TS
WongGunungJati
"Babad Tanah Cirebon"
Fatahillah itu Bukan Sunan Gunung Jati
Kerajaan dan Keraton yang pernah ada di wilayah Cirebon
Kesultanan yang masih ada di Cirebon

Pesantren di Cirebon yang Memiliki Nilai Historis Tinggi
Untuk lebih jelasnya silahkan lihat di Page 4
Untuk Tambahannya silahkan lihat di bawah di post 4
Spoiler for Fatahillah itu Bukan Sunan Gunung Jati:
Agan/sista tahu tentang Sunan Gunung Jatiatau Fatahillah ?
ane lihat di beberapa buku sejarah adik ane, Fatahillah itu adalah Sunan Gunung Jati. ane sebagai warga asli sana pengen ngelurusin aja..
Siapakah Sunan Gunung Jati ?
ini fotonya sunan Gunung Jati (Ilustrasi)
terus ini sekilas tentang Fatahillah
Buat Fatahillah belum ditemukan fotonya
Ini Denah Komplek Pemakaman Gunung Sembung.

Makam :
1. Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah)
2. Tubagus Pasai Fatahillah / Faletehan
3. Syarifah Muda’im (Nyi Rara Santang)
4. Nyi Gede Sembung ( Nyi Qurausyin)
5. Nyi Mas Tepasari
6. Pangeran Cakrabuana ( Mbah Kuwu Cerbon)
7. Nyi Ong Tien
8. Pangeran Dipati Cirebon I (Pangeran Swarga)
9. Pangeran Jakalelana
10. Pangeran Pasarean
11. Ratu Mas Nyawa
12. Pangeran Sedang Lemper
13. Pangeran Sultan Panembahan Ratu
14. Adipati Keling
15. Komplek Pangeran SIndang Garuda
16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I)
17. Ki Gede Bungko
18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas)
19. Komplek Sultan Mo. Badaridin
20. Komplek Sultan Jamaluddin
21. Komplek Nyi Mas Rarakerta
22. Komplek Sultan Moh. Badaridin
23. Komplek Panembahan Ratu Sasangkan
24. Adipati Awangga (Arya Kamuning)
25. Komplek Sultan Mandurareja
26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin
27. Komplek Sultan Nurbuwat
28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiuddin
29. Komplek Sultan Saifuddin Matangaji
segituh penjelasan dari ane.
ane lihat di beberapa buku sejarah adik ane, Fatahillah itu adalah Sunan Gunung Jati. ane sebagai warga asli sana pengen ngelurusin aja..
Siapakah Sunan Gunung Jati ?
Spoiler for Sunan Gunung Jati:
Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan Nyi Rara Santangatau Syarifah Muda’im, puteri Prabu Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma’illiyah Saudi Arabia telah dikaruniai dua orang putera, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sejak kanak-kanak, keduanya telah diperintahkan ayahnya agar menimba ilmu sepenuh-penuhnya dari ulama-ulama yang terkenal di Timur Tengah. Dengan demikian kemungkinan terjadi antara keduanya berlainan memilih guru mereka masing-masing. Adapun ulama-ulama terkenal yang menjadi guru Syarif Hidayatullah diantaranya Syekh Tajmudin Al Kubro dan Syekh Ataillah Syadzali. Selain ilmu agama dan ilmu sosial, mereka berdua juga belajar ilmu Tasawuf dari ulama-ulama Baghdad.
Pada saat usia Syarif Hidayatullah berusia sekitar dua puluh tahunan, ayahnya Syarif Abdillah meninggal dunia, maka sebagai putera tertua Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan sebagai Amir (penguasa) Kota Isma’illiyah. Akan tetapi karena Syarif Hidayatullah sudah bertekad untuk melaksanakan harapan ibunya untuk menjadi ulama di daerah ibunya yaitu di Negeri Caruban (Cirebon sekarang), maka beliau melimpahkan jabatan amir tersebut kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Beberapa bulan setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai amir kota Isma’illiyah, ibunya Syarifah Muda’im dan dan Syrif Hidayatullah pergi meninggalkannya untuk pulang ke tanah Jawa. Di Jawa tepatnya di Negeri Caruban, yang jadi penguasa saat itu adalah kakaknya ibunya yaitu Raden Walangsungsang atau biasa disebutMbah Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabuana. Maka kedatangan mereka disambut dengan meriah dan mereka berdua dipekenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan ajaran Islam sebagai penerus Pangguron Islam Gunung Jati. Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan puterinya, Nyi Ratu Pakungwati. Selanjutnya, pada taun 1479, karena usianya yang sudah semakin uzur, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaannya atas Negeri Caruban kepada menantunya, Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah tampuk kepemimpinan penyebaran ajaran Islam di Nagari Caruban berada di pundak Syarif Hidayatullah.
Mendengar bahwa di wilayah Pajajaran, agama Islam berkembang pesat setelah Nagari Caruban dipimpin oleh seorang mubaligh dari Kota Isma’illiya Arab Saudi, yaitu Syarif Hidayatullah, maka Raden Patah yang saat itu menjadi Sultan Demak pertama bersama para mubalig lainnya yang sudah bergelar Sunan menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah sebagai penyebar ajaran Islam di tanah Pasundan dan bergelar Sayyidin Panatagama Islam atau Sunan. Karena daerah tempat Syarif Hidayatullah menyebarkan ajaran islam di Pangguron Gunung Jati maka dia diberi gelar sebagai Sunan Gunung Jati
. Pada saat usia Syarif Hidayatullah berusia sekitar dua puluh tahunan, ayahnya Syarif Abdillah meninggal dunia, maka sebagai putera tertua Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan sebagai Amir (penguasa) Kota Isma’illiyah. Akan tetapi karena Syarif Hidayatullah sudah bertekad untuk melaksanakan harapan ibunya untuk menjadi ulama di daerah ibunya yaitu di Negeri Caruban (Cirebon sekarang), maka beliau melimpahkan jabatan amir tersebut kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Beberapa bulan setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai amir kota Isma’illiyah, ibunya Syarifah Muda’im dan dan Syrif Hidayatullah pergi meninggalkannya untuk pulang ke tanah Jawa. Di Jawa tepatnya di Negeri Caruban, yang jadi penguasa saat itu adalah kakaknya ibunya yaitu Raden Walangsungsang atau biasa disebutMbah Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabuana. Maka kedatangan mereka disambut dengan meriah dan mereka berdua dipekenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan ajaran Islam sebagai penerus Pangguron Islam Gunung Jati. Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan puterinya, Nyi Ratu Pakungwati. Selanjutnya, pada taun 1479, karena usianya yang sudah semakin uzur, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaannya atas Negeri Caruban kepada menantunya, Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah tampuk kepemimpinan penyebaran ajaran Islam di Nagari Caruban berada di pundak Syarif Hidayatullah.
Mendengar bahwa di wilayah Pajajaran, agama Islam berkembang pesat setelah Nagari Caruban dipimpin oleh seorang mubaligh dari Kota Isma’illiya Arab Saudi, yaitu Syarif Hidayatullah, maka Raden Patah yang saat itu menjadi Sultan Demak pertama bersama para mubalig lainnya yang sudah bergelar Sunan menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah sebagai penyebar ajaran Islam di tanah Pasundan dan bergelar Sayyidin Panatagama Islam atau Sunan. Karena daerah tempat Syarif Hidayatullah menyebarkan ajaran islam di Pangguron Gunung Jati maka dia diberi gelar sebagai Sunan Gunung Jati
Spoiler for sunan gunung jati:
terus ini sekilas tentang Fatahillah
Spoiler for Fatahillah:
Fatahillahatau Faletehan atau Kyai Fathullah atau yang biasa disebut sebagai Tubagus Pasai adalah seorang ulama dari Pasai, Aceh yang ikut mengungsi dari penjajahan Portugis di daerah Pasai tersebut. Fatahillah ini ikut dalam pasukan Dipati Unus yang pulang dari penyerangan ke Malaka melawan Portugis. Selain menyelamatkan diri dari penjajahan Portugis, kedatangannya ke Demak juga untuk ikut serta dalam membantu penyebaran agama Islam di tanah Jawa seperti yang diharapkan oleh ayahnya, Maulana Makhdar Ibrahim, ulama asal Gujarat.
Sebagai putera seorang ulama yang terbilang tinggi ilmu agama dan ilmu sosialnya, maka kehadiran Fatahillah di tengah-tengah Kesultanan Demak sebagai pusat pengembangan ajaran Islam merupakan harapan baik dalam mengemban tugas suci bersama para mubaligh lainnya yang masih ada.
Sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya bahwa Demak akan mengirim pasukannya ke Cirebon untuk bersama-sama mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis, maka oleh Raden Patah diangkatlah Fatahillah sebagai Panglima Pasukan Demak yang berangkat ke Cirebon. Dari Cirebon inilah, tentara Demak bersama-sama tentara dari Cirebon menuju Sunda Kelapa tetap dibawah pimpinan Fatahillah. Kenyataannya sampai disana pasukan Fatahillah tidak hanya berhadapan dengan Portugis, tapi juga berhadapan dengan pasukan Pajajaran. Namun demukian pada akhirnya pasukan Pajajaran dan Portugis dapat dipukul mundur dan Portugis pun terusir dari Sunda Kelapa pada tahun 1522. Oleh Fatahillah nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta (sekarang Jakarta). Atas keberhasilannya tersebut, Fatahillah diberi amanah untuk memimpin Sunda Kelapa.
Akan tetapi karena keinginannya untuk menetap di Cirebon dan penggilan untuk memimpin pasukan dalam penyebaran agama Islam di beberapa daerah, maka sebagai pemimpin di Sunda Kelapa hanya beberapa bulan saja dan kepemimpinannya itu diserahkan kepada Ki Bagus Angke (Tubagus Angke) sebagai Bupati Jayakarta. Sejak saat itu Fatahillah bergelar Kyai Bagus Pasai. Sepulangnya dari penaklukan beberapa daerah ke Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati, Fatahillah dinikahkan dengan puterinya Ratu Wulung Ayu. Fatahillah wafat dua tahun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati yaitu pada tahun 1570 dan dimakamkan tepat disamping makam Sunan Gunung Jati.
Sebagai putera seorang ulama yang terbilang tinggi ilmu agama dan ilmu sosialnya, maka kehadiran Fatahillah di tengah-tengah Kesultanan Demak sebagai pusat pengembangan ajaran Islam merupakan harapan baik dalam mengemban tugas suci bersama para mubaligh lainnya yang masih ada.
Sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya bahwa Demak akan mengirim pasukannya ke Cirebon untuk bersama-sama mempertahankan Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis, maka oleh Raden Patah diangkatlah Fatahillah sebagai Panglima Pasukan Demak yang berangkat ke Cirebon. Dari Cirebon inilah, tentara Demak bersama-sama tentara dari Cirebon menuju Sunda Kelapa tetap dibawah pimpinan Fatahillah. Kenyataannya sampai disana pasukan Fatahillah tidak hanya berhadapan dengan Portugis, tapi juga berhadapan dengan pasukan Pajajaran. Namun demukian pada akhirnya pasukan Pajajaran dan Portugis dapat dipukul mundur dan Portugis pun terusir dari Sunda Kelapa pada tahun 1522. Oleh Fatahillah nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta (sekarang Jakarta). Atas keberhasilannya tersebut, Fatahillah diberi amanah untuk memimpin Sunda Kelapa.
Akan tetapi karena keinginannya untuk menetap di Cirebon dan penggilan untuk memimpin pasukan dalam penyebaran agama Islam di beberapa daerah, maka sebagai pemimpin di Sunda Kelapa hanya beberapa bulan saja dan kepemimpinannya itu diserahkan kepada Ki Bagus Angke (Tubagus Angke) sebagai Bupati Jayakarta. Sejak saat itu Fatahillah bergelar Kyai Bagus Pasai. Sepulangnya dari penaklukan beberapa daerah ke Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati, Fatahillah dinikahkan dengan puterinya Ratu Wulung Ayu. Fatahillah wafat dua tahun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati yaitu pada tahun 1570 dan dimakamkan tepat disamping makam Sunan Gunung Jati.
Buat Fatahillah belum ditemukan fotonya
Spoiler for Fatahillah:
Satu hal yang sangat disayangkan adalah bahwa untuk dibuktikan kebenarannya kita bisa membuktikan bahwa Fatahillah adalah bukan Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah adalah dengan adanya makam Fatahillah/Tubagus Pasai disamping makam Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati. Pihak yang berwenang di komplek pemakaman itu tidak mengizinkan sembarang orang untuk memasukinya, melainkan harus ada izin tertulis yang menandakan bahwa seseorang itu mempunyai garis keturunan ke atasnya sampai kepada Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah
.
Ini Denah Komplek Pemakaman Gunung Sembung.
Spoiler for Denah Komplek Pemakaman Gunung Sembung:

Makam :
1. Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah)
2. Tubagus Pasai Fatahillah / Faletehan
3. Syarifah Muda’im (Nyi Rara Santang)
4. Nyi Gede Sembung ( Nyi Qurausyin)
5. Nyi Mas Tepasari
6. Pangeran Cakrabuana ( Mbah Kuwu Cerbon)
7. Nyi Ong Tien
8. Pangeran Dipati Cirebon I (Pangeran Swarga)
9. Pangeran Jakalelana
10. Pangeran Pasarean
11. Ratu Mas Nyawa
12. Pangeran Sedang Lemper
13. Pangeran Sultan Panembahan Ratu
14. Adipati Keling
15. Komplek Pangeran SIndang Garuda
16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I)
17. Ki Gede Bungko
18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas)
19. Komplek Sultan Mo. Badaridin
20. Komplek Sultan Jamaluddin
21. Komplek Nyi Mas Rarakerta
22. Komplek Sultan Moh. Badaridin
23. Komplek Panembahan Ratu Sasangkan
24. Adipati Awangga (Arya Kamuning)
25. Komplek Sultan Mandurareja
26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin
27. Komplek Sultan Nurbuwat
28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiuddin
29. Komplek Sultan Saifuddin Matangaji
segituh penjelasan dari ane.
Spoiler for sumber:
Buku Sunan Gunung Jati: Sekitar Komplek Makam dan Sekilas Riwayatnya, karya Hasan Basyari dan beberapa sumber
Kerajaan dan Keraton yang pernah ada di wilayah Cirebon
Spoiler for Kerajaan dan Keraton yang pernah ada di wilayah Cirebon:
Spoiler for 1. Kerajaan Indraprahasta:
1. Kerajaan Indraprahasta
Kerajaan Indraprahasta merupakan kerajaan yang terletak di daerah sekitar Cirebon Girang atau Cirebon Selatan (sekaran Kabupaten Cirebon). Lokasi keratonnya meliputi Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon Cirebon Girang di Kecamatan Cirebon Selatan. Kerajaan ini didirikan pada tahun 363 oleh Maharesi Sentanu. Maharesi ini merupakan pengungsi yang berasal dari lembah sungai Gangga (India), yang terusir akibat peperangan negerinya melawan Kerajaan Samudragupta Maurya.
Raja-raja yang pernah berkuasa adalah :
1.Maharesi Sentanu (363 – 398)
Raja Indraprahasta pertama ini bergelar Praburesi Indraswara Sakala Kretabuwana. Maharesi Sentanu menikah dengan Dewi Indari (puteri ketiga dari Raja Salakanagara yaitu Dewawarman VIII)
2. Jayasatynagara (398 – 421)
Raja ini adalah raja Indraprahasta ke-2 dan merupakan putera sulung dari pasangan Maharesi Sentanu dan Dewi Indari. Di masa kekuasaan Jayasatyanagara, tepatnya pada tahun 399, Kerajaan Indraprahasta ditundukan oleh Purnawarman (Raja Tarumanagara ke-3) dan akhirnya menjadi kerajaan bawahan dari Tarumanagara. Permaisuri Jayastyanagara bernama Ratna Manik (puteri Wisnubumi / raja kerajaan Malabar). Dari pernikahan dengan Ratna Manik, mereka dikaruniai anak yang bernama Wiryabanyu.
3. Prabu Wiryabanyu (421 – 444)
Beliau diangkat sebagai raja Indraprahasta ke-3. Kekuasaan Prabu Wiryabanyu sejaman dengan kekuasaan Wisnuwarman di Tarumanagara. Prabu Wiryabanyu, memiliki permaisuri yang bernama Nilem Sari (dari Kerajaan Manukrawa). Dari pernikahannya itu, Prabu Wiryabanyu memperoleh anak yang bernama Suklawatidewi dan Warmadesaji. Suklawatidewi akhirnya diperistri oleh Wisnuwarman, kelak dari pernikahan ini lahirlah raja Tarumanagara selanjutnya yang bernama Indrawarman. Sedangkan Warmadesaji menjadi penerus tahta Indraprahasta
4. Prabu Warmadesaji (444 – 471)
Merupakan raja Indraprahasta ke-4. Beliau memiliki putera yang bernama Rakhariwangsa, yang meneruskan kepemimpinannya
5. Prabu Rakhariwangsa ( 471 – 507 )
Merupakan raja Indraprahasta ke-5. Beliau memiliki permaisuri yang berasal dari Sanggarung, dari pernikahannya ini, beliau memiliki puteri yang bernama Rasmi. Karena itulah, penerus tahta Indraprahasta selanjutnya jatuh pada suami dari Rasmi yaitu Tirtamanggala
6. Prabu Tirta Manggala ( 507 – 526 )
Merupakan raja Indraprahasta ke-6. Beliau merupakan suami dari Rasmi (puteri Prabu Rakhariwangsa). Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai 2 orang putera yang bernama Astadewa dan Jayagranagara.
7. Prabu Astadewa ( 526 – 540 )
Merupakan raja Indraprahasta ke-7. Beliau merupakan putera sulung dari Tirtamanggala. Dari pernikahannya, beliau memiliki putera yang bernama Padmayasa, yang menggantikan kedudukannya
8. Prabu Jayagranagara ( 540 – 546 )
Merupakan raja Indraprahasta ke-8. Beliau merupakan anak ke-2 dari Tirtamanggala. Ketika Padmayasa telah cukup umur, maka tahtanya kembali diserahkan pada keponakannya.
9. Prabu Padmayasa ( 546 – 590 ), masa lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tahun 571 M
Merupakan raja Indraprahasta ke-9. Beliau memiliki putera yang bernama Andhabuana
10. Prabu Andhabuana ( 590 – 636) menjelang berakhir masa kekuasaannya Nabi Muhammad SAW. Wafat, sekitar tahun 632 M
Merupakan raja Indraprahasta ke-10. Beliau memiliki putera yang bernama Wisnumurti.
11. Prabu Wisnumurti (636 – 661)
Merupakan raja Indraprahasta ke-11. Raja ini memiliki puteri yang bernama Ganggasari, kemudian puterinya ini diperistri oleh Linggawarman (Raja Tarumangara terakhir). Dari pernikahan puterinya tersebut, maka selanjutnya akan menurunkan keturunan raja-raja pada 2 kerajaan besar di Nusantara, yaitu Kerajaan Sunda dan Sriwijaya.
Sedangkan anaknya yang ke-2 bernama Tunggulnagara, yang kemudian meneruskan tahta Indraprahasta
12. Prabu Tunggulnagara (611 – 707)
Merupakan raja Indraprahasta ke-12. Beliau memiliki putera yang bernama Padmahariwangsa.
13. Prabu Resi Padmahariwangsa (707 – 719)
Padmahariwangsa adalah raja Indraprahasta ke-13. Disaat beliau berkuasa, kekuasaan Kerajaan Tarumanagara telah dibagi dua kepada Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dimana sungai Citarum sebagai batasnya. Dengan demikian Kerajaan Indraprahasta yang awalnya merupakan kerajaan bawahan Tarumanagara otomatis menjadi bawahan Kerajaan Galuh, karena lokasi Indraprahasta berada di sebelah timur Citarum
Resi Padmahariwangsa memiliki 3 orang anak yaitu Citrakirana, Wiratara, dan Ganggakirana, WIratara lah yang meneruskan kekuasaan Prabu Prmahariwangsa.
14. Prabu Wiratara (719 - 726)
Wiratara dinobatkan menjadi raja Indraprahasta ke-14, karena kakak sulungnya telah menikah dengan Purbasora dan menjadi raja Kerajaan Galuh
Hubungan kerjasama Indraprahasta dengan Galuh saat terjadinya kudeta yang dilakukan Purbasora kepada Bratasenawa akhirnya berdampak buruk bagi Kerajaan Indraprahasta.
Wiratara yang saat terjadinya kudeta bertindak sebagai salah satu senapati pembela Purbasora akhirnya harus berhadapan dengan pasukan Sanjaya (anak Bratasenawa) yang telah berhasil merebut kembali Galuh dan membunuh Purbasora pada tahun 726. Kerajaan Indraprahasta akhirnya hancur di luluh lantakan oleh Sanjaya yang saat itu juga telah menjadi raja Kerajaan Sunda. Wiratara selaku raja ikut tewas dalam pertempuran tersebut.
Akhirnya di masa kekuasaan Wiratara, Kerajaan Indraprahasta hancur, dimana keraton dan seluruh pembesar kerajaan beserta penduduknya binasa tanpa sisa seakan-akan di wilayah tersebut tak pernah ada kerajaan yang pernah berdiri. Bekas kawasan Kerajaan Indraprahasta, kemudian oleh Sanjaya diberikan kepada Adipati Kosala (Raja Kerajaan Wanagiri).
Kerajaan Indraprahasta merupakan kerajaan yang terletak di daerah sekitar Cirebon Girang atau Cirebon Selatan (sekaran Kabupaten Cirebon). Lokasi keratonnya meliputi Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon Cirebon Girang di Kecamatan Cirebon Selatan. Kerajaan ini didirikan pada tahun 363 oleh Maharesi Sentanu. Maharesi ini merupakan pengungsi yang berasal dari lembah sungai Gangga (India), yang terusir akibat peperangan negerinya melawan Kerajaan Samudragupta Maurya.
Raja-raja yang pernah berkuasa adalah :
1.Maharesi Sentanu (363 – 398)
Raja Indraprahasta pertama ini bergelar Praburesi Indraswara Sakala Kretabuwana. Maharesi Sentanu menikah dengan Dewi Indari (puteri ketiga dari Raja Salakanagara yaitu Dewawarman VIII)
2. Jayasatynagara (398 – 421)
Raja ini adalah raja Indraprahasta ke-2 dan merupakan putera sulung dari pasangan Maharesi Sentanu dan Dewi Indari. Di masa kekuasaan Jayasatyanagara, tepatnya pada tahun 399, Kerajaan Indraprahasta ditundukan oleh Purnawarman (Raja Tarumanagara ke-3) dan akhirnya menjadi kerajaan bawahan dari Tarumanagara. Permaisuri Jayastyanagara bernama Ratna Manik (puteri Wisnubumi / raja kerajaan Malabar). Dari pernikahan dengan Ratna Manik, mereka dikaruniai anak yang bernama Wiryabanyu.
3. Prabu Wiryabanyu (421 – 444)
Beliau diangkat sebagai raja Indraprahasta ke-3. Kekuasaan Prabu Wiryabanyu sejaman dengan kekuasaan Wisnuwarman di Tarumanagara. Prabu Wiryabanyu, memiliki permaisuri yang bernama Nilem Sari (dari Kerajaan Manukrawa). Dari pernikahannya itu, Prabu Wiryabanyu memperoleh anak yang bernama Suklawatidewi dan Warmadesaji. Suklawatidewi akhirnya diperistri oleh Wisnuwarman, kelak dari pernikahan ini lahirlah raja Tarumanagara selanjutnya yang bernama Indrawarman. Sedangkan Warmadesaji menjadi penerus tahta Indraprahasta
4. Prabu Warmadesaji (444 – 471)
Merupakan raja Indraprahasta ke-4. Beliau memiliki putera yang bernama Rakhariwangsa, yang meneruskan kepemimpinannya
5. Prabu Rakhariwangsa ( 471 – 507 )
Merupakan raja Indraprahasta ke-5. Beliau memiliki permaisuri yang berasal dari Sanggarung, dari pernikahannya ini, beliau memiliki puteri yang bernama Rasmi. Karena itulah, penerus tahta Indraprahasta selanjutnya jatuh pada suami dari Rasmi yaitu Tirtamanggala
6. Prabu Tirta Manggala ( 507 – 526 )
Merupakan raja Indraprahasta ke-6. Beliau merupakan suami dari Rasmi (puteri Prabu Rakhariwangsa). Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai 2 orang putera yang bernama Astadewa dan Jayagranagara.
7. Prabu Astadewa ( 526 – 540 )
Merupakan raja Indraprahasta ke-7. Beliau merupakan putera sulung dari Tirtamanggala. Dari pernikahannya, beliau memiliki putera yang bernama Padmayasa, yang menggantikan kedudukannya
8. Prabu Jayagranagara ( 540 – 546 )
Merupakan raja Indraprahasta ke-8. Beliau merupakan anak ke-2 dari Tirtamanggala. Ketika Padmayasa telah cukup umur, maka tahtanya kembali diserahkan pada keponakannya.
9. Prabu Padmayasa ( 546 – 590 ), masa lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tahun 571 M
Merupakan raja Indraprahasta ke-9. Beliau memiliki putera yang bernama Andhabuana
10. Prabu Andhabuana ( 590 – 636) menjelang berakhir masa kekuasaannya Nabi Muhammad SAW. Wafat, sekitar tahun 632 M
Merupakan raja Indraprahasta ke-10. Beliau memiliki putera yang bernama Wisnumurti.
11. Prabu Wisnumurti (636 – 661)
Merupakan raja Indraprahasta ke-11. Raja ini memiliki puteri yang bernama Ganggasari, kemudian puterinya ini diperistri oleh Linggawarman (Raja Tarumangara terakhir). Dari pernikahan puterinya tersebut, maka selanjutnya akan menurunkan keturunan raja-raja pada 2 kerajaan besar di Nusantara, yaitu Kerajaan Sunda dan Sriwijaya.
Sedangkan anaknya yang ke-2 bernama Tunggulnagara, yang kemudian meneruskan tahta Indraprahasta
12. Prabu Tunggulnagara (611 – 707)
Merupakan raja Indraprahasta ke-12. Beliau memiliki putera yang bernama Padmahariwangsa.
13. Prabu Resi Padmahariwangsa (707 – 719)
Padmahariwangsa adalah raja Indraprahasta ke-13. Disaat beliau berkuasa, kekuasaan Kerajaan Tarumanagara telah dibagi dua kepada Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dimana sungai Citarum sebagai batasnya. Dengan demikian Kerajaan Indraprahasta yang awalnya merupakan kerajaan bawahan Tarumanagara otomatis menjadi bawahan Kerajaan Galuh, karena lokasi Indraprahasta berada di sebelah timur Citarum
Resi Padmahariwangsa memiliki 3 orang anak yaitu Citrakirana, Wiratara, dan Ganggakirana, WIratara lah yang meneruskan kekuasaan Prabu Prmahariwangsa.
14. Prabu Wiratara (719 - 726)
Wiratara dinobatkan menjadi raja Indraprahasta ke-14, karena kakak sulungnya telah menikah dengan Purbasora dan menjadi raja Kerajaan Galuh
Hubungan kerjasama Indraprahasta dengan Galuh saat terjadinya kudeta yang dilakukan Purbasora kepada Bratasenawa akhirnya berdampak buruk bagi Kerajaan Indraprahasta.
Wiratara yang saat terjadinya kudeta bertindak sebagai salah satu senapati pembela Purbasora akhirnya harus berhadapan dengan pasukan Sanjaya (anak Bratasenawa) yang telah berhasil merebut kembali Galuh dan membunuh Purbasora pada tahun 726. Kerajaan Indraprahasta akhirnya hancur di luluh lantakan oleh Sanjaya yang saat itu juga telah menjadi raja Kerajaan Sunda. Wiratara selaku raja ikut tewas dalam pertempuran tersebut.
Akhirnya di masa kekuasaan Wiratara, Kerajaan Indraprahasta hancur, dimana keraton dan seluruh pembesar kerajaan beserta penduduknya binasa tanpa sisa seakan-akan di wilayah tersebut tak pernah ada kerajaan yang pernah berdiri. Bekas kawasan Kerajaan Indraprahasta, kemudian oleh Sanjaya diberikan kepada Adipati Kosala (Raja Kerajaan Wanagiri).
Spoiler for 2. Kerajaan Wanagiri:
2. Kerajaan Wanagiri
Lokasi kerajaan ini kira-kira terletak di sekitar Kecamatan Palimanan (wilayah Cirebon sekarang). Kata Wanagiri sendiri diambil dari kata “Wana” yang berarti hutan dan “giri” yang berarti gunung, jadi kemungkinan besar dalam wilayah Wanagiri saat itu terdapat gunung dan juga hutan-hutan.
Raja pertama nya adalah Adipati Kosala. Beliau merupakan suami dari Ganggakirana (puteri bungsu dari Padmahariwangsa / raja Indraprahasta ke-13.
Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada abad ke-15, Kerajaan Wanagiri dibagi menjadi empat kerajaan, yaitu Kerajaan Cirebon Girang, Kerajaan Japura, Kerajaan Surantaka, dan Kerajaan Sing Apura. Pemekaran wilayah ini hingga saat ini belum diketahui alasannya secara pasti.
Lokasi kerajaan ini kira-kira terletak di sekitar Kecamatan Palimanan (wilayah Cirebon sekarang). Kata Wanagiri sendiri diambil dari kata “Wana” yang berarti hutan dan “giri” yang berarti gunung, jadi kemungkinan besar dalam wilayah Wanagiri saat itu terdapat gunung dan juga hutan-hutan.
Raja pertama nya adalah Adipati Kosala. Beliau merupakan suami dari Ganggakirana (puteri bungsu dari Padmahariwangsa / raja Indraprahasta ke-13.
Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada abad ke-15, Kerajaan Wanagiri dibagi menjadi empat kerajaan, yaitu Kerajaan Cirebon Girang, Kerajaan Japura, Kerajaan Surantaka, dan Kerajaan Sing Apura. Pemekaran wilayah ini hingga saat ini belum diketahui alasannya secara pasti.
Spoiler for 3. Kerajaan Cirebon Girang:
3. Kerajaan Cirebon Girang
Kerajaan Cirebon Girang didirikan oleh Ki Gedeng Kasmaya(anak sulung dari Prabu Bunisora / raja Sunda ke-32)., Pusat kerajaan ini lokasinya bekas dari lokasi pusat Kerajaan Wanagiri. Kerajaan ini terletak di lereng gunung Ciremai, atau tepatnya di Kecamatan Palimanan, kabupaten Cirebon (sekarang).
Perubahan dari Wanagiri menjadi Cirebon Girang setelah Ki Gedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Gedeng Cirebon Girang hasil pernikahannya dengan Ratna Kirana, Puteri Prabu Gangga Permana
Kerajaan Cirebon Girang hanya diperintah oleh 2 raja saja, diantaranya :
1. Ratu Dewata yang juga disebut Ki Gedeng Kasmaya.
2. Ki Gedeng Cirebon Girang
Berakhirnya Kerajaan Cirebon Girang diperkirakan tahun 1445 M. Kemudian setelah Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, tahun 1447 M, wilayah Cirebon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II, pada tahun 1454 diangkat oleh Raja Pajajaran menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana
Kerajaan Cirebon Girang didirikan oleh Ki Gedeng Kasmaya(anak sulung dari Prabu Bunisora / raja Sunda ke-32)., Pusat kerajaan ini lokasinya bekas dari lokasi pusat Kerajaan Wanagiri. Kerajaan ini terletak di lereng gunung Ciremai, atau tepatnya di Kecamatan Palimanan, kabupaten Cirebon (sekarang).
Perubahan dari Wanagiri menjadi Cirebon Girang setelah Ki Gedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Gedeng Cirebon Girang hasil pernikahannya dengan Ratna Kirana, Puteri Prabu Gangga Permana
Kerajaan Cirebon Girang hanya diperintah oleh 2 raja saja, diantaranya :
1. Ratu Dewata yang juga disebut Ki Gedeng Kasmaya.
2. Ki Gedeng Cirebon Girang
Berakhirnya Kerajaan Cirebon Girang diperkirakan tahun 1445 M. Kemudian setelah Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, tahun 1447 M, wilayah Cirebon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II, pada tahun 1454 diangkat oleh Raja Pajajaran menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana
Spoiler for 4. Keraton SIngapura/Mertasinga:
4. Keraton SIngapura/Mertasinga
Keraton SIngapura ini memiliki pusat pemerintahan di daerah Mertasinga (desa Mertasinga sekarang), sekitar 4 kilometer utara dari makam Gunung Jati.
Pemimpin yang dikenal antara lain Surawijaya Sakti dan yang terakhir Ki Ageng Tapaatau Ki Jumajan Jati. Kerajaan Singapura mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Ki Jumajan Jati atau dikenal dengan Ki Ageng Tapa. Pada tahun 1401 M, berdasarkan catatan sejarah yang ditulis oleh P. Arya Carbon Raja Giyanti (P Roliya Martakusuma), pelabuhan Muara Jati mendapat kunjungan armada besar dari China yang dipimpin oleh Cheng Ho.
Selama Cheng Ho di wilayah kerajaan SIngapura ini dibangunlah Mercusuar untuk mempermudah dalam mengontrol pelabuhan Muara Jati. Setelah dibangun mercusuar tersebut, makin ramailah pelabuhan Muara Jati sehingga terkenal di seantero Jawa sampai mancanegara.
Mengenai runtuhnya kerajaan ini belum ada catatan khusus, oleh karena itu masih dalam penelitian
Keraton SIngapura ini memiliki pusat pemerintahan di daerah Mertasinga (desa Mertasinga sekarang), sekitar 4 kilometer utara dari makam Gunung Jati.
Pemimpin yang dikenal antara lain Surawijaya Sakti dan yang terakhir Ki Ageng Tapaatau Ki Jumajan Jati. Kerajaan Singapura mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Ki Jumajan Jati atau dikenal dengan Ki Ageng Tapa. Pada tahun 1401 M, berdasarkan catatan sejarah yang ditulis oleh P. Arya Carbon Raja Giyanti (P Roliya Martakusuma), pelabuhan Muara Jati mendapat kunjungan armada besar dari China yang dipimpin oleh Cheng Ho.
Selama Cheng Ho di wilayah kerajaan SIngapura ini dibangunlah Mercusuar untuk mempermudah dalam mengontrol pelabuhan Muara Jati. Setelah dibangun mercusuar tersebut, makin ramailah pelabuhan Muara Jati sehingga terkenal di seantero Jawa sampai mancanegara.
Mengenai runtuhnya kerajaan ini belum ada catatan khusus, oleh karena itu masih dalam penelitian
Spoiler for 5. Kerajaan Japura:
5. Kerajaan Japura
Kerajaan ini meliputi wilayah Kecamatan Astana Japura, Sindanglaut dan Ciledug (masuk ke dalam wilayah Kabupaten Cirebon sekarang). Wilayah Japura tidak terlalu luas seperti Galuh atau Sunda, mengingat Japura adalah kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Raja yang terkenal dari kerajaan ini adalah Prabu Amuk Marugul (putra Haliwungan / Prabu Susuk Tunggal, Raja Sunda ke-34). Kesaktianya mengantar dirinya hingga menjadi fiinalis dalam sebuah sayembara memperebutkan Nyi Mas Subang Larang. Namun kesaktian yang dimilikinya tak mampu mengalahkan Prabu Jayadewata Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi) sehingga Prabu Jayadewata lah yang berhasil menikahi Nyi Mas Subang Larang.
Akhir dari kerajaan Japura ketika terjadi pertempuran sengit dengan kerajaan Singapura untuk memperebutkan pelabuhan Japura yang waktu itu seramai pelabuhan Sunda Kelapa. Dalam pertempuran itu, kerajaan Japura kalah dan harus merelakan kerajaannya diambil alih oleh Kerajaan Singapura. an demikian berakhirlah riwayat dari Kerajaan Japura.
Kerajaan ini meliputi wilayah Kecamatan Astana Japura, Sindanglaut dan Ciledug (masuk ke dalam wilayah Kabupaten Cirebon sekarang). Wilayah Japura tidak terlalu luas seperti Galuh atau Sunda, mengingat Japura adalah kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Raja yang terkenal dari kerajaan ini adalah Prabu Amuk Marugul (putra Haliwungan / Prabu Susuk Tunggal, Raja Sunda ke-34). Kesaktianya mengantar dirinya hingga menjadi fiinalis dalam sebuah sayembara memperebutkan Nyi Mas Subang Larang. Namun kesaktian yang dimilikinya tak mampu mengalahkan Prabu Jayadewata Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi) sehingga Prabu Jayadewata lah yang berhasil menikahi Nyi Mas Subang Larang.
Akhir dari kerajaan Japura ketika terjadi pertempuran sengit dengan kerajaan Singapura untuk memperebutkan pelabuhan Japura yang waktu itu seramai pelabuhan Sunda Kelapa. Dalam pertempuran itu, kerajaan Japura kalah dan harus merelakan kerajaannya diambil alih oleh Kerajaan Singapura. an demikian berakhirlah riwayat dari Kerajaan Japura.
Kesultanan yang masih ada di Cirebon
Spoiler for Kesultanan yang masih ada di Cirebon:
Spoiler for 1. Keraton Kanoman:

Spoiler for 2. Kasepuhan:
Spoiler for Kacirebonan:
Pesantren di Cirebon yang Memiliki Nilai Historis Tinggi
Spoiler for Pesantren di Cirebon yang Memiliki Nilai Historis Tinggi:
Spoiler for 1. Pesantren Babakan Ciwaringin:
Spoiler for 2. Pesantren Buntet:
Spoiler for 3. Pesantren Kempek:
Spoiler for 4. Pesantren Benda Kerep:
Untuk lebih jelasnya silahkan lihat di Page 4
Untuk Tambahannya silahkan lihat di bawah di post 4
Diubah oleh WongGunungJati 22-08-2013 10:23
0
57.6K
Kutip
186
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Cirebon
852Thread•470Anggota
Tampilkan semua post
TS
WongGunungJati
#63
Pesantren Babakan Ciwaringin
Spoiler for Pesantren Babakan Ciwaringin:
Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon didirikan sekitar tahun 1127 H/ 1705 M. oleh Kyai Jatira. Kyai Jatira adalah gelar dari KH. Hasanuddinputra KH. Abdul Latief dari desa Mijahan Plumbon Cirebon. Beliau merupakan bagian dari Keraton Cirebon.
KH. Hasanuddin adalah seorang pejuang agama yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang subur menjadikan dirinya berpacu mengembangkan pondoknya sebagai tempat peristirahatan yang jauh dari keramaian terutama dari pengaruh kekuasaan dan penjajah belanda. Maka dirintislah sebuah pesantren sederhana yang diberi nama Pesantren Babakan.
Stagnasi kepemimpinan dalam pesantren terjadi ketika Kyai Jatira meninggal dunia, langkah kaderisasi di Pesantren Babakan mengakibatkan terputusnya kegiatan pesantren sampai sarana fisikpun tidak berbekas. Sampai kemudian KH. Nawawi menantu dari Kyai Jatira membangun kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya satu kilometer kearah selatan dari tempat semula.
Dalam mengasuh pesantren beliau dibantu oleh KH. Adzro’i. Setelah itu pesantren dipegang oleh KH. Ismail putra KH. Adzro’i tahun 1225 H/1800 M.mulai tahun 1916 M pesantren diasuh oleh KH. Amien Sepuh bin KH. Irsyad, yang masih merupakan Ahlul Bait dari garis keturunan Sunan Gunung Jati.
Kiyai Amin Sepuh pernah nyantri di Pesantren Bangkalan Madura, yang saat itu diasuh oleh Kiyai Kholil, Kiyai yang terkenal kewara’annya. Ketika nyantri disana, Kiyai Amin Sepuh diasuh oleh Kiyai Hasyim Asy’ari, kakek Gusdur, yang waktu itu masih menjadi ustadz di pesantren Bangkalan Madura,
Kiyai Amin Sepuh yang awalnya hanya nyantri di Pesantren Babakan Ciwaringin atas amanah ayahandanya, Kiyai Irsyad, malah diamanahi oleh Kiyai Ismail yang saat itu jadi pengasuh pesantren, untuk memimpin Pesantren Babakan Ciwaringin dan dinikahkan dengan keponakan Kiyai Ismail.
KH. Amien Sepuh menekuni Pesantren Babakan sebagai tempat pengabdiannya terhadap masyarakat Islam khususnya. Setelah 25 tahun mengembangkan Pesantren Babakan, tahun 1940-an, yaitu pasca kemerdekaan, Beliau sekaligus berjuang bagi kemerdekaan RI. Bahkan dalam perang 10 November Surabaya, para kiyai khos termasuk KH Hasyim Asy’ari menunggu kabar dari KH Amin sepuh sebelum mengeluarkan Fatwa Jihad.
Pasca Revolusi Kemerdekaan beliau dibantu adik iparnya sekaligus muridnya KH. Sanusi terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang. Bahkan yang dahsyat adalah ketika Agresi Belanda, tepatnya tahun 1952 Pondok Pesantren diserang Belanda. Dikarenakan KH. Amin sepuh sebagai sesepuh cirebon merupakan pejuang yang menentang penjajah. Pondok dibakar dan dikepung. Para santri pergi dan para Pengasuh beserta keluarga mengungsi.
Dua tahun kemudian, tahun 1954, KH. Sanusi yang masih salah satu murid KH. Amin Sepuh adalah orang yang pertama kali datang dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, termasuk karya-karya KH. Amin Sepuh, habis dibakar, bangunan hancur dan nampak angker. Semua itu secara bertahap dibereskan lagi.
Tahun 1955 KH. Amin Sepuh kembali ke Babakan, kemudian para santri banyak berdatangan dari berbagai pelosok. KH. Amin sepuh yang menjadi pengasuh Pondok Gede kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya yang makin lama makin meluap. Pondok Raudhotut Tolhibin tidak dapat menampung para santri. Hingga santrinya dititipkan dirumah-rumah ustadnya seperti KH. Hanan, dirumah KH. Sanusi, dsb. hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini. Sehingga Pondok yang awalnya hanya satu (Ponpes Raudlotut Tholibin) sekarang menjadi banyak.
Nama-nama asrama pesantren dimaksud adalah: komplek Babakan Utara, terdiri dari Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang didirikan oleh KH Amin (saat ini diasuh oleh KH Afif Zuhri Amin). Ini pesantren pertama di Babakan Ciwaringin. Kemudian Asrama Fatimiyah Ma'hadul Ilmi/AFMI (saat ini diasuh oleh KH Maksum Mochtar), Pondok Pesantren Asrarur Rafiah (KH Muhtadi Syarief), Pondok Pesantren Al-Badar(saat ini diasuh oleh KH Tohari), Pondok Pesantren Mahad at-Talim al-Baqiyah as-Salihah/MTBS (saat ini diasuh oleh Ustadz Yusuf), Pondok Pesantren Ma'hadul Ilmi (saat ini diasuh oleh Ustadz Hamzah Hariri), Pondok Pesantren az-Ziyadah (saat ini diasuh KH. Asmawi), Pondok Pesantren al Barakah (Didirikan oleh KH Syadzili), Balai Pendidikan Pondok Putri/Bapenpori (saat ini diasuh oleh KH. Amin Fuad), Pondok Pesantren As-Sanusi (diasuh oleh KH Abdul Kohar), Pondok Pesantren Dahlia (Ustadz Marzuki), Pondok Pesantren As-Syuhada (Ustadz Toha Amin), Pondok Pesantren As-Saadah (Ustadz Abdurrahman), Pondok Pesantren Ikhwanul Muslimin/PPIM (saat ini diasuh oleh KH Natsir), Pondok Pesantren at-Taqwa (Ustadz Busyer), Pondok Pesantren al-Munir (Ustadz Munir), Pondok Pesantren al-Furqan (Ustadz Hasan), Pondok Pesantren Al-Mustain (Ustadz Marzuki), dan Pondok Pesantren Al-Faqih (didirikan oleh KH M. Thobiin).
Sementara Pesantren Babakan Selatan, terdiri dari: Pondok Pesantren Miftahul Muta'allimin pesantren pertama di wilayah Selatan (Didirikan oleh Kyai Mad Amin, saat ini diasuh oleh KH Syarief Hud Yahya), Pondok Pesantren Assalafie (didirikan oleh KH Syaerozi, saat ini diasuh oleh KH Azka Hammam Syaerozi dan KH Yasyif Maemun Syaerozi), Pondok Pesantren Muallimin-Muallimat (didirikan oleh KH. Amin Halim, saat ini diasuh oleh KH Zamzami Amin dan KH Marzuki Ahal), Pondok Pesantren Assalam (diasuh oleh KH Mukhtasun), Pondok Pesantren Kebon Jambu (didirikan oleh KH Muhammad, saat ini diasuh oleh Ustadz Asror Muhammad), Pondok Pesantren Raudlatul Banat (didirikan oleh KH Syarief Hud Yahya), Pondok Pesantren Al Muntadhor (diasuh oleh KH Burhanuddin), Pondok Pesantren Al Hikmah (diasuh oleh KH Nasihin Aziz), Pondok Pesantren Hadiqah Usyaqil Quran/HUQ (Diasuh oleh KH Nurhadi Thayib), Pondok Pesantren al Ikhlas (diasuh oleh KH Mukhlas), Pondok Pesantren Asshalihah (didirikan oleh KH Hasan Palalo), Pondok Pesantren al Huda (diasuh oleh Ustadz Rumli Muntab), Pondok Pesantren Masyarikul Anwar (diasuh oleh KH Makhtum Hanan), Pondok Pesantren Al Kamaliyah (diasuh oleh KH Tamam Kamali), dan Pondok Pesantren Al Kautsar (KH Muhaimin)
Pada masa pengasuhan KH. Amin Sepuh, Pondok Babakan Ciwaringin mencapai kemasyhuran dan masa keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal, hampir semua Kiyai sepuh di wilayah 3 Cirebon bahkan menyebar ke pelosok Indonesia adalah muridnya, sebut saja Kang Ayip Muh (kota Cirebon), KH. Syakur Yassin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH Syukron Makmun, KH. Hannan, KH Sanusi, KH.Machsuni (Kwitang), KH Hassanudin (Makassar), di Babakan sendiri beberapa muridnya mendirikan pesantren seperti : KH. Muhtar, KH Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas, KH Syarif Hud Yahya..dll.
KH. Amien Sepuh wafat pada tahun pada tahun 1972 dan KH. Sanusi wafat pada tahun M.1974 M, dan kepengurusan dilanjutkan oleh KH. Fathoni Amin sampai tahun 1986 M.
Setelah wafatnya KH. Fathoni Amin kepengurusan pesantren dilanjutkan oleh KH. Bisri Amin ( wafat tahun 2000 M.) beserta KH. Fuad Amin ( wafat tahun 1997 M.) dan KH. Abdullah Amin ( wafat tahun 1999 M.) serta KH. Amrin Hanan ( wafat tahun 2004 M.) dan KH. Azhari Amin (wafat tahun 2008 ) KH. Drs. Zuhri Afif Amin wafat pada tahun 2010. setelah wafatnya KH. Drs Zuhri Afif Amin, kepengurusan dilanjukan oleh cucu-cucu KH. Amin Sepuh dan Ulama serta masyarakat yang berkompeten untuk kemajuan pesantren. Bahkan bukan pendidikan agama saja yang mereka terapkan, pendidikan umumpun mereka terapkan terhadap para santrinya. Dengan harapan, para santrinya dapat memenuhi semua kewajibannya, baik kewajiban dunia maupun akhirat, serta menyelaraskannya beriringan dan seimbang.
KH. Hasanuddin adalah seorang pejuang agama yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang subur menjadikan dirinya berpacu mengembangkan pondoknya sebagai tempat peristirahatan yang jauh dari keramaian terutama dari pengaruh kekuasaan dan penjajah belanda. Maka dirintislah sebuah pesantren sederhana yang diberi nama Pesantren Babakan.
Stagnasi kepemimpinan dalam pesantren terjadi ketika Kyai Jatira meninggal dunia, langkah kaderisasi di Pesantren Babakan mengakibatkan terputusnya kegiatan pesantren sampai sarana fisikpun tidak berbekas. Sampai kemudian KH. Nawawi menantu dari Kyai Jatira membangun kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya satu kilometer kearah selatan dari tempat semula.
Dalam mengasuh pesantren beliau dibantu oleh KH. Adzro’i. Setelah itu pesantren dipegang oleh KH. Ismail putra KH. Adzro’i tahun 1225 H/1800 M.mulai tahun 1916 M pesantren diasuh oleh KH. Amien Sepuh bin KH. Irsyad, yang masih merupakan Ahlul Bait dari garis keturunan Sunan Gunung Jati.
Kiyai Amin Sepuh pernah nyantri di Pesantren Bangkalan Madura, yang saat itu diasuh oleh Kiyai Kholil, Kiyai yang terkenal kewara’annya. Ketika nyantri disana, Kiyai Amin Sepuh diasuh oleh Kiyai Hasyim Asy’ari, kakek Gusdur, yang waktu itu masih menjadi ustadz di pesantren Bangkalan Madura,
Kiyai Amin Sepuh yang awalnya hanya nyantri di Pesantren Babakan Ciwaringin atas amanah ayahandanya, Kiyai Irsyad, malah diamanahi oleh Kiyai Ismail yang saat itu jadi pengasuh pesantren, untuk memimpin Pesantren Babakan Ciwaringin dan dinikahkan dengan keponakan Kiyai Ismail.
KH. Amien Sepuh menekuni Pesantren Babakan sebagai tempat pengabdiannya terhadap masyarakat Islam khususnya. Setelah 25 tahun mengembangkan Pesantren Babakan, tahun 1940-an, yaitu pasca kemerdekaan, Beliau sekaligus berjuang bagi kemerdekaan RI. Bahkan dalam perang 10 November Surabaya, para kiyai khos termasuk KH Hasyim Asy’ari menunggu kabar dari KH Amin sepuh sebelum mengeluarkan Fatwa Jihad.
Quote:
Diceritakan dalam sebuah majelis, almarhum KH. Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa Perlawanan Rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap ?”
Melihat tak satupun diantara yang hadir dalam majelis itu dapat menjawab, pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib, “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, Mengapa tidak diizinkan? ternyata Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga Langit Surabaya, Beliau Adalah KH. ABBAS ABDUL JAMIL dari pesantren buntet Cirebon dan KH. AMIN SEPUH dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.” KH. Amin Sepuh bersama beberapa anaknya, para Kiyai Cirebon ( wil 3 Cirebon dan Jawa Barat) plus Ustadz, santri dan masyarakat benar-benar berjuang ke surabaya, Jawa Timur. Bahkan kabarnya yang menembak Jendral Mallaby dari Inggris yang di boncengi Belanda (NICA), adalah anak buah KH. Amin Sepuh yang bernama Kiyai Sholeh yang wafat disana.
Melihat tak satupun diantara yang hadir dalam majelis itu dapat menjawab, pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib, “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, Mengapa tidak diizinkan? ternyata Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga Langit Surabaya, Beliau Adalah KH. ABBAS ABDUL JAMIL dari pesantren buntet Cirebon dan KH. AMIN SEPUH dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.” KH. Amin Sepuh bersama beberapa anaknya, para Kiyai Cirebon ( wil 3 Cirebon dan Jawa Barat) plus Ustadz, santri dan masyarakat benar-benar berjuang ke surabaya, Jawa Timur. Bahkan kabarnya yang menembak Jendral Mallaby dari Inggris yang di boncengi Belanda (NICA), adalah anak buah KH. Amin Sepuh yang bernama Kiyai Sholeh yang wafat disana.
Pasca Revolusi Kemerdekaan beliau dibantu adik iparnya sekaligus muridnya KH. Sanusi terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang. Bahkan yang dahsyat adalah ketika Agresi Belanda, tepatnya tahun 1952 Pondok Pesantren diserang Belanda. Dikarenakan KH. Amin sepuh sebagai sesepuh cirebon merupakan pejuang yang menentang penjajah. Pondok dibakar dan dikepung. Para santri pergi dan para Pengasuh beserta keluarga mengungsi.
Dua tahun kemudian, tahun 1954, KH. Sanusi yang masih salah satu murid KH. Amin Sepuh adalah orang yang pertama kali datang dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, termasuk karya-karya KH. Amin Sepuh, habis dibakar, bangunan hancur dan nampak angker. Semua itu secara bertahap dibereskan lagi.
Tahun 1955 KH. Amin Sepuh kembali ke Babakan, kemudian para santri banyak berdatangan dari berbagai pelosok. KH. Amin sepuh yang menjadi pengasuh Pondok Gede kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya yang makin lama makin meluap. Pondok Raudhotut Tolhibin tidak dapat menampung para santri. Hingga santrinya dititipkan dirumah-rumah ustadnya seperti KH. Hanan, dirumah KH. Sanusi, dsb. hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini. Sehingga Pondok yang awalnya hanya satu (Ponpes Raudlotut Tholibin) sekarang menjadi banyak.
Nama-nama asrama pesantren dimaksud adalah: komplek Babakan Utara, terdiri dari Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang didirikan oleh KH Amin (saat ini diasuh oleh KH Afif Zuhri Amin). Ini pesantren pertama di Babakan Ciwaringin. Kemudian Asrama Fatimiyah Ma'hadul Ilmi/AFMI (saat ini diasuh oleh KH Maksum Mochtar), Pondok Pesantren Asrarur Rafiah (KH Muhtadi Syarief), Pondok Pesantren Al-Badar(saat ini diasuh oleh KH Tohari), Pondok Pesantren Mahad at-Talim al-Baqiyah as-Salihah/MTBS (saat ini diasuh oleh Ustadz Yusuf), Pondok Pesantren Ma'hadul Ilmi (saat ini diasuh oleh Ustadz Hamzah Hariri), Pondok Pesantren az-Ziyadah (saat ini diasuh KH. Asmawi), Pondok Pesantren al Barakah (Didirikan oleh KH Syadzili), Balai Pendidikan Pondok Putri/Bapenpori (saat ini diasuh oleh KH. Amin Fuad), Pondok Pesantren As-Sanusi (diasuh oleh KH Abdul Kohar), Pondok Pesantren Dahlia (Ustadz Marzuki), Pondok Pesantren As-Syuhada (Ustadz Toha Amin), Pondok Pesantren As-Saadah (Ustadz Abdurrahman), Pondok Pesantren Ikhwanul Muslimin/PPIM (saat ini diasuh oleh KH Natsir), Pondok Pesantren at-Taqwa (Ustadz Busyer), Pondok Pesantren al-Munir (Ustadz Munir), Pondok Pesantren al-Furqan (Ustadz Hasan), Pondok Pesantren Al-Mustain (Ustadz Marzuki), dan Pondok Pesantren Al-Faqih (didirikan oleh KH M. Thobiin).
Sementara Pesantren Babakan Selatan, terdiri dari: Pondok Pesantren Miftahul Muta'allimin pesantren pertama di wilayah Selatan (Didirikan oleh Kyai Mad Amin, saat ini diasuh oleh KH Syarief Hud Yahya), Pondok Pesantren Assalafie (didirikan oleh KH Syaerozi, saat ini diasuh oleh KH Azka Hammam Syaerozi dan KH Yasyif Maemun Syaerozi), Pondok Pesantren Muallimin-Muallimat (didirikan oleh KH. Amin Halim, saat ini diasuh oleh KH Zamzami Amin dan KH Marzuki Ahal), Pondok Pesantren Assalam (diasuh oleh KH Mukhtasun), Pondok Pesantren Kebon Jambu (didirikan oleh KH Muhammad, saat ini diasuh oleh Ustadz Asror Muhammad), Pondok Pesantren Raudlatul Banat (didirikan oleh KH Syarief Hud Yahya), Pondok Pesantren Al Muntadhor (diasuh oleh KH Burhanuddin), Pondok Pesantren Al Hikmah (diasuh oleh KH Nasihin Aziz), Pondok Pesantren Hadiqah Usyaqil Quran/HUQ (Diasuh oleh KH Nurhadi Thayib), Pondok Pesantren al Ikhlas (diasuh oleh KH Mukhlas), Pondok Pesantren Asshalihah (didirikan oleh KH Hasan Palalo), Pondok Pesantren al Huda (diasuh oleh Ustadz Rumli Muntab), Pondok Pesantren Masyarikul Anwar (diasuh oleh KH Makhtum Hanan), Pondok Pesantren Al Kamaliyah (diasuh oleh KH Tamam Kamali), dan Pondok Pesantren Al Kautsar (KH Muhaimin)
Pada masa pengasuhan KH. Amin Sepuh, Pondok Babakan Ciwaringin mencapai kemasyhuran dan masa keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal, hampir semua Kiyai sepuh di wilayah 3 Cirebon bahkan menyebar ke pelosok Indonesia adalah muridnya, sebut saja Kang Ayip Muh (kota Cirebon), KH. Syakur Yassin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH Syukron Makmun, KH. Hannan, KH Sanusi, KH.Machsuni (Kwitang), KH Hassanudin (Makassar), di Babakan sendiri beberapa muridnya mendirikan pesantren seperti : KH. Muhtar, KH Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas, KH Syarif Hud Yahya..dll.
KH. Amien Sepuh wafat pada tahun pada tahun 1972 dan KH. Sanusi wafat pada tahun M.1974 M, dan kepengurusan dilanjutkan oleh KH. Fathoni Amin sampai tahun 1986 M.
Setelah wafatnya KH. Fathoni Amin kepengurusan pesantren dilanjutkan oleh KH. Bisri Amin ( wafat tahun 2000 M.) beserta KH. Fuad Amin ( wafat tahun 1997 M.) dan KH. Abdullah Amin ( wafat tahun 1999 M.) serta KH. Amrin Hanan ( wafat tahun 2004 M.) dan KH. Azhari Amin (wafat tahun 2008 ) KH. Drs. Zuhri Afif Amin wafat pada tahun 2010. setelah wafatnya KH. Drs Zuhri Afif Amin, kepengurusan dilanjukan oleh cucu-cucu KH. Amin Sepuh dan Ulama serta masyarakat yang berkompeten untuk kemajuan pesantren. Bahkan bukan pendidikan agama saja yang mereka terapkan, pendidikan umumpun mereka terapkan terhadap para santrinya. Dengan harapan, para santrinya dapat memenuhi semua kewajibannya, baik kewajiban dunia maupun akhirat, serta menyelaraskannya beriringan dan seimbang.
Diubah oleh WongGunungJati 28-07-2013 13:47
0
Kutip
Balas