TS
redxiv
[OriFic] Tear of Fate
Halo salam kenal,
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Index :
Setelah menunda beberapa kali akhirnya saya putuskan sharing cerita disini. Jujur aja sih saya harap ini jadi proyek tulis menulis terakhir saya sebelum terjun ke dunia menulis sebenarnya. Jadi saya mohon kritik atau masukan apapun tentang cerita ini, dan terima kasih banyak sebelumnya.
Genre : Fantasi, Adventure, Political, Magic, Alternate History
Sinopsis :
Quote:
Bergabung di akademi militer saat menginjak umur empat belas tahun, lulus setahun kemudian dengan memecahkan berbagai rekor. Memberikan kontribusi pertamanya pada aliansi kerajaan Riviera saat memimpin lima ratus pasukan memasuki benteng Frostia pada umurnya yang keenam belas tahun, dan meruntuhkan benteng itu enam jam kemudian. Mencapai puncak prestasi di umur yang kedua puluh tahun dengan di angkat sebagai komandan tertinggi kerajaan Riviera.
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Dan lima tahun telah berlalu sejak di tanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara republik Vain, dan aliansi kerajaan Riviera. Dia kini tengah menikmati kedamaian dengan mengasingkan diri di hutan konservasi berjarak empat puluh lima ribu mil dari ibukota Riviera, Sphersa.
Namun sepertinya kedamaian itu berakhir saat munculnya seorang pria lemah, cerewet, pengeluh—pokoknya semua yang buruk-buruk—sedang diburu oleh Holy Vain, pasukan dari republik Vain. Firasatnya—yang tak pernah meleset—mengatakan bahwa pria lemah itu akan kembali membawa dunia dalam peperangan.
Dia tak menginginkan perang. Perang telah membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin, perang telah merenggut rekan-rekan seperjuangannya. Tapi dia tak bisa lari menghindar saat mengetahui kenyataan dibalik pria itu, sejarah lima ribu tahun lalu. Firasatnya tak pernah mengatakannya, pria itu menuntunnya melihat sisi lain dunia, mengantarnya menuju takdir tak terelakkan…
Index :
Quote:
Diubah oleh redxiv 10-02-2014 20:11
0
2.8K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
redxiv
#8
Chapter 2 #1
Quote:
Shades of Quiescent
Di bibir danau,dia duduk ditemani seekor harimau putih yang tengah tertidur pulas. Wajahnya tersenyum puas, dengan sepasang mata terus menatap kanvas di depannya. Ini hari ketiga, semenjak dirinya menggoreskan cat pertama di kanvas itu. Dan sekarang, kain kasar itu tampak jauh lebih berarti dengan potret pemandangan sebuah danau.
“Bagus ‘kan, Kael?!”—serunya bersemangat membangunkan harimau dibelakangnya.
Sang harimau membuka sebelah matanya enggan, melirik lukisan yang dibuat tuannya, lalu menguap lebar. Berguling-guling di rerumputan, dan kembali tertidur.
“Geez, kapan kau bisa mengerti tentang seni.”—seloroh wanita itu, seraya meletakkan kuas di atas palet yang penuh dengan cat berwarna-warni.
Seekor burung elang tiba-tiba terbang mengorbit di atas danau. Beberapa kali hewan pemburu itu mengeluarkan suara melengkingnya yang khas. Sebelum akhirnya terbang menghilang di antara awan, saat wanita berambut emas itu mendongak ke atas.
“Sebegitu pentingkah dia!”—tukas Giulietta tiba-tiba—“kurasa para tentara bodoh itu tak akan pergi sampai dia benar-benar keluar dari hutanku!”—lanjutnya yang seakan burung elang tadi telah membawakan sebuah pesan, yang hanya ditujukan kepadanya.
Dia memunggungi lukisannya, melangkah pasti menuju hutan. Tetapi langkahnya terhenti, lalu berbalik. Menatap tegas seekor kucing besar berwarna putih loreng hitam, yang saat ini tengah berdiri diam memandanginya.
“Tidak, kau tetap di sini Kael! Jaga lukisanku, dan cobalah belajar tentang seni.” Perintahnya. Sekarang wanita itu benar-benar terlihat seperti majikan, seekor binatang buas pemakan daging.
“Dah,”—sambungnya santai sambil melambaikan tangan. Lalu menghilang di antara pepohonan.
Sementara si kucing hanya bisa terduduk dengan mimik muka memelas. Memutar kepalanya dan menatap lukisan danau itu enggan. Lalu menguap lebar, merebahkan tubuh besarnya di antara rerumputan, berguling kesana kemari menghilangkan rasa bosan, dan membuang waktu—mungkin.
***
Dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna hijau tua, Giulietta berjalan anggun menyusuri hutan. Melangkah melewati akar-akar pohon besar yang muncul ke permukaan tanah, rerumputan yang tumbuh tak beraturan. Diterangi sinar matahari yang masuk melalui rongga-rongga dedaunan pohon yang terbuka. Terus berjalan, wanita itu melangkah semakin jauh ke dalam hutan.
Tanpa melihat tangan kanannya meraih sebuah akar yang tergantung di salah satu pohon beringin—yang terlihat sangat mencolok di antara pepohonan lainnya. Lalu dalam satu gerakan, ia menarik putus akar itu. Sambil terus melangkah dengan irama tetap, ia melilitkan akar sepanjang lima meter itu di lengan kanannya.
Tak beberapa lama dia sampai di penjara cheda, atau sebut saja—lubang berisi pria malang yang terjebak di dalamnya. Seekor monyet berbulu merah di atas pohon, terus-menerus melengking kencang. Dan seketika berhenti saat Giulietta melihat kearahnya, melambaikan tangan, dan berkata, “terima kasih.”
Seakan telah menuntaskan titah ratu penguasa hutan. Monyet itu melompati dahan-dahan pohon dengan riang. Pergi menjauh, dan menghilang dibalik dedaunan rindang pohon-pohon hutan.
Berjalan mendekati tepi lubang, Giulietta melemparkan salah satu ujung akar tanpa melihat ke bawah. Lalu berbalik, berjalan sedikit menjauh, menuju batu—yang tak terlalu besar, berdiameter enam puluh sentimeter dengan tinggi empat puluh lima sentimeter— yang tertanam di dalam tanah. Dan dia melingkarkan sekali akar itu di sisi batu, mendudukinya, menyilangkan kedua kaki, lalu menginjak ujung lainnya dari akar tersebut.
****
Seorang pria di dalam lubang terus-menerus menarik akar yang tiba-tiba menjulur masuk, dengan curiga. Memastikan bahwa akar itu benar-benar kuat, dan—yang terpenting—bukan sebuah jebakan.
“Hei!!”—serunya—“Giulietta ‘kan? Apa kau ingin mengeluarkanku dari sini sekarang?!”
Hening, dirinya hanya mendengar suara selir-semilir angin yang mengalir bebas masuk ke dalam lubang. Sama sekali tak terdengar jawaban apapun dari wanita—atau seseorang lainnya—yang dengan sengaja menjulurkan akar itu ke bawah.
Setelah sekali lagi menarik akar itu kuat-kuat, akhirnya dia pun memutuskan untuk memanjat. Berlahan-lahan, susah payah, terlihat jelas bahwa dia bukanlah pemanjat yang baik dari yang terburuk sekalipun.
Di tepi lubang, dia menggantungkan sebelah kakinya di atas tanah, dan sekuat tenaga—yang tersisa—mendorong tubuhnya ke atas. Begitu berhasil, dia langsung berguling di atas tanah berumput, membuka lebar kedua lengan dan kakinya, memandang langit biru yang sekarang serasa begitu mudah untuk di gapai. Mengatur nafasnya yang terengah-engah, dada kembang kempis, seperti dia telah berada di lantai lima belas setelah menaiki semua anak tangga dari lantai satu.
“Sekarang aku tahu kenapa kau tidak mencoba untuk melarikan diri.”—sindir Giulietta yang duduk santai di atas batu, memandang Shou dengan pandangan penuh ketidak-tertarikan—“Bukan karena tidak ingin, tapi tidak bisa. Menyedihkan.”
Sontak Shou langsung melihat kearah wanita yang telah mengabaikannya selama tiga hari. Sorot matanya menunjukkan—antara—kesal dan kagum—“Aku manusia normal. Dan manusia normal manapun akan kesulitan memanjat lubang setinggi lima meter.”
“Empat meter,”—koreksi wanita itu cepat—“kau bahkan tak bisa mengukur tingginya dengan tepat.”
“Apa bedanya. Bagiku dari dalam tingginya terlihat semeter lebih tinggi.”—sangkal Shou tanpa memandang mata lawan bicaranya.
Dengan halus, Giulietta melemparkan sebotol kecil cairan berwarna hijau kental kepada Shou. Kedua tangan pria itupun menerimanya sigap. Dan diperhatikannya botol itu seksama, sangat kental, hijau, dan—menjijikkan.
“Apa ini… racun?”—tanya Shou ragu sembari menunjukkan botol itu.
“Kau cukup pintar,”—jawab Giu cepat—“Ya itu racun, dan bila kau tidak meminumnya kau akan mati.”
“Oh, hebat!!”—saut Shou—“Dan coba tebak apa yang terjadi bila kuminum ini?”—tanyanya sarkastik—“ Mati!! Tentu saja, karena ini, racun!”
Giulietta menyipitkan sebelah matanya, dan menatap Shou heran. Dan berpikir, bagaimana bisa seorang pria secerewet ini.
“Terserah!”—serunya seraya menggulung akar yang tergeletak di tanah—“jika kau tak meminumnya pun itu sama sekali bukan urusanku.”—lalu meletakkan akar yang telah digulungnya rapi itu di atas batu, berbalik, dan berjalan menjauhi Shou.
Pria itu berpikir sejenak sembari melihat punggung wanita itu. Lalu memutuskan untuk berjalan mengikutinya, seperti anak bebek yang berjalan di belakang induknya.
“Lalu, apa ini semacam racun untuk menangkal racun?”—tanyanya setelah keheningan berlangsung cukup lama.
“Tidak,”—bantah Giu sambil terus berjalan tanpa sekalipun melirik ke belakang—“Itu racun yang sama dengan racun yang ada di tubuhmu saat ini.”
Shou berpikir, otaknya memproses apa yang dikatakan wanita itu. “Jadi ada racun yang masuk ke tubuhku saat aku berada di lubang itu?”
“Ya,”—jawab Giulietta menyetujuinya—“racun pertama kali masuk saat kau jatuh ke cheda. Tak menyebar, hanya berdiam di dalam pembuluh darah. Racun itu baru bergerak, saat racun berjenis sama masuk kembali ke dalam tubuh.”
“Dan itu, saat aku keluar…?”
“Ya. Jika saja kau mencoba kabur, racun itu akan bersatu, mengalir di dalam darah. Masuk ke jantung, menyerang sistem saraf. Dalam waktu tujuh jam, jari jemari akan mulai sulit untuk digerakkan, lalu siku, lengan, lutut. Dan dalam empat belas jam, akan mengalami kelumpuhan total.”
“Lalu,”—lanjut wanita itu sambil membalikkan badan, dan sepasang bola mata hijaunya kini menatap Shou serius—“akan menghancurkan otot otonom di jantung, dan mati.”
Shou menelan ludah, membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya dalam empat belas jam ke depan. "Lalu," katanya. "apa gunanya kuminum racun ini bila saat ini mungkin saja sudah bereasksi ditubuhku."
"Sudah pasti bereaksi," balas Giulietta cepat. "Racun ketiga yang masuk ke dalam tubuh memiliki sifat seperti racun pertama, ia akan diam di pembuluh darah, berjajar, dan memicu racun-racun yang telah bereaksi untuk menempel semua padanya. Saat menggumpal racun-racun itu akan mudah pecah, dan keluar melalui keringat. Asal setelahnya tak ada lagi racun berjenis sama masuk ke tubuhmu selama empat puluh dua hari, racun itu akan menghilang."
Shou diam, coba menterjemahkan ucapan wanita itu dalam bahasanya sendiri. "Jadi, tak masalah kapan aku meminumnya," tukasnya dengan melihat botol kaca kecil berwarna hijau di tangan kanannya. "racun ini akan tetap memicu racun di dalam tubuhku untuk menetralisirkannya?"
“Ya, dan sebenarnya,”—kata Giulietta santai, seraya kembali berbalik dan melangkah maju—“aku tak terlalu peduli apa kau akan meminumnya atau tidak. Jika kau matipun, itu sama sekali bukan urusanku. Paham?”
Shou mengeryitkan dahi mendengar kata-kata sadis yang keluar dari mulutnya. Mungkin benar jika ada yang mengatakan, jangan melihat buku hanya dari sampulnya. Keindahannya sebagai seorang wanita sangat berbanding terbalik, dengan kepribadiannya yang dimilikinya.
***
“Hei,”—panggil Shou akhirnya, setelah lama hanya diam dan berjalan mengikuti Giulietta—“Kenapa akhirnya kau memilih untuk membebaskan tahananmu ini?”—tanyanya sarkastik.
“Tidak ada alasan.”—jawab Giu tak terpancing dengan nada sarkastik itu—“Toh membiarkanmu di cheda takkan membuat para tentara itu pergi dari hutan.”
“Tentara?” saut Shou cepat. “Maksudmu para tentara yang mengejarku?”
“Ya.”
Shou diam, dan berpikir. Matanya teralih saat melewati sebatang pohon beringin besar yang berdiri kokoh, di antara pohon-pohon pinus yang jenisnya baru pertama dilihatnya—akar yang menjulang kepermukaan tanah, cabang batang pohon yang muncul ke kanan dan ke kiri, berdaun lebat, dan berwarna sedikit kemerahan—pokoknya dia belum pernah melihat pohon pinus dengan jenis seperti ini.
“Jadi maksudmu,” ucap Shou memecah ocehan para burung yang berkicau di sekitar mereka. “Ada orang malang yang diburu oleh ratusan tentara professional. Dan kau dengan baik hati melepas para tentara itu, dan dengan kejam mengurung orang malang yang dikejar-kejar sampai—hampir—mati. Oh ya, jangan lupa, dan juga para tentara itu yang menghancurkan pohon-pohonmu, bukan ORANG malang ini!”
Sepintas saja Giulietta melirik kearah pria malang yang dengan sangat cerewetnya mencurahkan isi hati. Kemalangan yang menimpa pria itu sampai—hampir—mati.
“Adil memang!”—teriaknya dengan mengadah ke langit, seperti ciptaan yang tak puas dengan kehidupan yang telah diberikan oleh sang penciptanya. “Dunia ini memang adil. Yang kuat akan semakin kuat, dan yang lemah. Ya, tentu saja, semakin tertindas.”
Sekali lagi Giulietta melirik kearah Shou, lalu menyeringai licik. Seperti iblis yang tersenyum saat orang alim yang untuk pertama kalinya minum minuman beralkohol. “Ya, dunia memang tidak adil. Lalu kau mau apa, dunia ini tak akan berubah lebih baik hanya dengan mendengar kau merengek.”
Pria itu menyipitkan matanya, mengangkat sebelah alis, dan mengerutkan dahi. Walau menyakitkan, tapi yang wanita itu katakan memang benar adanya. Saat dia akan—hampir—mati karena terus-menerus diburu oleh para tentara Holy Vain. Kesakitan, kelaparan, ketakutan, keputus-asaan. Dan jika dia mengeluh tentang itu semua, mungkin saat ini sudah menjadi bangkai yang siap dijadikan santap lezat para burung gagak.
Akan tetapi nyatanya saat ini dia tetap hidup. Harapan, janji, dan pengorbanan, telah membuatnya melakukan lebih dari apa yang bisa dia bayangkan. Dan dia yakin, pasti bisa terus selamat dan bertemu dengan orang itu.
***
Di bibir danau,dia duduk ditemani seekor harimau putih yang tengah tertidur pulas. Wajahnya tersenyum puas, dengan sepasang mata terus menatap kanvas di depannya. Ini hari ketiga, semenjak dirinya menggoreskan cat pertama di kanvas itu. Dan sekarang, kain kasar itu tampak jauh lebih berarti dengan potret pemandangan sebuah danau.
“Bagus ‘kan, Kael?!”—serunya bersemangat membangunkan harimau dibelakangnya.
Sang harimau membuka sebelah matanya enggan, melirik lukisan yang dibuat tuannya, lalu menguap lebar. Berguling-guling di rerumputan, dan kembali tertidur.
“Geez, kapan kau bisa mengerti tentang seni.”—seloroh wanita itu, seraya meletakkan kuas di atas palet yang penuh dengan cat berwarna-warni.
Seekor burung elang tiba-tiba terbang mengorbit di atas danau. Beberapa kali hewan pemburu itu mengeluarkan suara melengkingnya yang khas. Sebelum akhirnya terbang menghilang di antara awan, saat wanita berambut emas itu mendongak ke atas.
“Sebegitu pentingkah dia!”—tukas Giulietta tiba-tiba—“kurasa para tentara bodoh itu tak akan pergi sampai dia benar-benar keluar dari hutanku!”—lanjutnya yang seakan burung elang tadi telah membawakan sebuah pesan, yang hanya ditujukan kepadanya.
Dia memunggungi lukisannya, melangkah pasti menuju hutan. Tetapi langkahnya terhenti, lalu berbalik. Menatap tegas seekor kucing besar berwarna putih loreng hitam, yang saat ini tengah berdiri diam memandanginya.
“Tidak, kau tetap di sini Kael! Jaga lukisanku, dan cobalah belajar tentang seni.” Perintahnya. Sekarang wanita itu benar-benar terlihat seperti majikan, seekor binatang buas pemakan daging.
“Dah,”—sambungnya santai sambil melambaikan tangan. Lalu menghilang di antara pepohonan.
Sementara si kucing hanya bisa terduduk dengan mimik muka memelas. Memutar kepalanya dan menatap lukisan danau itu enggan. Lalu menguap lebar, merebahkan tubuh besarnya di antara rerumputan, berguling kesana kemari menghilangkan rasa bosan, dan membuang waktu—mungkin.
***
Dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna hijau tua, Giulietta berjalan anggun menyusuri hutan. Melangkah melewati akar-akar pohon besar yang muncul ke permukaan tanah, rerumputan yang tumbuh tak beraturan. Diterangi sinar matahari yang masuk melalui rongga-rongga dedaunan pohon yang terbuka. Terus berjalan, wanita itu melangkah semakin jauh ke dalam hutan.
Tanpa melihat tangan kanannya meraih sebuah akar yang tergantung di salah satu pohon beringin—yang terlihat sangat mencolok di antara pepohonan lainnya. Lalu dalam satu gerakan, ia menarik putus akar itu. Sambil terus melangkah dengan irama tetap, ia melilitkan akar sepanjang lima meter itu di lengan kanannya.
Tak beberapa lama dia sampai di penjara cheda, atau sebut saja—lubang berisi pria malang yang terjebak di dalamnya. Seekor monyet berbulu merah di atas pohon, terus-menerus melengking kencang. Dan seketika berhenti saat Giulietta melihat kearahnya, melambaikan tangan, dan berkata, “terima kasih.”
Seakan telah menuntaskan titah ratu penguasa hutan. Monyet itu melompati dahan-dahan pohon dengan riang. Pergi menjauh, dan menghilang dibalik dedaunan rindang pohon-pohon hutan.
Berjalan mendekati tepi lubang, Giulietta melemparkan salah satu ujung akar tanpa melihat ke bawah. Lalu berbalik, berjalan sedikit menjauh, menuju batu—yang tak terlalu besar, berdiameter enam puluh sentimeter dengan tinggi empat puluh lima sentimeter— yang tertanam di dalam tanah. Dan dia melingkarkan sekali akar itu di sisi batu, mendudukinya, menyilangkan kedua kaki, lalu menginjak ujung lainnya dari akar tersebut.
****
Seorang pria di dalam lubang terus-menerus menarik akar yang tiba-tiba menjulur masuk, dengan curiga. Memastikan bahwa akar itu benar-benar kuat, dan—yang terpenting—bukan sebuah jebakan.
“Hei!!”—serunya—“Giulietta ‘kan? Apa kau ingin mengeluarkanku dari sini sekarang?!”
Hening, dirinya hanya mendengar suara selir-semilir angin yang mengalir bebas masuk ke dalam lubang. Sama sekali tak terdengar jawaban apapun dari wanita—atau seseorang lainnya—yang dengan sengaja menjulurkan akar itu ke bawah.
Setelah sekali lagi menarik akar itu kuat-kuat, akhirnya dia pun memutuskan untuk memanjat. Berlahan-lahan, susah payah, terlihat jelas bahwa dia bukanlah pemanjat yang baik dari yang terburuk sekalipun.
Di tepi lubang, dia menggantungkan sebelah kakinya di atas tanah, dan sekuat tenaga—yang tersisa—mendorong tubuhnya ke atas. Begitu berhasil, dia langsung berguling di atas tanah berumput, membuka lebar kedua lengan dan kakinya, memandang langit biru yang sekarang serasa begitu mudah untuk di gapai. Mengatur nafasnya yang terengah-engah, dada kembang kempis, seperti dia telah berada di lantai lima belas setelah menaiki semua anak tangga dari lantai satu.
“Sekarang aku tahu kenapa kau tidak mencoba untuk melarikan diri.”—sindir Giulietta yang duduk santai di atas batu, memandang Shou dengan pandangan penuh ketidak-tertarikan—“Bukan karena tidak ingin, tapi tidak bisa. Menyedihkan.”
Sontak Shou langsung melihat kearah wanita yang telah mengabaikannya selama tiga hari. Sorot matanya menunjukkan—antara—kesal dan kagum—“Aku manusia normal. Dan manusia normal manapun akan kesulitan memanjat lubang setinggi lima meter.”
“Empat meter,”—koreksi wanita itu cepat—“kau bahkan tak bisa mengukur tingginya dengan tepat.”
“Apa bedanya. Bagiku dari dalam tingginya terlihat semeter lebih tinggi.”—sangkal Shou tanpa memandang mata lawan bicaranya.
Dengan halus, Giulietta melemparkan sebotol kecil cairan berwarna hijau kental kepada Shou. Kedua tangan pria itupun menerimanya sigap. Dan diperhatikannya botol itu seksama, sangat kental, hijau, dan—menjijikkan.
“Apa ini… racun?”—tanya Shou ragu sembari menunjukkan botol itu.
“Kau cukup pintar,”—jawab Giu cepat—“Ya itu racun, dan bila kau tidak meminumnya kau akan mati.”
“Oh, hebat!!”—saut Shou—“Dan coba tebak apa yang terjadi bila kuminum ini?”—tanyanya sarkastik—“ Mati!! Tentu saja, karena ini, racun!”
Giulietta menyipitkan sebelah matanya, dan menatap Shou heran. Dan berpikir, bagaimana bisa seorang pria secerewet ini.
“Terserah!”—serunya seraya menggulung akar yang tergeletak di tanah—“jika kau tak meminumnya pun itu sama sekali bukan urusanku.”—lalu meletakkan akar yang telah digulungnya rapi itu di atas batu, berbalik, dan berjalan menjauhi Shou.
Pria itu berpikir sejenak sembari melihat punggung wanita itu. Lalu memutuskan untuk berjalan mengikutinya, seperti anak bebek yang berjalan di belakang induknya.
“Lalu, apa ini semacam racun untuk menangkal racun?”—tanyanya setelah keheningan berlangsung cukup lama.
“Tidak,”—bantah Giu sambil terus berjalan tanpa sekalipun melirik ke belakang—“Itu racun yang sama dengan racun yang ada di tubuhmu saat ini.”
Shou berpikir, otaknya memproses apa yang dikatakan wanita itu. “Jadi ada racun yang masuk ke tubuhku saat aku berada di lubang itu?”
“Ya,”—jawab Giulietta menyetujuinya—“racun pertama kali masuk saat kau jatuh ke cheda. Tak menyebar, hanya berdiam di dalam pembuluh darah. Racun itu baru bergerak, saat racun berjenis sama masuk kembali ke dalam tubuh.”
“Dan itu, saat aku keluar…?”
“Ya. Jika saja kau mencoba kabur, racun itu akan bersatu, mengalir di dalam darah. Masuk ke jantung, menyerang sistem saraf. Dalam waktu tujuh jam, jari jemari akan mulai sulit untuk digerakkan, lalu siku, lengan, lutut. Dan dalam empat belas jam, akan mengalami kelumpuhan total.”
“Lalu,”—lanjut wanita itu sambil membalikkan badan, dan sepasang bola mata hijaunya kini menatap Shou serius—“akan menghancurkan otot otonom di jantung, dan mati.”
Shou menelan ludah, membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya dalam empat belas jam ke depan. "Lalu," katanya. "apa gunanya kuminum racun ini bila saat ini mungkin saja sudah bereasksi ditubuhku."
"Sudah pasti bereaksi," balas Giulietta cepat. "Racun ketiga yang masuk ke dalam tubuh memiliki sifat seperti racun pertama, ia akan diam di pembuluh darah, berjajar, dan memicu racun-racun yang telah bereaksi untuk menempel semua padanya. Saat menggumpal racun-racun itu akan mudah pecah, dan keluar melalui keringat. Asal setelahnya tak ada lagi racun berjenis sama masuk ke tubuhmu selama empat puluh dua hari, racun itu akan menghilang."
Shou diam, coba menterjemahkan ucapan wanita itu dalam bahasanya sendiri. "Jadi, tak masalah kapan aku meminumnya," tukasnya dengan melihat botol kaca kecil berwarna hijau di tangan kanannya. "racun ini akan tetap memicu racun di dalam tubuhku untuk menetralisirkannya?"
“Ya, dan sebenarnya,”—kata Giulietta santai, seraya kembali berbalik dan melangkah maju—“aku tak terlalu peduli apa kau akan meminumnya atau tidak. Jika kau matipun, itu sama sekali bukan urusanku. Paham?”
Shou mengeryitkan dahi mendengar kata-kata sadis yang keluar dari mulutnya. Mungkin benar jika ada yang mengatakan, jangan melihat buku hanya dari sampulnya. Keindahannya sebagai seorang wanita sangat berbanding terbalik, dengan kepribadiannya yang dimilikinya.
***
“Hei,”—panggil Shou akhirnya, setelah lama hanya diam dan berjalan mengikuti Giulietta—“Kenapa akhirnya kau memilih untuk membebaskan tahananmu ini?”—tanyanya sarkastik.
“Tidak ada alasan.”—jawab Giu tak terpancing dengan nada sarkastik itu—“Toh membiarkanmu di cheda takkan membuat para tentara itu pergi dari hutan.”
“Tentara?” saut Shou cepat. “Maksudmu para tentara yang mengejarku?”
“Ya.”
Shou diam, dan berpikir. Matanya teralih saat melewati sebatang pohon beringin besar yang berdiri kokoh, di antara pohon-pohon pinus yang jenisnya baru pertama dilihatnya—akar yang menjulang kepermukaan tanah, cabang batang pohon yang muncul ke kanan dan ke kiri, berdaun lebat, dan berwarna sedikit kemerahan—pokoknya dia belum pernah melihat pohon pinus dengan jenis seperti ini.
“Jadi maksudmu,” ucap Shou memecah ocehan para burung yang berkicau di sekitar mereka. “Ada orang malang yang diburu oleh ratusan tentara professional. Dan kau dengan baik hati melepas para tentara itu, dan dengan kejam mengurung orang malang yang dikejar-kejar sampai—hampir—mati. Oh ya, jangan lupa, dan juga para tentara itu yang menghancurkan pohon-pohonmu, bukan ORANG malang ini!”
Sepintas saja Giulietta melirik kearah pria malang yang dengan sangat cerewetnya mencurahkan isi hati. Kemalangan yang menimpa pria itu sampai—hampir—mati.
“Adil memang!”—teriaknya dengan mengadah ke langit, seperti ciptaan yang tak puas dengan kehidupan yang telah diberikan oleh sang penciptanya. “Dunia ini memang adil. Yang kuat akan semakin kuat, dan yang lemah. Ya, tentu saja, semakin tertindas.”
Sekali lagi Giulietta melirik kearah Shou, lalu menyeringai licik. Seperti iblis yang tersenyum saat orang alim yang untuk pertama kalinya minum minuman beralkohol. “Ya, dunia memang tidak adil. Lalu kau mau apa, dunia ini tak akan berubah lebih baik hanya dengan mendengar kau merengek.”
Pria itu menyipitkan matanya, mengangkat sebelah alis, dan mengerutkan dahi. Walau menyakitkan, tapi yang wanita itu katakan memang benar adanya. Saat dia akan—hampir—mati karena terus-menerus diburu oleh para tentara Holy Vain. Kesakitan, kelaparan, ketakutan, keputus-asaan. Dan jika dia mengeluh tentang itu semua, mungkin saat ini sudah menjadi bangkai yang siap dijadikan santap lezat para burung gagak.
Akan tetapi nyatanya saat ini dia tetap hidup. Harapan, janji, dan pengorbanan, telah membuatnya melakukan lebih dari apa yang bisa dia bayangkan. Dan dia yakin, pasti bisa terus selamat dan bertemu dengan orang itu.
***
Diubah oleh redxiv 18-01-2014 16:41
0
Kutip
Balas