(B) : Halo?
(H) : Dicta.. Sekarang aku ada di Bali. Pemberangkatan ke Papua nya delay karena cuaca tidak bersahabat disana.
(B) : Kalo begitu, kakak tinggal dimana?
(H) : Aku tinggal di wisma dekat bandara. Gimana kamu hari ini? Masih semangat kan?
(B) : Sebenarnya sih gak semangat. Aku masih shock dengan keadaan ini. Aku belum bisa nerima kenyataan kalo aku seperti ini. Aku membutuhkan seseorang yang selalu mensupport aku, ka.
(H) : Aku selalu ada untukmu, Dicta. Kenapa kamu membiarkan aku pergi ke Papua, kalo kamu gak rela?
(B) : Aku hanya ingin orang yang aku sayangi bahagia dengan pilihan hidupnya. Aku gak mau merebut kekasih Tuhan.
(H) : Hey... Hey.. Dengar Dicta. Aku memang sudah kaul kekal untuk ordoku, tapi aku masih bisa keluar karena belum kaul kekal didepan umat sebagai pastor. Aku belum jadi diakon.
(B) : Ka, aku baru hadir dalam hidupmu sekitar setahun lebih, dan kekasih hatimu sudah hadir dalam hidupmu selama hampir sepuluh tahun. Batinmu sudah terjalin dengan Dia. Aku gak mau kamu menyesal kalo kamu hidup dengan aku.
(H) : Aku tau, Dicta. Tapi saat ini panggilan khususku lenyap. Menikah juga termasuk panggilan hidup yang diberikan pada Tuhan untukku. Mungkin ini jalanNya, aku dipertemukan olehmu.
(B) : Sudahlah ka, kamu lebih baik fokus pada pilihan hidupmu. Aku yakin kamu bahagia dengan kamu menjadi seorang imam.
(H) : Dicta, jika aku menjalani panggilanku, tapi aku tidak enjoy bagaimana? Ini pilihan hidupku, ingin hidup sama kamu.
(B) : Ka, aku masih belum cukup umur untuk menikah. Dalam hukum perdata pun usia untuk menikah itu usia 21 tahun.
(H) : Tapi dalam hukum kanonik usia 18an juga sudah bisa menikah, Dicta.
(B) : Tapi aku belum mapan ka! Aku baru mau jadi mahasiswi nantinya. Aku belum kerja. Aku belum punya pegangan. Anak kita mau dikasih makan apa, ka? Cinta? Lihatlah realitanya, ka.
(H) : Aku tetap ingin menikahimu. Begitu kamu masuk universitas, aku keluar dari biara. Titik!
(B) : Satu permintaanku, ka. Pikirkan baik" semuanya. Aku gak mau kamu menyesal di kemudian hari.