4.18. The Beginning of All Sins 6
Aku memandang mata Nisa bulat-bulat. Maksudnya yang bulat mataku, bukan matanya, bukan pula badannya. Karena lu tahu? Badannya Nisa gak bulat namun lemah gemulai ibarat botol arak yang ada di legenda-legenda Cina itu. Tau gak lu? Yang biasanya pendekar jurus mabok punya atau yang pernah digunakan buat memenjarakan Sun Gokong. Kalau gak ingat ya udah. Yang pasti gak gue samain dengan gitar Spanyol, soalnya kenapa? Soalnya gitar Spanyol kan bolong tengahnya kayak sundul bolong, eh sundel bolong. Terus lehernya panjang lagi macem hantu-hantu jepang. Gak banget kan?
Ya udah sih kenapa kita bahas botol arak pendekar jurus mabok, mari kembali ke cerita. Aku masih menunggu jawaban dari Nisa. Dia memandangku dengan mata yang berbinar-binar penuh harapan, membuatku takjub persis laron melihat lampu neon, terhipnotis.
Ketika dia mulai membuka bibir hendak angkat bicara, aku terhenyak. Dadaku berdebar kencang, tulit-tulit bunyinya, hidungku kembang kembis mirip Squidward yang lagi ketawa, nafasku tersengal-sengal. Demi kerang ajaib, gue lagi nembak cewek atau kesurupan ya?
Ada beberapa hal yang perlu elu pahami tentang hidup. Hidup itu berbeda dengan sekolah. Di sekolah kita mendapatkan pelajaran kemudian dipraktekkan. Dalam kehidupan kita mempraktekkan kemudian barulah kita mendapatkan pelajaran, mengambil esensi dari apa yang telah terjadi. Apa yang terjadi antara aku dan Nisa tak akan mungkin ada di pelajaran matematika, bahasa Inggris, atau bahasa Jawa sekalipun. Meski ada sedikit kemungkinan terdapat nilai historis yang bisa diselipkan dalam pelajaran sejarah. Mungkin 100 tahun dari sekarang, anak SMA di Indonesia akan mengenal kisah legenda cinta mas Boy yang sangat mahsyur di negeri ini kelak.
Apa yang telah terjadi pada saat itu telah menjadi pelajaran terbaik buatku, membuatku sadar tentang nilai-nilai kehidupan, memahami bahwa.... wait..
Elu gak ngerasa aneh sama cerita gue? Gue yang nulis aja ngerasa aneh nih.
Gue baru sadar kalau ternyata sudah terlewat beberapa paragraf gara-gara kursor laptop gue yang salah klik. Well, yang terjadi adalah...
Nisa memegang tanganku, hatiku semakin bergetar, lembut rasanya. Tapi apa yang diucapkannya mengubah persepsiku.
“Boy..”
“Iya Nis..”
“Gue..”
“Kenapa Nis?”
“Gue..”
“Iya?”
“Gue gak bisa terima cinta lu.”
JEDEEEER.. DENG DREENG DEEEEEENG.. bagai tersambar petir di siang bolong gue tersentak.
“Kita temenan saja ya.”
Gue terhenyak, tak mampu menerima kenyataan. Gue, cowok paling ganteng sekomplek perumahan gue, yang ditaksir kakak kelas yang mirip Yoona, bisa ditolak? Oh my god. Ini penghinaan bagi kegantengan gue, gue shock!
“Maaf ya Boy.” Kata Nisa lagi sambil berlalu pergi.
Oh Nisa, tega nian engkau menolak cinta akang. Oh Nisa, mengapa kau tabur benih cinta bila tak kau tuai buahnya. Oh kenapa gue jadi seperti ini.
Nisa berlalu pergi, meninggalkan sendiri ditemani angin yang diam membisu bertiup syahdu. Aku menghela nafas panjang, meratapi cinta bertepuk sebelah tangan.
Seharusnya setelah ini gue ngasih petuah ke elu tentang perbedaan antara hidup sekolah, tapi sepertinya udah gue tulis tadi dan rasanya malas benar buat ngulang lagi. Alhasil penolakan Nisa membuatku menyusun sebuah resolusi yang bertajukkan Trisula. Tri Susunan maLapetaka. Adapun isinya adalah:
(Satu) Nisa telah menolak cinta gue.
(Dua) Hanum telah mencium kejahatan gue.
(Tiga) Pelaksanaan hukuman akan terjadi dalam tempo waktu sesingkat-singkatnya.

----

Aku mengakhiri bagian cerita ini dengan menitikkan air mata sendiri. Oh Riyani kenapa kau tidur ketika aku menuliskan cerita indah bagiku. Bukankah ini bulan madu kita, dan kau tertidur setengah mengiler, ngorok lagi. Akhirnya gue cuma bisa iseng molesin bibir lu pake gula batu dan roti jahe.