Esok harinya aku datang pagi-pagi buta sambil bawa senter dan tak lupa sandal jepit lima pasang karena rumahku di pedalaman hutan amazon. Demi si dia aku rela melewati kawanan buaya mengerikan, menakhlukan anaconda, dan bertarung melawan suku kanibal. Oke kita out of topic kali ini.

Yang ada adalah aku dipaksa bangun Emak karena hari sudah mulai siang, ya aku kesiangan karena saking bingungnya semaleman memikirkan apa yang harus kukatakan kepada Hanum. Walhasil terlambatlah aku datang ke sekolah, dihukum guru piket membersihkan kamar mandi sekolah yang baunya naudzubillah. Gue sampai mikir jangan-jangan ini wc sejak zaman penjajahan VOC tidak pernah dibersihkan sama sekali, atau malah memang mereka sengaja berkonspirasi ala remasonry dan iluminasi untuk tidak membersihkan wc tersebut agar kelak aku dan kawan-kawanku yang terlambat sekolah ini merasakan penderitaan tiada akhir. Oh betapa malangnya nasibku.

Baiklah, kukatakan padamu sekali lagi Riyani bahwasanya ini adalah cerita masa lalu jadi tak boleh kau cemburu. Kala itu pelajaran sedang kosong, dan suasana kelas yang awalnya yang tenang, sunyi, dan sepi bagai di kuburan mendadak berubah jadi rame seperti pasar hewan. Ada yang yang berteriak-teriak, menjerit-jerit, lompat ke sana dan kemari, ada yang adu panco, ada juga yang sedang cerita bokep, dan ada lagi yang.. ah sudahlah. Tak usahlah keburukan orang dibahas.

Sementara semua orang bagai monyet kesetanan, ada satu meja yang tetap terdiam. Bukan karena mereka itu pertapa sakti yang sedang menunggu wangsit, tapi karena mereka sedang menunggu sebuah resolusi dari masalah yang entah gue juga tidak tahu darimana awalnya. Ya, meja itu adalah mejaku dan Hanum. Dia masih diam sambil memegangi ujung meja, seperti menghitung banyaknya guratan disana. Aku pun tak tahu harus bagaimana, ya bagaimana lagi aku tak pernah menghadapi cewek yang sedang ngambek. Biasanya sih si Adek dirumah kalau lagi ngambek kutoyor aja kepalanya juga udah kembali normal, gak perlu diruqyah. Tapi apa ya Hanum harus dibegitukan, sepertinya kasusnya berbeda.

Ribuan kata-kata seakan-akan berputar-putar di kepalaku sampai-sampai aku tak tahu mana yang harus kukatakan terlebih dahulu. Tanganku memegang tas yang kusimpan di laci meja, gemetaran. Aku bingung tak karuan harus bagaimana, sambil meraba-raba kedalam kupegang sebatang coklat Silverqueen itu. Kurasakan kasarnya pita-pita berenda yang menghiasi coklat tersebut. Serasa kasar dan tak berbentuk, sama seperti hatiku kala itu.

“Num..” kataku lirih, hampir tak terdengar.
Hanum hanya menoleh, mata kami menatap satu sama lain. Satu detik, ya satu detik mata kami bertatapan namun serasa begitu lama. Aku seperti terkena efek sharingan, terhisap masuk ke dalam genjutsu, termakan dalam permainan ilusi.