TS
AtelierAMH
[Thread Lomba] Fikbul Fanstuff Desember 2013 | Lomba Cerpen Bulanan
Quote:
Apa Itu Fikbul?
Bisa dibaca di Thread Komentarya ^^
Kalau mau ngobrol atau komentar juga tolong dilakukan disana agar thread ini tetap rapi.
Bisa dibaca di Thread Komentarya ^^
Kalau mau ngobrol atau komentar juga tolong dilakukan disana agar thread ini tetap rapi.
Quote:
Peraturan:
- Cerita yang diikutkan merupakan cerita orisinil (bukan fanfic), genre bebas.
- Setiap cerita berpanjang maksimal 1 (satu) post Kaskus dengan tag spoiler tanpa panjang minimal. Berarti 20000 karakter adalah panjang maksimal yang bisa diterimam dan itu belum termasuk BBcode untuk italic, bold, dan lain-lain. Jadi dimohon ingat perhitungan hal-hal teknis, terutama apabila mereka penting, dan ingat juga jumlah space.
- Plagiarisme = Diskualifikasi. Peringatan. BAN ID.
- Cerita harap ditulis dengan tata bahasa dan tata letak baik. Diharap tidak ada typo yang eksesif (penyuntingan masih diperkenankan seizin juri sampai batas tenggat waktu; di luar itu dilarang).
- Semua cerita yang diikutkan tetap milik peserta. Kalaupun circle berniat membukukan cerita tsb., harus tetap dengan seizin pemilik cerita. Melombakan cerita yang diikutkan atau mengembangkannya diperbolehkan.
- Pengomentaran cerita dilakukan di thread komentar. Dilarang mengepost di thread ini selain mengikutsertakan cerita. Memesan tempat tidak diperkenankan.
- Pertanyaan ditanyakan di thread komentar.
- Juri diperbolehkan ikut, akan tetapi cerita mereka tidak diikutsertakan dalam kompetisi (hanya sebagai penggembira).
Quote:
Juri Bulan Ini:
-Ekka4shiki
-Undesco
-Shangar
-Ekka4shiki
-Undesco
-Shangar
Quote:
Soal Fikbul Bulan Ini:
Natal
Bukan, tema aslinya itu dibawah ini >__<
"Pohon"
Masih berhubungan dengan suasana Desember yaitu hari natal, maka tema untuk bulan ini adalah pohon. Kalian harus menulis cerita yang berkisar tentang pohon, apakah pohon itu karakter utamanya, benda penting, atau tempat pertemuan dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Intinya pohon disini harus pohon dalam artian harfiah, tapi bebas kalian mau menjadikan pohon itu apa sentral cerita berpusat pada pohon tersebut
Natal
Bukan, tema aslinya itu dibawah ini >__<
"Pohon"
Masih berhubungan dengan suasana Desember yaitu hari natal, maka tema untuk bulan ini adalah pohon. Kalian harus menulis cerita yang berkisar tentang pohon, apakah pohon itu karakter utamanya, benda penting, atau tempat pertemuan dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Intinya pohon disini harus pohon dalam artian harfiah, tapi bebas kalian mau menjadikan pohon itu apa sentral cerita berpusat pada pohon tersebut
Quote:
Rentang Waktu:
Penyerahan/Penempelan Cerita : 10 Desember - 1 Januari 2014
Penjurian : 1 Januari - 8 Januari 2014
Pengumuman : 9 Januari 2014
Penyerahan/Penempelan Cerita : 10 Desember - 1 Januari 2014
Penjurian : 1 Januari - 8 Januari 2014
Pengumuman : 9 Januari 2014
Diubah oleh AtelierAMH 10-12-2013 12:57
0
2.2K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•259Anggota
Tampilkan semua post
merpati98
#8
Pohon Harapan
Spoiler for story:
Hari ini seharusnya berjalan seperti biasa. Hari ini seharusnya dia tetap berada di dalam ruang perpustakaan universitas, di balik meja, di depan layar komputer yang menyala. Begitulah, seharusnya hari ini berjalan. Begitulah, yang seharusnya dia lakukan sekarang. Begitulah, seharusnya dan yang seharusnya.
Mariabell tidak mengerti kapan dan bagaimana sebuah gangguan bisa datang dan menginterupsinya dari hari yang seharusnya itu.
“Mary! Kemari!”
Gadis yang dipanggil Mary itu menoleh. Mata birunya melihat gadis berambut pirang—sama seperti dia—berdiri beberapa meter darinya, sedang melambaikan tangan ke arahnya, di antara tumpukan sampah yang menggunung di sekitar mereka.
Ya. Tumpukan sampah.
Gadis itu menghela napas. Tidak percaya dia beberapa jam yang lalu bisa menyetujui ajakan Belle untuk pergi ke tempat seperti ini. Biarpun memang, teman masa kecilnya itu selalu punya cara untuk membuatnya mengiyakan apa yang dia minta. Mary menghela napas lagi. Kecewa dengan kelemahannya yang satu ini.
“Mary!”
*~*~*
Cerita ini adalah cerita yang terlarang. Kisah yang tidak boleh lagi disuarakan. Dongeng yang tidak pernah lagi dibunyikan. Serta sejarah yang dihilangkan dalam rekaman catatan. Ketika harapan sebaiknya tidak lagi ditumbuhkan. Ketika mimpi sebaiknya tidak pernah lagi dimulai. Ketika itulah, cerita ini ditiadakan.
“Sekarang… bagaimana kalau kita beri judul cerita ini, Pohon Harapan?”
Laki-laki itu bertanya pada ruang sunyi di hadapannya dengan suara lantang, seperti memproklamasikan sesuatu.
*~*~*
Nama kedua gadis itu Mariabell. Mereka bukan kembar, bukan juga saudara. Mereka hanya teman sejak kecil yang kebetulan mempunyai warna rambut, nama, dan tanggal lahir yang sama. Kalau saja di daftar tadi ditambah orang tua, mungkin mereka akan menjadi kembar. Tapi untunglah, bukan.
Karena sesayang apapun Mary pada Belle, dia tidak yakin bisa mentolerir tingkah temannya selama itu jika mereka juga hidup dalam satu atap. Keduanya, meskipun berbagi hal yang sama, juga berbagi banyak hal yang berbeda.
Mary, sebagai contohnya, lebih menyukai ketenangan, dimana dia bisa membaca buku tanpa gangguan. Belle, sebagai kebalikannya, menyukai petualangan, dimana dia bisa menemukan banyak hal menarik di dalamnya.
Mary, sebagai contoh lainnya, tidak terlalu peduli dengan penampilan dan lebih suka baju-baju yang menurutnya nyaman dipakai. Belle, sebagai kebalikan lainnya, adalah gadis cantik yang tahu bagaimana sebaiknya mempresentasikan diri tanpa terlihat berlebihan.
Tentu saja. Itu bukan masalah dalam pertemanan mereka. Yang masalah adalah kemampuan Belle dalam membuat Mary menyetujui hampir semua ajakannya. Seperti dulu, ketika dia dipaksa ikut pergi menjelajah entah kemana. Seperti dulu, ketika dia terpaksa mengenakan pakaian yang direkomendasikan Belle padanya.
Jadi, tidak mengherankan kan… ketika Belle, siang itu, tiba-tiba saja muncul di hadapannya dan—
“Mary! Ayo kita pergi mencari pohon harapan!”
--berkata dengan antusiasme yang sama seperti dulu, saat mereka masih berumur sepuluh tahun, Mary mengiyakan juga pada akhirnya.
*~*~*
Tahun 20XX adalah tahun berakhirnya langit biru dan tanah hijau. Tahun ketika semua manusia hidup di dalam sebuah kapsul yang melayang di atas daratan cokelat bercampur abu, tumpukan sampah masa lalu. Tahun ketika semua manusia melihat ke atas, dan melihat langit abu-abu sebagai pengganti langit mereka sebelumnya. Pada saat itu, dibuatlah cerita mengenai sebuah harapan.
Semoga, suatu saat nanti, mereka akan bisa kembali ke bawah, ke tanah yang kokoh, yang menyimpan berbagai potensi.
Semoga, suatu saat nanti, mereka akan bisa lagi melihat ke atas, dan melihat langit biru yang bersih tanpa asap bekas polusi.
Semoga, suatu saat nanti, akan tumbuh pohon hijau baru, yang kemudian akan memenuhi bumi, seperti waktu dulu kala.
“Lalu… bagaimana cerita ini kemudian menjadi cerita yang terlarang?”
Laki-laki itu bertanya pada ruangan sepi di hadapannya. Lantang, seolah menantikan jawaban.
*~*~*
“Apa maksudmu pohon harapan?”
Mary, tidak mengindahkan tatapan memohon dari temannya, memilih tetap menatap layar kaca di hadapannya. Hari ini ada katalog yang harus segera dia selesaikan untuk mengarsipkan data-data baru yang kemarin mereka dapat. Bukan waktunya untuk ia mendengarkan rengekan Belle mengenai mimpi dan fantasi.
“Kamu tahu apa yang kubicarakan, Mary,” ucap gadis cantik itu dengan penuh keyakinan. “Kamu, orang yang berkecimpung di bidang sejarah, seharusnya mengetahui itu lebih baik daripadaku.”
Dan dia memang tahu. Tahu kalau apa yang dibicarakan Belle seharusnya merupakan sebuah rahasia. Tahu kalau apa yang dibicarakan Belle seharusnya tidak diketahui oleh orang-orang pada umumnya.
“Baiklah, Nona Geologi. Aku tahu, sebagaimana kamu juga tahu, kalau kita tidak boleh mengetahui soal itu,” jawab Mary dengan nada datar. “Dan kamu juga mengerti kan kalau itu semua hanyalah dongeng? Mimpi-mimpi orang dulu yang menjadi sebuah kisah. Bukan sejarah.”
Belle tersenyum mencurigakan mendengar pernyataannya. Gadis itu menyandarkan badannya ke arah meja jaga tempat Mary bekerja, membiarkan rambut pirang bergelombangnya jatuh ke atas permukaan. “Oh… aku rasa kamu tidak bisa seyakin itu, Mariabell.”
“Namamu juga Mariabell,” balas Mary setengah putus asa.
“Ya. Aku, Mariabell yang mempelajari Geologi. Kamu, Mariabell, yang mempelajari Sejarah,” ucap Belle masih dengan senyum cantik menghias wajahnya. “Kamu mengerti maksudku kan? Kemungkinan itu ada, Mary. Di bumi ini… dulu sekali, pernah ada sesuatu yang dinamakan pohon. Pernah ada waktu ketika langit berwarna lain. Pernah ada waktu ketika kita tidak hidup di atas seperti ini.”
“Tidak ada bukti yang menunjang itu, Belle sayang,” kata Mary, memijit keningnya yang mendadak terasa pusing. “Tidak ada data dalam arsip resmi yang pernah menyatakan hal seperti itu.”
Dia menyadari kesalahannya menambahkan keterangan ‘resmi’ terlalu lama. Meskipun itu benar, terkadang ada sesuatu yang sebaiknya tidak usah diucapkan secara detail. Oh. Ini bukan tentang politik, tentu saja. Hanya sekedar pemberian porsi informasi.
*~*~*
Dulu, dulu sekali. Awal kehidupan baru mereka di atas, manusia masih memimpikan kehidupan di bawah. Berkali-kali kelompok peneliti dikirim turun, melihat situasi dan kondisi di sana. Memperkirakan langkah-langkah yang harus mereka lakukan untuk memperbaikinya. Mencari-cari tanda-tanda kehidupan yang tersisa di atas permukaannya.
Bertahun-tahun hal ini terus dilakukan. Bertahun-tahun itu pula, tidak ada perubahan yang berarti yang bisa diharapkan. Namun manusia masih mempertahankan harapannya. Mempertahankan mimpinya. Suatu saat nanti, pasti terjadi.
“Lalu… bagaimana kemudian harapan itu berubah seratus delapan puluh derajat menjadi keputusasaan?”
Laki-laki itu bertanya masih pada ruang kosong di hadapannya. Masih dengan suara lantang, yang seperti memprotes takdir yang sedang berjalan.
*~*~*
“Pengamatan terbaru menunjukkan hasil yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Belle menerangkan. Wajahnya cantiknya tertutup helm, sementara tubuhnya terlindung pakaian pengaman yang wajib digunakan saat turun ke bawah. “Ada sesuatu yang tidak biasa muncul di permukaan bumi.”
Mary memutar bola matanya. Oh ya. Tentu saja. Sesuatu yang tidak biasa. Bukan berarti sesuatu itu adalah hal yang positif. Keduanya baru saja turun dari kapsul kota tempat mereka tinggal, dan melihat keadaan sekeliling, ketika Belle memutuskan untuk menjelaskan alasan ekspedisi. Mary tidak tahu bagaimana Belle bisa membuat penjaga portal membiarkan mereka turun tanpa surat izin resmi dan sejenisnya.
“Jangan skeptis begitu,” ucap Belle, menangkap gerak mata Mary dari balik helm yang mereka kenakan. “Bukankah menyenangkan kalau pohon yang kita cari benar adanya?”
Gadis bermata biru itu tidak menjawab. Memilih melayangkan pandangannya pada tumpukan sampah di sekitarnya dengan perasaan muram. Dari dulu, dia tidak pernah suka dengan pemandangan di bawah. Terlalu sedih. Terlalu suram.
Benarkah dulu mereka tinggal di sini? Di tempat seperti ini? Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin bisa? Sementara dia, sekarang, harus mengenakan pakaian layaknya astronot untuk bisa tahan berdiri di sini.
“Beritahu aku, Belle,” ucap Mary setelah beberapa saat terdiam. “Kalau memang muncul hasil yang berbeda, kenapa tidak ada orang lain yang menyelidikinya? Kenapa kamu malah mengajakku, orang yang tidak ada hubungannya dengan bidang ini, turun?”
Belle terdiam.
“Kamu tahu kenapa kan, Belle? Kenapa mereka tidak lagi mengirimkan tim peneliti ke bawah? Kenapa mereka tidak lagi melakukan apapun? Dan kenapa bidang geologi mempunyai sedikit sekali orang?” lanjut gadis itu dengan suara parau. Mata birunya, mata yang dulu dikatakan sewarna dengan langit, memandang wajah temannya seksama. “Belle?”
Gadis yang dipanggil Belle memalingkan wajah. Tidak membiarkan mata hijaunya membalas tatapan temannya.
“Aku tidak tahu, Mary,” kata Belle pelan. “Aku sekarang bekerja sendirian. Rekan kerjaku yang lain telah pindah ke bidang yang lebih...”
Dia berhenti sejenak. Mencari kata. “Menarik,” katanya kemudian dengan nada sinis.
*~*~*
Suatu ketika, seorang peneliti menemukan hasil yang berbeda ketika melihat layar menitor pengamatannya. Suatu ketika, seorang presiden mengumumkan itu pada rakyatnya. Suatu ketika, sekelompok ilmuwan diturunkan untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai hal tersebut. Suatu ketika itu juga rakyat marah dan kecewa.
“...”
Laki-laki itu terdiam. Membiarkan keheningan mengisi ruangan, tanpa suara lantangnya.
*~*~*
“Sesuatu yang berbeda itu menunjukkan hasil yang negatif,” kata Mary dengan mata memicing. Mengulang kembali kisah yang dia baca dari satu data tidak resmi yang telah rusak, yang ditemukannya di sudut-sudut tempat penyimpanan informasi lama. Ah. Betapa terkadang dia membenci sejarah, seperti juga dia membenci geologi. “Tanda bahwa bumi semakin tidak cocok untuk ditinggali.”
Belle balas memicing. “Ada yang kamu lupakan, Mary had a little lamb.”
“Jangan panggil aku begitu, Bell,” desis Mary.
“Yang membuat sesuatu itu dianggap negatif,” kata Belle, tidak mengindahkan. “Adalah karena kecelakaan—ledakan—yang terjadi ketika tim peneliti turun ke bawah kan?”
“Kalimatmu tidak efektif,” komentar Mary datar.
“Kecelakaan yang menewaskan banyak orang itu lah… yang dikatakan sebagai tanda negatif. Sementara ledakan itu sendiri kemungkinan terjadi karena pertemuan reaksi kimia bahan-bahan—sampah—di bawah sini,” ujar Belle, lagi-lagi, tidak mengindahkan. “Tapi tidak ada bukti yang mengatakan bumi semakin memburuk. Biarpun, ya, tidak juga dibilang membaik.”
*~*~*
Laki-laki itu membuka mulut kembali. Membiarkan ruangan tersebut kembali terisi suara dari dalam tenggorokannya.
“Sekarang… bagaimana kalau sebenarnya telah tumbuh sesuatu yang kita harapkan di bawah sana? Bagaimana ketika usaha dihentikan, tumbuh pohon harapan yang telah kita nanti-nantikan? Bagaimana kalau ledakan tersebut adalah tanda terjadinya sesuatu yang baik?”
Laki-laki memiringkan kepalanya. Mengubah nada suaranya menjadi heran dan bertanya.
“Bukankah ada yang bilang, sesuatu yang baik datang ketika hal buruk terjadi?”
*~*~*
“Mary! Kemari!”
Mary melangkahkan kakinya, mendekat. Melihat Belle mengutak-atik alat di tangannya dengan muka serius di atas sebuah benda yang tidak bisa lagi dia mengerti bagaimana bentuk dan fungsinya. “Apa yang kamu temukan?”
“Di sini,” jawab Belle tanpa menjawab. Tangannya menunjuk ke arah dekat kakinya. “Di sini reaksinya muncul.”
Mary menatap ke tempat yang ditunjuk Belle. Tidak melihat adanya perbedaan antara di sini, di sana, dan dimanapun yang ia lihat. Sama-sama permukaan abu bekas sampah dicampur sedikit cokelat. Sesuatu? Mananya?
“Kita perlu menggali sedikit,” ucap Belle seperti mengerti apa yang dipikirkan Mary. Atau mungkin dia memang mengerti. “Aku bawa alatnya.”
“Ya. Tapi berjanjilah padaku. Kalau ini tidak menghasilkan apa-apa, kita segera kembali ke atas,” kata Mary. “Aku tidak mau berlama-lama di tempat seperti ini.”
Belle mengedikkan bahunya. “Bukankah menyenangkan tidak perlu takut akan munculnya angin besar yang bisa menggoyangkan kapsul?”
Mary menatap temannya dengan pandangan penuh arti. Beberapa saat berlalu, Belle akhirnya mengangguk. “Sesuai kehendakmu, Ratu.”
“Kalau sesuai kehendakku, kita sudah berada di atas sekarang,” balas Mary, menerima alat yang disodorkan Belle padanya. Benda berbentuk tabung panjang seukuran lengan orang dewasa. “Rasanya ini berbahaya.”
“…memang,” ujar Belle.
“Kamu motivator yang baik, Belle,” kata Mary sambil mengangkat benda tersebut ke atas bahunya.
“Terima kasih,” balas gadis tersebut. “Aku tahu.”
Mary tidak membalas lagi. Tidak ada gunanya juga. Bagaimanapun, yang waras memang yang mengalah.
Gadis itu beranjak mundur. Mendengarkan Belle menginstruksikan cara pakai alat yang dipegangnya, sambil melangkah. Kedua gadis itu sekarang berdiri beberapa meter jauhnya dari tempat yang tadi ditunjuk Belle.
“Dalam hitungan ke-tiga! Satu…! Dua…! Tiga…!”
*~*~*
Pohon harapan adalah sebuah mimpi. Sebuah dongeng. Dan sebuah sejarah.
Ketika mimpi menjadi nyata. Ketika dongeng menjadi realita. Ketika sejarah
menjadi fakta yang aktual.
Mungkinkah itu terjadi?
Mungkinkah itu terjadi…
Dengan menunggu itu terjadi?
“Mungkinkah? Tidak mungkin.”
Laki-laki itu menjawab dengan nada mencemooh.
*~*~*
Kejadian itu berlalu begitu cepat. Ketika Belle meneriakkan tiga. Ketika keduanya menekan tombol pengaktif alat. Ketika ledakan yang muncul setelahnya terlihat di depan mata. Ketika Belle menariknya menjauh dari tempat itu. Ketika mereka susah payah, dengan napas yang hampir habis—karena pakaian pengaman yang rusak terkena letusan—mencapai lift yang membawa mereka kembali ke atas.
Ketika akhirnya semua berakhir. Ketika kemudian Belle menyelinap ke kamar rumah sakitnya malam itu dengan luka-luka yang hampir sama di sekujur tubuhnya, Mary tiba-tiba teringat sebuah kalimat yang pernah dibacanya dalam data.
“Sejarah yang terulang kembali.”
Mariabell tidak mengerti kapan dan bagaimana sebuah gangguan bisa datang dan menginterupsinya dari hari yang seharusnya itu.
“Mary! Kemari!”
Gadis yang dipanggil Mary itu menoleh. Mata birunya melihat gadis berambut pirang—sama seperti dia—berdiri beberapa meter darinya, sedang melambaikan tangan ke arahnya, di antara tumpukan sampah yang menggunung di sekitar mereka.
Ya. Tumpukan sampah.
Gadis itu menghela napas. Tidak percaya dia beberapa jam yang lalu bisa menyetujui ajakan Belle untuk pergi ke tempat seperti ini. Biarpun memang, teman masa kecilnya itu selalu punya cara untuk membuatnya mengiyakan apa yang dia minta. Mary menghela napas lagi. Kecewa dengan kelemahannya yang satu ini.
“Mary!”
*~*~*
Cerita ini adalah cerita yang terlarang. Kisah yang tidak boleh lagi disuarakan. Dongeng yang tidak pernah lagi dibunyikan. Serta sejarah yang dihilangkan dalam rekaman catatan. Ketika harapan sebaiknya tidak lagi ditumbuhkan. Ketika mimpi sebaiknya tidak pernah lagi dimulai. Ketika itulah, cerita ini ditiadakan.
“Sekarang… bagaimana kalau kita beri judul cerita ini, Pohon Harapan?”
Laki-laki itu bertanya pada ruang sunyi di hadapannya dengan suara lantang, seperti memproklamasikan sesuatu.
*~*~*
Nama kedua gadis itu Mariabell. Mereka bukan kembar, bukan juga saudara. Mereka hanya teman sejak kecil yang kebetulan mempunyai warna rambut, nama, dan tanggal lahir yang sama. Kalau saja di daftar tadi ditambah orang tua, mungkin mereka akan menjadi kembar. Tapi untunglah, bukan.
Karena sesayang apapun Mary pada Belle, dia tidak yakin bisa mentolerir tingkah temannya selama itu jika mereka juga hidup dalam satu atap. Keduanya, meskipun berbagi hal yang sama, juga berbagi banyak hal yang berbeda.
Mary, sebagai contohnya, lebih menyukai ketenangan, dimana dia bisa membaca buku tanpa gangguan. Belle, sebagai kebalikannya, menyukai petualangan, dimana dia bisa menemukan banyak hal menarik di dalamnya.
Mary, sebagai contoh lainnya, tidak terlalu peduli dengan penampilan dan lebih suka baju-baju yang menurutnya nyaman dipakai. Belle, sebagai kebalikan lainnya, adalah gadis cantik yang tahu bagaimana sebaiknya mempresentasikan diri tanpa terlihat berlebihan.
Tentu saja. Itu bukan masalah dalam pertemanan mereka. Yang masalah adalah kemampuan Belle dalam membuat Mary menyetujui hampir semua ajakannya. Seperti dulu, ketika dia dipaksa ikut pergi menjelajah entah kemana. Seperti dulu, ketika dia terpaksa mengenakan pakaian yang direkomendasikan Belle padanya.
Jadi, tidak mengherankan kan… ketika Belle, siang itu, tiba-tiba saja muncul di hadapannya dan—
“Mary! Ayo kita pergi mencari pohon harapan!”
--berkata dengan antusiasme yang sama seperti dulu, saat mereka masih berumur sepuluh tahun, Mary mengiyakan juga pada akhirnya.
*~*~*
Tahun 20XX adalah tahun berakhirnya langit biru dan tanah hijau. Tahun ketika semua manusia hidup di dalam sebuah kapsul yang melayang di atas daratan cokelat bercampur abu, tumpukan sampah masa lalu. Tahun ketika semua manusia melihat ke atas, dan melihat langit abu-abu sebagai pengganti langit mereka sebelumnya. Pada saat itu, dibuatlah cerita mengenai sebuah harapan.
Semoga, suatu saat nanti, mereka akan bisa kembali ke bawah, ke tanah yang kokoh, yang menyimpan berbagai potensi.
Semoga, suatu saat nanti, mereka akan bisa lagi melihat ke atas, dan melihat langit biru yang bersih tanpa asap bekas polusi.
Semoga, suatu saat nanti, akan tumbuh pohon hijau baru, yang kemudian akan memenuhi bumi, seperti waktu dulu kala.
“Lalu… bagaimana cerita ini kemudian menjadi cerita yang terlarang?”
Laki-laki itu bertanya pada ruangan sepi di hadapannya. Lantang, seolah menantikan jawaban.
*~*~*
“Apa maksudmu pohon harapan?”
Mary, tidak mengindahkan tatapan memohon dari temannya, memilih tetap menatap layar kaca di hadapannya. Hari ini ada katalog yang harus segera dia selesaikan untuk mengarsipkan data-data baru yang kemarin mereka dapat. Bukan waktunya untuk ia mendengarkan rengekan Belle mengenai mimpi dan fantasi.
“Kamu tahu apa yang kubicarakan, Mary,” ucap gadis cantik itu dengan penuh keyakinan. “Kamu, orang yang berkecimpung di bidang sejarah, seharusnya mengetahui itu lebih baik daripadaku.”
Dan dia memang tahu. Tahu kalau apa yang dibicarakan Belle seharusnya merupakan sebuah rahasia. Tahu kalau apa yang dibicarakan Belle seharusnya tidak diketahui oleh orang-orang pada umumnya.
“Baiklah, Nona Geologi. Aku tahu, sebagaimana kamu juga tahu, kalau kita tidak boleh mengetahui soal itu,” jawab Mary dengan nada datar. “Dan kamu juga mengerti kan kalau itu semua hanyalah dongeng? Mimpi-mimpi orang dulu yang menjadi sebuah kisah. Bukan sejarah.”
Belle tersenyum mencurigakan mendengar pernyataannya. Gadis itu menyandarkan badannya ke arah meja jaga tempat Mary bekerja, membiarkan rambut pirang bergelombangnya jatuh ke atas permukaan. “Oh… aku rasa kamu tidak bisa seyakin itu, Mariabell.”
“Namamu juga Mariabell,” balas Mary setengah putus asa.
“Ya. Aku, Mariabell yang mempelajari Geologi. Kamu, Mariabell, yang mempelajari Sejarah,” ucap Belle masih dengan senyum cantik menghias wajahnya. “Kamu mengerti maksudku kan? Kemungkinan itu ada, Mary. Di bumi ini… dulu sekali, pernah ada sesuatu yang dinamakan pohon. Pernah ada waktu ketika langit berwarna lain. Pernah ada waktu ketika kita tidak hidup di atas seperti ini.”
“Tidak ada bukti yang menunjang itu, Belle sayang,” kata Mary, memijit keningnya yang mendadak terasa pusing. “Tidak ada data dalam arsip resmi yang pernah menyatakan hal seperti itu.”
Dia menyadari kesalahannya menambahkan keterangan ‘resmi’ terlalu lama. Meskipun itu benar, terkadang ada sesuatu yang sebaiknya tidak usah diucapkan secara detail. Oh. Ini bukan tentang politik, tentu saja. Hanya sekedar pemberian porsi informasi.
*~*~*
Dulu, dulu sekali. Awal kehidupan baru mereka di atas, manusia masih memimpikan kehidupan di bawah. Berkali-kali kelompok peneliti dikirim turun, melihat situasi dan kondisi di sana. Memperkirakan langkah-langkah yang harus mereka lakukan untuk memperbaikinya. Mencari-cari tanda-tanda kehidupan yang tersisa di atas permukaannya.
Bertahun-tahun hal ini terus dilakukan. Bertahun-tahun itu pula, tidak ada perubahan yang berarti yang bisa diharapkan. Namun manusia masih mempertahankan harapannya. Mempertahankan mimpinya. Suatu saat nanti, pasti terjadi.
“Lalu… bagaimana kemudian harapan itu berubah seratus delapan puluh derajat menjadi keputusasaan?”
Laki-laki itu bertanya masih pada ruang kosong di hadapannya. Masih dengan suara lantang, yang seperti memprotes takdir yang sedang berjalan.
*~*~*
“Pengamatan terbaru menunjukkan hasil yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Belle menerangkan. Wajahnya cantiknya tertutup helm, sementara tubuhnya terlindung pakaian pengaman yang wajib digunakan saat turun ke bawah. “Ada sesuatu yang tidak biasa muncul di permukaan bumi.”
Mary memutar bola matanya. Oh ya. Tentu saja. Sesuatu yang tidak biasa. Bukan berarti sesuatu itu adalah hal yang positif. Keduanya baru saja turun dari kapsul kota tempat mereka tinggal, dan melihat keadaan sekeliling, ketika Belle memutuskan untuk menjelaskan alasan ekspedisi. Mary tidak tahu bagaimana Belle bisa membuat penjaga portal membiarkan mereka turun tanpa surat izin resmi dan sejenisnya.
“Jangan skeptis begitu,” ucap Belle, menangkap gerak mata Mary dari balik helm yang mereka kenakan. “Bukankah menyenangkan kalau pohon yang kita cari benar adanya?”
Gadis bermata biru itu tidak menjawab. Memilih melayangkan pandangannya pada tumpukan sampah di sekitarnya dengan perasaan muram. Dari dulu, dia tidak pernah suka dengan pemandangan di bawah. Terlalu sedih. Terlalu suram.
Benarkah dulu mereka tinggal di sini? Di tempat seperti ini? Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin bisa? Sementara dia, sekarang, harus mengenakan pakaian layaknya astronot untuk bisa tahan berdiri di sini.
“Beritahu aku, Belle,” ucap Mary setelah beberapa saat terdiam. “Kalau memang muncul hasil yang berbeda, kenapa tidak ada orang lain yang menyelidikinya? Kenapa kamu malah mengajakku, orang yang tidak ada hubungannya dengan bidang ini, turun?”
Belle terdiam.
“Kamu tahu kenapa kan, Belle? Kenapa mereka tidak lagi mengirimkan tim peneliti ke bawah? Kenapa mereka tidak lagi melakukan apapun? Dan kenapa bidang geologi mempunyai sedikit sekali orang?” lanjut gadis itu dengan suara parau. Mata birunya, mata yang dulu dikatakan sewarna dengan langit, memandang wajah temannya seksama. “Belle?”
Gadis yang dipanggil Belle memalingkan wajah. Tidak membiarkan mata hijaunya membalas tatapan temannya.
“Aku tidak tahu, Mary,” kata Belle pelan. “Aku sekarang bekerja sendirian. Rekan kerjaku yang lain telah pindah ke bidang yang lebih...”
Dia berhenti sejenak. Mencari kata. “Menarik,” katanya kemudian dengan nada sinis.
*~*~*
Suatu ketika, seorang peneliti menemukan hasil yang berbeda ketika melihat layar menitor pengamatannya. Suatu ketika, seorang presiden mengumumkan itu pada rakyatnya. Suatu ketika, sekelompok ilmuwan diturunkan untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai hal tersebut. Suatu ketika itu juga rakyat marah dan kecewa.
“...”
Laki-laki itu terdiam. Membiarkan keheningan mengisi ruangan, tanpa suara lantangnya.
*~*~*
“Sesuatu yang berbeda itu menunjukkan hasil yang negatif,” kata Mary dengan mata memicing. Mengulang kembali kisah yang dia baca dari satu data tidak resmi yang telah rusak, yang ditemukannya di sudut-sudut tempat penyimpanan informasi lama. Ah. Betapa terkadang dia membenci sejarah, seperti juga dia membenci geologi. “Tanda bahwa bumi semakin tidak cocok untuk ditinggali.”
Belle balas memicing. “Ada yang kamu lupakan, Mary had a little lamb.”
“Jangan panggil aku begitu, Bell,” desis Mary.
“Yang membuat sesuatu itu dianggap negatif,” kata Belle, tidak mengindahkan. “Adalah karena kecelakaan—ledakan—yang terjadi ketika tim peneliti turun ke bawah kan?”
“Kalimatmu tidak efektif,” komentar Mary datar.
“Kecelakaan yang menewaskan banyak orang itu lah… yang dikatakan sebagai tanda negatif. Sementara ledakan itu sendiri kemungkinan terjadi karena pertemuan reaksi kimia bahan-bahan—sampah—di bawah sini,” ujar Belle, lagi-lagi, tidak mengindahkan. “Tapi tidak ada bukti yang mengatakan bumi semakin memburuk. Biarpun, ya, tidak juga dibilang membaik.”
*~*~*
Laki-laki itu membuka mulut kembali. Membiarkan ruangan tersebut kembali terisi suara dari dalam tenggorokannya.
“Sekarang… bagaimana kalau sebenarnya telah tumbuh sesuatu yang kita harapkan di bawah sana? Bagaimana ketika usaha dihentikan, tumbuh pohon harapan yang telah kita nanti-nantikan? Bagaimana kalau ledakan tersebut adalah tanda terjadinya sesuatu yang baik?”
Laki-laki memiringkan kepalanya. Mengubah nada suaranya menjadi heran dan bertanya.
“Bukankah ada yang bilang, sesuatu yang baik datang ketika hal buruk terjadi?”
*~*~*
“Mary! Kemari!”
Mary melangkahkan kakinya, mendekat. Melihat Belle mengutak-atik alat di tangannya dengan muka serius di atas sebuah benda yang tidak bisa lagi dia mengerti bagaimana bentuk dan fungsinya. “Apa yang kamu temukan?”
“Di sini,” jawab Belle tanpa menjawab. Tangannya menunjuk ke arah dekat kakinya. “Di sini reaksinya muncul.”
Mary menatap ke tempat yang ditunjuk Belle. Tidak melihat adanya perbedaan antara di sini, di sana, dan dimanapun yang ia lihat. Sama-sama permukaan abu bekas sampah dicampur sedikit cokelat. Sesuatu? Mananya?
“Kita perlu menggali sedikit,” ucap Belle seperti mengerti apa yang dipikirkan Mary. Atau mungkin dia memang mengerti. “Aku bawa alatnya.”
“Ya. Tapi berjanjilah padaku. Kalau ini tidak menghasilkan apa-apa, kita segera kembali ke atas,” kata Mary. “Aku tidak mau berlama-lama di tempat seperti ini.”
Belle mengedikkan bahunya. “Bukankah menyenangkan tidak perlu takut akan munculnya angin besar yang bisa menggoyangkan kapsul?”
Mary menatap temannya dengan pandangan penuh arti. Beberapa saat berlalu, Belle akhirnya mengangguk. “Sesuai kehendakmu, Ratu.”
“Kalau sesuai kehendakku, kita sudah berada di atas sekarang,” balas Mary, menerima alat yang disodorkan Belle padanya. Benda berbentuk tabung panjang seukuran lengan orang dewasa. “Rasanya ini berbahaya.”
“…memang,” ujar Belle.
“Kamu motivator yang baik, Belle,” kata Mary sambil mengangkat benda tersebut ke atas bahunya.
“Terima kasih,” balas gadis tersebut. “Aku tahu.”
Mary tidak membalas lagi. Tidak ada gunanya juga. Bagaimanapun, yang waras memang yang mengalah.
Gadis itu beranjak mundur. Mendengarkan Belle menginstruksikan cara pakai alat yang dipegangnya, sambil melangkah. Kedua gadis itu sekarang berdiri beberapa meter jauhnya dari tempat yang tadi ditunjuk Belle.
“Dalam hitungan ke-tiga! Satu…! Dua…! Tiga…!”
*~*~*
Pohon harapan adalah sebuah mimpi. Sebuah dongeng. Dan sebuah sejarah.
Ketika mimpi menjadi nyata. Ketika dongeng menjadi realita. Ketika sejarah
menjadi fakta yang aktual.
Mungkinkah itu terjadi?
Mungkinkah itu terjadi…
Dengan menunggu itu terjadi?
“Mungkinkah? Tidak mungkin.”
Laki-laki itu menjawab dengan nada mencemooh.
*~*~*
Kejadian itu berlalu begitu cepat. Ketika Belle meneriakkan tiga. Ketika keduanya menekan tombol pengaktif alat. Ketika ledakan yang muncul setelahnya terlihat di depan mata. Ketika Belle menariknya menjauh dari tempat itu. Ketika mereka susah payah, dengan napas yang hampir habis—karena pakaian pengaman yang rusak terkena letusan—mencapai lift yang membawa mereka kembali ke atas.
Ketika akhirnya semua berakhir. Ketika kemudian Belle menyelinap ke kamar rumah sakitnya malam itu dengan luka-luka yang hampir sama di sekujur tubuhnya, Mary tiba-tiba teringat sebuah kalimat yang pernah dibacanya dalam data.
“Sejarah yang terulang kembali.”
Spoiler for ekstra:
“Maaf, Mary,” kata Belle dengan suara pelan, yang berbeda dari biasanya. “Kalau saja aku mendengarkan kata-katamu…”
“Sstt…sudahlah,” Mary menghentikan gadis itu. “Aku juga… mungkin sedikit tertarik dengan pohon harapan itu.”
“Pohon harapan palsu,” gumam Belle dengan nada seperti anak kecil yang merajuk. “PHP.”
Mary tertawa pelan. Gadis itu lalu menarik tangan Belle yang duduk di kursi samping tempat tidurnya. “Ayolah. Belle yang kukenal bukan Belle yang akan menyerah begitu saja kan?”
Gadis bermata hijau itu tidak menjawab. Matanya memandang wajah Mary sekilas, sebelum bergerak-gerak gelisah. Sesaat, dia mengangguk perlahan dengan senyum tipis yang baru menghias wajahnya.
“Baguslah,” ucap Mary, menarik lebih kuat Belle untuk mendekat ke arahnya. Gadis itu menurut, duduk di pinggir ranjang tempat Mary berbaring. Keduanya bertatapan sejenak sebelum Belle kemudian menelusup ke balik selimut, berbaring di sebelah Mary.
“Selamat tidur, Mary.”
“Selamat tidur, Belle.”
Diubah oleh merpati98 01-01-2014 14:59
0
Kutip
Balas