- Beranda
- Stories from the Heart
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!" - The Untold Story.
...
TS
donnjuann
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!" - The Untold Story.
INDEKS UPDATED
Personal Literature: The Not so Sweet Life from Don Juan
Bab 1 - The Intro
Bab 2 - Ujian Awal Kehidupan
Bab 3 - In Cewek Jegeg We Trust
Bab 4 - Kelas Kakap on Facebook
- Introduction
- Chapter 1
- Chapter 2 - Story Continues
- Chapter 3 - "Kambing lo, mbing!"
- Chapter 4 - Memilih
- Chapter 5 - Mengunjunginya
- Chapter 6 - akhirnya aku menemukanmu
- Chapter 7 - shinjuku incident
- Chapter 8 - a little confession
Bab 5 - Tipe-tipe cowok yang membuat hati cewek Bergejolak
Bab 6 - Kost Terkutuk
Bab 7 - Pasangan yang Romantis
Bab 8 - Hati yang atletis
Bab 9 - Beberapa PDKT yang Sebaiknya Jangan Dilanjutkan
Bab 10 - THE HANDSOMOLOGY
- The Introduction Of The Handsomology
- The Handsomology part 2 - The Step and Arts
- The Handsomology part 3 - Logika versus Emosi
Bab 11 - Changing Room
Bab 12 - The Unfinished Bussines
Bab 13 - The last: A Message from God
Spoiler for HARAP DIBUKA:
Cerpen-cerpen Don Juan
Never Try You Will Never Know
True Gamer Never Cheating
Memusuhi kok ngajak-ngajak
Selingkuh Yang Tidak Biasa
How i met your Mother
When a Girl Takes The Bill
Yang Nyakitin Yang Dipertahanin
The Jomblonology
5 Kenyataan Pahit dalam Hidup
The Long Distance Religionship
Ini ada cerita tak seberapa dariku untukmu.
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!"
-Sebuah kisah memilukan Facebooker pencari jodoh-
Enjoy!
Spoiler for Tokoh dan Karakter:
Spoiler for How to enjoy this story:
Diubah oleh donnjuann 20-09-2013 01:05
anasabila memberi reputasi
1
52.1K
355
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
donnjuann
#312
Bab 13 - A Message From God
#13
Waktu terus berlalu.
Liburan semester enam pun tiba.
Selain bandara, gue juga risih sama yang namanya stasiun kereta. Hari itu gue balik ke Jakarta naik kereta bareng Nana. Malam hari. Di perjalanan, di gerbong 3, cuma ada gelap dan wajah sendiri ketika menatap jendela. Seketika membawa gue kembali ke sore itu, sebuah sore satu tahun yang lalu, pada peron keberangkatan.
Satu tahun yang lalu.
Sore itu gue lagi di stasiun Tugu. Nunggu kereta ke Jakarta. Sendirian. Melihat orang berlalu-lalang kesana-kemari. Menatap ke langit-langit, kemudian sebentar memandang jam tangan. Gelisah, keretanya nggak berangkat-berangkat. Begitu tersadar, gue datang kepagian. Ah..
“Duhh, untung nggak telat.” Dia duduk di bangku tunggu isi empat orang, tepat di sebelah gue.
Gue nengok ke kanan, ke arah dia. “Anjir, siapa lagi ini! Godaan macam apalagi yang Kau tunjukkan padaku ya, Tuhan..” gue ngebatin.
Ada bidadari nunggu kereta di ruang tunggu. Duduk dan nunggu di sebelah gue. Di saat yang bersamaan gue langsung mencium aroma surga. Parfum ini cewek ngena banget di hati. Dia terengah-engah dan ada bulir keringat di keningnya. Dia kipas-kipas pakai tangannya. Sungkan banget kalau nggak diajak ngomong kan.
“Nge-ngejar kereta ya? Sampai keringetan gitu.” Tanya gue canggung ke dia.\
Dia nengok. “Emhh, iya nih, kirain tadi telat.”
“Emang keretanya berangkat jam berapa, mbak?”
“Jam 19.30, mas.”
Gue ngeliat jam tangan di pergelangan kiri gue. Jam tangan gue menunjukkan pukul 18.37. Ini dia yang nggak santai, atau ada perbedaan waktu antara Jogja dengan khayangan? Kok sama kayak gue kepagiannya? Gue cuma bisa bertanya-tanya dalam hati.
“Lho, keretanya masih berangkat 1 jam lagi, mbak.”
“Lha nggih niku mas, namanya juga kepagian.”
“Oh gapapa, kadang datang kepagian lebih bagus daripada datang terlambat lalu ditinggal pergi.” Bales gue sambil memberikan tissue.
“Lho buat apa ini?”
“Situ keringetan, mbak.”
“Oh iya, makasih lho.”
“Sama-sama, mbak.”
Tiba-tiba dia ngeluarin sapu tangan berwarna ungu dan menyeka bulir keringat di keningnya. Tissue gue dimasukin ke tasnya. Tissue-nya merasa sia-sia nggak digunakan. Gue merasa kasihan sama tissue yang sudah dikeluarkan dan nggak digunakan. Sebagai tissue, pasti dia akan ditertawakan oleh tissue-tissue lainnya dan akhirnya merasa minder.
Kemudian ada garing yang cukup panjang.
Dia pun mengeluarkan buku “Chicken soup for the soul” dan perlahan membuka halaman yang sudah ditandai dengan pembatas halaman. Nggak mau kalah, gue ngeluarin majalah “For Him Magazine”. Di tengah sibakan cepat dan nggak santai tangan gue pada majalah tersebut, gue coba memecah kegaringan di antara kami.
“Naik kereta tujuan apa, mbak?" Tanya gue lagi.
“Jakarta, mas.”
“Ohh, mau ke Jakarta juga ya?”
“Lha, masnya ke Jakarta juga?”
Gue ngeluarin karcis kereta eksekutif itu. Ngeliatin karcisnya ke dia. “Iya nih, aku ke Jakarta.”
Dia juga ngeluarin karcis kereta dari dompetnya. Membandingkannya dengan punya gue. “Ini, aku juga punya.”
Kami saling bertatapan. Diiringi oleh diam, kami saling melihat karcis yang sedang ditunjukkan. Dia ngeliat karcis gue, dan gue ngeliat karcis dia.
Kemudian hening.
“Kereta kita sama, mbak.”
“Gerbongnya juga sama, aku juga gerbong 1, mas.”
“Aku duduk di 26 B.”
“Aku duduk di 26 A” Bales cewek itu sambil tetap membanding-bandingkan kedua karcis itu.
Gue langsung ngeliat dia, dan dia pun langsung ngeliat gue. “Kita sebelah-sebelahan, mbak..” Jawab gue syahdu.
Awalnya, gue cuma mau balik ke Jakarta bentaran, temu kangen sama bokap nyokap, ngasi surprise ke Gaby barang sehari dua hari dengan kedatangan, terus balik lagi ke Jogja. Jadi, libur Lebaran tetep di Jogja. Tapi semua rencana berubah total semenjak pertemuan gue dengan cewek bersayap itu di peron keberangkatan.
Lalu, bagaimana dengan Gaby? Gue bilang kalau nggak balik ke Jakarta liburan semester ini. Gue bilang kalau bakal menghabiskan liburan di Bali. Sederhana, biar dia nggak nyamperin gue ke Jogja. Jahat ya..
Berangkat dari stasiun Tugu pukul 19.30 dan sampai di stasiun Gambir subuh-subuh. Berawal dari perjalanan itu, gue mulai akrab dengannya. Sama-sama berangkat dari Jogja dan sama-sama bertujuan ke Jakarta, membuat kami cepat akrab. Liburan semester empat ini terasa menyenangkan karena kami sama-sama menghabiskan waktu libur kuliah dan libur Lebaran di Jakarta. Bersamanya, waktu terasa berhenti. Gue jatuh cinta. Dalam waktu sebentar saja, kami memutuskan untuk merajut tali kasih.
Ya, jatuh cinta memang begitu, kalau waktu nggak terasa berhenti mah nggak puitis.
Murni. Namanya yang terlihat sudah seperti nama samaran ini, membuat gue nggak perlu capek-capek menyamarkan namanya lagi. Dari rentetan-rentetan wanita yang gue pernah kecewakan, Murni adalah yang paling seksi. Dia nggak gendut, tapi embem. Iya, gue selalu lemah sama cewek embem. Karena banyak yang suka sama dia, bahkan ketika dia udah jadi pacar gue, membuat gue sering insecure. Yang namanya cewek cakep dan fashionista, tentu nggak murah.
Nah, di sinilah semuanya bermula..
Selama di Jakarta, Murni ini nggak pernah mau naik motor. Waktu itu, di rumah gue tinggal nyisa motor. Kendaraan lain seperti otoped, truk gandeng, becak, dan bajaj, lagi dipakai semua sama orang rumah. Mau nggak mau gue jemput dia ke rumahnya naik motor. Di depan pagar rumahnya,
“Sayang, ini pakai dulu helm-nya.”
“Aku udah dandan cantik-cantik buat kamu, terus rambut aku kamu pakein helm?!”
“Soalnya di rumah tinggal nyisa ini, Yang.”
“Nggak mau! Nanti rambut aku nyeplak helm!!”
“Tapi, Yang..”
“Liat, ini mau ujan! Terus kamu mau pakein aku pake plastik yang ada di bawah jok motormu?!!”
“..Itu namanya jas ujan, Yang.”
“TERSERAH! AKU NGGAK MAU DIPLASTIKIN! AKU BUKAN BIBIT LELE!”
Tau gini jadinya, gue jemput aja Murni pakai otoped.
Kemudian batal malem mingguan.
Murni cuma mau diajak jalan kalau gue bawa mobil. Mobil di rumah cuma ada satu. Dan itu dipakai bokap, nyokap, dan kakak gue. Sebagai anak paling bontot, gue cuma disisain otoped. Dunia memang kejam. Belum selesai sampai di situ, Murni ini paling ogah kalau diajak makan di empire.
“Yang, kita makan di sini aja ya.” Gue minggirin mobil.
“NGGAK MAU! ITU KAN EMPIRE!!”
“Hah, empire itu apa?”
“EMPERAN! YOU KNOW EMPERAN??”
Hening.
“Yang, ini lesehan namanya.” Gue mengklarifikasi.
“Terserah. Aku nggak mau makan di pinggir jalan. Kalau nanti ada motor lewat, terus ada becekan nyiprat ke piring, terus becekannya kemakan, terus aku kena hepatitis, terus cantikku ilang, GIMANA?!!”
Gue, garuk-garuk ketek sebelah kiri.
“Kamu pernah mikir sampe di situ nggak, sih??” Bahaya tau, bahaya!” Murni ngeplak-ngeplak dasbor.
Gue, garuk-garuk ketek sebelah kanan.
“Kamu denger nggak sih?!!”
Gue loncat dari jendela.
Setelah menerjang macet dan keluhan demi keluhan yang Murni lontarkan, akhirnya gue berhenti di Citos. Makan di Fish n Co.
“Kamu nggak makan, beb?” Tanya Murni.
“Ngg.. aku udah kenyang kok Yang, makan aja gapapa.”
Dari kejauhan terdengar suara dompet gue menangis.
Mungkin ini yang namanya cinta, bayarin ini bayarin itu, iya-iya aja. Yang penting dia senang..
Sampai pada akhirnya sesuatu yang nggak pernah diharapkan terjadi. Iya, keluarga gue kena masalah finansial yang memaksa bokap gue ngejual mobil semata wayangnya. Uang jajan pun berkurang drastis. Dompet gue tidak sebahagia dulu lagi. Begitu juga dengan kisah cinta gue sama Murni. Murni yang high-class nggak mau kemana-mana naik motor. Kalau dia ngajak makan, gue sering berkelit. Gue sering bilang ada kerja bakti di komplek lah, ada acara sunatan tetangga lah, dapet tugas ngeronda lah, mau nyuci gerbong kereta lah. Pokoknya banyak. Alasannya sederhana, dompet gue nggak cukup kuat nemenin Murni yang nongkrongnya di tempat wah. Gue merasakan minder yang tak berkesudahan.
Perlahan-lahan kami mulai menjauh. Tatapannya ke gue udah nggak seperti dulu lagi. Murni nggak mau gue ajak susah sedikit.
Pernah ada yang berkata, “Baru tahap pacaran aja udah disuruh menderita? Mendingan cari yang lain.”Mungkin kalimat orang itu benar adanya.
Murni pun hinggap ke hati yang lain. Pacaran yang cuma seumur kangkung ini terpaksa bubar. Awalnya, gue cuma bisa bilang Murni adalah cewek yang matre. Tapi seiring berjalannya waktu, gue sadar, kalau Murni nggak benar-benar salah. Cewek butuh pendamping yang mapan.
Ya beginilah jika pacaran menggunakan duit orang tua. Apa yang banyak gue lakukan dulu selalu pakai duit bokap. Intinya, bokap gue yang macarin Murni. Setelah kejadian itu, gue bertekad untuk pacaran menggunakan duit sendiri.
Maafkan aku Murni, aku mengecewakanmu.
Libur kuliah dan libur Lebaran belum habis, tapi hubungan cinta gue sama Murni yang udah habis. Gue galau abis. Malam itu, di lantai atas, tepatnya di samping rak jemuran, gue memandangi langit malam. Sekali lagi cuma ada gelap. Nggak pernah ada bintang di sana.
DRTTT.. DRRTT.. hape gue bunyi. Ya geter juga sih.
Kmu lg apa?Gaby SMS.
Lgi cedihh,,, bales gue.
]
Beberapa menit kemudian, hape gue bunyi lagi. Gaby nelfon..
“Halow, kamu sedih kenapa Downyyy?”
“Ah, gapapa kok, Mbem..”
“Gimana sih, tadi katanya lagi sedih??”
“Ah, aku bohong kok. Hehe.”
“HAYO, CERITA NGGAK?! Kamu kalau ada apa-apa cerita sih.”
“Hehe..” Gue cuma bisa cengegesan.
“Kamu ngapain sih di Bali? Ke Jakarta dong. Kangen tauk.”
DHEG.
Gue langsung merasa bersalah banget. Padahal kan saat itu gue lagi di Jakarta. Kalau dia sampai tau 4 minggu ini gue habiskan masa liburan bersama cewek lain, pasti Gaby langsung nusuk-nusuk boneka pandanya yang ditempelin foto gue. Gue bakal muntah paku. Gimana ini..
Tapi memang karena kondisi gue lagi di ambang kegalauan, saat itu yang gue butuhkan adalah teman curhat, eh pacar buat curhat. Malam itu, lewat telfon, pertama kalinya gue nyeritain masalah pribadi dan masalah keluarga ke orang lain. Ke pacar yang sendiri. Ke seorang kekasih, yang sering aku tampik, tapi tak juga sirna. Malam itu aku tahu kenapa tak ada bintang di langit, sebab bintangnya sedang sibuk, menyemangati aku, via telepon.
Satu jam dia menelfon gue, kegalauan pun berangsur-angsur membaik. Sekali lagi, unfinished business kembali terkuak. Pertanyaan besar kembali terdengar, “Tuhan, mengapa aku tak bisa jatuh cinta pada perempuan seperti ini? Sudah aku sakiti, sudah aku duai, sudah aku dustai, Tuhan!!”
====
Sebelum kembali ke Jogja, gue ngajak Gaby ketemuan. Di rumahnya. Ini kali kedua gue bertandang ke rumahnya. Di depan teras rumahnya, ada lapangan basket. Sore itu, sambil nontonin orang-orang kompleknya main basket, kami ngobrol serius. Kami ngobrolin banyak hal. Dan tentu aja terselip aroma-aroma masa depan.
Dia sangat terbuka soal kondisi keuangan. Nggak heran karena dia memang udah kerja. Banyak masukan soal keuangan darinya. Gaby nyaranin gue untuk mencari tambahan uang jajan. Dia nyaranin gue nyambi kerja atau berbisnis. Gue bener-bener salut sama cewek kayak dia yang di umur segitu mampu berpikir secara dewasa.
“Mbem, aku heran sama kamu, kamu kemana-mana naik mobil, aku cuma naik otoped. Kenapa kamu nggak nyari cowok yang bawa mobil aja?” Tanya gue yang lagi duduk-duduk di depan terasnya.
“AYANG, APAAN SIH.”
“Kamu cantik, kamu mapan, kamu punya apa yang banyak cewek lain belum punya di usia yang seperti ini. Jika kamu menuntut keadilan, kamu layak mendapat lebih. Selain aku.” Tatap gue nanar.
“AYANG!! UDAH!! CUKUP!!”
“Tapi liat, kamu malah di sini sama cowok yang masih berstatus mahasiswa, lusuh, nggak mampu beliin kamu ini itu. Coba kamu nggak nolak lamaran pengusaha itu, pasti kamu sekarang udah tidur di istana.”
(Nempelin telunjuknya di bibir gue) “Aku mau nemenin kamu dari zero sampai jadi hero. Dari nothing sampai jadi something. I know this is crazy, i know this can not make a sense. But i love you.” Balas Gaby pelan.
Tatapan gue mulai berkaca-kaca.
“Di samping pria sukses ada wanita sukses yang mendampinginya. Aku mau jadi wanita sukses itu.” Ucapnya lagi.
Gue nangis di ayunan.
(Meluk gue) “Udah ya ayangg tuptuptup.. kamu jangan ngomong gitu lagi yaa.”
Gue ereksi.
Mungkin benar, punya atau belum punya kemapanan, cinta akan selalu hadir. Cinta mengangkat yang berkekurangan dan menerbangkan apa yang sudah berlebih. Dia mengangkat aku yang sedang berkekurangan. Dia tidak melihat apa yang aku punya sekarang. Dia melihat tekadku untuk mempunyai sesuatu di masa depan.
Libur telah usai. Gue balik ke Jogja untuk kuliah. Gue juga memutuskan untuk berbisnis di sela-sela padatnya jadwal kuliah guna menambah uang jajan. Jadi seenggaknya nggak nyusah-nyusahin orang tua banget gitu lah. Banyak, dari kaos, reseling, dan bantu-bantu temen promosi event atau barang. Bisnis yang gue jalankan saat itu memang sentrup-sentrup nafasnya, kadang menghasilkan kecil, kadang menghasilkan luka. Ujung-ujungnya Gaby juga yang nalangin utangnya.
HAHAHAHAHAsu.
Perlahan namun nggak pasti, bisnis yang gue geluti sedikit demi sedikit, hasilnya bisa dipakai buat uang jajan. Jajan henfon baru, misalnya. Saat itu, gue merasa menjadi mahasiswa yang luar biasa. Money can buy everything. Tapi dengan uang yang gue punya saat itu, masih nggak mampu membeli jarak.
Belum, belum happy ending. Cobaan kembali datang. Cobaan akan datang bagi ia yang berani bersungguh-sungguh. Masih mahasiswa, mandiri, dan berpenghasilan. Mahasiswi mana yang nggak tertarik? Dan gue jauh dari kekasih. Gue ini nggak pandai bercerita, makanya ending dari cerita ini dengan sangat mudah dapat ditebak.
Di atas langit masih ada langit. Di atas cakep, masih ada cakep. Di atas mapan masih ada yang mapan. Di atas kesombongan, maka beginilah akhirnya.
Gue jatuh cinta dengan mahasiswi fakultas Hukum universitas lain di Jogja. Terus kok bisa ketemu? Sederhana, dari bantu-bantu temen promosin event, dan gue ketemu Yasha di kampusnya. Lagi gatheringgitu. Yasha seorang foto model. Saat itu, namanya kampus idol kalau nggak salah. BUKAN. BUKAN AYAM KAMPUS. BUKAN. Tentu aja cakepnya ngalahin dia-yang-jauh-di-sana, dia yang hadirnya sering aku tampik, tapi tak juga sirna.
Dengan apa yang gue punya saat itu, sebagai mahasiswa, gue punya sesuatu untuk menaklukannya. Bahkan, gue beberapa kali ngerental mobil sampai seminggu cuma buat nemenin dia kemana-mana. Sok banget kan? Money can do many things.
Gue dengan Yasha pun berpacaran. Tentu saja tanpa sepengetahuan dia-yang-jauh-di-sana lagi tentunya. Saat itu, kebetulan ada long weekend. Hari kamis libur, dan jumat adalah hari kejepit. Dari hari Rabu, gue udah bilang ke dia-yang-jauh-di-sana, kalau gue jadi nggak balik ke Jakarta. Gue ada urusan bisnis di Jogja. Dia pun dengan mudah mempercayainya.
Dan kebetulan lainnya, di hari Jumatnya, Yasha ulang tahun. Di sebuah kafe di Jogja, gue ada di sampingnya untuk merayakan ulang tahunnya.
“Beb, tas kecilku ketinggalan di mobil. Ambilin dong.” Teriak Yasha di tengah destak-destak lagu disko.
“Ada payung, ndak?”
“Lah, buat apa beb?” Teriak Yasha di tengah kebisingan.
“Di luar hujan, sayang..”
“Yaudah lari aja, bentar doang kok. Paling basah dikit.”
Akhirnya gue cuma pakai hoodie untuk menerjang hujan. Gue lari ke parkiran. Yasha markir mobil di parkiran outdoor. Alamat gue basah kuyub ini. Di tengah hujan, gue sedang merogoh kantong, mencari kunci mobil Yasha.
Tiba-tiba hujan berhenti.
Gue nengok ke belakang.
Ternyata hujannya nggak berhenti.
Gue lagi dipayungin sama seseorang.
“KA-KAMU?” Gue kaget-kaget lucu.
“Ini mobilmu?”
“Bu-bukan, ini mobil temen. Kamu kok bisa di sini??!!” Gue terbelalak, panik.
“Lho, aku kan mau kasih kamu surprise.” Jawab cewek itu.
“Ya, tapi kamu kapan ke sini?? Kamu nggak kerja apa gimana??!”
“Aku sampe di sini sore tadi. Barusan aku ke kosmu, kamu nggak ada. Ya, aku telfon Sobirin aja. Katanya kamu lagi di sini.”
Sobirin cen asu tenan.
“Ya tapi kan, bisa bilang ke aku, nanti bisa aku jemput di bandara kann.”
“Nggak usah. Nggak usah sok baik. Aku udah tau semuanya!”
Gue hening di bawah payung yang dipegang Gaby.
“Kamu ngapain di tempat kayak gini?!” Tanya Gaby lagi.
“Te-temenku ulang tahun, mbem.”
"Ulang tahun apa? Sampe malem kayak gini?" Bales Gaby lagi.
Dari arah kafe, terdengar suara langkah kaki. Mendekat ke parkiran. Seorang gadis membawa payung.
“Sayang, kok lama banget?? aku telfon kok nggak diangkat-angkat sih. Udah mulai tuh acaranya."
“Apa?! Sayang?! Don, ini siapa!!” Gaby memotong.
Gue cuma diem.
“Sayang, cewek ini siapa?” Giliran Yasha yang bertanya balik
.
“APA?! KAMU YANG SIAPANYA PACARKU?!” Gaby ngamuk.
Hujan makin deras.
“UDAH AKU DUGA!! BENER KATA SOBIRIN!! KAMU SELINGKUH!!” Gaby nangis.
Tuh kan, Sobirin asu tenan.
“KAMU JAHAT!! JAHAT!!!! DASAR PLAYBOY!!!!!!” *PLAKK!!* Jemari lembut Gaby mendarat keras di pipi kanan dan menyatu dalam isak tangisnya.
Yasha cuma diem. Ngeliatin.
“Ini bohong kan Don? Ini cuma bohongan kan?” Tanya Yasha.
“JANGAN PERNAH KAMU LAKUIN INI LAGI KE CEWEK LAIN!!! KAMU AKAN NYESEL PERNAH NYIA-NYIAIN AKU!!!” Gaby makin keras nangisnya.
Hujan terus turun.
Gaby pergi, dia ngelempar payungnya ke arah gue. Dia terisak-isak berlari menghindari hujan.
“GABY TUNGGU!!!!!” Gue berusaha ngejar Gaby.
“LOH, KAMU MAU KE MANA HAH?!” Yasha tiba-tiba berdiri di depan gue.
“Yasha, gi-gini, aku bisa jela..”
*PLAKK!!!*
Jemari seorang foto model, sukses mendarat keras di pipi kiri gue.
“Kamu jahat!! Dulu kamu bilang nggak punya pacar!! Nyesel aku kenal sama kamu!!” Teriak Yasha.
“Ya-Yas, aku jelasin dulu, gi..”
“UDAH PERGI KAMU SANA!! AKU NGGAK MAU LIAT KAMU LAGI!!!” Teriak Yasha sambil ngambil kunci mobilnya dari tangan gue.
Yasha pun balik ke kafe, mukanya pucat. Gue basah kuyub. Gue ngejar Gaby, tapi nggak ada. Dia udah hilang di dalam taksi yang entah membawanya ke mana. Kejadian ini berlangsung begitu cepat. Gue bahkan nggak sadar dengan apa yang barusan terjadi.
Tiba-tiba Gaby datang, dan beberapa menit kemudian gue jadi seperti ini. Gue buru-buru telfon Gaby, dan.. yak, di-reject.
Bener kata Bolu, cinta dapat mengubah benci jadi sayang dalam hitungan detik dan begitu juga sebaliknya. Saat itu gue juga jadi mengerti, bahwa masih ada yang lebih deras dari hujan yang pernah dijatuhkan langit, hujan yang jatuh dari mata perempuan.
Maafkan aku Gaby, aku mengecewakanmu.
Maafkan aku Yasha, aku mengecewakanmu.
Sekujur tubuh basah. Namun, kuyubnya merembes sampai ke hati.
Sesampainya di kos, gue nggak bisa tidur sampai pagi. Kalimat Gaby yang bilang kalau gue playboy terus terulang-ulang di kepala. Jadi, seperti ini rasanya jadi playboy.. tak sesuai dugaan. Di tengah-tengah merenungi kesalahan, subuh-subuh, ada SMS masuk dari unknown number.
Oh God, is this a message from you?
Waktu terus berlalu.
Liburan semester enam pun tiba.
Selain bandara, gue juga risih sama yang namanya stasiun kereta. Hari itu gue balik ke Jakarta naik kereta bareng Nana. Malam hari. Di perjalanan, di gerbong 3, cuma ada gelap dan wajah sendiri ketika menatap jendela. Seketika membawa gue kembali ke sore itu, sebuah sore satu tahun yang lalu, pada peron keberangkatan.
====
Satu tahun yang lalu.
Sore itu gue lagi di stasiun Tugu. Nunggu kereta ke Jakarta. Sendirian. Melihat orang berlalu-lalang kesana-kemari. Menatap ke langit-langit, kemudian sebentar memandang jam tangan. Gelisah, keretanya nggak berangkat-berangkat. Begitu tersadar, gue datang kepagian. Ah..
“Duhh, untung nggak telat.” Dia duduk di bangku tunggu isi empat orang, tepat di sebelah gue.
Gue nengok ke kanan, ke arah dia. “Anjir, siapa lagi ini! Godaan macam apalagi yang Kau tunjukkan padaku ya, Tuhan..” gue ngebatin.
Ada bidadari nunggu kereta di ruang tunggu. Duduk dan nunggu di sebelah gue. Di saat yang bersamaan gue langsung mencium aroma surga. Parfum ini cewek ngena banget di hati. Dia terengah-engah dan ada bulir keringat di keningnya. Dia kipas-kipas pakai tangannya. Sungkan banget kalau nggak diajak ngomong kan.
“Nge-ngejar kereta ya? Sampai keringetan gitu.” Tanya gue canggung ke dia.\
Dia nengok. “Emhh, iya nih, kirain tadi telat.”
“Emang keretanya berangkat jam berapa, mbak?”
“Jam 19.30, mas.”
Gue ngeliat jam tangan di pergelangan kiri gue. Jam tangan gue menunjukkan pukul 18.37. Ini dia yang nggak santai, atau ada perbedaan waktu antara Jogja dengan khayangan? Kok sama kayak gue kepagiannya? Gue cuma bisa bertanya-tanya dalam hati.
“Lho, keretanya masih berangkat 1 jam lagi, mbak.”
“Lha nggih niku mas, namanya juga kepagian.”
“Oh gapapa, kadang datang kepagian lebih bagus daripada datang terlambat lalu ditinggal pergi.” Bales gue sambil memberikan tissue.
“Lho buat apa ini?”
“Situ keringetan, mbak.”
“Oh iya, makasih lho.”
“Sama-sama, mbak.”
Tiba-tiba dia ngeluarin sapu tangan berwarna ungu dan menyeka bulir keringat di keningnya. Tissue gue dimasukin ke tasnya. Tissue-nya merasa sia-sia nggak digunakan. Gue merasa kasihan sama tissue yang sudah dikeluarkan dan nggak digunakan. Sebagai tissue, pasti dia akan ditertawakan oleh tissue-tissue lainnya dan akhirnya merasa minder.
Kemudian ada garing yang cukup panjang.
Dia pun mengeluarkan buku “Chicken soup for the soul” dan perlahan membuka halaman yang sudah ditandai dengan pembatas halaman. Nggak mau kalah, gue ngeluarin majalah “For Him Magazine”. Di tengah sibakan cepat dan nggak santai tangan gue pada majalah tersebut, gue coba memecah kegaringan di antara kami.
“Naik kereta tujuan apa, mbak?" Tanya gue lagi.
“Jakarta, mas.”
“Ohh, mau ke Jakarta juga ya?”
“Lha, masnya ke Jakarta juga?”
Gue ngeluarin karcis kereta eksekutif itu. Ngeliatin karcisnya ke dia. “Iya nih, aku ke Jakarta.”
Dia juga ngeluarin karcis kereta dari dompetnya. Membandingkannya dengan punya gue. “Ini, aku juga punya.”
Kami saling bertatapan. Diiringi oleh diam, kami saling melihat karcis yang sedang ditunjukkan. Dia ngeliat karcis gue, dan gue ngeliat karcis dia.
Kemudian hening.
“Kereta kita sama, mbak.”
“Gerbongnya juga sama, aku juga gerbong 1, mas.”
“Aku duduk di 26 B.”
“Aku duduk di 26 A” Bales cewek itu sambil tetap membanding-bandingkan kedua karcis itu.
Gue langsung ngeliat dia, dan dia pun langsung ngeliat gue. “Kita sebelah-sebelahan, mbak..” Jawab gue syahdu.
====
Awalnya, gue cuma mau balik ke Jakarta bentaran, temu kangen sama bokap nyokap, ngasi surprise ke Gaby barang sehari dua hari dengan kedatangan, terus balik lagi ke Jogja. Jadi, libur Lebaran tetep di Jogja. Tapi semua rencana berubah total semenjak pertemuan gue dengan cewek bersayap itu di peron keberangkatan.
Lalu, bagaimana dengan Gaby? Gue bilang kalau nggak balik ke Jakarta liburan semester ini. Gue bilang kalau bakal menghabiskan liburan di Bali. Sederhana, biar dia nggak nyamperin gue ke Jogja. Jahat ya..
Berangkat dari stasiun Tugu pukul 19.30 dan sampai di stasiun Gambir subuh-subuh. Berawal dari perjalanan itu, gue mulai akrab dengannya. Sama-sama berangkat dari Jogja dan sama-sama bertujuan ke Jakarta, membuat kami cepat akrab. Liburan semester empat ini terasa menyenangkan karena kami sama-sama menghabiskan waktu libur kuliah dan libur Lebaran di Jakarta. Bersamanya, waktu terasa berhenti. Gue jatuh cinta. Dalam waktu sebentar saja, kami memutuskan untuk merajut tali kasih.
Ya, jatuh cinta memang begitu, kalau waktu nggak terasa berhenti mah nggak puitis.
Murni. Namanya yang terlihat sudah seperti nama samaran ini, membuat gue nggak perlu capek-capek menyamarkan namanya lagi. Dari rentetan-rentetan wanita yang gue pernah kecewakan, Murni adalah yang paling seksi. Dia nggak gendut, tapi embem. Iya, gue selalu lemah sama cewek embem. Karena banyak yang suka sama dia, bahkan ketika dia udah jadi pacar gue, membuat gue sering insecure. Yang namanya cewek cakep dan fashionista, tentu nggak murah.
Nah, di sinilah semuanya bermula..
Selama di Jakarta, Murni ini nggak pernah mau naik motor. Waktu itu, di rumah gue tinggal nyisa motor. Kendaraan lain seperti otoped, truk gandeng, becak, dan bajaj, lagi dipakai semua sama orang rumah. Mau nggak mau gue jemput dia ke rumahnya naik motor. Di depan pagar rumahnya,
“Sayang, ini pakai dulu helm-nya.”
“Aku udah dandan cantik-cantik buat kamu, terus rambut aku kamu pakein helm?!”
“Soalnya di rumah tinggal nyisa ini, Yang.”
“Nggak mau! Nanti rambut aku nyeplak helm!!”
“Tapi, Yang..”
“Liat, ini mau ujan! Terus kamu mau pakein aku pake plastik yang ada di bawah jok motormu?!!”
“..Itu namanya jas ujan, Yang.”
“TERSERAH! AKU NGGAK MAU DIPLASTIKIN! AKU BUKAN BIBIT LELE!”
Tau gini jadinya, gue jemput aja Murni pakai otoped.
Kemudian batal malem mingguan.
Murni cuma mau diajak jalan kalau gue bawa mobil. Mobil di rumah cuma ada satu. Dan itu dipakai bokap, nyokap, dan kakak gue. Sebagai anak paling bontot, gue cuma disisain otoped. Dunia memang kejam. Belum selesai sampai di situ, Murni ini paling ogah kalau diajak makan di empire.
“Yang, kita makan di sini aja ya.” Gue minggirin mobil.
“NGGAK MAU! ITU KAN EMPIRE!!”
“Hah, empire itu apa?”
“EMPERAN! YOU KNOW EMPERAN??”
Hening.
“Yang, ini lesehan namanya.” Gue mengklarifikasi.
“Terserah. Aku nggak mau makan di pinggir jalan. Kalau nanti ada motor lewat, terus ada becekan nyiprat ke piring, terus becekannya kemakan, terus aku kena hepatitis, terus cantikku ilang, GIMANA?!!”
Gue, garuk-garuk ketek sebelah kiri.
“Kamu pernah mikir sampe di situ nggak, sih??” Bahaya tau, bahaya!” Murni ngeplak-ngeplak dasbor.
Gue, garuk-garuk ketek sebelah kanan.
“Kamu denger nggak sih?!!”
Gue loncat dari jendela.
Setelah menerjang macet dan keluhan demi keluhan yang Murni lontarkan, akhirnya gue berhenti di Citos. Makan di Fish n Co.
“Kamu nggak makan, beb?” Tanya Murni.
“Ngg.. aku udah kenyang kok Yang, makan aja gapapa.”
Dari kejauhan terdengar suara dompet gue menangis.
Mungkin ini yang namanya cinta, bayarin ini bayarin itu, iya-iya aja. Yang penting dia senang..
Sampai pada akhirnya sesuatu yang nggak pernah diharapkan terjadi. Iya, keluarga gue kena masalah finansial yang memaksa bokap gue ngejual mobil semata wayangnya. Uang jajan pun berkurang drastis. Dompet gue tidak sebahagia dulu lagi. Begitu juga dengan kisah cinta gue sama Murni. Murni yang high-class nggak mau kemana-mana naik motor. Kalau dia ngajak makan, gue sering berkelit. Gue sering bilang ada kerja bakti di komplek lah, ada acara sunatan tetangga lah, dapet tugas ngeronda lah, mau nyuci gerbong kereta lah. Pokoknya banyak. Alasannya sederhana, dompet gue nggak cukup kuat nemenin Murni yang nongkrongnya di tempat wah. Gue merasakan minder yang tak berkesudahan.
Perlahan-lahan kami mulai menjauh. Tatapannya ke gue udah nggak seperti dulu lagi. Murni nggak mau gue ajak susah sedikit.
Pernah ada yang berkata, “Baru tahap pacaran aja udah disuruh menderita? Mendingan cari yang lain.”Mungkin kalimat orang itu benar adanya.
Murni pun hinggap ke hati yang lain. Pacaran yang cuma seumur kangkung ini terpaksa bubar. Awalnya, gue cuma bisa bilang Murni adalah cewek yang matre. Tapi seiring berjalannya waktu, gue sadar, kalau Murni nggak benar-benar salah. Cewek butuh pendamping yang mapan.
Ya beginilah jika pacaran menggunakan duit orang tua. Apa yang banyak gue lakukan dulu selalu pakai duit bokap. Intinya, bokap gue yang macarin Murni. Setelah kejadian itu, gue bertekad untuk pacaran menggunakan duit sendiri.
Maafkan aku Murni, aku mengecewakanmu.
====
Libur kuliah dan libur Lebaran belum habis, tapi hubungan cinta gue sama Murni yang udah habis. Gue galau abis. Malam itu, di lantai atas, tepatnya di samping rak jemuran, gue memandangi langit malam. Sekali lagi cuma ada gelap. Nggak pernah ada bintang di sana.
DRTTT.. DRRTT.. hape gue bunyi. Ya geter juga sih.
Kmu lg apa?Gaby SMS.
Lgi cedihh,,, bales gue.
]
Beberapa menit kemudian, hape gue bunyi lagi. Gaby nelfon..
“Halow, kamu sedih kenapa Downyyy?”
“Ah, gapapa kok, Mbem..”
“Gimana sih, tadi katanya lagi sedih??”
“Ah, aku bohong kok. Hehe.”
“HAYO, CERITA NGGAK?! Kamu kalau ada apa-apa cerita sih.”
“Hehe..” Gue cuma bisa cengegesan.
“Kamu ngapain sih di Bali? Ke Jakarta dong. Kangen tauk.”
DHEG.
Gue langsung merasa bersalah banget. Padahal kan saat itu gue lagi di Jakarta. Kalau dia sampai tau 4 minggu ini gue habiskan masa liburan bersama cewek lain, pasti Gaby langsung nusuk-nusuk boneka pandanya yang ditempelin foto gue. Gue bakal muntah paku. Gimana ini..
Tapi memang karena kondisi gue lagi di ambang kegalauan, saat itu yang gue butuhkan adalah teman curhat, eh pacar buat curhat. Malam itu, lewat telfon, pertama kalinya gue nyeritain masalah pribadi dan masalah keluarga ke orang lain. Ke pacar yang sendiri. Ke seorang kekasih, yang sering aku tampik, tapi tak juga sirna. Malam itu aku tahu kenapa tak ada bintang di langit, sebab bintangnya sedang sibuk, menyemangati aku, via telepon.
Satu jam dia menelfon gue, kegalauan pun berangsur-angsur membaik. Sekali lagi, unfinished business kembali terkuak. Pertanyaan besar kembali terdengar, “Tuhan, mengapa aku tak bisa jatuh cinta pada perempuan seperti ini? Sudah aku sakiti, sudah aku duai, sudah aku dustai, Tuhan!!”
====
Sebelum kembali ke Jogja, gue ngajak Gaby ketemuan. Di rumahnya. Ini kali kedua gue bertandang ke rumahnya. Di depan teras rumahnya, ada lapangan basket. Sore itu, sambil nontonin orang-orang kompleknya main basket, kami ngobrol serius. Kami ngobrolin banyak hal. Dan tentu aja terselip aroma-aroma masa depan.
Dia sangat terbuka soal kondisi keuangan. Nggak heran karena dia memang udah kerja. Banyak masukan soal keuangan darinya. Gaby nyaranin gue untuk mencari tambahan uang jajan. Dia nyaranin gue nyambi kerja atau berbisnis. Gue bener-bener salut sama cewek kayak dia yang di umur segitu mampu berpikir secara dewasa.
“Mbem, aku heran sama kamu, kamu kemana-mana naik mobil, aku cuma naik otoped. Kenapa kamu nggak nyari cowok yang bawa mobil aja?” Tanya gue yang lagi duduk-duduk di depan terasnya.
“AYANG, APAAN SIH.”
“Kamu cantik, kamu mapan, kamu punya apa yang banyak cewek lain belum punya di usia yang seperti ini. Jika kamu menuntut keadilan, kamu layak mendapat lebih. Selain aku.” Tatap gue nanar.
“AYANG!! UDAH!! CUKUP!!”
“Tapi liat, kamu malah di sini sama cowok yang masih berstatus mahasiswa, lusuh, nggak mampu beliin kamu ini itu. Coba kamu nggak nolak lamaran pengusaha itu, pasti kamu sekarang udah tidur di istana.”
(Nempelin telunjuknya di bibir gue) “Aku mau nemenin kamu dari zero sampai jadi hero. Dari nothing sampai jadi something. I know this is crazy, i know this can not make a sense. But i love you.” Balas Gaby pelan.
Tatapan gue mulai berkaca-kaca.
“Di samping pria sukses ada wanita sukses yang mendampinginya. Aku mau jadi wanita sukses itu.” Ucapnya lagi.
Gue nangis di ayunan.
(Meluk gue) “Udah ya ayangg tuptuptup.. kamu jangan ngomong gitu lagi yaa.”
Gue ereksi.
Mungkin benar, punya atau belum punya kemapanan, cinta akan selalu hadir. Cinta mengangkat yang berkekurangan dan menerbangkan apa yang sudah berlebih. Dia mengangkat aku yang sedang berkekurangan. Dia tidak melihat apa yang aku punya sekarang. Dia melihat tekadku untuk mempunyai sesuatu di masa depan.
====
Libur telah usai. Gue balik ke Jogja untuk kuliah. Gue juga memutuskan untuk berbisnis di sela-sela padatnya jadwal kuliah guna menambah uang jajan. Jadi seenggaknya nggak nyusah-nyusahin orang tua banget gitu lah. Banyak, dari kaos, reseling, dan bantu-bantu temen promosi event atau barang. Bisnis yang gue jalankan saat itu memang sentrup-sentrup nafasnya, kadang menghasilkan kecil, kadang menghasilkan luka. Ujung-ujungnya Gaby juga yang nalangin utangnya.
HAHAHAHAHAsu.
Perlahan namun nggak pasti, bisnis yang gue geluti sedikit demi sedikit, hasilnya bisa dipakai buat uang jajan. Jajan henfon baru, misalnya. Saat itu, gue merasa menjadi mahasiswa yang luar biasa. Money can buy everything. Tapi dengan uang yang gue punya saat itu, masih nggak mampu membeli jarak.
Belum, belum happy ending. Cobaan kembali datang. Cobaan akan datang bagi ia yang berani bersungguh-sungguh. Masih mahasiswa, mandiri, dan berpenghasilan. Mahasiswi mana yang nggak tertarik? Dan gue jauh dari kekasih. Gue ini nggak pandai bercerita, makanya ending dari cerita ini dengan sangat mudah dapat ditebak.
Di atas langit masih ada langit. Di atas cakep, masih ada cakep. Di atas mapan masih ada yang mapan. Di atas kesombongan, maka beginilah akhirnya.
Gue jatuh cinta dengan mahasiswi fakultas Hukum universitas lain di Jogja. Terus kok bisa ketemu? Sederhana, dari bantu-bantu temen promosin event, dan gue ketemu Yasha di kampusnya. Lagi gatheringgitu. Yasha seorang foto model. Saat itu, namanya kampus idol kalau nggak salah. BUKAN. BUKAN AYAM KAMPUS. BUKAN. Tentu aja cakepnya ngalahin dia-yang-jauh-di-sana, dia yang hadirnya sering aku tampik, tapi tak juga sirna.
Dengan apa yang gue punya saat itu, sebagai mahasiswa, gue punya sesuatu untuk menaklukannya. Bahkan, gue beberapa kali ngerental mobil sampai seminggu cuma buat nemenin dia kemana-mana. Sok banget kan? Money can do many things.
Gue dengan Yasha pun berpacaran. Tentu saja tanpa sepengetahuan dia-yang-jauh-di-sana lagi tentunya. Saat itu, kebetulan ada long weekend. Hari kamis libur, dan jumat adalah hari kejepit. Dari hari Rabu, gue udah bilang ke dia-yang-jauh-di-sana, kalau gue jadi nggak balik ke Jakarta. Gue ada urusan bisnis di Jogja. Dia pun dengan mudah mempercayainya.
Dan kebetulan lainnya, di hari Jumatnya, Yasha ulang tahun. Di sebuah kafe di Jogja, gue ada di sampingnya untuk merayakan ulang tahunnya.
“Beb, tas kecilku ketinggalan di mobil. Ambilin dong.” Teriak Yasha di tengah destak-destak lagu disko.
“Ada payung, ndak?”
“Lah, buat apa beb?” Teriak Yasha di tengah kebisingan.
“Di luar hujan, sayang..”
“Yaudah lari aja, bentar doang kok. Paling basah dikit.”
Akhirnya gue cuma pakai hoodie untuk menerjang hujan. Gue lari ke parkiran. Yasha markir mobil di parkiran outdoor. Alamat gue basah kuyub ini. Di tengah hujan, gue sedang merogoh kantong, mencari kunci mobil Yasha.
Tiba-tiba hujan berhenti.
Gue nengok ke belakang.
Ternyata hujannya nggak berhenti.
Gue lagi dipayungin sama seseorang.
“KA-KAMU?” Gue kaget-kaget lucu.
“Ini mobilmu?”
“Bu-bukan, ini mobil temen. Kamu kok bisa di sini??!!” Gue terbelalak, panik.
“Lho, aku kan mau kasih kamu surprise.” Jawab cewek itu.
“Ya, tapi kamu kapan ke sini?? Kamu nggak kerja apa gimana??!”
“Aku sampe di sini sore tadi. Barusan aku ke kosmu, kamu nggak ada. Ya, aku telfon Sobirin aja. Katanya kamu lagi di sini.”
Sobirin cen asu tenan.
“Ya tapi kan, bisa bilang ke aku, nanti bisa aku jemput di bandara kann.”
“Nggak usah. Nggak usah sok baik. Aku udah tau semuanya!”
Gue hening di bawah payung yang dipegang Gaby.
“Kamu ngapain di tempat kayak gini?!” Tanya Gaby lagi.
“Te-temenku ulang tahun, mbem.”
"Ulang tahun apa? Sampe malem kayak gini?" Bales Gaby lagi.
Dari arah kafe, terdengar suara langkah kaki. Mendekat ke parkiran. Seorang gadis membawa payung.
“Sayang, kok lama banget?? aku telfon kok nggak diangkat-angkat sih. Udah mulai tuh acaranya."
“Apa?! Sayang?! Don, ini siapa!!” Gaby memotong.
Gue cuma diem.
“Sayang, cewek ini siapa?” Giliran Yasha yang bertanya balik
.
“APA?! KAMU YANG SIAPANYA PACARKU?!” Gaby ngamuk.
Hujan makin deras.
“UDAH AKU DUGA!! BENER KATA SOBIRIN!! KAMU SELINGKUH!!” Gaby nangis.
Tuh kan, Sobirin asu tenan.
“KAMU JAHAT!! JAHAT!!!! DASAR PLAYBOY!!!!!!” *PLAKK!!* Jemari lembut Gaby mendarat keras di pipi kanan dan menyatu dalam isak tangisnya.
Yasha cuma diem. Ngeliatin.
“Ini bohong kan Don? Ini cuma bohongan kan?” Tanya Yasha.
“JANGAN PERNAH KAMU LAKUIN INI LAGI KE CEWEK LAIN!!! KAMU AKAN NYESEL PERNAH NYIA-NYIAIN AKU!!!” Gaby makin keras nangisnya.
Hujan terus turun.
Gaby pergi, dia ngelempar payungnya ke arah gue. Dia terisak-isak berlari menghindari hujan.
“GABY TUNGGU!!!!!” Gue berusaha ngejar Gaby.
“LOH, KAMU MAU KE MANA HAH?!” Yasha tiba-tiba berdiri di depan gue.
“Yasha, gi-gini, aku bisa jela..”
*PLAKK!!!*
Jemari seorang foto model, sukses mendarat keras di pipi kiri gue.
“Kamu jahat!! Dulu kamu bilang nggak punya pacar!! Nyesel aku kenal sama kamu!!” Teriak Yasha.
“Ya-Yas, aku jelasin dulu, gi..”
“UDAH PERGI KAMU SANA!! AKU NGGAK MAU LIAT KAMU LAGI!!!” Teriak Yasha sambil ngambil kunci mobilnya dari tangan gue.
Yasha pun balik ke kafe, mukanya pucat. Gue basah kuyub. Gue ngejar Gaby, tapi nggak ada. Dia udah hilang di dalam taksi yang entah membawanya ke mana. Kejadian ini berlangsung begitu cepat. Gue bahkan nggak sadar dengan apa yang barusan terjadi.
Tiba-tiba Gaby datang, dan beberapa menit kemudian gue jadi seperti ini. Gue buru-buru telfon Gaby, dan.. yak, di-reject.
Bener kata Bolu, cinta dapat mengubah benci jadi sayang dalam hitungan detik dan begitu juga sebaliknya. Saat itu gue juga jadi mengerti, bahwa masih ada yang lebih deras dari hujan yang pernah dijatuhkan langit, hujan yang jatuh dari mata perempuan.
Maafkan aku Gaby, aku mengecewakanmu.
Maafkan aku Yasha, aku mengecewakanmu.
Sekujur tubuh basah. Namun, kuyubnya merembes sampai ke hati.
=====
Sesampainya di kos, gue nggak bisa tidur sampai pagi. Kalimat Gaby yang bilang kalau gue playboy terus terulang-ulang di kepala. Jadi, seperti ini rasanya jadi playboy.. tak sesuai dugaan. Di tengah-tengah merenungi kesalahan, subuh-subuh, ada SMS masuk dari unknown number.
Quote:
Oh God, is this a message from you?
====
0

