- Beranda
- Stories from the Heart
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!" - The Untold Story.
...
TS
donnjuann
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!" - The Untold Story.
INDEKS UPDATED
Personal Literature: The Not so Sweet Life from Don Juan
Bab 1 - The Intro
Bab 2 - Ujian Awal Kehidupan
Bab 3 - In Cewek Jegeg We Trust
Bab 4 - Kelas Kakap on Facebook
- Introduction
- Chapter 1
- Chapter 2 - Story Continues
- Chapter 3 - "Kambing lo, mbing!"
- Chapter 4 - Memilih
- Chapter 5 - Mengunjunginya
- Chapter 6 - akhirnya aku menemukanmu
- Chapter 7 - shinjuku incident
- Chapter 8 - a little confession
Bab 5 - Tipe-tipe cowok yang membuat hati cewek Bergejolak
Bab 6 - Kost Terkutuk
Bab 7 - Pasangan yang Romantis
Bab 8 - Hati yang atletis
Bab 9 - Beberapa PDKT yang Sebaiknya Jangan Dilanjutkan
Bab 10 - THE HANDSOMOLOGY
- The Introduction Of The Handsomology
- The Handsomology part 2 - The Step and Arts
- The Handsomology part 3 - Logika versus Emosi
Bab 11 - Changing Room
Bab 12 - The Unfinished Bussines
Bab 13 - The last: A Message from God
Spoiler for HARAP DIBUKA:
Cerpen-cerpen Don Juan
Never Try You Will Never Know
True Gamer Never Cheating
Memusuhi kok ngajak-ngajak
Selingkuh Yang Tidak Biasa
How i met your Mother
When a Girl Takes The Bill
Yang Nyakitin Yang Dipertahanin
The Jomblonology
5 Kenyataan Pahit dalam Hidup
The Long Distance Religionship
Ini ada cerita tak seberapa dariku untukmu.
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!"
-Sebuah kisah memilukan Facebooker pencari jodoh-
Enjoy!
Spoiler for Tokoh dan Karakter:
Spoiler for How to enjoy this story:
Diubah oleh donnjuann 20-09-2013 01:05
anasabila memberi reputasi
1
52.1K
355
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
donnjuann
#294
Bab 12 - The Unfinished Bussiness
#12
“JADI, VIRUS ADALAH SEBUAH JASAD RENIK YANG TERSUSUN DARI PROTEIN YANG BERUKURAN SANGAT KECIL . HANYA BISA DILIHAT MENGGUNAKAN MIKROSKOP ELEKTRON DAN SEMACAMNYA.”
Begitulah dongeng Pak Rohman, dosen mata kuliah Dasar-dasar Mikrobiologi pagi itu.
Ya, gue adalah mahasiswa Jurusan Mikrobiologi sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Belajar tentang mikrobiologi, berarti belajar tentang hal-hal kecil yang nggak keliatan pake mata telanjang. Iya, hal-hal kecil.
Dan inilah sebab mengapa gue terbiasa memperhatikan hal-hal kecil. Dan tentu saja hal ini gue aplikasikan ke cewek gue. Banyak hal-hal kecil darinya yang nggak luput gue perhatikan. Seperti ini contohnya.
“Sayang, itu behel kamu kok warna-warni? Beda vendor ya? Hayoo, beli di kaskus ya?!”
“Sayang, berat kamu kayaknya nambah 4 ons deh.”
“Sayang, celana gemes kamu kurang ketat. Kurang nyeplak.”
“Sayang, kalau jalan pake kaki kiri dulu ya. Tapi kalau mau pake kaki kanan dulu ya boleh-boleh aja sih.”
Ternyata memperhatikan hal kecil dan memperhatikan hal nggak penting itu beda-beda tipis.
Kuliah pagi, menahan mules, menahan kantuk, dan juga menahan kangen, adalah paket lengkap yang harus gue alami saat kuliah Pak Rohman berlangsung. Gue yang duduk di deret paling depan, harus terus menjaga agar tatapan tetap lurus ke depan, walau beberapa kali tertangkap basah ngantuk-ngantuk lucu gimana gitu.
Di sela-sela kantuk tak tertahankan, hape gue bunyi. Dendangan “Cinta satu malam oh indahnyaaa.. Cinta satu malam buatku melayanggg..” menggema di ruangan.
“ITU TOLONG HAPENYA DI-SILENT YA, MAS.” Kata Pak Rohman tanpa melihat ke belakang. Dia asik berbincang dengan whiteboard-nya sendiri.
“Oh iya pak, maaf pak.” Gue langsung nge-reject telfon masuk itu.
Waduh, ini telfon dari Gaby. Ada apa gerangan nelfon jam segini? Apa dia sedang dirajam kangen berkepanjangan? Sebegitu kangenkah dia pada pelukan? Begitulah, Tuhan menciptakan lenganku karena dia tak mampu memeluk dirinya sendiri.
Beberapa detik kemudian hape gue bunyi untuk kedua kalinya.
“MAS, SEKALI LAGI, TOLONG HAPENYA DI-SILENT YA.” Pak Rohman akhirnya memalingkan badannya dari whiteboard kesayangannya.
“Lha, udah saya silent pak.”
“KOK MASIH KERAS SUARANYA?” Pak Rohman menaikkan kacamatanya, melihat gue secara lebih dekat.
“Itu bunyi geter hape saya pak.”
“LHO, KOK SUARA GETERNYA LEBIH KERAS DARIPADA NADA DERINGNYA? SAYA KIRA TADI GEMPA!!”
Satu kelas ketawa. Punchlinepak Rohman kena banget. Kampret. Padahal, apa yang lucu dari bit barusan? Hape gue geter, terus satu ruangan keikut geter, lucunya di mana?! Pak Rohman stand up comedian gagal.
“Pak, saya izin ke toilet dulu. Sepertinya ada telfon penting.” Bales gue.
“OH, IYA, NANTI BEGITU MASUK KE KELAS LAGI, BATRE HAPENYA DICABUT SAJA YA.”
“HAHAHAHAHA.” Satu kelas ketawa lagi. Pecah.
Gue mesem.
Sesampainya di luar ruangan, gue langsung menelfon si embem Gaby. Semoga dia sedang bercelana gemes dan berbaju ketek sewaktu ngangkat telfon gue.
“Hallo mbem, kenapa?”
“Jemput aku sekarang.”
“Sudah sayangg, rindumu sudah aku jemput di peron kedatangan cinta kita.” Gue basa-basi.
“Aku udah di Adisucipto.”
Gue nelen ludah sebentar.
“APAAHHH?!!!?
“Beneran ini loh.”
“LHO, KATANYA KAMU KE JOGJA HARI SABTU? INI MASIH HARI SELASA!! INI SELASA, CUK!!!”
“Lho, gimana sih, dikasih surprise kok malah nggak seneng. Hih.”
“TA-TAPI MBEM..”
“Jemput aku sekarang ya, kalau nggak, aku mau pacarin pramugara aja. Tadi ada yang mukanya kayak Taylor Lautner.”
“GIH SONO! GIH SONO PACARIN!!!” Gue ngebatin dalem hati.
“EH TU-TUNGGU, IYA-YA AKU KE SANA SEKARANG!!” Gue kalang kabut.
Gimana ini, gue masih ada kelas pagi Pak Rohman. Biasanya, menjelang kelas bubar, beliau suka ngasih kuis dadakan. Dan udah dua kali gue nggak berangkat kuliah pas Pak Rohman ngasih kuis. Sekali lagi gue bolos, gue bisa hatrick. Gue pun menggaruk-garuk kepala, berpikir keras buat nyari alesan kabur di tengah jam perkuliahan berlangsung.
“PAK ROHMAN, SAYA IZIN KELUAR SEBENTAR!! TEMAN KOSAN SAYA MELAHIRKAN!!” Teman kosan gue kan cowok semua. Pak Rohman bisa curiga.
“PAK ROHMAN, SAYA IZIN MAU KE RUMAH SAKIT!! IKAN LELE SAYA LAHIR CESAR!!" Ini juga nggak mungkin. Lele kan berkembang biak dengan membelah diri..
“PAK ROHMAN, LIHAT!! ADA EMA WATSON PAKE CELANA GEMES!!!! WOW!!!”
Begitu Pak Rohman nengok ke samping, gue ngambil tas, langsung kabur. Dan itu juga nggak mungkin.
Akhirnya gue memutuskan untuk mengambil sebuah alasan yang kayaknya bakal menyentuh sanubari. Gue buka pintu. Memasuki ruangan dengan langkah gontai. Memasang wajah parau. Menatap Pak Rohman yang tengah berbicara di depan kelas.
“Pak Rohman, saya mau izin.”
“LHO, BUKANNYA KAMU SUDAH KE TOILET?” Jawab Pak Rohman.
“Lha, ini saya baru dari toilet, Pak. Saya mau izin keluar sebentar.”
“LHO, MAU KE MANA KAMU?”
Gue menatap Pak Rohman. Pak Rohman menatap gue. Adegan tatap-tatapan antar lelaki yang berlangsung cukup mengkhawatirkan ini, gue akhiri dengan mata berkaca-kaca dan suara terseret-seret.
“P-Pak, ba-barusan saya ditelfon seseorang, dan dia sekarang menunggu saya di bandara.”
“SIAPA ITU?”
“Tambatan hati saya Pak. Kami dipisah jarak. Sudah bertahun-tahun kami tak bersua. Semua yang telah kami lewati selama ini hanya sebatas suara kresek-kresek via telepon. Dan mungkin, di jam mata kuliah Pak Rohman ini.. Tuhan menjawab rindu kami. Sekarang, Ia mempertemukan kami.”
Pak Rohman hening.
“Bagai daun kering yang tergeletak di tanah, pada akhirnya akan diterbangkan angin juga. Semua tinggal menunggu giliran, hidup hanyalah perihal menunggu. Namun perihnya, rindu tak punya banyak waktu untuk menunggu..”
Pak Rohman mengucek matanya.
Pak Rohman menangis.
“SUDAH-SUDAH.. JEMPUT KEKASIHMU SEKARANG.. JANGAN MENGULUR-NGULUR WAKTU LAGI..” Jawab Pak Rohman sambil mengambil sapu tangan di saku celananya. Mengusap air matanya. Tak kuasa menahan haru.
“ANAK-ANAK.. HARI INI KITA TELAH BELAJAR ARTI CINTA SESUNGGUHNYA DARI SEPASANG YANG DIJAUHKAN JARAK DAN WAKTU.. NAMUN MEREKA TETAP BERJUANG HINGGA TUHAN MENJAWAB DOA MEREKA..”
Satu kelas memberikan standing applause. Sorak dan sorai pun mengantarkan kepergian gue dari ruangan itu. Tepat ketika gue memegang gagang pintu untuk keluar dari ruangan, Pak Rohman seketika menghentikan langkah kepergian.
“TU-TUNGGU, SIAPA NAMA KEKASIHMU?”
“Ema Watson, Pak.” Jawab gue datar.
Setelah melewati Jalan Affandi dan Jalan Solo, akhirnya gue sampai di International Airport of Yogyakarta, Adisucipto. Setelah memarkir motor pada tempatnya, gue langsung menelfon sang tambatan hati.
“Mbem, di mana?”
“Di Rotiboy, yank.”
“Oke.”
Kaos merah dan celana jeans abu-abu yang agak sedikit belel di bagian lututnya, adalah penampakan dia dari kejauhan. Dari jarak 10 meter gue udah ngeliat Gaby. Dia pun ngeliat gue. Tampak rasa haru tersirat di wajahnya.
Berbulan-bulan lamanya, penantian panjangnya sedikit terobati. Bahagia itu sesederhana laper, lalu tersaji seperangkat lengkap masakan padang. Sesederhana bertanya “Apa kamu jodohku?” dan dijawab “Lho, tentu saja.” Dan tentu aja sesederhana kangen, lalu ketemuan.
Semakin menuju ke dirinya, langkah kaki gue makin cepat, makin cepat, gue berlari menuju ke arahnya. Dia pun melakukan hal yang sama. Dia berlari ke arah gue, makin cepat, makin cepat dan..
Kedua lengan kami bertabrakan. Melingkari satu sama lain. Kami berpelukan.
“Downy, jangan merasa jauh lagi.. aku udah di sini.. deket kamu.”
“Iya, jangan jauh lagi ya. Aku sayang kamu, mbem..”
“Uwuwuwuw mumumuahh..”
....
.....
Ya, itu dugaan awal gue. Kenyataannya?
“HETDAH BUJUG, SAMPE BERLUMUT GUE NUNGGUIN LO DI SINI, ULEKAN RUJAK!” Gaby ngomel-ngomel sambil benerin poni.
“Gi-gini mbem, tadi aku ada kuliah pagi, tunggu jangan marah dulu.”
“Hih.”
“Ya, kamu katanya dateng hari Sabtu, lha ini masih Selasa, aku nggak tau.”
“Iya-iya, maafin aku yaa, Downyy.
“Yaudah, aku maafin. Tapi beliin aku nasi padang, ya.” Bales gue sekenanya.
Bandara. Tempat yang sebenarnya nggak gue suka sedari dulu. Tempat di mana seseorang melepas kepergian, dan seseorang lainnya menyambut kedatangan. Tempat di mana beberapa dari mereka menangis karena ditinggalkan, dan beberapa yang lain menangis karena terharu kembali dipertemukan.
Setelah mampir sebentar ke kosan gue, Pukul 09.38, gue nganterin Gaby ke daerah Pringgodani, ke rumah saudaranya, tempat Gaby menginap selama di Jogja. Awalnya, gue berteriak dalam hati, “Nginep aja di kosan aku!! Nginep aja!! Gapapa!!”, sayangnya kenyataan nggak berlabuh sesuai harapan. Dia udah ditunggu tantenya di Pringgodani. Sebelum gue pamit pulang sama tantenya, gue nyuruh Gaby istirahat dulu sebentar karena gue harus balik ke kampus.
“Downyy, aku ikut!”
“Jangan mbem, jangan.”
“Pokoknya aku mau ikut!!”
Tanpa menghiraukan rengekannya, gue tinggalin Gaby yang lari ke dalam kamar untuk ngambil tas kecilnya. Gue langsung lari ke garasi di rumah tantenya, naik ke motor, nyalain motor, masukin gigi, dan..
“LHO, KAMU SEJAK KAPAN ADA DI BELAKANGKU!!!” Gue kaget setengah ganteng.
Gaby tau-tau udah ada di belakang gue, duduk di jok motor sambil memeluk tanpa rasa bersalah.
“Aku mau ikut emangnya kenapa sih?”
“Ya gapapa, kamu kan baru dateng, istirahat dulu kek atau ngapain dulu kek, nanti abis dari kampus aku ke sini lagi.”
“Nggak mau. Aku mau ikut.”
“Jangan mbem, jangan.”
“Kenapa? Kamu takut gebetanmu yang di kampus ngeliat aku?! Iya, takut?!”
“Nggak kok, mbem.”
“OHH, JADI BENER KAMU PUNYA CEWEK LAIN?!! KAMU JAHAT!!” Gaby mukul-mukul punggung gue.
“LHA, BUKAN BEGITU MAKSUDNYAA.” Gue jedot-jedotin kepala ke stang motor.
“Yaudah, ke UGM ya mas.” Gaby menepuk pundak gue. Dia merasa sedang menunggang sebuah ojek.
Gaby cuti kerja selama seminggu hanya untuk bisa nyamperin gue ke Jogja. Ya, Gaby bekerja pada sebuah maskapai penerbangan. Nah, inilah alasan kenapa teman-teman gue di facebook mengira gue memacari seorang tante-tante. Gue memacari seorang cewek yang udah bekerja, walaupun gue dan Gaby seumuran.
Awalnya, gue mengira dia adalah seorang pramugari. Dengan kadar ke-embem-an yang seperti itu, dia bisa saja dinobatkan sebagai The Most Embem Pramugari of The Year. Dulu, waktu semasa pedekate, gue pernah nanya kenapa dia nggak jadi pramugari saja.
Dia cantik, dia embem, dan dia bisa terbang kemana-mana naik pesawat. Namun, dia menggeleng, entah apa alasannya. Begitu udah jadian, dia malah bilang kayak gini.
“Sekarang, aku udah jadi pramugari kok. Aku akan memandu penerbangan pesawat hatimu, hingga mendarat di sebuah kota, di mana kita tak akan lagi sempat berpisah.”
Gue nangis di ayunan.
Di satu sisi gue heran kenapa Gaby sampai bisa niat melakukan hal ini, di sisi yang lain gue terharu karena Gaby melakukan semua ini cuma untuk mendapat apa yang semua pejuang LDR damba-dambakan.
Ketemuan.
Gaby datang ke jogja bukan tanpa oleh-oleh. Sweater ungu yang kami pakai berdua adalah contohnya. Ya, gue datang ke kampus dengan mengenakan sweater ungu yang berinisial huruf “G” di dada bagian kiri. Gaby mengenakan sweater berwarna ungu yang berinisial huruf “D” di dada bagian kanan. Belakangan, apa yang kami kenakan biasa disebut sweater couple.
Kebiasaan yang mempertontonkan kekompakan antar pasangan ini, sering menimbulkan kecemburuan sosial. Terutama ketika memasuki daerah rawan jomblo. Para jomblo akan menatap dengki ke pasangan-pasangan yang memakai hal-hal berbau couple. Kaos couple lah, sweater couple lah, celana dalam couple lah, behel couple lah, hijab couple lah, dan masih banyak lagi.
Dan apa yang barusan gue tulis benar-benar terjadi. Ketika sampai di kampus, banyak teman-teman langsung menatap gue dengan tatapan “Anjir-siapa-tu-yang-lo-gandeng-cakep-abis-nyet”. Sweater berwarna janda yang gue dan Gaby pakai nampaknya mengundang kedengkian asmara. Karena gue harus ke ruang dosen untuk mengumpul beberapa tugas, Gaby gue anter dulu ke kantin. Sekalian ngenalin ke teman-teman gue yang dari raut wajahnya terpampang jelas rona “Anjis-nggak-rela-gue-ngeliat-lo-ngegandeng-ni-cewek” gimana gitu.
Pas banget, di kantin ada anak-anak lagi ngumpul. Dan tentu aja ada Sobirin, salah satu teman gue yang tergolong ke dalam genus garem rujak.
“Mbem, kenalin, ini Sobirin.”
“Halo, panggil aja gue, Sob.” Sobirin ngeberat-beratin suaranya diiringi sibakan cepat tangannya ke poni.
“Iya, Halo, Gaby.” Gaby menjawab sapaan garing Sobirin.
“Don, ini pacar kamu?” Amel memotong.
“Bukan, ini tante aku.” Jawab gue.
“Ohh, pantes.. Akrab yaa.” Jawab anak-anak.
Kaki gue diinjek Gaby.
Malam harinya, gue ngajak Gaby jalan-jalan ngelilingin Jogja. Konon katanya, siapa yang pernah meluk atau nyium tugu Jogja, suatu hari nanti bakal balik lagi ke situ. Setelah gue ceritain mitos itu, Gaby langsung meluk-meluk tugu Jogja dengan membabibuta. Dia pun minta difotoin sama tugu Jogja. Katanya, dia juga mau bawa pulang tugu Jogja. Nampaknya, Gaby punya obsesi menyimpang sama tugu Jogja yang satu ini. Waktu gue tanya kenapa dia semangat banget meluk tugu Jogja, dia jawab,
“Aku mau meluk tugu Jogja, supaya besok aku kembali lagi ke sini, meluk kamu.”
Gue nangis di atas tugu Jogja.
Setelah banyak foto dengan dua jari di pipi dan kepala miring-miring dihasilkan di tugu jogja itu, gue juga ngajak Gaby ke Malioboro. Kalau ke jogja tapi nggak ke Malioboro, ibarat pacaran tapi nggak boleh gandeng tangan, kalaupun dikasih, yang dikasih cuma kelingkingnya aja. Hiii..
Dan tentu aja Gaby gue ajak mamam di angkringan. Kalau ke jogja tapi nggak nongkrong di angkringan, ibarat pacaran tapi nggak boleh nyium, kalaupun boleh nyium, yang dikasih cuma kening, itu pun kening gagang telepon. Cium-ciumnya lewat telepon. Hiii..
Gue pun bersenda gurau di tiker lesehan angkringan, memandangi kerlap-kerlip jogja di malam hari, memandangi kendaraan berlalu-lalang, dan sedikit demi sedikit, pelan-pelan, candaan malam itu pun menyinggung masa depan. Kalimat “Aku mau terus kayak gini sama kamu, di deket kamu”yang nggak sengaja diucap Gaby dalam baluran canda tawa, membuat gue merenung dalam keramaian.
Bolu pernah bilang, “kalau seseorang mulai membicarakan masa depannya bersamamu, dia mau serius sama kamu.” membuat gue kembali flashback rentetan-rentetan kelakuan gue di sini ketika Gaby jauh di sana. Gue cuma pengin bilang kalau Gaby sepertinya merencanakan masa depan dengan orang yang salah. Tapi sekali lagi, kerut basah bibirnya, rona merah juga lesung pipinya ketika tersenyum, cuma mampu membuat gue mengucap “Iya sayangg, aku juga.”
Ketika malam makin menunjukkan gelapnya, gue juga ngajak Gaby ke Alun-alun kidul. Tempat di mana dua pohon besar yang juga konon hanya dapat dilewati oleh orang berhati bersih dengan mata tertutup.
Kalau berhati kotor, pasti nggak akan mampu ngelewatin tengah-tengah dari dua pohon besar itu. Makanya gue nggak pernah mau mencoba ngelewatin tengah-tengah dua pohon besar itu, karena gue tau hati gue kotor. Mungkin itu yang terjadi pada dua fase perkembangan cinta gue. Ketika masih belajar, gue akan dilukai. Ketika mulai mahir, gue yang akan berganti melukai.
Sambil menyeruput wedang ronde yang dibeliin Gaby, gue sekali lagi memandangi langit malam, tapi cuma ada kelam. Sekali lagi gue melihat tangan gue yang Gaby genggam, tapi yang ada hati ini remuk redam.
“Yank, kamu mau lulus kapan?”
“Waduh, mbem, masih jauh kayaknya.”
“Kalau wisuda, kapan?”
“Lha, aku masih semester berapa ini.. masih jauh juga.” Jawab gue.
“Masih jauh ya?”
“Iya, mbem, masih jauh. Kenapa emangnya?”
“Gapapa, biarpun masih jauh, aku mau dampingin kamu waktu wisuda nanti.”
Gue keselek mangkuk wedang ronde.
Malam itu aku sadar bahwa jarak tak benar-benar memisahkan.
Ketidakadaanmu di dalam pandanganku yang sejatinya memisahkan. Nggak ada Gaby di pandangan gue. Terlalu sering berlayar membuat gue jauh dari dermaga. Enggan berlabuh.
Pagi itu, telfon berdering. Entah kenapa, selalu ada aja orang yang nelfon gue pagi-pagi. Dan tentu aja gue angkat dengan nyawa seadanya.
“Emrhh, haalo.”
“Donyii, udah bangun?”
Mata gue seketika terbelalak.
“Lah, kenapa Na?”
“Aku ada di depan kosmu ni. Aku bawa bubur ayam kesukaanmu. Hehe.”
ANJRIT. Kalau Gaby sampe ke sini lalu ngeliat Nana, bisa dijadiin dadar jagung gue.
“Ngapain ke siniiii Naaa, duhhh.”
“Lho, emangnya kenapa? Nggak boleh? Aku bangun pagi cuma mau nganterin bubur kesukaan kamu. Yaudah, aku pulang deh. Bye.”
“EHHH, TUNGGU. IYA-IYA, AKU CUCI MUKA DULU. TUNGGU!!”
Dengan terbirit-birit gue beranjak dari kasur, JEDAKK!! Kelingking kaki gue menghantam kaki meja, tidak lupa berteriak kata-kata kotor dan menjerit, gue lompat-lompat kesakitan sambil memegangi kelingking kaki, dan.. BRAKK!!
Pelipis kiri gue sukses menyundul pinggiran lemari. Gol yang sangat indah berhasil gue sarangkan ke gawang. Tangan kiri gue megangin kelingking kaki kiri, tangan kanan gue megangin pelipis kiri, dan juga sembari terkapar di lantai, gue menjerit..
“AAAAKKK.. KEPALA GUE BOCOR!!!! BOCOR!!!!”
Iya, berdarah.
Dari luar kamar, ada suara ngetuk-ngetuk pintu.
“Don, bangun lu wey.. ada cewek nyariin elu tuh di luar.” Suara Reza dari luar kamar.
“Suruh nunggu di teras dulu aja, nyet!!” gue masih terkapar di lantai.
“Iye udah, dia udah di teras noh.”
Sambil memegangi handuk buat menghentikan pendarahan luka di pelipis kiri, gue keluar dari kamar buat nyambut Nana yang udah nunggu di teras.
"Sorry Na, udah nunggu lama ya?” Sapa gue sambul memegangi handuk di jidat.
“DONYIII!!”
“Ya?”
Bungkusan berisi bubur yang dipegang Nana terjatuh.
“ITU KAMU KENAPA?!”
“Hah, kenapa? Aku makin ganteng ya?”
“BUKAN!! ITU KENAPA BERDARAH GITU?!! KAMU ABIS NGAPAIN?!!
TIDAKKKKK..” Nana histeris ngeliat handuk di yg gue pegang yang penuh bercak darah.”
Dugaan gue ternyata salah. “Oh, ini.. Barusan aku nyundul lemari.”
“AKU ANTER KE SARDJITO SEKARANG!! KAMU SIAP-SIAP!! ITU HARUS DIJAHIT!! KALAU NGGAK DIJAHIT NANTI KAMU BISA KEHABISAN DARAH!! KALAU KEHABISAN DARAH NANTI BISA DEHIDRASI!! KALAU KAMU DEHIDRASI NANTI KA..
Gue nempelin telunjuk ke bibir Nana, “Nana, udah.. Aku nggak apa-apa.”
“TA.. TAPI JIDAT KAMU BOCOR!”
“Nana.. aku nggak apa-apa. Oh iya, dehidrasi itu karena kekurangan minum Na, bukan kekurangan darah. Kalau kekurangan darah itu namanya insomnia.”
“ANEMIA!” Nana memotong dengan cepat.
Ya, begitulah Nana. Sifat keibuannya membuat hati mahasiswa rantau seperti gue terenyuh. Bagaimana tidak, gue yang jauh dari rumah, jauh dari kekasih, juga jauh dari belaian seorang ibu secara langsung, dan kemudian Nana datang mendekatkan semuanya. Dia juga yang banyak memberi pengetahuan ke gue tentang membina hubungan via telepon selular. Mungkin sebentar lagi, dia bakal menerbitkan buku “LDR for Dummies”. Sambil menahan senat-senut akibat luka di pelipis kiri, gue makan aja bubur ayam yang dibawa Nana.
=====
“JADI, VIRUS ADALAH SEBUAH JASAD RENIK YANG TERSUSUN DARI PROTEIN YANG BERUKURAN SANGAT KECIL . HANYA BISA DILIHAT MENGGUNAKAN MIKROSKOP ELEKTRON DAN SEMACAMNYA.”
Begitulah dongeng Pak Rohman, dosen mata kuliah Dasar-dasar Mikrobiologi pagi itu.
Ya, gue adalah mahasiswa Jurusan Mikrobiologi sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Belajar tentang mikrobiologi, berarti belajar tentang hal-hal kecil yang nggak keliatan pake mata telanjang. Iya, hal-hal kecil.
Dan inilah sebab mengapa gue terbiasa memperhatikan hal-hal kecil. Dan tentu saja hal ini gue aplikasikan ke cewek gue. Banyak hal-hal kecil darinya yang nggak luput gue perhatikan. Seperti ini contohnya.
“Sayang, itu behel kamu kok warna-warni? Beda vendor ya? Hayoo, beli di kaskus ya?!”
“Sayang, berat kamu kayaknya nambah 4 ons deh.”
“Sayang, celana gemes kamu kurang ketat. Kurang nyeplak.”
“Sayang, kalau jalan pake kaki kiri dulu ya. Tapi kalau mau pake kaki kanan dulu ya boleh-boleh aja sih.”
Ternyata memperhatikan hal kecil dan memperhatikan hal nggak penting itu beda-beda tipis.
====
Kuliah pagi, menahan mules, menahan kantuk, dan juga menahan kangen, adalah paket lengkap yang harus gue alami saat kuliah Pak Rohman berlangsung. Gue yang duduk di deret paling depan, harus terus menjaga agar tatapan tetap lurus ke depan, walau beberapa kali tertangkap basah ngantuk-ngantuk lucu gimana gitu.
Di sela-sela kantuk tak tertahankan, hape gue bunyi. Dendangan “Cinta satu malam oh indahnyaaa.. Cinta satu malam buatku melayanggg..” menggema di ruangan.
“ITU TOLONG HAPENYA DI-SILENT YA, MAS.” Kata Pak Rohman tanpa melihat ke belakang. Dia asik berbincang dengan whiteboard-nya sendiri.
“Oh iya pak, maaf pak.” Gue langsung nge-reject telfon masuk itu.
Waduh, ini telfon dari Gaby. Ada apa gerangan nelfon jam segini? Apa dia sedang dirajam kangen berkepanjangan? Sebegitu kangenkah dia pada pelukan? Begitulah, Tuhan menciptakan lenganku karena dia tak mampu memeluk dirinya sendiri.
Beberapa detik kemudian hape gue bunyi untuk kedua kalinya.
“MAS, SEKALI LAGI, TOLONG HAPENYA DI-SILENT YA.” Pak Rohman akhirnya memalingkan badannya dari whiteboard kesayangannya.
“Lha, udah saya silent pak.”
“KOK MASIH KERAS SUARANYA?” Pak Rohman menaikkan kacamatanya, melihat gue secara lebih dekat.
“Itu bunyi geter hape saya pak.”
“LHO, KOK SUARA GETERNYA LEBIH KERAS DARIPADA NADA DERINGNYA? SAYA KIRA TADI GEMPA!!”
Satu kelas ketawa. Punchlinepak Rohman kena banget. Kampret. Padahal, apa yang lucu dari bit barusan? Hape gue geter, terus satu ruangan keikut geter, lucunya di mana?! Pak Rohman stand up comedian gagal.
“Pak, saya izin ke toilet dulu. Sepertinya ada telfon penting.” Bales gue.
“OH, IYA, NANTI BEGITU MASUK KE KELAS LAGI, BATRE HAPENYA DICABUT SAJA YA.”
“HAHAHAHAHA.” Satu kelas ketawa lagi. Pecah.
Gue mesem.
Sesampainya di luar ruangan, gue langsung menelfon si embem Gaby. Semoga dia sedang bercelana gemes dan berbaju ketek sewaktu ngangkat telfon gue.
“Hallo mbem, kenapa?”
“Jemput aku sekarang.”
“Sudah sayangg, rindumu sudah aku jemput di peron kedatangan cinta kita.” Gue basa-basi.
“Aku udah di Adisucipto.”
Gue nelen ludah sebentar.
“APAAHHH?!!!?
“Beneran ini loh.”
“LHO, KATANYA KAMU KE JOGJA HARI SABTU? INI MASIH HARI SELASA!! INI SELASA, CUK!!!”
“Lho, gimana sih, dikasih surprise kok malah nggak seneng. Hih.”
“TA-TAPI MBEM..”
“Jemput aku sekarang ya, kalau nggak, aku mau pacarin pramugara aja. Tadi ada yang mukanya kayak Taylor Lautner.”
“GIH SONO! GIH SONO PACARIN!!!” Gue ngebatin dalem hati.
“EH TU-TUNGGU, IYA-YA AKU KE SANA SEKARANG!!” Gue kalang kabut.
Gimana ini, gue masih ada kelas pagi Pak Rohman. Biasanya, menjelang kelas bubar, beliau suka ngasih kuis dadakan. Dan udah dua kali gue nggak berangkat kuliah pas Pak Rohman ngasih kuis. Sekali lagi gue bolos, gue bisa hatrick. Gue pun menggaruk-garuk kepala, berpikir keras buat nyari alesan kabur di tengah jam perkuliahan berlangsung.
“PAK ROHMAN, SAYA IZIN KELUAR SEBENTAR!! TEMAN KOSAN SAYA MELAHIRKAN!!” Teman kosan gue kan cowok semua. Pak Rohman bisa curiga.
“PAK ROHMAN, SAYA IZIN MAU KE RUMAH SAKIT!! IKAN LELE SAYA LAHIR CESAR!!" Ini juga nggak mungkin. Lele kan berkembang biak dengan membelah diri..
“PAK ROHMAN, LIHAT!! ADA EMA WATSON PAKE CELANA GEMES!!!! WOW!!!”
Begitu Pak Rohman nengok ke samping, gue ngambil tas, langsung kabur. Dan itu juga nggak mungkin.
Akhirnya gue memutuskan untuk mengambil sebuah alasan yang kayaknya bakal menyentuh sanubari. Gue buka pintu. Memasuki ruangan dengan langkah gontai. Memasang wajah parau. Menatap Pak Rohman yang tengah berbicara di depan kelas.
“Pak Rohman, saya mau izin.”
“LHO, BUKANNYA KAMU SUDAH KE TOILET?” Jawab Pak Rohman.
“Lha, ini saya baru dari toilet, Pak. Saya mau izin keluar sebentar.”
“LHO, MAU KE MANA KAMU?”
Gue menatap Pak Rohman. Pak Rohman menatap gue. Adegan tatap-tatapan antar lelaki yang berlangsung cukup mengkhawatirkan ini, gue akhiri dengan mata berkaca-kaca dan suara terseret-seret.
“P-Pak, ba-barusan saya ditelfon seseorang, dan dia sekarang menunggu saya di bandara.”
“SIAPA ITU?”
“Tambatan hati saya Pak. Kami dipisah jarak. Sudah bertahun-tahun kami tak bersua. Semua yang telah kami lewati selama ini hanya sebatas suara kresek-kresek via telepon. Dan mungkin, di jam mata kuliah Pak Rohman ini.. Tuhan menjawab rindu kami. Sekarang, Ia mempertemukan kami.”
Pak Rohman hening.
“Bagai daun kering yang tergeletak di tanah, pada akhirnya akan diterbangkan angin juga. Semua tinggal menunggu giliran, hidup hanyalah perihal menunggu. Namun perihnya, rindu tak punya banyak waktu untuk menunggu..”
Pak Rohman mengucek matanya.
Pak Rohman menangis.
“SUDAH-SUDAH.. JEMPUT KEKASIHMU SEKARANG.. JANGAN MENGULUR-NGULUR WAKTU LAGI..” Jawab Pak Rohman sambil mengambil sapu tangan di saku celananya. Mengusap air matanya. Tak kuasa menahan haru.
“ANAK-ANAK.. HARI INI KITA TELAH BELAJAR ARTI CINTA SESUNGGUHNYA DARI SEPASANG YANG DIJAUHKAN JARAK DAN WAKTU.. NAMUN MEREKA TETAP BERJUANG HINGGA TUHAN MENJAWAB DOA MEREKA..”
Satu kelas memberikan standing applause. Sorak dan sorai pun mengantarkan kepergian gue dari ruangan itu. Tepat ketika gue memegang gagang pintu untuk keluar dari ruangan, Pak Rohman seketika menghentikan langkah kepergian.
“TU-TUNGGU, SIAPA NAMA KEKASIHMU?”
“Ema Watson, Pak.” Jawab gue datar.
====
Setelah melewati Jalan Affandi dan Jalan Solo, akhirnya gue sampai di International Airport of Yogyakarta, Adisucipto. Setelah memarkir motor pada tempatnya, gue langsung menelfon sang tambatan hati.
“Mbem, di mana?”
“Di Rotiboy, yank.”
“Oke.”
Kaos merah dan celana jeans abu-abu yang agak sedikit belel di bagian lututnya, adalah penampakan dia dari kejauhan. Dari jarak 10 meter gue udah ngeliat Gaby. Dia pun ngeliat gue. Tampak rasa haru tersirat di wajahnya.
Berbulan-bulan lamanya, penantian panjangnya sedikit terobati. Bahagia itu sesederhana laper, lalu tersaji seperangkat lengkap masakan padang. Sesederhana bertanya “Apa kamu jodohku?” dan dijawab “Lho, tentu saja.” Dan tentu aja sesederhana kangen, lalu ketemuan.
Semakin menuju ke dirinya, langkah kaki gue makin cepat, makin cepat, gue berlari menuju ke arahnya. Dia pun melakukan hal yang sama. Dia berlari ke arah gue, makin cepat, makin cepat dan..
Kedua lengan kami bertabrakan. Melingkari satu sama lain. Kami berpelukan.
“Downy, jangan merasa jauh lagi.. aku udah di sini.. deket kamu.”
“Iya, jangan jauh lagi ya. Aku sayang kamu, mbem..”
“Uwuwuwuw mumumuahh..”
....
.....
Ya, itu dugaan awal gue. Kenyataannya?
“HETDAH BUJUG, SAMPE BERLUMUT GUE NUNGGUIN LO DI SINI, ULEKAN RUJAK!” Gaby ngomel-ngomel sambil benerin poni.
“Gi-gini mbem, tadi aku ada kuliah pagi, tunggu jangan marah dulu.”
“Hih.”
“Ya, kamu katanya dateng hari Sabtu, lha ini masih Selasa, aku nggak tau.”
“Iya-iya, maafin aku yaa, Downyy.
“Yaudah, aku maafin. Tapi beliin aku nasi padang, ya.” Bales gue sekenanya.
Bandara. Tempat yang sebenarnya nggak gue suka sedari dulu. Tempat di mana seseorang melepas kepergian, dan seseorang lainnya menyambut kedatangan. Tempat di mana beberapa dari mereka menangis karena ditinggalkan, dan beberapa yang lain menangis karena terharu kembali dipertemukan.
====
Setelah mampir sebentar ke kosan gue, Pukul 09.38, gue nganterin Gaby ke daerah Pringgodani, ke rumah saudaranya, tempat Gaby menginap selama di Jogja. Awalnya, gue berteriak dalam hati, “Nginep aja di kosan aku!! Nginep aja!! Gapapa!!”, sayangnya kenyataan nggak berlabuh sesuai harapan. Dia udah ditunggu tantenya di Pringgodani. Sebelum gue pamit pulang sama tantenya, gue nyuruh Gaby istirahat dulu sebentar karena gue harus balik ke kampus.
“Downyy, aku ikut!”
“Jangan mbem, jangan.”
“Pokoknya aku mau ikut!!”
Tanpa menghiraukan rengekannya, gue tinggalin Gaby yang lari ke dalam kamar untuk ngambil tas kecilnya. Gue langsung lari ke garasi di rumah tantenya, naik ke motor, nyalain motor, masukin gigi, dan..
“LHO, KAMU SEJAK KAPAN ADA DI BELAKANGKU!!!” Gue kaget setengah ganteng.
Gaby tau-tau udah ada di belakang gue, duduk di jok motor sambil memeluk tanpa rasa bersalah.
“Aku mau ikut emangnya kenapa sih?”
“Ya gapapa, kamu kan baru dateng, istirahat dulu kek atau ngapain dulu kek, nanti abis dari kampus aku ke sini lagi.”
“Nggak mau. Aku mau ikut.”
“Jangan mbem, jangan.”
“Kenapa? Kamu takut gebetanmu yang di kampus ngeliat aku?! Iya, takut?!”
“Nggak kok, mbem.”
“OHH, JADI BENER KAMU PUNYA CEWEK LAIN?!! KAMU JAHAT!!” Gaby mukul-mukul punggung gue.
“LHA, BUKAN BEGITU MAKSUDNYAA.” Gue jedot-jedotin kepala ke stang motor.
“Yaudah, ke UGM ya mas.” Gaby menepuk pundak gue. Dia merasa sedang menunggang sebuah ojek.
Gaby cuti kerja selama seminggu hanya untuk bisa nyamperin gue ke Jogja. Ya, Gaby bekerja pada sebuah maskapai penerbangan. Nah, inilah alasan kenapa teman-teman gue di facebook mengira gue memacari seorang tante-tante. Gue memacari seorang cewek yang udah bekerja, walaupun gue dan Gaby seumuran.
Awalnya, gue mengira dia adalah seorang pramugari. Dengan kadar ke-embem-an yang seperti itu, dia bisa saja dinobatkan sebagai The Most Embem Pramugari of The Year. Dulu, waktu semasa pedekate, gue pernah nanya kenapa dia nggak jadi pramugari saja.
Dia cantik, dia embem, dan dia bisa terbang kemana-mana naik pesawat. Namun, dia menggeleng, entah apa alasannya. Begitu udah jadian, dia malah bilang kayak gini.
“Sekarang, aku udah jadi pramugari kok. Aku akan memandu penerbangan pesawat hatimu, hingga mendarat di sebuah kota, di mana kita tak akan lagi sempat berpisah.”
Gue nangis di ayunan.
Di satu sisi gue heran kenapa Gaby sampai bisa niat melakukan hal ini, di sisi yang lain gue terharu karena Gaby melakukan semua ini cuma untuk mendapat apa yang semua pejuang LDR damba-dambakan.
Ketemuan.
====
Gaby datang ke jogja bukan tanpa oleh-oleh. Sweater ungu yang kami pakai berdua adalah contohnya. Ya, gue datang ke kampus dengan mengenakan sweater ungu yang berinisial huruf “G” di dada bagian kiri. Gaby mengenakan sweater berwarna ungu yang berinisial huruf “D” di dada bagian kanan. Belakangan, apa yang kami kenakan biasa disebut sweater couple.
Kebiasaan yang mempertontonkan kekompakan antar pasangan ini, sering menimbulkan kecemburuan sosial. Terutama ketika memasuki daerah rawan jomblo. Para jomblo akan menatap dengki ke pasangan-pasangan yang memakai hal-hal berbau couple. Kaos couple lah, sweater couple lah, celana dalam couple lah, behel couple lah, hijab couple lah, dan masih banyak lagi.
Dan apa yang barusan gue tulis benar-benar terjadi. Ketika sampai di kampus, banyak teman-teman langsung menatap gue dengan tatapan “Anjir-siapa-tu-yang-lo-gandeng-cakep-abis-nyet”. Sweater berwarna janda yang gue dan Gaby pakai nampaknya mengundang kedengkian asmara. Karena gue harus ke ruang dosen untuk mengumpul beberapa tugas, Gaby gue anter dulu ke kantin. Sekalian ngenalin ke teman-teman gue yang dari raut wajahnya terpampang jelas rona “Anjis-nggak-rela-gue-ngeliat-lo-ngegandeng-ni-cewek” gimana gitu.
Pas banget, di kantin ada anak-anak lagi ngumpul. Dan tentu aja ada Sobirin, salah satu teman gue yang tergolong ke dalam genus garem rujak.
“Mbem, kenalin, ini Sobirin.”
“Halo, panggil aja gue, Sob.” Sobirin ngeberat-beratin suaranya diiringi sibakan cepat tangannya ke poni.
“Iya, Halo, Gaby.” Gaby menjawab sapaan garing Sobirin.
“Don, ini pacar kamu?” Amel memotong.
“Bukan, ini tante aku.” Jawab gue.
“Ohh, pantes.. Akrab yaa.” Jawab anak-anak.
Kaki gue diinjek Gaby.
====
Malam harinya, gue ngajak Gaby jalan-jalan ngelilingin Jogja. Konon katanya, siapa yang pernah meluk atau nyium tugu Jogja, suatu hari nanti bakal balik lagi ke situ. Setelah gue ceritain mitos itu, Gaby langsung meluk-meluk tugu Jogja dengan membabibuta. Dia pun minta difotoin sama tugu Jogja. Katanya, dia juga mau bawa pulang tugu Jogja. Nampaknya, Gaby punya obsesi menyimpang sama tugu Jogja yang satu ini. Waktu gue tanya kenapa dia semangat banget meluk tugu Jogja, dia jawab,
“Aku mau meluk tugu Jogja, supaya besok aku kembali lagi ke sini, meluk kamu.”
Gue nangis di atas tugu Jogja.
Setelah banyak foto dengan dua jari di pipi dan kepala miring-miring dihasilkan di tugu jogja itu, gue juga ngajak Gaby ke Malioboro. Kalau ke jogja tapi nggak ke Malioboro, ibarat pacaran tapi nggak boleh gandeng tangan, kalaupun dikasih, yang dikasih cuma kelingkingnya aja. Hiii..
Dan tentu aja Gaby gue ajak mamam di angkringan. Kalau ke jogja tapi nggak nongkrong di angkringan, ibarat pacaran tapi nggak boleh nyium, kalaupun boleh nyium, yang dikasih cuma kening, itu pun kening gagang telepon. Cium-ciumnya lewat telepon. Hiii..
Gue pun bersenda gurau di tiker lesehan angkringan, memandangi kerlap-kerlip jogja di malam hari, memandangi kendaraan berlalu-lalang, dan sedikit demi sedikit, pelan-pelan, candaan malam itu pun menyinggung masa depan. Kalimat “Aku mau terus kayak gini sama kamu, di deket kamu”yang nggak sengaja diucap Gaby dalam baluran canda tawa, membuat gue merenung dalam keramaian.
Bolu pernah bilang, “kalau seseorang mulai membicarakan masa depannya bersamamu, dia mau serius sama kamu.” membuat gue kembali flashback rentetan-rentetan kelakuan gue di sini ketika Gaby jauh di sana. Gue cuma pengin bilang kalau Gaby sepertinya merencanakan masa depan dengan orang yang salah. Tapi sekali lagi, kerut basah bibirnya, rona merah juga lesung pipinya ketika tersenyum, cuma mampu membuat gue mengucap “Iya sayangg, aku juga.”
Ketika malam makin menunjukkan gelapnya, gue juga ngajak Gaby ke Alun-alun kidul. Tempat di mana dua pohon besar yang juga konon hanya dapat dilewati oleh orang berhati bersih dengan mata tertutup.
Kalau berhati kotor, pasti nggak akan mampu ngelewatin tengah-tengah dari dua pohon besar itu. Makanya gue nggak pernah mau mencoba ngelewatin tengah-tengah dua pohon besar itu, karena gue tau hati gue kotor. Mungkin itu yang terjadi pada dua fase perkembangan cinta gue. Ketika masih belajar, gue akan dilukai. Ketika mulai mahir, gue yang akan berganti melukai.
Sambil menyeruput wedang ronde yang dibeliin Gaby, gue sekali lagi memandangi langit malam, tapi cuma ada kelam. Sekali lagi gue melihat tangan gue yang Gaby genggam, tapi yang ada hati ini remuk redam.
“Yank, kamu mau lulus kapan?”
“Waduh, mbem, masih jauh kayaknya.”
“Kalau wisuda, kapan?”
“Lha, aku masih semester berapa ini.. masih jauh juga.” Jawab gue.
“Masih jauh ya?”
“Iya, mbem, masih jauh. Kenapa emangnya?”
“Gapapa, biarpun masih jauh, aku mau dampingin kamu waktu wisuda nanti.”
Gue keselek mangkuk wedang ronde.
Malam itu aku sadar bahwa jarak tak benar-benar memisahkan.
Ketidakadaanmu di dalam pandanganku yang sejatinya memisahkan. Nggak ada Gaby di pandangan gue. Terlalu sering berlayar membuat gue jauh dari dermaga. Enggan berlabuh.
====
Pagi itu, telfon berdering. Entah kenapa, selalu ada aja orang yang nelfon gue pagi-pagi. Dan tentu aja gue angkat dengan nyawa seadanya.
“Emrhh, haalo.”
“Donyii, udah bangun?”
Mata gue seketika terbelalak.
“Lah, kenapa Na?”
“Aku ada di depan kosmu ni. Aku bawa bubur ayam kesukaanmu. Hehe.”
ANJRIT. Kalau Gaby sampe ke sini lalu ngeliat Nana, bisa dijadiin dadar jagung gue.
“Ngapain ke siniiii Naaa, duhhh.”
“Lho, emangnya kenapa? Nggak boleh? Aku bangun pagi cuma mau nganterin bubur kesukaan kamu. Yaudah, aku pulang deh. Bye.”
“EHHH, TUNGGU. IYA-IYA, AKU CUCI MUKA DULU. TUNGGU!!”
Dengan terbirit-birit gue beranjak dari kasur, JEDAKK!! Kelingking kaki gue menghantam kaki meja, tidak lupa berteriak kata-kata kotor dan menjerit, gue lompat-lompat kesakitan sambil memegangi kelingking kaki, dan.. BRAKK!!
Pelipis kiri gue sukses menyundul pinggiran lemari. Gol yang sangat indah berhasil gue sarangkan ke gawang. Tangan kiri gue megangin kelingking kaki kiri, tangan kanan gue megangin pelipis kiri, dan juga sembari terkapar di lantai, gue menjerit..
“AAAAKKK.. KEPALA GUE BOCOR!!!! BOCOR!!!!”
Iya, berdarah.
Dari luar kamar, ada suara ngetuk-ngetuk pintu.
“Don, bangun lu wey.. ada cewek nyariin elu tuh di luar.” Suara Reza dari luar kamar.
“Suruh nunggu di teras dulu aja, nyet!!” gue masih terkapar di lantai.
“Iye udah, dia udah di teras noh.”
Sambil memegangi handuk buat menghentikan pendarahan luka di pelipis kiri, gue keluar dari kamar buat nyambut Nana yang udah nunggu di teras.
"Sorry Na, udah nunggu lama ya?” Sapa gue sambul memegangi handuk di jidat.
“DONYIII!!”
“Ya?”
Bungkusan berisi bubur yang dipegang Nana terjatuh.
“ITU KAMU KENAPA?!”
“Hah, kenapa? Aku makin ganteng ya?”
“BUKAN!! ITU KENAPA BERDARAH GITU?!! KAMU ABIS NGAPAIN?!!
TIDAKKKKK..” Nana histeris ngeliat handuk di yg gue pegang yang penuh bercak darah.”
Dugaan gue ternyata salah. “Oh, ini.. Barusan aku nyundul lemari.”
“AKU ANTER KE SARDJITO SEKARANG!! KAMU SIAP-SIAP!! ITU HARUS DIJAHIT!! KALAU NGGAK DIJAHIT NANTI KAMU BISA KEHABISAN DARAH!! KALAU KEHABISAN DARAH NANTI BISA DEHIDRASI!! KALAU KAMU DEHIDRASI NANTI KA..
Gue nempelin telunjuk ke bibir Nana, “Nana, udah.. Aku nggak apa-apa.”
“TA.. TAPI JIDAT KAMU BOCOR!”
“Nana.. aku nggak apa-apa. Oh iya, dehidrasi itu karena kekurangan minum Na, bukan kekurangan darah. Kalau kekurangan darah itu namanya insomnia.”
“ANEMIA!” Nana memotong dengan cepat.
Ya, begitulah Nana. Sifat keibuannya membuat hati mahasiswa rantau seperti gue terenyuh. Bagaimana tidak, gue yang jauh dari rumah, jauh dari kekasih, juga jauh dari belaian seorang ibu secara langsung, dan kemudian Nana datang mendekatkan semuanya. Dia juga yang banyak memberi pengetahuan ke gue tentang membina hubungan via telepon selular. Mungkin sebentar lagi, dia bakal menerbitkan buku “LDR for Dummies”. Sambil menahan senat-senut akibat luka di pelipis kiri, gue makan aja bubur ayam yang dibawa Nana.
=====
0

