- Beranda
- Catatan Perjalanan OANC
Kayuh Pedal Cumbu Indonesia
...
TS
insanpenyendiri
Kayuh Pedal Cumbu Indonesia
Spoiler for posisi sekarang:
---------------------------
Spoiler for Notes dan foto:
Spoiler for Trit:
Spoiler for Terima Kasih:
Alow men temen

kami ingin share kegiatan yang kami laksanakan.
Quote:
Awalnya, perjalanan ini dilakukan oleh 3 kaskuser dari Forum OANC. Namun di minggu ke-2 perjalanan, satu orang mengundurkan diri. Dua orang yang masih melanjutkan perjalanan adalah stressmetaldan saya.
Kami bertemu setahun silam, beberapa saat sebelum acara Gathnas OANC #1 di Bandung. Setelahnya, seorang dari kami melepas sebuah ide yang selama setahun telah berkembang dan tersusun menjadi Kayuh Pedal Cumbu Indonesia.
Alasan yang mendasari kegiatan ini tidaklah muluk. Kami hanya ingin melihat ciptaan2 Tuhan, menghargai hidup dan menikmatinya dengan cara yang beda. Dan jika nantinya terdapat pesan2 yang tersirat di balik kegiatan ini, kami mempersilakan masing2 individu untuk mengupas dan meinilainya secara bebas.
-----
Perjalanan sendiri diprediksi memakan waktu 1,5 - 2 tahun. Start dari Bogor, tanggal 12 Juni 2012. Menelusur ke arah timur, menyusuri: Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Timor, hingga Papua. Lalu berbalik ke barat melewati Sulawesi, Kalimantan, Sumatera sampai kembali ke Bogor.
Spoiler for rute yang telah dilalui hampir empat bulan di pulau Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa:
Spoiler for penyeberangan di selatan nusantara:
---
Di banyak titik kami memunguti sampah botol plastik, anggap saja dedikasi kecil untuk alam.
Titik pemungutan sampah yang sudah dilakukan adalah :
- Gunung Semeru (TNBTS) Jawa Timur. 5 - 9 Juli '12, 78 botol sampah.
- Di TNBB, Bali. 23 - 24 Juli sebanyak 40 botol
- Pulau Kenawa, Sumbawa 367 botol
- Gunung Tambora, NTB,14 botol sampah
- Gunung Bulusaraung, Sulsel, 38 sampah botol
- Pegunungan Latimojong, Sulsel, 21 buah
- Pulau Hari, Sultra, 41 buah
- Pulau Lara, Sultra, 132 buah
Guna memaksimalkan pembersihan, kami juga mengundang teman2 untuk berpartisipasi pada kegiatan memungut ini.
---
Karena satu dan lain hal, sampai saat ini kami tidak menggantungkan diri pada sponsor. Jadi, untk mengatasi persoalan biaya kegiatan, kami menggalangnya lewat merchandise berupa kaos.
Selain itu, kami juga didukung oleh teman2. Awalnya dulur-dulur di Bogor dan sekitarnya, lalu sahabat-sahabat di Forum OANC, juga KOSKAS.
---
Karena penampakan foto-foto di Kaskus suka hilang mendadak, teman-teman bisa melihatnya di Facebook. Tulisan-tulisan perjalanan juga ada di sana. Ini Facebooknya:
Terima kasih,
salam nusantara.
Quote:
Quote:
Diubah oleh insanpenyendiri 08-01-2015 12:31
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
121K
504
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Catatan Perjalanan OANC
1.9KThread•1.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
insanpenyendiri
#333
KEPULAUAN KEI -bagian satu- (Sebelum turun di Kei)
Jika membuka peta, kepulauan Kei terlihat menitik-nitik bergerumut di wilayah perairan Indonesia bagian timur.Terletak di sebelah tenggara dari pulau Seram, dan bertetangga dengan kepulauan Aru di Timur.
Tengah malam di minggu ke empat Juli, sebentar lagi KM Tidar akan sandar di salah satu pulaunya, di pelabuhan kota
Tual, pulau Dulah. Sebagian
penumpang di atas kapal kelihatan gelisah menanti-nanti. Termasuk Coco (baca: Koko) yang sedang ada di dek
atas. Penampilan Coco terlihat sangat siap untuk segera turun. Tasnya sudah nangkring di punggungnya dan selalu
ikut ke mana pun ia mondar-mandir di sekitar kafetaria. Sekali dua kali, Coco diam berdiri dan menyandarkan
perutnya di pagar pengaman. Gayanya serupa dengan banyak pasang mata di
kanan-kirinya yang juga merindukan lampu-lampu daratan itu.
Bersama Coco adalah teman-temannya yang mudik liburan dari studinya di Jawa, Ambon, atau Sulawesi. Coco sendiri yang berkuliah di Manado,
harus turun di Ambon dan berganti dengan kapal Tidar ini supaya ia bisa pulang ke kampungnya di tanah Kei. Perjuangan Coco mengarungi lautan seluas ini selama berhari-hari dijahili gelombang digodai angin laut karena
harga tiket pesawat lebih tinggi dari terbangnya, aku rasa layak mendapat kagum karena proses mudik yang seperti Coco ini tidak akan terjadi pada
mahasiswa yang asli memang tinggal diJawa.
Tidak begitu jauh dari Coco, seorang pria ganteng berdiri. Pria itu sedikit lesu. Dirinya paham benar akan kenyataan bahwa kapal akan menyangkarinya seharian lagi untuk bisa tiba di tujuannya, di Kaimana pulau Papua. Jadi, untuk melepas penatnya itu ia sudi melakukan apa saja yang bisa membunuh waktu dan kebosanannya.
Kali ini ia yang adalah aku bersandar di pembatas. Meski hari sedang gelap, aku penasaran ingin tahu seperti apa pemandangan Kei dari lautan ini. Samar-samar di
hadapanku, satu pulau kecil datang mendekat. Di sebelah kanan jauh, terlhat satu pulau lagi. Lalu ada lagi, dan lagi, semuanya menyebar
terapung-apung di sekeliling lautan lepas.
Tapi gregetku membuncah ketika laju kapal diperlambat dan kumpulan lampu kota Tual semakin sejengkal. Ada rasa ingin yang kuat. Ingin
sekali memeluk tanah itu.
Aku segera mencari tangga, turun, kemudian masuk ke dalam dek, berjalan cepat dengan permisi di antara
kepala, kaki, sarung, kepulan rokok, tapi tanpa permisi saat menyelip di celah tumpukan paket barang-barang berdus-dus raksasa yang bikin sempit.
Di mulut lorong, tergesa aku
menyelinap menuju Anto untuk bisa secepatnya kuberitahukan niatku.
Perjalanan aku dari kafetaria
sampai ke hadapan Anto dengan penuh cucuran perjuangan dan semangat 28 Oktober itu, kandas sudah. Anto yang mendengarkan niatku dengan setengah sadar, mengubur semua harapanku dengan hanya sebuah tatapan layu, kemudian matanya malah menutup lagi. Akhirnya
aku hanya bisa duduk dengan muka melongo bego di bawah kakinya. Terbujur kaku kalau istilah pujangga galaunya.
Tapi beberapa menit kemudian, Anto bangun lagi. Ternyata ia memahami ucapanku. Hanya saja proses cerna otaknya saat setengah sadar memerlukan waktu yang lebih lama dari biasanya. Saat ia pun setuju, kami secepatnya berbenah. Dan keterangan tujuan Kaimana di tiket kami, kami
relakan saja jadi sebuah kemungkinan: mudah-mudahan nanti, di lain waktu.
Tengah malam di minggu ke empat Juli, sebentar lagi KM Tidar akan sandar di salah satu pulaunya, di pelabuhan kota
Tual, pulau Dulah. Sebagian
penumpang di atas kapal kelihatan gelisah menanti-nanti. Termasuk Coco (baca: Koko) yang sedang ada di dek
atas. Penampilan Coco terlihat sangat siap untuk segera turun. Tasnya sudah nangkring di punggungnya dan selalu
ikut ke mana pun ia mondar-mandir di sekitar kafetaria. Sekali dua kali, Coco diam berdiri dan menyandarkan
perutnya di pagar pengaman. Gayanya serupa dengan banyak pasang mata di
kanan-kirinya yang juga merindukan lampu-lampu daratan itu.
Bersama Coco adalah teman-temannya yang mudik liburan dari studinya di Jawa, Ambon, atau Sulawesi. Coco sendiri yang berkuliah di Manado,
harus turun di Ambon dan berganti dengan kapal Tidar ini supaya ia bisa pulang ke kampungnya di tanah Kei. Perjuangan Coco mengarungi lautan seluas ini selama berhari-hari dijahili gelombang digodai angin laut karena
harga tiket pesawat lebih tinggi dari terbangnya, aku rasa layak mendapat kagum karena proses mudik yang seperti Coco ini tidak akan terjadi pada
mahasiswa yang asli memang tinggal diJawa.
Tidak begitu jauh dari Coco, seorang pria ganteng berdiri. Pria itu sedikit lesu. Dirinya paham benar akan kenyataan bahwa kapal akan menyangkarinya seharian lagi untuk bisa tiba di tujuannya, di Kaimana pulau Papua. Jadi, untuk melepas penatnya itu ia sudi melakukan apa saja yang bisa membunuh waktu dan kebosanannya.
Kali ini ia yang adalah aku bersandar di pembatas. Meski hari sedang gelap, aku penasaran ingin tahu seperti apa pemandangan Kei dari lautan ini. Samar-samar di
hadapanku, satu pulau kecil datang mendekat. Di sebelah kanan jauh, terlhat satu pulau lagi. Lalu ada lagi, dan lagi, semuanya menyebar
terapung-apung di sekeliling lautan lepas.
Tapi gregetku membuncah ketika laju kapal diperlambat dan kumpulan lampu kota Tual semakin sejengkal. Ada rasa ingin yang kuat. Ingin
sekali memeluk tanah itu.
Aku segera mencari tangga, turun, kemudian masuk ke dalam dek, berjalan cepat dengan permisi di antara
kepala, kaki, sarung, kepulan rokok, tapi tanpa permisi saat menyelip di celah tumpukan paket barang-barang berdus-dus raksasa yang bikin sempit.
Di mulut lorong, tergesa aku
menyelinap menuju Anto untuk bisa secepatnya kuberitahukan niatku.
Perjalanan aku dari kafetaria
sampai ke hadapan Anto dengan penuh cucuran perjuangan dan semangat 28 Oktober itu, kandas sudah. Anto yang mendengarkan niatku dengan setengah sadar, mengubur semua harapanku dengan hanya sebuah tatapan layu, kemudian matanya malah menutup lagi. Akhirnya
aku hanya bisa duduk dengan muka melongo bego di bawah kakinya. Terbujur kaku kalau istilah pujangga galaunya.
Tapi beberapa menit kemudian, Anto bangun lagi. Ternyata ia memahami ucapanku. Hanya saja proses cerna otaknya saat setengah sadar memerlukan waktu yang lebih lama dari biasanya. Saat ia pun setuju, kami secepatnya berbenah. Dan keterangan tujuan Kaimana di tiket kami, kami
relakan saja jadi sebuah kemungkinan: mudah-mudahan nanti, di lain waktu.
Diubah oleh insanpenyendiri 03-08-2013 14:21
0










