TS
pakzzii
¤* [FORSUP Reg. Bromo] Supranatural , Spiritual & Budaya Regional BROMO *¤
![¤* [FORSUP Reg. Bromo] Supranatural , Spiritual & Budaya Regional BROMO *¤](https://s.kaskus.id/images/2014/03/22/5577710_20140322072512.jpg)
Dengan kerendahan hati Izinkan saya membuka thread forsup reg bromo

![¤* [FORSUP Reg. Bromo] Supranatural , Spiritual & Budaya Regional BROMO *¤](https://s.kaskus.id/images/2014/02/24/5577710_20140224030700.gif)
Quote:

Tujuan Thread ini adalah untuk sebagai ajang sharing tentang semua hal berkaitan dengan dunia Supranatural , Spiritual maupun Budaya dan untuk bersilahturahmi menjalin keakraban terhadap sesama warga Regional Bromo ini khususnya


![¤* [FORSUP Reg. Bromo] Supranatural , Spiritual & Budaya Regional BROMO *¤](https://s.kaskus.id/images/2013/09/30/5577710_20130930081056.jpg)
Spoiler for Pengertian:
Apabila ada yg ingin sharing atau mengenal jauh tentang dunia Supranatural mari kita diskusikan di thread ini, atau yg ingin terawang teriwing jg boleh,sapa tau ada yg bantuin

Quote:
UPDATE
Spoiler for update:
Mari semuanya
Quote:
Diubah oleh pakzzii 26-03-2014 08:09
deiro70 dan nona212 memberi reputasi
0
351.2K
10K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Bromo
385Thread•282Anggota
Tampilkan semua post
Kwek.Kwek.Kwek
#419
International Majapahit Festival 2013
Festival Majapahit, Pentas Ulang Festival Ramayana Prambanan
Jawa Timur pernah mencatat peristiwa kesenian yang besar, yaitu Festival Ramayana Internasional di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, tahun 1971. Peristiwa bersejarah itu kini diulangi lagi di tempat yang sama setelah 42 tahun berlalu. Hanya sayangnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan sudah menggelar Festival Ramayana Internasional di panggung terbuka candi Prambanan Yogyakarta, 6-9 September 2013. Alhasil, dengan peserta dan pertunjukan yang sama, pentas di Pandaan itu diberi nama lain, yaitu Festival Majapahit Internasional.
Satu-satunya penampilan yang menyajikan cerita Majapahit hanyalah salah satu delegasi Indonesia, yaitu STKW Surabaya, dengan pertunjukan berjudul “Surya Majapahit”. Itupun juga pentas ulang di tempat yang sama beberapa waktu yang lalu. Wakil Indonesia yang lain adalah ISI Denpasar, Bali. Maka pergelaran di Pandaan ini bagaikan pentas ulang festival di Prambanan, minus peserta dari Yogyakarta. Apa boleh buat, momen bersejarah itu sudah direbut oleh Prambanan, yang selama ini sudah rutin menggelar pergelaran Ramayana. Disamping itu, relief terlengkap epos Ramayana memang ada di Candi Prambanan.
Tapi ya sudahlah, terlepas dari pementasan ulang, patut disyukuri bahwa Taman Candra Wilwatikta kembali dihidupkan sebagai venue pertunjukan kolosal berskala internasional. Sebab keberadaan kompleks panggung terbuka itu memang sengaja dibangun untuk penyelenggaraan Festival Ramayana Internasional tersebut. Sayangnya, hajatan besar itulah yang pertama dan terakhir kalinya sampai dengan kali ini. Berbagai upaya untuk menghidupkan kembali dengan acara-acara serupa gagal dilakukan lantaran tidak sebanding dengan keluasan sarana yang tersedia. Sampai akhirnya, kepemilikan dan pengelolaan oleh Yayasan Wilwatikta itu diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Candra Wilwatikta, Pandaan.
Pergelaran di Pandaan ini setidaknya memberi kesempatan pada masyarakat luas yang tidak bisa menyaksikan Festival Ramayana di Pandaan. Apalagi, ini pertunjukan terbuka untuk umum, gratis, berbeda dengan di Prambanan yang eksklusif.
Pada acara pembukaan Rabu malam, tampil tiga peserta, yaitu India (Sayembara Mendapatkan Sita), Kamboja (Penobatan Bharata) dan Indonesia (STKW) yaitu “Surya Majapahit”, setelah didahului dengan tari pembuka Bedaya Triloka. Sajian pertunjukan ini benar-benar menyegarkan, apalagi India yang selama ini secara psikologis sudah akrab dengan masyarakat Indonesia. Kebudayaan India sudah dikenal melalui film-filmnya. Bahkan, dalam film-film itu mereka “sudah pandai berbahasa Indonesia”. Dan bukan India namanya kalau tanpa tarian dan lagu-lagunya yang khas. Penampilan mereka sedemikian dinamis, dengan jumlah pemain sekitar 25 orang, namun mampu menguasai panggung.
Maka pada bagian awal pertunjukan ini, disemarakkan dengan nyanyi dan tari India yang nyaris tak pernah berhenti bergerak sedetikpun. Baru beberapa saat di ujung pertunjukan, disajikan adegan-adegan dialog dalam bahasa yang tentu saja tidak dapat dipahami penonton. Meski demikian, ceritanya sudah bisa ditebak, lantaran sudah ada sinopsis dan kisah mengenai sayembara Sita itu sudah populer dalam sastra wayang. Kisah ini menceritakan keberhasilan Rama dalam lomba memanah (berhasil membengkokkan busur) sebagai syarat mendapatkan Sita.
Bagaikan Ritual Budhis
Berbeda dengan penampilan India yang meriah, giliran Kamboja (Cambodia) suasananya bagaikan ritual sembahyang umat Budhis. Ngelangut seperti di vihara. Gerakan-gerakan penyajinya sedemikian lambat, seperti meditasi gerak. Jumlah pemainnya hanya sedikit. Maksimal hanya 8 orang yang berada di atas panggung. Permainan mereka hanya berpusat di sekitar altar di tengah panggung, sementara dua sayap panggung dibiarkan kosong. Satu hal yang menarik, dalam gerak-gerak tarinya sering memperagakan satu kaki yang diangkat menekuk.
Kisah yang dihadirkan oleh peserta Cambodia ini mengenai penobatan Bharata dan pengasingan Rama. Dikisahkan, saat Rama pulang ke Ayodhya, Dasaratha ingin menjadikan Rama sebagai raja. Namun istri Dasaratha, Kaikeyi tidak setuju karena hasutan Kubja, pelayan kesayangannya. Kubja membujuk Kaikeyi untuk supaya Dasaratha mengasingkan Rama dan menobatkan Bharata sebagai raja. Dasaratha memenuhi janjinya terhadap Kubja. Dasaratha mengusir Rama (juga Shinta) pergi ke pengasingan. Namun ketika Dasaratha wafat, Bharata, adik kedua Rama menolak tahta dari Dasaratha kemudian pergi ke hutan memanggil Rama untuk kembali ke Ayodhya menjadi raja. Namun Rama tetap tidak mau pulang. Rama kemudian memberikan alas kakinya kepada Bharata untuk dibawa pulang. Di Ayodhya, Bharata sebagai pengurus tahta menggelar upacara penobatan raja secara in absentia dengan menaruh alas kaki Rama di kaki tahta sebagai simbol. Bharata lalu menunggu kepulangan Rama.
Sebuah kisah yang menarik. Disajikan dengan intonasi yang tenang, seperti alunan air yang membuai. Pilihan pertunjukan ini ditempatkan di tengah, mengapit pertunjukan India dan Indonesia (STKW) rasanya tepat karena menjadi jeda diantara dua pertunjukan yang sama-sama bergemuruh.
Fragmen kisah Ramayana seperti ini memang relatif kurang populer. Selama ini yang banyak ditonjolkan adalah peperangan Rama melawan Rahwana. Ketika Cambodia menyajikan proses pengasingan Rama akibat hasutan ini, seperti menghadirkan sebuah pelajaran mengenai kebaikan, keteguhan dan kesabaran.
Epos Ramayana memang lahir di India dan menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia. Di masing-masing negara itu, epos ini berkembang sesuai karakter dan budaya masyarakat. Namun di
negara-negara Indo Cina, semisal Myanmar, Laos, dan Thailand, epos ini berkembang nyaris seragam. Sementara di Indonesia sendiri, epos ini tak hanya berkembang menjadi produk kesenian. Namun juga filosofi kehidupan.
satu-satunya Majapahit
Satu-satunya pementasan selain Ramayana adalah “Surya Majapahit” yang disajikan oleh tim kesenian Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Barangkali lantaran pementasan inilah maka nama festival inipun layak disebut Festival Majapahit Internasional, dan bukan Festival Ramayana. Setidaknya dengan adanya pertunjukan ini maka delegasi yang lain mendapatkan sajian yang berbeda dengan Festival Ramayana di Prambanan minggu sebelumnya. Repertoar ini sudah pernah dipentaskan di tempat yang sama setahun yang lalu, ketika dilangsungkan pembukaan Temu Taman Budaya se-Indonesia. Fragmennya juga disajikan dalam pembukaan Pekan Seni Pelajar di Taman Surya Surabaya. Bahkan pernah juga disajikan di Gedung Negara Grahadi Surabaya.
Kisahnya mengenai sosok Gayatri, figur penting dalam kerajaan Majapahit yang hampir kalah populer dengan raja-raja Majapahit lainnya. Padahal ibu dialah yang menjadi think tank kerajaan ketika Gadjah Mada menjadi Mahapatih dan kerajaan dipimpin Tribuana Tunggadewi, puterinya. Gayatri menjadi ibu suri yang sangat berpengaruh, bahkan setelah raja Majapahit dijabat oleh Hayam Wuruk. Sosok mengenai hayam Wuruk itu juga dihadirkan sisi berbeda yang selama ini juga kurang ditonjolkan. Bahwa Hayam Wuruk adalah raja yang bijaksana, suka berkunjung ke rakyatnya seperti blusukan gaya Jokowi. Bahkan Hayam Wuruk adalah juga seniman topeng yang handal.
Sebagai tuan rumah, Tim STKW memang tampil lebih siap sebagai satu-satunya peserta yang paling banyak menghadirkan pemain. Tatalampu juga dimanfaatkan semaksimal mungkin, menjadi satu-satunya penyaji yang glamour, menggunakan sorot lampu dari belakang panggung. Sayang klip on yang digunakan Hayam Wuruk beberapa kali mati, padahal sudah diganti setiap kali masuk ke belakang panggung. Dan kesan secara umum, pertunjukan kali ini tidak sebagus tahun yang lalu. (*)
sumber
Spektakuler, Gayatri Rajapatni Pun Tersenyum
Seandainya hadir,Gayatri Rajapatni dan Tribuwana Tunggadewi akan tersenyum bahagia. Pergelaran sendratari kolosal dalam ajang Festival Majapahit 2013 garapan STKW Surabaya bertajuk “Surya Majapahit, Gayatri Rajapatni”, saya yang awam mengatakannya sukses dan spektakuler. Penampilan tariannya memukau, penontonnya padat. Tak ada tempat duduk lowong di Ampitheater yang kapasitasnya 10.000 orang terebut.
Koreografi, semangat, dan keluwesan gerak para peraga, property pendukung serta tata lampu mampu membuat tontonan penutup di hari pertama Festival Majapahit 2013 benar-benar meriah. Ditunjang pula, sound system yang nyaman dan tidak nylekit, walaupun hentakan kendang Jawa Timuran berkali-kali mampir di telinga. Berulang-ulang aplaus apresiasi penonton menggema di seantero Ampitheater Taman Candra Wilwatikta seakan mampu mengusir hawa dingin yang mulai menyelusup.
India dan Kamboja
Hari pertama Festival Majapahit 2013 di Taman Candra Wilwatikta Pandaan, menampilkan 3 negara. India, Kamboja dan Indonesia. India, sebagai tempat asal Kitab Ramayana, tampil dengan ciri khasnya. Tabuhan musik India rancak ditingkahi gerak lenggak-lenggok yang lincah. Ala film Bollywood. Kostumnya khas, seperti yang sering kita lihat di Film Mahabarata yang pernah diputar di stasiun TV Tanah Air.
Bertajuk The Swayamvara for Sita, tim kesenian India tampil lumayan menghibur. Inti cerita adalah sayembara mendapatkan Sita (Shinta). Banyak adegan kisah kasih Sang Rama dan Shinta. Ini adalah kisah awal dalam Kitab Ramayana. Walaupun hanya berupa gerak tari dan musik, penonton tak beranjak dan sesekali memberi aplaus untuk penampilan dari tim negeri Mahatma Gandhi ini. Dengan pengantar sinopsis yang dibacakan MC, penonton diajak untuk memahami jalan cerita sendratari yang dipentaskan.
Kamboja tampil di urutan kedua. Tampil dengan kostum khasnya berupa baju-baju gemerlap dengan topi berujung runcing yang lucu. Sangat berbeda dengan penampil pertama, Tim Kamboja menyajikan Coronation Of Bharat dengan gerakan lemah lembut. Terkesan sedikit patah-patah. Mungkin juga ini tarian sakral keagamaan. Musiknya mendayu-ndayu. Di telinga, bunyi terompet seperti terompet Reog Ponorogo begitu dominan. Bagi saya, musik Kamboja ini demikian asing, Tapi tetap saja enak untuk dinikmati. Dengan jumlah pemain yang tak terlalu banyak, panggung terbuka Taman Candra Wilwatikta nampak terlalu luas untuk penampilan tim Kamboja. Namun, penonton tetap tak beranjak sampai pertunjukan usai. Lagi-lagi tepuk tangan meriah mengakhiri pementasan.
Surya Majapahit: Gayatri Rajapatni
Indonesia, diwakili STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya, tampil sebagai penutup di hari pertama Festival Majapahit 2013. Jika dua penampil sebelumnya (juga penampil dari negara lainnya) membawakan episode Ramayana, maka Indonesia tampil khas dengan cerita ber-setting Majapahit, sesuai tajuk festival. Secara guyonan, bolehlah disebut ini Festival Majapahit “rasa” Ramayana. Tapi saya bersyukur, karena berkesempatan menonton Ramayana di TCW yang konon pernah juga digelar di tempat ini tahun 1971.
Surya Majapahit, bercerita tentang proses berdirinya Majapahit setelah runtuhnya Singosari akibat serangan jayakatwang dari gelang-gelang. Empat putri Kertanegara (raja Singosari) yang diperistri Raden Wijaya harus merasakan duka nestapa yang dalam akibat peristiwa itu. Termasuk Gayatri Rajapatni, yang tercantik dan tercerdas. Namun selanjutnya, diceritakan liku-liku perjuangan Raden Wijaya yang akhirnya mampu menghancurkan Kerajaan Gelang-Gelang dan mendirikan Majapahit.
Majapahit di awal berdirinya penuh dengan berbagai macam intrik dan persoalan. Namun, Gayatri Rajapatni yang kemudian menjadi Ibu Suri sangat berkepentingan untuk mewujudkan cita-cita mempersatukan Nusantara. Seperti yang juga dicita-citakan ayahandanya: Kertanegara. Maka, di saat putrinya, Tribuwana Tunggadewi menjadi ratu, proses kejayaan Majapahit pun dimulai.
Akhirnya, muncul Sumpah Amukti Palapa, janji seorang Mahapatih di hadapan sang ratu untuk tidak berhenti mengabdi sebelum Nusantara dipersatukan. Sempat digambarkan pula di atas panggung, perang tanding Gajah Mada dan Jabung Terewes yang mengejek Gajah Mada. Jabung Terewes menganggap Gajah Mada bermulut besar dan tak akan sanggup menjalankan sumpahnya.
Dukungan property dan jumlah penari yang demikian banyak, menjadikan Surya Majapahit benar-benar kolosal. Apalagi di setiap sesi, suara merdu pesinden dan pengisi suara selalu mengalir nyaman di telinga. Penoton benar-benar bisa menikmati, karena gerak penari dan dukungan property mampu berbicara dan mewakili sebagian jalan cerita.
Maka, malam itu 11 September 2013, Gayatri Rajapatni dan Tribuwana Tunggadewi pun bangga dan gembira. Di tempat di mana dia dulu pernah singgah saat menemani sang Raja Hayam Wuruk sepulang blusukan dari Lumajang dipentaskan Sendratari yang dipersembahkan untuk mengenang dirinya. Di Taman Candra Wilwatikta yang luas inilah rombongan besar raja Majapahit dan seluruh Raja Jawa dan pembesar istana beristirahat sebelum berkunjung ke Jajawa: Candi Jawi yang jaraknya 500 meter di arah Selatan.
sumber
Festival Majapahit Internasional di Pandaan
Setelah 42 tahun sejak Festival Internasional Ramayana tahun 1971, kali ini digelar festival berskala internasional di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, 11-13 September 2013. Sebanyak 10 pertunjukan dari 9 negara bergiliran tampil tiga hari berturut-turut dalam perhelatan besar yang diberi nama Festival Majapahit Internasional.
Dr. H. Jarianto, M.Si, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Provinsi Jawa Timur menjelaskan bahwa meski menggunakan kata Majapahit sebagai namanya, namun ternyata hampir semua peserta menyajikan pertunjukan dengan tema Ramayana. “Mereka sudah Ramayana minded, ya gak papa, kita ingin mengangkat kebesaran Majapahit, bukan Ramayana,” jelasnya kepada wartawan dalam jumpa pers di Graha Wisata, Selasa siang (10/9).
Hari pertama, tiga negara akan membuka festival, yaitu India, Cambodia dan Indonesia yang kali ini diwakili oleh tim dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya yang menampilkan pertunjukan sendratari “Surya Majapahit.” Selain STKW, delegasi Indonesia juga diwakili oleh tim kesenian ISI Denpasar yang menyajikan “Kepandung Dewi Sinta” sebagai pergelaran paling akhir (13/9). Selain yang sudah disebut di atas, negara lain yang mengikuti festival dengan nelibatkan sekitar 600 seniman ini adalah Myanmar, Singapore, Malaysia dan Laos (tampil hari kedua), dan hari terakhir diisi dengan penampilan Filipina, Thailand dan Indonesia (Bali).
Sebagaimana diketahui, bahwa Taman Candra Wilwatikta sengaja dibangun dan dikelola oleh Yayasan Wilwatikta untuk menggelar festival Internasional Ramayana tahun 1971. Namun setelah itu nyaris tidak ada acara besar yang diselenggarakan di areal seluas 11 hektar ini. Maka pada tahun 2012, aset dan pengelolaannya dihibahkan ke Pemprov Jatim yang kemudian membentuk UPT Ekonomi Kreatif Taman Candra Wilwatikta Pandaan.
Penyelenggaraan festival kali ini juga terkait dengan cita-cita Presiden RI untuk mendirikan Taman Majapahit di Trowulan. Venue pertunjukan dengan panggung terbuka ini sanggup menampung penonton sebanyak 5000 duduk, bahkan sampai 10.000 orang kalau berdiri.
Jarianto tidak menjanjikan, apakah festival besar ini akan diselenggarakan secara berkala. “Akan dievaluasi dulu, tapi minimal tahun depan akan ada pentas berskala nasional,” jelasnya. (*)
sumber
aku kok ketinggalan..aku jg pengen nonton
setidaknya tahun ini katanya mau ada festival lagi yg berskala nasional di taman candra wilwatikta,semoga bisa nonton.
Jawa Timur pernah mencatat peristiwa kesenian yang besar, yaitu Festival Ramayana Internasional di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, tahun 1971. Peristiwa bersejarah itu kini diulangi lagi di tempat yang sama setelah 42 tahun berlalu. Hanya sayangnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan sudah menggelar Festival Ramayana Internasional di panggung terbuka candi Prambanan Yogyakarta, 6-9 September 2013. Alhasil, dengan peserta dan pertunjukan yang sama, pentas di Pandaan itu diberi nama lain, yaitu Festival Majapahit Internasional.
Spoiler for internasional majapahit festival 2013:
Satu-satunya penampilan yang menyajikan cerita Majapahit hanyalah salah satu delegasi Indonesia, yaitu STKW Surabaya, dengan pertunjukan berjudul “Surya Majapahit”. Itupun juga pentas ulang di tempat yang sama beberapa waktu yang lalu. Wakil Indonesia yang lain adalah ISI Denpasar, Bali. Maka pergelaran di Pandaan ini bagaikan pentas ulang festival di Prambanan, minus peserta dari Yogyakarta. Apa boleh buat, momen bersejarah itu sudah direbut oleh Prambanan, yang selama ini sudah rutin menggelar pergelaran Ramayana. Disamping itu, relief terlengkap epos Ramayana memang ada di Candi Prambanan.
Tapi ya sudahlah, terlepas dari pementasan ulang, patut disyukuri bahwa Taman Candra Wilwatikta kembali dihidupkan sebagai venue pertunjukan kolosal berskala internasional. Sebab keberadaan kompleks panggung terbuka itu memang sengaja dibangun untuk penyelenggaraan Festival Ramayana Internasional tersebut. Sayangnya, hajatan besar itulah yang pertama dan terakhir kalinya sampai dengan kali ini. Berbagai upaya untuk menghidupkan kembali dengan acara-acara serupa gagal dilakukan lantaran tidak sebanding dengan keluasan sarana yang tersedia. Sampai akhirnya, kepemilikan dan pengelolaan oleh Yayasan Wilwatikta itu diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Candra Wilwatikta, Pandaan.
Pergelaran di Pandaan ini setidaknya memberi kesempatan pada masyarakat luas yang tidak bisa menyaksikan Festival Ramayana di Pandaan. Apalagi, ini pertunjukan terbuka untuk umum, gratis, berbeda dengan di Prambanan yang eksklusif.
Spoiler for penampilan india:
Pada acara pembukaan Rabu malam, tampil tiga peserta, yaitu India (Sayembara Mendapatkan Sita), Kamboja (Penobatan Bharata) dan Indonesia (STKW) yaitu “Surya Majapahit”, setelah didahului dengan tari pembuka Bedaya Triloka. Sajian pertunjukan ini benar-benar menyegarkan, apalagi India yang selama ini secara psikologis sudah akrab dengan masyarakat Indonesia. Kebudayaan India sudah dikenal melalui film-filmnya. Bahkan, dalam film-film itu mereka “sudah pandai berbahasa Indonesia”. Dan bukan India namanya kalau tanpa tarian dan lagu-lagunya yang khas. Penampilan mereka sedemikian dinamis, dengan jumlah pemain sekitar 25 orang, namun mampu menguasai panggung.
Maka pada bagian awal pertunjukan ini, disemarakkan dengan nyanyi dan tari India yang nyaris tak pernah berhenti bergerak sedetikpun. Baru beberapa saat di ujung pertunjukan, disajikan adegan-adegan dialog dalam bahasa yang tentu saja tidak dapat dipahami penonton. Meski demikian, ceritanya sudah bisa ditebak, lantaran sudah ada sinopsis dan kisah mengenai sayembara Sita itu sudah populer dalam sastra wayang. Kisah ini menceritakan keberhasilan Rama dalam lomba memanah (berhasil membengkokkan busur) sebagai syarat mendapatkan Sita.
Bagaikan Ritual Budhis
Berbeda dengan penampilan India yang meriah, giliran Kamboja (Cambodia) suasananya bagaikan ritual sembahyang umat Budhis. Ngelangut seperti di vihara. Gerakan-gerakan penyajinya sedemikian lambat, seperti meditasi gerak. Jumlah pemainnya hanya sedikit. Maksimal hanya 8 orang yang berada di atas panggung. Permainan mereka hanya berpusat di sekitar altar di tengah panggung, sementara dua sayap panggung dibiarkan kosong. Satu hal yang menarik, dalam gerak-gerak tarinya sering memperagakan satu kaki yang diangkat menekuk.
Spoiler for penampilan cambodia:
Kisah yang dihadirkan oleh peserta Cambodia ini mengenai penobatan Bharata dan pengasingan Rama. Dikisahkan, saat Rama pulang ke Ayodhya, Dasaratha ingin menjadikan Rama sebagai raja. Namun istri Dasaratha, Kaikeyi tidak setuju karena hasutan Kubja, pelayan kesayangannya. Kubja membujuk Kaikeyi untuk supaya Dasaratha mengasingkan Rama dan menobatkan Bharata sebagai raja. Dasaratha memenuhi janjinya terhadap Kubja. Dasaratha mengusir Rama (juga Shinta) pergi ke pengasingan. Namun ketika Dasaratha wafat, Bharata, adik kedua Rama menolak tahta dari Dasaratha kemudian pergi ke hutan memanggil Rama untuk kembali ke Ayodhya menjadi raja. Namun Rama tetap tidak mau pulang. Rama kemudian memberikan alas kakinya kepada Bharata untuk dibawa pulang. Di Ayodhya, Bharata sebagai pengurus tahta menggelar upacara penobatan raja secara in absentia dengan menaruh alas kaki Rama di kaki tahta sebagai simbol. Bharata lalu menunggu kepulangan Rama.
Sebuah kisah yang menarik. Disajikan dengan intonasi yang tenang, seperti alunan air yang membuai. Pilihan pertunjukan ini ditempatkan di tengah, mengapit pertunjukan India dan Indonesia (STKW) rasanya tepat karena menjadi jeda diantara dua pertunjukan yang sama-sama bergemuruh.
Fragmen kisah Ramayana seperti ini memang relatif kurang populer. Selama ini yang banyak ditonjolkan adalah peperangan Rama melawan Rahwana. Ketika Cambodia menyajikan proses pengasingan Rama akibat hasutan ini, seperti menghadirkan sebuah pelajaran mengenai kebaikan, keteguhan dan kesabaran.
Epos Ramayana memang lahir di India dan menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia. Di masing-masing negara itu, epos ini berkembang sesuai karakter dan budaya masyarakat. Namun di
negara-negara Indo Cina, semisal Myanmar, Laos, dan Thailand, epos ini berkembang nyaris seragam. Sementara di Indonesia sendiri, epos ini tak hanya berkembang menjadi produk kesenian. Namun juga filosofi kehidupan.
satu-satunya Majapahit
Satu-satunya pementasan selain Ramayana adalah “Surya Majapahit” yang disajikan oleh tim kesenian Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Barangkali lantaran pementasan inilah maka nama festival inipun layak disebut Festival Majapahit Internasional, dan bukan Festival Ramayana. Setidaknya dengan adanya pertunjukan ini maka delegasi yang lain mendapatkan sajian yang berbeda dengan Festival Ramayana di Prambanan minggu sebelumnya. Repertoar ini sudah pernah dipentaskan di tempat yang sama setahun yang lalu, ketika dilangsungkan pembukaan Temu Taman Budaya se-Indonesia. Fragmennya juga disajikan dalam pembukaan Pekan Seni Pelajar di Taman Surya Surabaya. Bahkan pernah juga disajikan di Gedung Negara Grahadi Surabaya.
Spoiler for Surya Majapahit, delegasi STK:
Kisahnya mengenai sosok Gayatri, figur penting dalam kerajaan Majapahit yang hampir kalah populer dengan raja-raja Majapahit lainnya. Padahal ibu dialah yang menjadi think tank kerajaan ketika Gadjah Mada menjadi Mahapatih dan kerajaan dipimpin Tribuana Tunggadewi, puterinya. Gayatri menjadi ibu suri yang sangat berpengaruh, bahkan setelah raja Majapahit dijabat oleh Hayam Wuruk. Sosok mengenai hayam Wuruk itu juga dihadirkan sisi berbeda yang selama ini juga kurang ditonjolkan. Bahwa Hayam Wuruk adalah raja yang bijaksana, suka berkunjung ke rakyatnya seperti blusukan gaya Jokowi. Bahkan Hayam Wuruk adalah juga seniman topeng yang handal.
Sebagai tuan rumah, Tim STKW memang tampil lebih siap sebagai satu-satunya peserta yang paling banyak menghadirkan pemain. Tatalampu juga dimanfaatkan semaksimal mungkin, menjadi satu-satunya penyaji yang glamour, menggunakan sorot lampu dari belakang panggung. Sayang klip on yang digunakan Hayam Wuruk beberapa kali mati, padahal sudah diganti setiap kali masuk ke belakang panggung. Dan kesan secara umum, pertunjukan kali ini tidak sebagus tahun yang lalu. (*)
sumber
Spektakuler, Gayatri Rajapatni Pun Tersenyum
Spoiler for Patung Tribuwana Tunggadewi di Halaman Taman Candra Wilwatikta:
Seandainya hadir,Gayatri Rajapatni dan Tribuwana Tunggadewi akan tersenyum bahagia. Pergelaran sendratari kolosal dalam ajang Festival Majapahit 2013 garapan STKW Surabaya bertajuk “Surya Majapahit, Gayatri Rajapatni”, saya yang awam mengatakannya sukses dan spektakuler. Penampilan tariannya memukau, penontonnya padat. Tak ada tempat duduk lowong di Ampitheater yang kapasitasnya 10.000 orang terebut.
Koreografi, semangat, dan keluwesan gerak para peraga, property pendukung serta tata lampu mampu membuat tontonan penutup di hari pertama Festival Majapahit 2013 benar-benar meriah. Ditunjang pula, sound system yang nyaman dan tidak nylekit, walaupun hentakan kendang Jawa Timuran berkali-kali mampir di telinga. Berulang-ulang aplaus apresiasi penonton menggema di seantero Ampitheater Taman Candra Wilwatikta seakan mampu mengusir hawa dingin yang mulai menyelusup.
Spoiler for Ampitheater berlatar Gunung Penanggungan:
Spoiler for :
India dan Kamboja
Hari pertama Festival Majapahit 2013 di Taman Candra Wilwatikta Pandaan, menampilkan 3 negara. India, Kamboja dan Indonesia. India, sebagai tempat asal Kitab Ramayana, tampil dengan ciri khasnya. Tabuhan musik India rancak ditingkahi gerak lenggak-lenggok yang lincah. Ala film Bollywood. Kostumnya khas, seperti yang sering kita lihat di Film Mahabarata yang pernah diputar di stasiun TV Tanah Air.
Spoiler for India: Sayembara mendapatkan Shinta :
Bertajuk The Swayamvara for Sita, tim kesenian India tampil lumayan menghibur. Inti cerita adalah sayembara mendapatkan Sita (Shinta). Banyak adegan kisah kasih Sang Rama dan Shinta. Ini adalah kisah awal dalam Kitab Ramayana. Walaupun hanya berupa gerak tari dan musik, penonton tak beranjak dan sesekali memberi aplaus untuk penampilan dari tim negeri Mahatma Gandhi ini. Dengan pengantar sinopsis yang dibacakan MC, penonton diajak untuk memahami jalan cerita sendratari yang dipentaskan.
Kamboja tampil di urutan kedua. Tampil dengan kostum khasnya berupa baju-baju gemerlap dengan topi berujung runcing yang lucu. Sangat berbeda dengan penampil pertama, Tim Kamboja menyajikan Coronation Of Bharat dengan gerakan lemah lembut. Terkesan sedikit patah-patah. Mungkin juga ini tarian sakral keagamaan. Musiknya mendayu-ndayu. Di telinga, bunyi terompet seperti terompet Reog Ponorogo begitu dominan. Bagi saya, musik Kamboja ini demikian asing, Tapi tetap saja enak untuk dinikmati. Dengan jumlah pemain yang tak terlalu banyak, panggung terbuka Taman Candra Wilwatikta nampak terlalu luas untuk penampilan tim Kamboja. Namun, penonton tetap tak beranjak sampai pertunjukan usai. Lagi-lagi tepuk tangan meriah mengakhiri pementasan.
Surya Majapahit: Gayatri Rajapatni
Indonesia, diwakili STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya, tampil sebagai penutup di hari pertama Festival Majapahit 2013. Jika dua penampil sebelumnya (juga penampil dari negara lainnya) membawakan episode Ramayana, maka Indonesia tampil khas dengan cerita ber-setting Majapahit, sesuai tajuk festival. Secara guyonan, bolehlah disebut ini Festival Majapahit “rasa” Ramayana. Tapi saya bersyukur, karena berkesempatan menonton Ramayana di TCW yang konon pernah juga digelar di tempat ini tahun 1971.
Surya Majapahit, bercerita tentang proses berdirinya Majapahit setelah runtuhnya Singosari akibat serangan jayakatwang dari gelang-gelang. Empat putri Kertanegara (raja Singosari) yang diperistri Raden Wijaya harus merasakan duka nestapa yang dalam akibat peristiwa itu. Termasuk Gayatri Rajapatni, yang tercantik dan tercerdas. Namun selanjutnya, diceritakan liku-liku perjuangan Raden Wijaya yang akhirnya mampu menghancurkan Kerajaan Gelang-Gelang dan mendirikan Majapahit.
Majapahit di awal berdirinya penuh dengan berbagai macam intrik dan persoalan. Namun, Gayatri Rajapatni yang kemudian menjadi Ibu Suri sangat berkepentingan untuk mewujudkan cita-cita mempersatukan Nusantara. Seperti yang juga dicita-citakan ayahandanya: Kertanegara. Maka, di saat putrinya, Tribuwana Tunggadewi menjadi ratu, proses kejayaan Majapahit pun dimulai.
Akhirnya, muncul Sumpah Amukti Palapa, janji seorang Mahapatih di hadapan sang ratu untuk tidak berhenti mengabdi sebelum Nusantara dipersatukan. Sempat digambarkan pula di atas panggung, perang tanding Gajah Mada dan Jabung Terewes yang mengejek Gajah Mada. Jabung Terewes menganggap Gajah Mada bermulut besar dan tak akan sanggup menjalankan sumpahnya.
Dukungan property dan jumlah penari yang demikian banyak, menjadikan Surya Majapahit benar-benar kolosal. Apalagi di setiap sesi, suara merdu pesinden dan pengisi suara selalu mengalir nyaman di telinga. Penoton benar-benar bisa menikmati, karena gerak penari dan dukungan property mampu berbicara dan mewakili sebagian jalan cerita.
Maka, malam itu 11 September 2013, Gayatri Rajapatni dan Tribuwana Tunggadewi pun bangga dan gembira. Di tempat di mana dia dulu pernah singgah saat menemani sang Raja Hayam Wuruk sepulang blusukan dari Lumajang dipentaskan Sendratari yang dipersembahkan untuk mengenang dirinya. Di Taman Candra Wilwatikta yang luas inilah rombongan besar raja Majapahit dan seluruh Raja Jawa dan pembesar istana beristirahat sebelum berkunjung ke Jajawa: Candi Jawi yang jaraknya 500 meter di arah Selatan.
Spoiler for Surya Majapahit: Gayatri Rajapatni:
Spoiler for bonus pic:
sumber
Festival Majapahit Internasional di Pandaan
Setelah 42 tahun sejak Festival Internasional Ramayana tahun 1971, kali ini digelar festival berskala internasional di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, 11-13 September 2013. Sebanyak 10 pertunjukan dari 9 negara bergiliran tampil tiga hari berturut-turut dalam perhelatan besar yang diberi nama Festival Majapahit Internasional.
Dr. H. Jarianto, M.Si, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Provinsi Jawa Timur menjelaskan bahwa meski menggunakan kata Majapahit sebagai namanya, namun ternyata hampir semua peserta menyajikan pertunjukan dengan tema Ramayana. “Mereka sudah Ramayana minded, ya gak papa, kita ingin mengangkat kebesaran Majapahit, bukan Ramayana,” jelasnya kepada wartawan dalam jumpa pers di Graha Wisata, Selasa siang (10/9).
Hari pertama, tiga negara akan membuka festival, yaitu India, Cambodia dan Indonesia yang kali ini diwakili oleh tim dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya yang menampilkan pertunjukan sendratari “Surya Majapahit.” Selain STKW, delegasi Indonesia juga diwakili oleh tim kesenian ISI Denpasar yang menyajikan “Kepandung Dewi Sinta” sebagai pergelaran paling akhir (13/9). Selain yang sudah disebut di atas, negara lain yang mengikuti festival dengan nelibatkan sekitar 600 seniman ini adalah Myanmar, Singapore, Malaysia dan Laos (tampil hari kedua), dan hari terakhir diisi dengan penampilan Filipina, Thailand dan Indonesia (Bali).
Sebagaimana diketahui, bahwa Taman Candra Wilwatikta sengaja dibangun dan dikelola oleh Yayasan Wilwatikta untuk menggelar festival Internasional Ramayana tahun 1971. Namun setelah itu nyaris tidak ada acara besar yang diselenggarakan di areal seluas 11 hektar ini. Maka pada tahun 2012, aset dan pengelolaannya dihibahkan ke Pemprov Jatim yang kemudian membentuk UPT Ekonomi Kreatif Taman Candra Wilwatikta Pandaan.
Penyelenggaraan festival kali ini juga terkait dengan cita-cita Presiden RI untuk mendirikan Taman Majapahit di Trowulan. Venue pertunjukan dengan panggung terbuka ini sanggup menampung penonton sebanyak 5000 duduk, bahkan sampai 10.000 orang kalau berdiri.
Jarianto tidak menjanjikan, apakah festival besar ini akan diselenggarakan secara berkala. “Akan dievaluasi dulu, tapi minimal tahun depan akan ada pentas berskala nasional,” jelasnya. (*)
sumber
aku kok ketinggalan..aku jg pengen nonton

setidaknya tahun ini katanya mau ada festival lagi yg berskala nasional di taman candra wilwatikta,semoga bisa nonton.
Diubah oleh Kwek.Kwek.Kwek 12-01-2014 20:29
0

mau kasih judul apaan 







[


