- Beranda
- The Lounge
Doa Yang Tidak Terkabul
...
TS
regitrd
Doa Yang Tidak Terkabul
Kisah singkat yang ane rangkum , semoga agan/sista termovitasi
Spoiler for Doa Yang Tidak Terkabul:
Ada seseorang yang rajin berdoa, minta sesuatu sama Allah. Orangnya sholeh. Ibadahnya baik. Tapi doa tak kunjung terkabul. Sebulan menunggu masih belum terkabul juga. Tetap dia berdoa. Tiga bulan juga belum. Tetap dia berdoa. Hingga hampir satu tahun doa yang ia panjatkan, belum terkabul juga. Dia melihat teman kantornya. Orangnya biasa saja. Tak istimewa. Sholat masih bolong-bolong.
Kelakuannya juga sering nggak beres, sering tipu-tipu, bohong sana-sini. Tapi anehnya, apa yang dia doain, semuanya dipenuhi. Orang sholeh ini pun heran. Akhirnya, dia pun dateng ke seorang ustadz. Ceritalah dia permasalahan yang sedang dihadapi. Tentang doanya yang sulit terkabul padahal dia taat, sedangkan temannya yang bandel, malah dapat apa yang dia inginkan.
Tersenyumlah ustadz ini. Bertanyalah si ustadz ke orang ini. Kalau Anda lagi duduk di warung, kemudian datang pengamen, tampilannya urakan, maen musiknya gak bener, suaranya fals, bagaimana? Orang sholeh tadi menjawab, segera saya kasih pak ustadz, gak nahan ngeliat dan ndengerin dia lama-lama di situ, sambil nyanyi pula.
Kalau pengamennya yang dateng rapi, main musiknya enak, suaranya empuk, bawain lagu yang kamu suka, bagaimana? Wah, kalo gitu, saya dengerin ustadz. Saya biarin dia nyanyi sampai habis. Lama pun nggak masalah. Kalau perlu saya suruh nyanyi lagi. Nyanyi sampai sealbum pun saya rela. Kalau pengamen tadi saya kasih 500, yang ini 10.000 juga berani, ustadz.
Pak ustadz pun tersenyum. begitulah nak. Allah ketika melihat engkau, yang sholeh, datang menghadap-Nya, Allah betah ndengerin doamu. Melihat kamu. Dan Allah pengen sering ketemu kamu dalam waktu yang lama. Buat Allah, ngasih apa yang kamu mau itu gampang betul. Tapi Dia pengen nahan kamu biar khusyuk, biar deket sama Dia. Coba bayangin, kalo doamu cepet dikabulin, apa kamu bakal sedeket ini? Dan di penghujung nanti, apa yang kamu dapatkan kemungkinan besar jauh lebih besar dari apa yang kamu minta.
Beda sama temenmu itu. Allah gak mau kayaknya, dia deket-deket sama Allah. Udah dibiarin biar bergelimang dosa aja dia ini. Makanya Allah buru-buru kasih aja. Udah. Jatahnya ya segitu doang. Gak nambah lagi.
Dan yakinlah, kata pak ustadz, kalaupun apa yang kamu minta ternyata gak Allah kasih sampai akhir hidupmu, masih ada akhirat, nak. Sebaik-baik pembalasan adalah jatah surga buat kita. Nggak bakal ngerasa kurang kita di situ.
Tersadarlah orang tadi. Ia pun beristighfar, sudah berprasangka buruk kepada Allah. Padahal Allah betul-betul amat menyayanginya.
Kelakuannya juga sering nggak beres, sering tipu-tipu, bohong sana-sini. Tapi anehnya, apa yang dia doain, semuanya dipenuhi. Orang sholeh ini pun heran. Akhirnya, dia pun dateng ke seorang ustadz. Ceritalah dia permasalahan yang sedang dihadapi. Tentang doanya yang sulit terkabul padahal dia taat, sedangkan temannya yang bandel, malah dapat apa yang dia inginkan.
Tersenyumlah ustadz ini. Bertanyalah si ustadz ke orang ini. Kalau Anda lagi duduk di warung, kemudian datang pengamen, tampilannya urakan, maen musiknya gak bener, suaranya fals, bagaimana? Orang sholeh tadi menjawab, segera saya kasih pak ustadz, gak nahan ngeliat dan ndengerin dia lama-lama di situ, sambil nyanyi pula.
Kalau pengamennya yang dateng rapi, main musiknya enak, suaranya empuk, bawain lagu yang kamu suka, bagaimana? Wah, kalo gitu, saya dengerin ustadz. Saya biarin dia nyanyi sampai habis. Lama pun nggak masalah. Kalau perlu saya suruh nyanyi lagi. Nyanyi sampai sealbum pun saya rela. Kalau pengamen tadi saya kasih 500, yang ini 10.000 juga berani, ustadz.
Pak ustadz pun tersenyum. begitulah nak. Allah ketika melihat engkau, yang sholeh, datang menghadap-Nya, Allah betah ndengerin doamu. Melihat kamu. Dan Allah pengen sering ketemu kamu dalam waktu yang lama. Buat Allah, ngasih apa yang kamu mau itu gampang betul. Tapi Dia pengen nahan kamu biar khusyuk, biar deket sama Dia. Coba bayangin, kalo doamu cepet dikabulin, apa kamu bakal sedeket ini? Dan di penghujung nanti, apa yang kamu dapatkan kemungkinan besar jauh lebih besar dari apa yang kamu minta.
Beda sama temenmu itu. Allah gak mau kayaknya, dia deket-deket sama Allah. Udah dibiarin biar bergelimang dosa aja dia ini. Makanya Allah buru-buru kasih aja. Udah. Jatahnya ya segitu doang. Gak nambah lagi.
Dan yakinlah, kata pak ustadz, kalaupun apa yang kamu minta ternyata gak Allah kasih sampai akhir hidupmu, masih ada akhirat, nak. Sebaik-baik pembalasan adalah jatah surga buat kita. Nggak bakal ngerasa kurang kita di situ.
Tersadarlah orang tadi. Ia pun beristighfar, sudah berprasangka buruk kepada Allah. Padahal Allah betul-betul amat menyayanginya.
Spoiler for Doaku Ya Doaku:
Barusan tadi sehabis shalat Jum'at, saya menyapa seorang teman sekantor. Kebetulan istrinya baru saja melahirkan anaknya yang ke-7. Wow... luar biasa kan!
Hmm... luar biasa gak sih?! Kok gak kaget?
OK deh. Bukan itu masalahnya.
Teman baik ini mengajak saya mampir sejenak di kedai roti bakar. Dia pesan 2 porsi. Wah, ditraktir ceritanya. Hmm... ada apa nih tumben... ^_^
Sambil menunggu pesanan dia menceritakan sesuatu yang ajaib pada saya. Sehari menjelang kelahiran istrinya dia hanya punya uang di kantong Rp. 170.000,-. Tidak lebih dan tidak kurang. Sedangkan menurut informasi tetangganya, biaya melahirkan di bidan bisa menghabiskan dana 1,5 juta rupiah.
Seharian dia bekerja keras habis2an. Namun apalah yang didapat dalam waktu sehari. Tak sepeser pun uang tanbahan didapatnya.
Akhirnya tibalah waktu yang telah dinantikan. Sang istri pun tengah berjuang untuk melahirkan sang bayi ke dunia. Di ruang tunggu, dalam hati ia pun tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan istri dan buah hatinya.
Tiba-tiba bidan keluar dan berbisik, "Pak, plasenta istri bapak nempel di rahim. Bayi dah keluar tapi plasentanya nyangkut. Istri bapak harus dilarikan ke rumah sakit."
Bagai disambar petir di siang hari. Kekalutan sempat menghinggapi pikirannya. Sang bidan pun menangkap sinyal kegelisahan sang suami tersebut. Lalu berkata lagi, "Pak, saya minta doa bapak ya. Saya akan berusaha mengeluarkannya dengan izin ALLAH melalui perantara doa bapak."
"Iya Bu. Makasih banyak.", sahut suami yang tawadhu ini.
Bidan pun kembali ke ruangannya. Dan, teman saya terduduk berdoa penuh penghayatan. Menyerahkan segala urusan pada Sang Pemberi Kehidupan.
Alhamdulillah. Tak berapa lama bidan pun memberi-tahu teman saya bahwa anaknya telah lahir denga selamat beserta istrinya. Lega rasanya, serasa dunia begitu terang benderang.
Tapi, ujian belum selesai. Dia mesti menuntaskan biaya administrasinya. Bidan memberikan kwitansi senilai Rp. 800.000,-. Teman saya pun riang sebab sebelumnya diperkirakan 1,25 juta. Namun tetap saja uang di kantong hanya ada Rp. 170.000,-. Dia pun minta waktu 1 minggu untuk melunasinya atau jika ada rezeki hari esok juga dah dilunasin. Bidan pun dengan ramah memakluminya. Akhirnya mereka pun pulang ke rumah.
Setelah semalaman menjaga istri dan bayinya. Sehabis shalat shubuh, si suami ini pun mandi dan minta izin pada istrinya untuk menyendiri di kamar, dan jangan sampai diganggu. Dia hendak bermunajat pada ALLAH. Memohon bantuannya agar dipermudah dalam urusan administrasi kelahiran.
Dia pun berdoa dengan sungguh pada Allah Yang Maha Kaya. Tersungkur menangis dalam sujudnya. Menumpahkan segala keluh kesahnya pada Tuhannya. Tersadar ia dalam sujudnya oleh suara adzan dhuhur dari masjid. Ia pun keluar kamar. Shalat jama'ah dimasjid. Di masjid pun tak lepas doanya.
Ba'da dhuhur, datanglah seorang kawan lamanya yang sudah 1 tahun tak bertemu. "Katanya istrinya melahirkan ya?", tanya sang kawan dengan wajah sumringah.
"Iya kawan. Istrinya lagi menyusui bayi di dalam. Kalo mo nengok, silahkan...".
"Ah, gak. Disini aja. Aku turut bahagia. Istriku gak bisa datang. Cuman aku ada amanat dari istriku untuk memberikan amplop ini kepadamu. Sebagai tanda terima kasih, kamu dulu telah menyadarkanku kembali ke jalan yang benar."
"Ah kau ini. Jangan dibicarakan lah. Makasih ya. Apaan nih kok berat."
"Buka saja di rumah. Aku permisi dulu. Masih banyak kerjaan. Assalamu'alaikum."
"Hei, kenapa buru-buru. Gak minum kopi dulu?"
"Hah, gak usahlah. Aku kan cuman mo nyerahin itu aja sambil nanya kabar. Ayo ah."
"Oh ya. 'alaikum salam."
Teman saya itu pun masuk ke rumah dan menyerahkan amplop besar besar pada istrinya. Setelah dibuka, mereka terkaget-kaget. Ternyata isinya uang sejumlah Rp. 1.800.000,-. Subhanallah...
Suami-istri itupun segera sujud syukur. Ternyata doanya langsung dikabulkan oleh ALLAH, melalui perantaraan kawn lamanya. Subhanallah... walhamdulillah...
Tak buang-buang waktu lagi, teman saya langsung menuju klinik bersalin tempat istrinya melahirkan. Dan membayar utang biaya administrasi bersalin pada bidan itu sejumlah Rp. 800.000,-. Uang masih tersisa 1 juta lagi. Dan, ini adalah rezeki si bayi yang dititipkan ALLAH pada keluarga sahabat saya ini.
___________________________________________________
Sahabatku sekalian...
Kisah nyata ini dituturkan sendiri oleh subjeknya langsung secara pribadi dengan saya. Dia dah kebelet pingin cerita peristiwa ajaib ini pada saya.
Perlu diketahui, teman saya ini mantan preman terminal yang insaf setelah bertemu berdiskusi dengan saya dan bapak saya. Kebetulan bapak saya adalah guru spiritual tasawuf yang telah banyak mengajarkan nilai-nilai kehidupan padanya.
Semoa cerita ini meng-inspirasi kita semua bahwa Tuhan pasti mengabulkan ham-Nya yang bermunajat, mohon ampun dan berdoa sepenuh hati kepada-Nya. Sesuai firman-Nya.
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." [Al-Baqarah, 186]
Hmm... luar biasa gak sih?! Kok gak kaget?
OK deh. Bukan itu masalahnya.
Teman baik ini mengajak saya mampir sejenak di kedai roti bakar. Dia pesan 2 porsi. Wah, ditraktir ceritanya. Hmm... ada apa nih tumben... ^_^
Sambil menunggu pesanan dia menceritakan sesuatu yang ajaib pada saya. Sehari menjelang kelahiran istrinya dia hanya punya uang di kantong Rp. 170.000,-. Tidak lebih dan tidak kurang. Sedangkan menurut informasi tetangganya, biaya melahirkan di bidan bisa menghabiskan dana 1,5 juta rupiah.
Seharian dia bekerja keras habis2an. Namun apalah yang didapat dalam waktu sehari. Tak sepeser pun uang tanbahan didapatnya.
Akhirnya tibalah waktu yang telah dinantikan. Sang istri pun tengah berjuang untuk melahirkan sang bayi ke dunia. Di ruang tunggu, dalam hati ia pun tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan istri dan buah hatinya.
Tiba-tiba bidan keluar dan berbisik, "Pak, plasenta istri bapak nempel di rahim. Bayi dah keluar tapi plasentanya nyangkut. Istri bapak harus dilarikan ke rumah sakit."
Bagai disambar petir di siang hari. Kekalutan sempat menghinggapi pikirannya. Sang bidan pun menangkap sinyal kegelisahan sang suami tersebut. Lalu berkata lagi, "Pak, saya minta doa bapak ya. Saya akan berusaha mengeluarkannya dengan izin ALLAH melalui perantara doa bapak."
"Iya Bu. Makasih banyak.", sahut suami yang tawadhu ini.
Bidan pun kembali ke ruangannya. Dan, teman saya terduduk berdoa penuh penghayatan. Menyerahkan segala urusan pada Sang Pemberi Kehidupan.
Alhamdulillah. Tak berapa lama bidan pun memberi-tahu teman saya bahwa anaknya telah lahir denga selamat beserta istrinya. Lega rasanya, serasa dunia begitu terang benderang.
Tapi, ujian belum selesai. Dia mesti menuntaskan biaya administrasinya. Bidan memberikan kwitansi senilai Rp. 800.000,-. Teman saya pun riang sebab sebelumnya diperkirakan 1,25 juta. Namun tetap saja uang di kantong hanya ada Rp. 170.000,-. Dia pun minta waktu 1 minggu untuk melunasinya atau jika ada rezeki hari esok juga dah dilunasin. Bidan pun dengan ramah memakluminya. Akhirnya mereka pun pulang ke rumah.
Setelah semalaman menjaga istri dan bayinya. Sehabis shalat shubuh, si suami ini pun mandi dan minta izin pada istrinya untuk menyendiri di kamar, dan jangan sampai diganggu. Dia hendak bermunajat pada ALLAH. Memohon bantuannya agar dipermudah dalam urusan administrasi kelahiran.
Dia pun berdoa dengan sungguh pada Allah Yang Maha Kaya. Tersungkur menangis dalam sujudnya. Menumpahkan segala keluh kesahnya pada Tuhannya. Tersadar ia dalam sujudnya oleh suara adzan dhuhur dari masjid. Ia pun keluar kamar. Shalat jama'ah dimasjid. Di masjid pun tak lepas doanya.
Ba'da dhuhur, datanglah seorang kawan lamanya yang sudah 1 tahun tak bertemu. "Katanya istrinya melahirkan ya?", tanya sang kawan dengan wajah sumringah.
"Iya kawan. Istrinya lagi menyusui bayi di dalam. Kalo mo nengok, silahkan...".
"Ah, gak. Disini aja. Aku turut bahagia. Istriku gak bisa datang. Cuman aku ada amanat dari istriku untuk memberikan amplop ini kepadamu. Sebagai tanda terima kasih, kamu dulu telah menyadarkanku kembali ke jalan yang benar."
"Ah kau ini. Jangan dibicarakan lah. Makasih ya. Apaan nih kok berat."
"Buka saja di rumah. Aku permisi dulu. Masih banyak kerjaan. Assalamu'alaikum."
"Hei, kenapa buru-buru. Gak minum kopi dulu?"
"Hah, gak usahlah. Aku kan cuman mo nyerahin itu aja sambil nanya kabar. Ayo ah."
"Oh ya. 'alaikum salam."
Teman saya itu pun masuk ke rumah dan menyerahkan amplop besar besar pada istrinya. Setelah dibuka, mereka terkaget-kaget. Ternyata isinya uang sejumlah Rp. 1.800.000,-. Subhanallah...
Suami-istri itupun segera sujud syukur. Ternyata doanya langsung dikabulkan oleh ALLAH, melalui perantaraan kawn lamanya. Subhanallah... walhamdulillah...
Tak buang-buang waktu lagi, teman saya langsung menuju klinik bersalin tempat istrinya melahirkan. Dan membayar utang biaya administrasi bersalin pada bidan itu sejumlah Rp. 800.000,-. Uang masih tersisa 1 juta lagi. Dan, ini adalah rezeki si bayi yang dititipkan ALLAH pada keluarga sahabat saya ini.
___________________________________________________
Sahabatku sekalian...
Kisah nyata ini dituturkan sendiri oleh subjeknya langsung secara pribadi dengan saya. Dia dah kebelet pingin cerita peristiwa ajaib ini pada saya.
Perlu diketahui, teman saya ini mantan preman terminal yang insaf setelah bertemu berdiskusi dengan saya dan bapak saya. Kebetulan bapak saya adalah guru spiritual tasawuf yang telah banyak mengajarkan nilai-nilai kehidupan padanya.
Semoa cerita ini meng-inspirasi kita semua bahwa Tuhan pasti mengabulkan ham-Nya yang bermunajat, mohon ampun dan berdoa sepenuh hati kepada-Nya. Sesuai firman-Nya.
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." [Al-Baqarah, 186]
Spoiler for Uang 2000:
Kisah nyata dari agan wonklemu
Assalamualaikum agan dan aganwati, ane mau share pengalaman ane nih gan tentang kisah ane menyedekahkan duit Rp. 2000 perak aja maaf jikalau kurang berkenan.....
MONGGO DISIMAK
kisah ini real gan, saat itu hari yang cerah gan...... matahari bersinar dengan pancaran sinar yang masih manget-manget (dibaca "hangat") . hari itu ane telah janjian dengan cewek cantik imut cute...ah sudah tar agan ngiler.. mau saya anterin daftar kuliah gan. dengan semangat kita kita bertiga berangkat gan naik motor. ane pacu tu motor grand ane gan agak ngebut.... ya sekitar 30-50 KM lah.... bisa ente bayangin gan betapa ngebutnya ane.... . maklum lah gan jiwa pembalab.
tak terasa gan sampe juga di kampus, mungkin karena ane ngebut kali ya... . nah tapi disini gan awal mula kejaiban itu terjadi. nah waktu sampai ane baru menyadari kalau Kontak (red: Kunci Motor) ane raib dari tempat bertenggernya....hihihi. nah ane kan bingung tu gimana matiin motor ane secara itu Kunci Motor satu-satunya, KW lagi... .
akhirnya ane kepikiran punya kunci lain gan, tapi itu kunci laci.... ane coba eh ternyata mau....weh ALHAMDULILLAH. skip---skip---skip ane bantu urusin temen ane yang mau daftar kuliah tadi gan. setelah kelar kan mau balik tu gan temen ane ngajakin mau traktir ane....wah ALHAMDULILLAH lagi. tapi ane tolak gan, setelah keinget sama motor ane yang kuncinya raib. ane tolak dengan alesan masih ada urusan dikampus, padahal dalam hati mau ke tukang kunci mau buat kunci duplikat.
setelah mereka pergi ane pergi pulang gan sambil nyari tukang kunci, sebelumnya pinjam kunci temen buat buka jok motor, maklum mau isi bensin gan. waktu itu duit ane kalau g salah ada 32.000 gan. pikir ane 10.000 bensin yang 20.000 bikin kunci kan biasanya 15.000. waktu dipom itulah gan ALLAH secara langsung menunjukkan keajaiban sedekah secara langsung gan.
nah pas di pom itu kan ada orang kayak tuna netra gitu gan sambil membawa kaleng yang dikaitkan dilehernya untuk menampung pemberian orang gan. nah tiba-tiba dalam hati ane pengen ngasih, ane keluarin tu uang 12.000 yang 10.000 bayar bensin yang 2000 buat ane kasih ke orang tuna netra itu.
dan tahukah apa yang terjadi??? setelah ane ngasih duit 2000 itu ke orang itu gan, subkhanallah.... waktu ane mau naik motor, kunci motor ane ketemu gan, nyangkut di lekungan motor antara tempat duduk dan setir. ane berucap syukur berkali-kali gan. dengan duit 2000 yang saya sedekahkan dengan iklas ALLAH langsung menggantinya gan. baru kali ini ane mengalami keajaiban sedekah secara langsung. masyaALLAH.
"Tidak akan pernah berkurang harta yang disedekahkan ...
Kecuali ia bertambah… bertambah… bertambah…" (HR. at-Tirmidzi)
"Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Alah akan melipatgandakan balasannya dan baginya pahala yang mulia." (QS. Al-Hadild 57:11)
ane hanya share gan, tidak ada maksud buat pamer dan sejenisnya.... mudah-mudahan pengalaman saya dapat memberikan motivasi untuk lebih giat bersedekah. bersedekah tidak perlu banyak asal iklas, bersedekah banyak dan iklas malah lebih baik. hehehe
Spoiler for Uang Nyasar:
Alhamdulillah beberapa hari yang lalu saya mengalami sendiri keajaiban sedekah. Kejadian yang lebih menginsyafi bahwa hukum Tuhan itu ada dan nyata. Artinya apabila saya mengikuti hukum itu maka saya akan mendapat apa yang dijanjikan-Nya. Namun bila tidak maka kemungkinan besar kesalahannya pada diri sendiri bukan pada hukum itu karena Allah tidak pernah mengingkari janjinya.
Seperti banyak disampaikan oleh ustad-ustadz sekarang baik di masjid atau di tv bahwa Allah swt akan melipatgandakan sedekah, minimal 10 kali dan maksimal sesuai kehendak Dia. Ada yang diganti 1000 kali atau bahkan tak terhingga.
Nah yang terjadi pada saya adalah yang 10 kali, beruntungnya Allah menggantinya sehari setelah sedekah. Bagaimana ceritanya?
Jadi seperti biasa, setelah pulang kerja saya selalu sholat di mesjid, memang kalau lagi susah, masjid adalah tempat paling indah untuk mencurahkan kegalauan hati. Setelah wirid saya keluar, saat sedang mencari sendal, ada seorang wanita menghampiri saya, dia minta uang 10 ribu untuk beli sendal karena sendalnya baru saja hilang. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengambil 20 ribu di saku. Kebetulan tidak ada receh. Setelah saya berikan, wanita itu mengucapkan terima kasih dan langsung pergi.
Entah karena godaan setan atau memang nafsu, saya merasa menyesal, mengapa begitu mudah saya memberikan uang? Bukankah saya juga butuh uang? Dan berbagai pertanyaan dalam hati. Saya juga merasa ada yang ganjil dengan wanita tadi, saya dituntut untuk lebih jeli dan kritis. Saya lihat dia memakai sendal, jadi uang yang dia minta sebenarnya bukan untuk beli sandal tapi untuk keperluan lain seperti naik angkot.
Tak sampai disitu hati saya terus dipermainkan, saya seperti dinasehati untuk lebih berhati-hati karena sekarang banyak sekali motif pengemis. Jadi lain kali kalau ada yang minta uang, dilihat dulu tipe orangnya seperti apa, apa motifnya lalu segera ambil keputusan apakah dia benar peminta atau penipu. Kalau saya merasa dia aneh maka jangan beri dia uang tapi kalau kelihatan benar-benar butuh, bolehlah saya kasih.
Saya menyadari kalau saya larut dalam dialog dalam hati itu, dialog yang ternyata membawa saya pada suasana tidak ikhlas dan selalu curiga, tapi segera saya ingat Allah dan beristigfar. Menurut para ustadz bahwa bersedekah yang tidak ikhlas akan sia-sia karena pahalanya akan berkurang bahkan bisa jadi hilang. Dengan kata hukum Allah tidak akan pernah terjadi.
Saya mengakui bahwa saya khilaf, saya langsung banyak beristigfar dan ikhlaskan uang tadi dan berdoa semoga wanita tadi bisa terbantu dengan sedikit uang saya itu dan semoga Allah mengganti uang saya itu.
Esok hari, mbak saya ririn telepon. Katanya dia baru saja transfer 200 ribu lewat rekening saya. Saya kaget karena saya tidak pernah minta bantuan lagi setelah selesai kuliah. Awalnya ketika mendengar itu saya langsung tolak, saya beralasan masih punya uang tapi mbak saya terlanjur berkata bahwa dia sudah transfer. Dengan senang hati saya ucapkan terima kasih. Bisa saja kalau saya memang benar tidak mau, saya bisa transfer uang kembali pada rekening mbak saya, tapi karena sudah terlanjur ya sudah mungkin ini rejeki saya.
Setelah kejadian itu, tiba-tiba saya ingat kejadian di masjid kemaren. Ya kejadian sedekah pada wanita. Allah maha besar, ternyata uang saya langsung diganti oleh Allah 10 kali lipat. Lebih beruntung lagi dikembalikan sehari setelah sedekah. Saya kemudian menyimpulkan bahwa sedekah ada dua macam. Pertama sedekah yang diberikan ketika ada orang yang minta, kualitas sedekah ini akan lebih baik jika orang yang minta itu berada di tempat suci seperti masjid. Insya Allah sedekah semacam ini mustajab.
Kedua, sedekah yang diberikan tanpa ada keadaan tertentu seperti orang yang minta. Sedekah ini tetap mustajab tapi hasilnya tidak secepat sedekah yang pertama, mungkin Allah akan menyimpanya dulu, baru kemudian diberikat diwaktu yang tepat. Dua sedekah ini sama-sama baik, tinggal pilih yang mana.
Spoiler for Isi Bensin:
isah nyata ini terjadi di Jawa Tengah. Hari itu, seorang lelaki tengah mengengkol vespanya. Tapi tak kunjung bunyi. “Jangan-jangan bensinnya habis,” pikirnya. Ia pun kemudian memiringkan vespanya. Alhamdulillah... vespa itu bisa distarter.
“Bensin hampir habis. Langsung ke pengajian atau beli bensin dulu ya? Kalau beli bensin kudu muter ke belakang, padahal pengajiannya di depan sana,” demikian kira-kira kata hati lelaki itu. Ke mana arah vespanya? Ia arahkan ke pengajian. “Habis ngaji baru beli bensin.”
“Ma naqashat maalu ‘abdin min shadaqah, bal yazdad, bal yazdad, bal yazdad. Tidak akan berkurang harta karena sedekah, bahkan ia akan bertambah, bahkan ia bertambah, bahkan ia bertambah,” kata Sang Kyai di pengajian itu, yang ternyata membahas sedekah.
Setelah menerangkan tentang keutamaan sedekah, Sang Kyai mengajak hadirin untuk bersedekah. Lelaki yang membawa vespa itu ingin bersedekah juga, tetapi uangnya tinggal seribu rupiah. Uan g segitu, di zaman itu, hanya cukup untuk membeli bensin setengah liter.
Syetan mulai membisikkan ketakutan kepada lelaki itu, “Itu uang buat beli bensin. Kalo kamu pakai sedekah, kamu tidak bisa beli bensin. Motormu mogok, kamu mendorong. Malu. Capek.”
Sempat ragu sesaat, namun lelaki itu kemudian menyempurnakan niatnya. “Uang ini sudah terlanjur tercabut, masa dimasukkan lagi? Kalaupun harus mendorong motor, tidak masalah!”
Pengajian selesai. Lelaki itu pun pulang. Di tengah jalan, sekitar 200 meter dari tempat pengajian vespanya berhenti. Bensin benar-benar habis.
“Nah, benar kan. Kalo kamu tadi tidak sedekah, kamu bisa beli bensin dan tidak perlu mendorong motor,” syetan kembali menggoda, kali ini supaya pelaku sedekah menyesali perbuatannya.
Tapi subhanallah, orang ini hebat. “Mungkin emang sudah waktunya ndorong.” Meski demikian, matanya berkaca-kaca, “Enggak enak jadi orang susah, baru sedekah seribu saja sudah dorong motor.”
Baru sepuluh langkah ia mendorong motor, tiba-tiba sebuah mobil kijang berhenti setelah mendahuluinya. Kijang itu kemudian mundur.
“Kenapa, Mas, motornya didorong?” tanya pengemudi Kijang, yang ternyata teman lamanya.
“Bensinnya habis,” jawab lelaki itu.
“Yo wis, minggir saja. Vespanya diparkir. Ayo ikut aku, kita beli bensin.”
Sesampainya di pom bensin, temannya membeli air minum botol. Setelah airnya diminum, botolnya diisi bensin. Satu liter. Subhanallah, sedekah lelaki itu kini dikembalikan Allah dua kali lipat.
“Kamu beruntung ya” kata sang teman kepada lelaki itu, begitu keduanya kembali naik Kijang.
“Untung apaan?”
“Kita menikah di tahun yang sama, tapi sampeyan sudah punya 3 anak, saya belum”
“Saya pikir situ yang untung. Situ punya Kijang, saya Cuma punya vespa”
“Hmm.. mau, anak ditukar Kijang?”
Mereka kan ngobrol banyak, tentang kesusahan masing-masing. Rupanya, sang teman lama itu simpati dengan kondisi si pemilik vespa.
Begitu sampai... “Mas, saya enggak turun ya,” kata pemiliki Kijang. Lalu ia menerogoh kantongnya mengeluarkan sebuah amplop.
“Mas, titip ya, bilang ke istrimu, doakan kami supaya punya anak seperti sampeyan. Jangan dilihat di sini isinya, saya juga belum tahu isinya berapa,” bonus dari perusahaan itu memang belum dibukanya.
Sesampainya di rumah. Betapa terkejutnya lelaki pemilik Vespa itu. Amplop pemberian temannya itu isinya satu juta rupiah. Seribu kali lipat dari sedekah yang baru saja dikeluarkannya.
Sungguh benar firman Allah, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).
“Bensin hampir habis. Langsung ke pengajian atau beli bensin dulu ya? Kalau beli bensin kudu muter ke belakang, padahal pengajiannya di depan sana,” demikian kira-kira kata hati lelaki itu. Ke mana arah vespanya? Ia arahkan ke pengajian. “Habis ngaji baru beli bensin.”
“Ma naqashat maalu ‘abdin min shadaqah, bal yazdad, bal yazdad, bal yazdad. Tidak akan berkurang harta karena sedekah, bahkan ia akan bertambah, bahkan ia bertambah, bahkan ia bertambah,” kata Sang Kyai di pengajian itu, yang ternyata membahas sedekah.
Setelah menerangkan tentang keutamaan sedekah, Sang Kyai mengajak hadirin untuk bersedekah. Lelaki yang membawa vespa itu ingin bersedekah juga, tetapi uangnya tinggal seribu rupiah. Uan g segitu, di zaman itu, hanya cukup untuk membeli bensin setengah liter.
Syetan mulai membisikkan ketakutan kepada lelaki itu, “Itu uang buat beli bensin. Kalo kamu pakai sedekah, kamu tidak bisa beli bensin. Motormu mogok, kamu mendorong. Malu. Capek.”
Sempat ragu sesaat, namun lelaki itu kemudian menyempurnakan niatnya. “Uang ini sudah terlanjur tercabut, masa dimasukkan lagi? Kalaupun harus mendorong motor, tidak masalah!”
Pengajian selesai. Lelaki itu pun pulang. Di tengah jalan, sekitar 200 meter dari tempat pengajian vespanya berhenti. Bensin benar-benar habis.
“Nah, benar kan. Kalo kamu tadi tidak sedekah, kamu bisa beli bensin dan tidak perlu mendorong motor,” syetan kembali menggoda, kali ini supaya pelaku sedekah menyesali perbuatannya.
Tapi subhanallah, orang ini hebat. “Mungkin emang sudah waktunya ndorong.” Meski demikian, matanya berkaca-kaca, “Enggak enak jadi orang susah, baru sedekah seribu saja sudah dorong motor.”
Baru sepuluh langkah ia mendorong motor, tiba-tiba sebuah mobil kijang berhenti setelah mendahuluinya. Kijang itu kemudian mundur.
“Kenapa, Mas, motornya didorong?” tanya pengemudi Kijang, yang ternyata teman lamanya.
“Bensinnya habis,” jawab lelaki itu.
“Yo wis, minggir saja. Vespanya diparkir. Ayo ikut aku, kita beli bensin.”
Sesampainya di pom bensin, temannya membeli air minum botol. Setelah airnya diminum, botolnya diisi bensin. Satu liter. Subhanallah, sedekah lelaki itu kini dikembalikan Allah dua kali lipat.
“Kamu beruntung ya” kata sang teman kepada lelaki itu, begitu keduanya kembali naik Kijang.
“Untung apaan?”
“Kita menikah di tahun yang sama, tapi sampeyan sudah punya 3 anak, saya belum”
“Saya pikir situ yang untung. Situ punya Kijang, saya Cuma punya vespa”
“Hmm.. mau, anak ditukar Kijang?”
Mereka kan ngobrol banyak, tentang kesusahan masing-masing. Rupanya, sang teman lama itu simpati dengan kondisi si pemilik vespa.
Begitu sampai... “Mas, saya enggak turun ya,” kata pemiliki Kijang. Lalu ia menerogoh kantongnya mengeluarkan sebuah amplop.
“Mas, titip ya, bilang ke istrimu, doakan kami supaya punya anak seperti sampeyan. Jangan dilihat di sini isinya, saya juga belum tahu isinya berapa,” bonus dari perusahaan itu memang belum dibukanya.
Sesampainya di rumah. Betapa terkejutnya lelaki pemilik Vespa itu. Amplop pemberian temannya itu isinya satu juta rupiah. Seribu kali lipat dari sedekah yang baru saja dikeluarkannya.
Sungguh benar firman Allah, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).
Cerita Singkat Berlanjut Ke Post #12
Selamat Berpuasa Bagi Kaskus Muslim
Diubah oleh regitrd 19-07-2013 06:34
0
3.1K
Kutip
17
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923KThread•83KAnggota
Tampilkan semua post
TS
regitrd
#11
Spoiler for Kecelakaan:
Kisah ini bermula pada Januari 2007. Saat itu Awaluddin (kini berusia 38 tahun) melamar kerja di sebuah perusahaan ternama. Berbekal kepercayaan diri dan berkas-berkas yang disusun rapi di dalam map, ia menemui bagian personalia (HRD). Tanpa disangka, kepala personalia di perusahaan itu teman sekolahnya ketika SMP. Awaluddin kaget tak menyangka seorang sahabatnya bisa menduduki posisi penting.
“Saya benar-benar tidak tahu kalau ternyata itu teman saya. Untungnya saya dan dia masih sama-sama ingat. Akhirnya kami ngobrol ngalor-ngidul. Saya berkata dalam hati, saya pasti diterima kerja di tempat ini. Tapi, teman saya itu sepertinya bisa membaca hati saya. Dia buru-buru memberi tahu kalau untuk saat ini tidak ada lowongan pekerjaan. Saya langsung lemas, meski tak sampai kehilangan semangat,” cerita Awaluddin.
Awaluddin terus mencoba membujuk temannya agar bisa memasukan dirinya. Nah, kebetulan bos di perusahaan itu menghampiri kepala personalia. Awaluddin tercengang. Rupanya sang bos yang bernama Hambali adalah kawan SMA Awaluddin. Keduanya saling bertatap wajah, lantas tersenyum bersamaan. Singkat cerita, jadilah di kantor itu semacam reuni kecil.
“Sayangnya, Hambali juga tidak bisa menolong saya, karena perusahaannya tidak menerima pegawai baru. Malah, kata Hambali, pada hari itu perusahaannya justru akan mem-PHK lima orang karyawan akibat kesulitan keuangan. Saya melongo, lalu pamit pulang dengan perasaan campur aduk tak menentu,” kenang Awaluddin.
Selang beberapa hari, Awaluddin menceritakan keluh kesah sekaligus pengalaman pribadinya tersebut kepada Ustad Yusuf Mansur. Kata ustad, berarti rezeki Awaluddin belum ada di perusahaan itu. Sang ustad lantas menawarkan kepadanya untuk bergabung dengan PPPA Wisatahati..
“Tanpa pikir panjang, saya langsung terima tawaran dari beliau,” tegasnya.
Februari 2007 adalah moment istimewa bagi Awaluddin. Kala itu ia ‘resmi’ mendapat tempat untuk mengaktualisasikan diri di Pesantren Darul Qur’an, di bawah bimbingan Ustad Yusuf Mansur. Ia diberitugas sebagai teknisi umum. Itu saja sudah membuatnya bangga. Sebab, cerita Awaluddin, sebelumnya ia tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tetap.
Selama mengabdi di PPPA Wisatahati, Awaluddin tidak saja dapat mengenal sosok Ustad Yusuf Mansur secara lebih dekat. Lebih dari itu, ia jadi tahu ilmu dan tata cara sedekah yang efektif, semakin giat shalat dhuha dan qiyamul lail (bangun malam untuk mengerjakan shalat tahajud) serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui rutinitas shalat wajib tepat waktu.
“Alhamdulillah…Tidak diterima kerja ternyata membawa hikmah yang sangat luar biasa, khususnya bagi pribadi dan keimanan saya,” selorohnya.
Suatu ketika, Awaluddin bercita-cita ingin memiliki rumah sendiri. Ia yang sudah lima tahun membangun rumah tangga dengan Jamilah dan telah dikaruniai seorang putri berusia tiga tahun bernama Nurmala Audina, selama ini merasa kurang nyaman tinggal di rumah kontrakan.
Keinginannya itu lalu diutarakan kepada Ustad Yusuf Mansur. Ustad menyarankannya untuk mengikuti aturan PPPA Wisatahati.
“Saya kemudian setiap bulan bersedekah Rp. 550.000 untuk makan santri di PPPA. Itu saya lakukan selama sepuluh bulan. Ajaibnya, pada Februari 2008, saya mampu membeli sebuah rumah seharga 55 juta rupiah. Saya sendiri sampai bingung bisa punya uang sebanyak itu. Padahal, terus terang, saya tidak pernah menghitung uang ditabungan saya. Kok tahu-tahu jumlahnya sesuai dengan harga rumah itu.
Subhanallah…Alhamdulillah…” tutur pria yang kini tinggal bersama istri dan anaknya di Ketapang, Cipondoh, Tangerang.
Bukti tersebut yang membuat Awaluddin bertambah semangat dalam hal sedekah dan kian getol beribadah. Ia sepenuhnya yakin bahwa jika seorang manusia mau menolong manusia lainnya dengan cara apapun yang dilandasi keikhlasan hati, maka Allah sudah pasti akan mengurai dan memberikan jalan terbaik dari segala kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapinya.
Belum lama ini –tepatnya awal Juli 2009—Awaluddin merasakan keajaiban lagi berkat sedekah. Ceritanya, siang hari ia mengunjungi rumah orang tuanya di daerah Ciputat dengan mengendarai sepeda motor. Begitu sampai di rumah ibunya, rupanya sang ibu tengah dibelit masalah.
“Waktu itu ibu saya sedang butuh uang Rp. 200.000 untuk bayar sekolah seorang anak yatim yang selama ini disantuninya. Kebetulan di dompet saya ada uang Rp. 200.000. Langsung saya sedekahkah uang itu kepada ibu saya, dengan maksud membantu anak yatim,” tandas Awaluddin.
Setelah menyerahkan uang, Awaluddin pamit pulang. Di tengah perjalanan, mendadak motor yang ditumpanginya mati. Ia menepi sejenak, mengecek busi dan mesinnya. Tanpa diduga, ada sebuah mobil pribadi berkecepatan sedang yang menyeruduk sepeda motor yang tengah melaju. Brakkk!!! Jarak motor itu hanya 10 meter dari tempat Awaluddin menepikan motornya.
Astaghfirullah…Pekik Awaluddin. Pengendara motor seketika terpelanting, mendarat diaspal. Tubuhnya penuh luka lecet. Motornya rusak berat. Awaluddin segera menolong pengemudi motor. Ia bahkan tak memperhatikan motornya sendiri yang masih distandar dua.
“Saya benar-benar tidak tahu kalau ternyata itu teman saya. Untungnya saya dan dia masih sama-sama ingat. Akhirnya kami ngobrol ngalor-ngidul. Saya berkata dalam hati, saya pasti diterima kerja di tempat ini. Tapi, teman saya itu sepertinya bisa membaca hati saya. Dia buru-buru memberi tahu kalau untuk saat ini tidak ada lowongan pekerjaan. Saya langsung lemas, meski tak sampai kehilangan semangat,” cerita Awaluddin.
Awaluddin terus mencoba membujuk temannya agar bisa memasukan dirinya. Nah, kebetulan bos di perusahaan itu menghampiri kepala personalia. Awaluddin tercengang. Rupanya sang bos yang bernama Hambali adalah kawan SMA Awaluddin. Keduanya saling bertatap wajah, lantas tersenyum bersamaan. Singkat cerita, jadilah di kantor itu semacam reuni kecil.
“Sayangnya, Hambali juga tidak bisa menolong saya, karena perusahaannya tidak menerima pegawai baru. Malah, kata Hambali, pada hari itu perusahaannya justru akan mem-PHK lima orang karyawan akibat kesulitan keuangan. Saya melongo, lalu pamit pulang dengan perasaan campur aduk tak menentu,” kenang Awaluddin.
Selang beberapa hari, Awaluddin menceritakan keluh kesah sekaligus pengalaman pribadinya tersebut kepada Ustad Yusuf Mansur. Kata ustad, berarti rezeki Awaluddin belum ada di perusahaan itu. Sang ustad lantas menawarkan kepadanya untuk bergabung dengan PPPA Wisatahati..
“Tanpa pikir panjang, saya langsung terima tawaran dari beliau,” tegasnya.
Februari 2007 adalah moment istimewa bagi Awaluddin. Kala itu ia ‘resmi’ mendapat tempat untuk mengaktualisasikan diri di Pesantren Darul Qur’an, di bawah bimbingan Ustad Yusuf Mansur. Ia diberitugas sebagai teknisi umum. Itu saja sudah membuatnya bangga. Sebab, cerita Awaluddin, sebelumnya ia tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tetap.
Selama mengabdi di PPPA Wisatahati, Awaluddin tidak saja dapat mengenal sosok Ustad Yusuf Mansur secara lebih dekat. Lebih dari itu, ia jadi tahu ilmu dan tata cara sedekah yang efektif, semakin giat shalat dhuha dan qiyamul lail (bangun malam untuk mengerjakan shalat tahajud) serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui rutinitas shalat wajib tepat waktu.
“Alhamdulillah…Tidak diterima kerja ternyata membawa hikmah yang sangat luar biasa, khususnya bagi pribadi dan keimanan saya,” selorohnya.
Suatu ketika, Awaluddin bercita-cita ingin memiliki rumah sendiri. Ia yang sudah lima tahun membangun rumah tangga dengan Jamilah dan telah dikaruniai seorang putri berusia tiga tahun bernama Nurmala Audina, selama ini merasa kurang nyaman tinggal di rumah kontrakan.
Keinginannya itu lalu diutarakan kepada Ustad Yusuf Mansur. Ustad menyarankannya untuk mengikuti aturan PPPA Wisatahati.
“Saya kemudian setiap bulan bersedekah Rp. 550.000 untuk makan santri di PPPA. Itu saya lakukan selama sepuluh bulan. Ajaibnya, pada Februari 2008, saya mampu membeli sebuah rumah seharga 55 juta rupiah. Saya sendiri sampai bingung bisa punya uang sebanyak itu. Padahal, terus terang, saya tidak pernah menghitung uang ditabungan saya. Kok tahu-tahu jumlahnya sesuai dengan harga rumah itu.
Subhanallah…Alhamdulillah…” tutur pria yang kini tinggal bersama istri dan anaknya di Ketapang, Cipondoh, Tangerang.
Bukti tersebut yang membuat Awaluddin bertambah semangat dalam hal sedekah dan kian getol beribadah. Ia sepenuhnya yakin bahwa jika seorang manusia mau menolong manusia lainnya dengan cara apapun yang dilandasi keikhlasan hati, maka Allah sudah pasti akan mengurai dan memberikan jalan terbaik dari segala kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapinya.
Belum lama ini –tepatnya awal Juli 2009—Awaluddin merasakan keajaiban lagi berkat sedekah. Ceritanya, siang hari ia mengunjungi rumah orang tuanya di daerah Ciputat dengan mengendarai sepeda motor. Begitu sampai di rumah ibunya, rupanya sang ibu tengah dibelit masalah.
“Waktu itu ibu saya sedang butuh uang Rp. 200.000 untuk bayar sekolah seorang anak yatim yang selama ini disantuninya. Kebetulan di dompet saya ada uang Rp. 200.000. Langsung saya sedekahkah uang itu kepada ibu saya, dengan maksud membantu anak yatim,” tandas Awaluddin.
Setelah menyerahkan uang, Awaluddin pamit pulang. Di tengah perjalanan, mendadak motor yang ditumpanginya mati. Ia menepi sejenak, mengecek busi dan mesinnya. Tanpa diduga, ada sebuah mobil pribadi berkecepatan sedang yang menyeruduk sepeda motor yang tengah melaju. Brakkk!!! Jarak motor itu hanya 10 meter dari tempat Awaluddin menepikan motornya.
Astaghfirullah…Pekik Awaluddin. Pengendara motor seketika terpelanting, mendarat diaspal. Tubuhnya penuh luka lecet. Motornya rusak berat. Awaluddin segera menolong pengemudi motor. Ia bahkan tak memperhatikan motornya sendiri yang masih distandar dua.
Spoiler for Naik Bis:
Dua minggu yang lalu, saya kembali mengunjungi adik saya di kosannya. Sebenarnya tak ada yang begitu mengesankan dari perjalanan ke sana melainkan hal yang biasa-biasa saja seperti jalan-jalan, beli ini beli itu, cuci mata di tempat-tempat belanja, dan lain sebagainya. Hingga sebuah kejadian yang membuat saya merenung pun tiba.
Sudah menjadi rahasia umum jika Palembang adalah kota dengan tingkat kejahatan yang tinggi. Copet, jambret, berkeliaran dimana-mana seolah telah menjadi pemandangan biasa.
Suatu ketika, saya dan adik saya menunggu di sebuaha halte khusus transmusi. Transmusi merupakan angkutan pemerintah daerah yang dikelola oleh dinas terkait dan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk berpergiaan di dalam kota. Beberapa bus kota juga masih beroperasi. Jadi jika tidak ingin naik transmusi, bisa naik bus kota saja, demikian pula sebaliknya.
Beberapa saat menanti, ternyata bus transmusi yang ditunggu-tunggu belum tiba juga. Sembari menunggu, saya ngobrol-ngobrol dengan adik saya. Di tengah perbincangan kami, seorang wanita paruh baya mendatangi kami berdua. Ia menengadahkan tangan meminta uang. Saya yang menganggap hal itu biasa saja tanpa pikir panjang menyerahkan uang seribu rupiah kepadanya. Setelah mengucapkan terima kasih, ibu itu pun berlalu. Saya kembali melanjutkan obrolan dengan adik saya.
Bosan karena bus yang ditunggu tak kunjung datang, akhirnya adik saya menyarankan bagaimana jika naik bus kota saja. Sudah ada lima bus kota yang lewat sejak awal kami menunggu. Dan jika kami memutuskan untuk naik kendaraan tersebut dari awal, tentu saat itu kami sudah sampai di tempat tujuan.
Seorang kenek bus kota yang baru datang melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Adik saya melirik ke arah saya. Transmusi yang ditunggu-tunggu belum juga memperlihatkan batang hidungnya. Kami berdua saling berpandangan dan akhirnya melangkahkan kaki menuju bus itu.
Di antara sekian deretan tempat duduk di dalam bus, saya lebih menyenangi tempat duduk yang dekat dengan pintu masuk. Saya paling gampang mual saat naik kendaraan, terutama ketika mencium bau khas mesin yang bercampur asap rokok. Bangku di dekat pintu masuk adalah yang paling dekat dengan udara segar.
Bus sudah berisi cukup banyak penumpang. Masih tersisa beberapa bangku kosong di tengah dan di bagian belakang. Saya memilih duduk di bagian belakang bersama adik saya karena lebih dekat dengan pintu. Di ujung-ujung deretan bangku paling akhir tersebut telah duduk dua orang pria muda. Saya dan adik saya duduk di tengah-tengah mereka. Yang duduk di samping saya tampilannya seperti mahasiswa. Sementara di sebelah adik saya duduk seorang pria dengan kemeja oranye dan celana jins biru.
Beberapa ibu kerap kali menoleh ke arah belakang. Saya tak begitu menghiraukannya. Saat sang kenek mulai menagih ongkos, saya langsung mengeluarkan dompet. Seorang pria di samping saya melirik dompet yang saya pegang. Saat itu uang pegangan saya sekitar enam ratus ribu. Bukan jumlah yang terlalu banyak. Hanya saja uang dan handphone yang memang berada di dalam dompet saat itu tak nampak. Yang nampak hanyalah beberapa lembar uang kecil dan pecahan dua puluh ribuan.
Ongkos saya serahkan kepada sang kenek. sambil memeriksa uang yang saya berikan padanya, ia kembali berujar “Seribu lagi, Mbak.” Saya tak punya lagi pecahan uang seribu. Adik saya kemudian membuka dompetnya dan menyerahkan uang seribu rupiah kepada si kenek. Saat adik saya membuka dompetnya, ternyata uang yang ia bawa juga tak banyak. Handphone-nya pun tak ia keluarkan. Begitu pula dengan perhiasan yang ia biasa kenakan juga tertutupi oleh lengan bajunya yang panjang.
Tak ada rasa curiga di hati saya kepada orang-orang di dekat kami. Hingga akhirnya bus berhenti lagi untuk menarik penumpang. Seorang laki-laki berkemeja oranye langsung menyuruh kami berdua pindah ke bangku yang masih kosong di bagian depan ketika penumpang baru hendak masuk. “Bapak saya mau duduk, mbak-mbak pindah ke depan saja,” begitu ucapnya.
Saya sempat heran. Bapaknya siapa? Saat itu ada seorang pria berusia 30-an yang hendak masuk sambil membawa sebuah kotak kardus besar. Di belakangnya mengekor tiga orang pria lagi yang sudah cukup berumur. Salah seorang diantaranya bertubuh tambun. Mereka tampak buru-buru. Pria tadi duduk di bangku yang sebelumnya diduduki oleh adik saya. Keributan kecil karena tempat duduk yang terasa sempit sempat terjadi di bangku belakang. Saya beberapa kali menoleh namun sepertinya semua orang yang ada di dalam bus tak mendengarnya. Atau memang pura-pura tidak mendengar, saya tak tahu. Sang kenek yang masih remaja pun tampak tak berbuat apa-apa. Tak berapa lama kemudian, rombongan pria yang tadi duduk di belakang turun bersamaan, termasuk pria bergaya mahasiswa dan yang berbaju oranye. Bangku belakang hanya menyisakan pria yang membawa kardus besar seorang diri. Lalu sang pria itu pun pindah duduk ke depan. Seorang laki-laki tanggung yang duduk di samping saya mengingatkan bahwa gerombolan yang baru turun barusan adalah sindikat copet. Saya menelan ludah. Sindikat? Canggih amat! “Kalau perempuan, sebaiknya jangan duduk di belakang”. Saya tertegun, tubuh saya melemas. Pria berkardus besar tadi memeriksa dirinya sendiri dan mengatakan bahwa emas miliknya hilang. Astaghfirullah, malang sekali nasibnya.
Kasak-kusuk di dalam bus pun terjadi. Ibu-ibu yang sedari tadi menoleh-noleh ke belakang kemudian memperingatkan kami untuk berhati-hati. Nasihatnya sama, kalau perempuan, jangan duduk di bangku paling belakang!
Akhirnya saya tiba di tempat yang saya tuju. Sebelum melanjutkan kegiatan jalan-jalan, saya dan adik saya memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Sedari pagi kami berdua memang belum sarapan. Lutut saya masih pun gemetaran karena kejadian tadi. Di sela-sela makannya, adik saya mengatakan bahwa dua orang pria yang tadi duduk di samping kami berdua sebelumnya tidak duduk di sana. Ia langsung pindah ke belakang saat tahu kami akan naik bus. Sementara saya sendiri tak memperhatikan hal itu. “Jadi sebenarnya, target utamanya adalah kita. Saat muncul target baru, yaitu bapak yang membawa kardus tadi, kita diminta pindah ke depan,” celotehnya. Olala…
“Apa mungkin ini pertolongan Allah karena tadi kita menolong ibu yang meminta-minta di halte?” Tanyanya lagi. Saya kembali mengingat-ingat. Jika memang benar demikian, beruntungnya kami. Yang saya tak habis pikir jika itu benar adanya adalah hanya seribu rupiah dan itu menyelamatkan kami? Entahlah. Wallahu’alam. Saya hanya bisa bersyukur karena kami masih baik-baik saja.
Sudah menjadi rahasia umum jika Palembang adalah kota dengan tingkat kejahatan yang tinggi. Copet, jambret, berkeliaran dimana-mana seolah telah menjadi pemandangan biasa.
Suatu ketika, saya dan adik saya menunggu di sebuaha halte khusus transmusi. Transmusi merupakan angkutan pemerintah daerah yang dikelola oleh dinas terkait dan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk berpergiaan di dalam kota. Beberapa bus kota juga masih beroperasi. Jadi jika tidak ingin naik transmusi, bisa naik bus kota saja, demikian pula sebaliknya.
Beberapa saat menanti, ternyata bus transmusi yang ditunggu-tunggu belum tiba juga. Sembari menunggu, saya ngobrol-ngobrol dengan adik saya. Di tengah perbincangan kami, seorang wanita paruh baya mendatangi kami berdua. Ia menengadahkan tangan meminta uang. Saya yang menganggap hal itu biasa saja tanpa pikir panjang menyerahkan uang seribu rupiah kepadanya. Setelah mengucapkan terima kasih, ibu itu pun berlalu. Saya kembali melanjutkan obrolan dengan adik saya.
Bosan karena bus yang ditunggu tak kunjung datang, akhirnya adik saya menyarankan bagaimana jika naik bus kota saja. Sudah ada lima bus kota yang lewat sejak awal kami menunggu. Dan jika kami memutuskan untuk naik kendaraan tersebut dari awal, tentu saat itu kami sudah sampai di tempat tujuan.
Seorang kenek bus kota yang baru datang melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Adik saya melirik ke arah saya. Transmusi yang ditunggu-tunggu belum juga memperlihatkan batang hidungnya. Kami berdua saling berpandangan dan akhirnya melangkahkan kaki menuju bus itu.
Di antara sekian deretan tempat duduk di dalam bus, saya lebih menyenangi tempat duduk yang dekat dengan pintu masuk. Saya paling gampang mual saat naik kendaraan, terutama ketika mencium bau khas mesin yang bercampur asap rokok. Bangku di dekat pintu masuk adalah yang paling dekat dengan udara segar.
Bus sudah berisi cukup banyak penumpang. Masih tersisa beberapa bangku kosong di tengah dan di bagian belakang. Saya memilih duduk di bagian belakang bersama adik saya karena lebih dekat dengan pintu. Di ujung-ujung deretan bangku paling akhir tersebut telah duduk dua orang pria muda. Saya dan adik saya duduk di tengah-tengah mereka. Yang duduk di samping saya tampilannya seperti mahasiswa. Sementara di sebelah adik saya duduk seorang pria dengan kemeja oranye dan celana jins biru.
Beberapa ibu kerap kali menoleh ke arah belakang. Saya tak begitu menghiraukannya. Saat sang kenek mulai menagih ongkos, saya langsung mengeluarkan dompet. Seorang pria di samping saya melirik dompet yang saya pegang. Saat itu uang pegangan saya sekitar enam ratus ribu. Bukan jumlah yang terlalu banyak. Hanya saja uang dan handphone yang memang berada di dalam dompet saat itu tak nampak. Yang nampak hanyalah beberapa lembar uang kecil dan pecahan dua puluh ribuan.
Ongkos saya serahkan kepada sang kenek. sambil memeriksa uang yang saya berikan padanya, ia kembali berujar “Seribu lagi, Mbak.” Saya tak punya lagi pecahan uang seribu. Adik saya kemudian membuka dompetnya dan menyerahkan uang seribu rupiah kepada si kenek. Saat adik saya membuka dompetnya, ternyata uang yang ia bawa juga tak banyak. Handphone-nya pun tak ia keluarkan. Begitu pula dengan perhiasan yang ia biasa kenakan juga tertutupi oleh lengan bajunya yang panjang.
Tak ada rasa curiga di hati saya kepada orang-orang di dekat kami. Hingga akhirnya bus berhenti lagi untuk menarik penumpang. Seorang laki-laki berkemeja oranye langsung menyuruh kami berdua pindah ke bangku yang masih kosong di bagian depan ketika penumpang baru hendak masuk. “Bapak saya mau duduk, mbak-mbak pindah ke depan saja,” begitu ucapnya.
Saya sempat heran. Bapaknya siapa? Saat itu ada seorang pria berusia 30-an yang hendak masuk sambil membawa sebuah kotak kardus besar. Di belakangnya mengekor tiga orang pria lagi yang sudah cukup berumur. Salah seorang diantaranya bertubuh tambun. Mereka tampak buru-buru. Pria tadi duduk di bangku yang sebelumnya diduduki oleh adik saya. Keributan kecil karena tempat duduk yang terasa sempit sempat terjadi di bangku belakang. Saya beberapa kali menoleh namun sepertinya semua orang yang ada di dalam bus tak mendengarnya. Atau memang pura-pura tidak mendengar, saya tak tahu. Sang kenek yang masih remaja pun tampak tak berbuat apa-apa. Tak berapa lama kemudian, rombongan pria yang tadi duduk di belakang turun bersamaan, termasuk pria bergaya mahasiswa dan yang berbaju oranye. Bangku belakang hanya menyisakan pria yang membawa kardus besar seorang diri. Lalu sang pria itu pun pindah duduk ke depan. Seorang laki-laki tanggung yang duduk di samping saya mengingatkan bahwa gerombolan yang baru turun barusan adalah sindikat copet. Saya menelan ludah. Sindikat? Canggih amat! “Kalau perempuan, sebaiknya jangan duduk di belakang”. Saya tertegun, tubuh saya melemas. Pria berkardus besar tadi memeriksa dirinya sendiri dan mengatakan bahwa emas miliknya hilang. Astaghfirullah, malang sekali nasibnya.
Kasak-kusuk di dalam bus pun terjadi. Ibu-ibu yang sedari tadi menoleh-noleh ke belakang kemudian memperingatkan kami untuk berhati-hati. Nasihatnya sama, kalau perempuan, jangan duduk di bangku paling belakang!
Akhirnya saya tiba di tempat yang saya tuju. Sebelum melanjutkan kegiatan jalan-jalan, saya dan adik saya memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Sedari pagi kami berdua memang belum sarapan. Lutut saya masih pun gemetaran karena kejadian tadi. Di sela-sela makannya, adik saya mengatakan bahwa dua orang pria yang tadi duduk di samping kami berdua sebelumnya tidak duduk di sana. Ia langsung pindah ke belakang saat tahu kami akan naik bus. Sementara saya sendiri tak memperhatikan hal itu. “Jadi sebenarnya, target utamanya adalah kita. Saat muncul target baru, yaitu bapak yang membawa kardus tadi, kita diminta pindah ke depan,” celotehnya. Olala…
“Apa mungkin ini pertolongan Allah karena tadi kita menolong ibu yang meminta-minta di halte?” Tanyanya lagi. Saya kembali mengingat-ingat. Jika memang benar demikian, beruntungnya kami. Yang saya tak habis pikir jika itu benar adanya adalah hanya seribu rupiah dan itu menyelamatkan kami? Entahlah. Wallahu’alam. Saya hanya bisa bersyukur karena kami masih baik-baik saja.
Diubah oleh regitrd 19-07-2013 06:39
0
Kutip
Balas