperti keheranan—kalau memang kucing bisa menunjukkan ekspresi keheranan—memandang punggung pria yang tengah mengatur nafas di dekat taman bunga.
Pria itu berbalik, wajahnya pucat, terlipat-lipat, dan jelas ingin menunjukkan ekspresi kekesalan bercampur kengerian pada wanita yang kini tengah berdiri di depan pintu.
“Berarti kau kan!” teriaknya sangat lantang. “Aku ingat singa putih itu. Dia mengejarku sampai aku terperosok ke lubang, dan aku yakin, itu karena kau yang memerintahkannya! Benar, kau menjadikanku tahanan bukan tanpa alasan, sejak awal kau memang berniat menjebakku di dalam sana selama tiga hari. Kejam, kau memang wanita sadis, saat ini pun kau pasti ingin menjebakku! Aku tak akan termakan perangkapmu un—“
Harimau itu berlari riang mendekati pria yang terus berceloteh.
Sontak Shou membalikkan badan, dan langsung melangkahkan kakinya lebar-lebar. Ya, manusia normal pasti akan sangat ketakutan jika didekati oleh hewan buas pemakan daging. Dan manusia normal manapun tak akan memelihara hewan buas rumahnya, apalagi membiarkannya bersantai di sofa empuk berwarna merah tua di ruang tamu.
“Tunggu!!” seru Giulietta lantang seraya berjalan mendekati tangga. “Kau juga Kael.”—lanjutnya pada binatang peliharaannya. “Dia benar-benar ketakutan, jadi jangan memperkeruh suasana. Bermainlah di luar, dan bukankah sudah kubilang untuk belajar tentang seni. Saat dia sudah terbiasa, kau baru boleh bermain dengannya.”
Dengan enggan harimau itu menatap majikannya. Lalu beralih menatap pria—yang sepertinya asyik untuk diajak bermain—lalu kembali menatap wajah Tuannya. Tapi tuannya tak bergeming, tak mengatakan apapun, hanya melototinya serius. Penuh kepasrahan, harimau itupun melangkah menjauhi majikannya, melompati pagar kayu setinggi setengah meter dan mendarat mulus direrumputan. Kemudian berlari mendekati sekelompok kijang yang sedang menikmati rerumputan yang menjadi santap sore kawanan itu, sepertinya ingin mengajak kijang-kijang itu bermain—atau kalau tidak menjadikannya cemilan di sore hari.
Giulietta menatap Shou lekat-lekat, lalu berkata, “Dan kau. Pertama, aku tak tau sejauh mana kau mengerti soal binatang, tapi kupikir orang awam pun tau kalau itu harimau, bukan singa. Kedua, aku sama sekali tak punya niat menjebakmu. Kupikir kau sudah menyadarinya sejak aku mengatakan ‘kau adalah tahananku’, dan lalu kau sendiri yang mengatakan ‘mengurung orang malang’, dari situ aku berpendapat bahwa kau memang sudah tahu bahwa memang aku yang mengurungmu di cheda. Ketiga, aku sama sekali tak ingat pernah memaksamu untuk datang kesini.”
Seketika suasananya berubah senyap, awan-awan berarak pelan mengikuti semilir angin sepoi. Burung-burung bercuit riang, berpesta karena hari ini terlewati tanpa adanya suara-suara gemuruh tank dan jet-jet tempur seperti tiga hari lalu. Semilir angin membawa beberapa rumput berterbangan, melewati seorang pria berambut hitam yang berdiri di dekat ladang bunga. Wajah pria itu berlipat-lipat, mukanya merah padam. Dan saat ini pria itu merasa telah menjadi manusia paling tolol sedunia.
“Baiklah.”—ucapnya akhirnya. “Kalau gitu sampai di sini saja, aku akan pergi, dan anggap kita tak pernah saling mengenal. Masalah selesai.”
Shou berbalik mantap, dan melangkah tegas menjauhi pondok kayu.
Giulietta menyipitkan mata dan menatapnya enggan, duduk dipagar kayu, melipat kedua tangannya di dada, dan menunggu sejenak.
“Baiklah,” tukasnya akhirnya. “tapi jangan katakan bahwa aku tak pernah memperingatkanmu soal ini. Ratusan pasukan Vain masih menunggumu di seluruh sudut luar hutan. Dan kupikir pelarianmu akan berakhir, saat kau keluar dari sini.”
Giu terdiam sejenak, melirik kearah Shou yang menghentikan langkah kakinya. Tak mengatakan apapun, pria itu hanya berdiri diam, mematung.
“Aku tak tahu siapa kau, aku juga tak tahu apa yang mereka inginkan darimu.”—lanjutnya, kali ini dengan menatap tegas punggung Shou. “Tapi satu hal yang perlu kau tahu, aku membenci mereka. Dan kurasa, aku cukup percaya diri untuk bisa mengeluarkanmu hidup-hidup tanpa di ketahui oleh para tentara bodoh itu.”
Shou berbalik, dan menatap mata Giulietta lekat-lekat. Memastikan dari sorot mata wanita itu—walau tak tahu bagaimana cara melakukannya—bahwa ia serius dengan apa yang diucapkannya. Lalu berpikir, menelan ludah sebelum akhirnya mulutnya terbuka—“Dan kenapa kau harus sampai melakukan itu?”
“Sudah kukatakan aku membenci mereka,” jawab Giu. “memastikan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, sebagai balasan karena telah mengacau di hutanku.”
“Lalu, tujuan sebenarnya kau mengurungku?”
Giulietta tersenyum—“memastikan seberapa berharga buronan yang mereka incar.”
Shou menyipitkan mata, diam, dan berpikir.
Begitupun Giulietta, tidak mengatakan apapun, hanya menatap penuh keseriusan. “Baiklah,” ujarnya akhirnya, lalu berbalik, berjalan santai menuju pintu. “Masuklah, kau terlihat sangat membutuhkan istirahat dan makanan.”
Untuk sesaat shou tak mengindahkannya ajakkan wanita itu. Kedua matanya menerawang, memikirkan sesuatu dikepalanya. Tangan kanannya bergerak, menyentuh dada, dan menggenggam sesuatu dibalik baju lusuhnya. Kepalanya mengadah, menatap langit-langit penuh arti, tangan meremas benda dibalik bajunya kuat-kuat. Dan berkata tanpa suara, “kuharap aku tak mempercayai orang yang salah, kek.”
****
Diubah oleh redxiv 18-01-2014 16:40
0
Kutip
Balas