TS
lacie.
[Orific] My World, My Feeling
berawal dari sebuah kegalauan karena UTS matematika 
Source : Google
PART 1 : WORLD; SUMMER
Daily Life
Lacrimosa
Raindrops and Puddles
Extreme Condition
Night
Luxury Time
Crisis
Creeping Shadow
Conversation
PART 2 : WORLD; FALL
Tension
Disorderly Design
Irreparable Mistake
Rising Beats
Just Being Near You
Conflicting Impressions
To You
Gigantic Silhoutte
Being Congenial
Hotpot
Memory
Shadow of the Truth
A Determined Heart
Result
New Days
Beyond the Sky
Oh Dear...
In the Middle of a Dream
Ruins
Down
For Tomorrow
Uneasiness
Breathlessly
While I Think...

Spoiler for Character:
Spoiler for Aku/Kakak (Zael):
Spoiler for Adik (Elza):
Source : Google
Spoiler for Warning:
Oh ya, tulisan di sini ada konten Incestnya, jadi kalo yang gak kuat, mending gak usah baca
Spoiler for Index:
PART 1 : WORLD; SUMMER
Daily Life
Lacrimosa
Raindrops and Puddles
Extreme Condition
Night
Luxury Time
Crisis
Creeping Shadow
Conversation
PART 2 : WORLD; FALL
Tension
Disorderly Design
Irreparable Mistake
Rising Beats
Just Being Near You
Conflicting Impressions
To You
Gigantic Silhoutte
Being Congenial
Hotpot
Memory
Shadow of the Truth
A Determined Heart
Result
New Days
Beyond the Sky
Oh Dear...
In the Middle of a Dream
Ruins
Down
For Tomorrow
Uneasiness
Breathlessly
While I Think...
Diubah oleh lacie. 26-06-2013 12:08
1
6.8K
Kutip
88
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
lacie.
#75
Ruins
Spoiler for Ruins:
Siang ini adalah siang Fallyang biasa.
Terlihat dari bagaimana pohon – pohon masih sibuk untuk menggugurkan daun yang berwarna oranye bercampur keemasan. Angin dingin kering yang selalu berhembus tiba – tiba, juga cahaya matahari yang berusaha menembus awan mendung.
Dan sekarang, masih memakai seragam sekolah. Aku berdiam, duduk pada sepeda kesayanganku didepan gerbang sekolah. Menunggu seseorang sambil mengamati langit yang perlahan – lahan berubah menjadi gelap, suasana yang sangat kubenci.
“Maaf sudah menunggu lama.”
Sebuah suara gadis tertangkap di telingaku, yang begitu kukenal.
“Kau ngapain sih tadi, Elza? Tiba – tiba berteriak menyuruhku untuk berhenti.”
Dia kini duduk di jok tambahan belakang biasanya. Menjawab menggunakan nada seakan tidak peduli.
“Yah, hanya mengembalikan sesuatu. Memangnya perlu kau bertanya? Lebih baik sekarang kita pulang.”
Mulutku membuang nafas, dan kakiku mulai mengayuh pedal sepeda.
“Hah... Ya sudah.”
Jalan ini cukup sempit.
Yah, sebetulnya sih bukan begitu, bahkan meskipun aku mengendarai sepeda sekarang, masih ada ruang yang cukup untuk para pejalan kaki. Namun jalan trotoar kini terasa begitu licin, membuatku harus berhati – hati ketika meningkatkan kecepatan, apalagi ketika berada di turunan.
Belum lagi daun – daun yang berserakan pada permukaan jalan, yang berasal dari pohon – pohon tepi jalan atau halaman rumah didepan jalan trotoar. Sangat menyebalkan, karena bisa saja ada lubang dibawah tumpukan benda oranye keemasan tersebut.
Aku mengayuh pelan, sambil berusaha sebisa mungkin untuk melewati permukaan yang tidak ditutupi sampah daun Fall. Walaupun begitu, entah kenapa hembusan angin terasa menyegarkan, juga bagaimana nikmatnya bunyi gemerisik daun yang masih menempel pada pohonnya.
“Berhenti!”
Aku yang asyik mengamati suasana, secara refleks langsung mengerem sepeda mendengar suara Elza. Bingung karena teriakannya, aku menengok kebelakang lalu bertanya.
“Ada apa lagi?”
“...”
Dia terdiam, kedua mata Ruby-nya begitu terfokus, menatap kearah samping jalan ini. Aku yang tidak mendapat jawaban, penasaran, mengikuti arah pandangannya. Melihat sesuatu yang begitu miris.
Rumah yang ditinggalkan.
Pagar besinya sih cukup tinggi, setinggi dadaku, sayangnya terlihat jelas berkarat, terutama dibagian atasnya. Dan dari sela – sela pagarnya, terlihat sebuah halaman yang alang – alang dengan liarnya tumbuh.
Melihat lebih dalam lagi, sebuah rumah cukup besar berdiri, yang sayangnya nampak tak mengenakkan. Cat temboknya terlihat memudar, juga sedikit bercak kecil menempel yang sepertinya adalah bekas lumpur.
Sedangkan pintunya nampak begitu rapuh, bahkan gagangnya terkulai lemas pada benda yang berasal dari kayu tersebut. Jendelanya pun, selain retak, debu tebal dengan jelas menempel pada permukaannya. Menyebabkan melihat dalam rumah tersebut sesuatu yang mustahil.
“H-hey, Zael! Lebih baik kita lanjutkan perjalanan sekarang!”
“H-huh?”
Elza menepuk – nepuk punggungku, dan aku kembali menjalankan sepeda seperti permintaannya. Namun belum lama aku mengayuh, dia kembali berbicara sambil berpegangan pada pinggangku.
“Zael?”
Sambil tetap mengayuh pedal pelan – pelan, aku bertanya balik.
“Hmm? Kenapa lagi? Kalau kau minta yang aneh – aneh lagi, aku tidak akan menjawab.”
“Tidak, soal sebelumnya... Apa kau tahu kenapa rumah tersebut ditinggalkan?”
“Eh? Kurasa sih, itu lima tahun yang lalu...”
“Lima tahun yang lalu?”
“Ya, dari info yang kudengar, karena penghuninya pindah keluar kota.”
“Hmm... Kenapa rumah itu masih ada ya kalau begitu?”
“Siapa tahu? Lagipula memangnya kenapa kau bertanya? Apa ada yang penting?”
Dia terdiam sebentar.
“Y-yah, aku hanya penasaran saja. Apa rumah kita akan menjadi seperti itu bila kita pindah?”
“Tidak tahu juga sih... Tapi kalau itu sampai terjadi, kurasa pilihan kita tepat untuk tidak meninggalkan rumah.”
“Kenapa?”
“Bukankah rumah tanpa penghuni sama saja seperti tubuh tidak memiliki jiwa?”
“...”
“Darimana kau mendapatkan kalimat tersebut?”
Akupun menjawab sambil mencoba melirik padanya.
“Tidak tahu juga sih, sudah lama soalnya, jadi aku lupa. Hey, bagaimana bila kita ke Supermarketdulu?”
Elza berpikir sebentar, mengingat apa yang berada dalam kulkas, sebelum akhirnya setuju atas saranku. Stang sepeda pun langsung kubelokkan, segera melaju kearah bangunan yang isinya sangat beragam, selain sebagai penyedia bahan makanan.
Yah, meski alasan tadi cukup masuk akal bagiku. Kurasa alasanku sesungguhnya bukanlah hal tersebut. Melainkan karena rumah itu adalah salah satu peninggalan ibu, yang sangat amat berharga.
Sesuatu yang selalu mengingatkan diriku untuk hidup di dunia, ya, selain dirinya...
Terlihat dari bagaimana pohon – pohon masih sibuk untuk menggugurkan daun yang berwarna oranye bercampur keemasan. Angin dingin kering yang selalu berhembus tiba – tiba, juga cahaya matahari yang berusaha menembus awan mendung.
Dan sekarang, masih memakai seragam sekolah. Aku berdiam, duduk pada sepeda kesayanganku didepan gerbang sekolah. Menunggu seseorang sambil mengamati langit yang perlahan – lahan berubah menjadi gelap, suasana yang sangat kubenci.
“Maaf sudah menunggu lama.”
Sebuah suara gadis tertangkap di telingaku, yang begitu kukenal.
“Kau ngapain sih tadi, Elza? Tiba – tiba berteriak menyuruhku untuk berhenti.”
Dia kini duduk di jok tambahan belakang biasanya. Menjawab menggunakan nada seakan tidak peduli.
“Yah, hanya mengembalikan sesuatu. Memangnya perlu kau bertanya? Lebih baik sekarang kita pulang.”
Mulutku membuang nafas, dan kakiku mulai mengayuh pedal sepeda.
“Hah... Ya sudah.”
---
Jalan ini cukup sempit.
Yah, sebetulnya sih bukan begitu, bahkan meskipun aku mengendarai sepeda sekarang, masih ada ruang yang cukup untuk para pejalan kaki. Namun jalan trotoar kini terasa begitu licin, membuatku harus berhati – hati ketika meningkatkan kecepatan, apalagi ketika berada di turunan.
Belum lagi daun – daun yang berserakan pada permukaan jalan, yang berasal dari pohon – pohon tepi jalan atau halaman rumah didepan jalan trotoar. Sangat menyebalkan, karena bisa saja ada lubang dibawah tumpukan benda oranye keemasan tersebut.
Aku mengayuh pelan, sambil berusaha sebisa mungkin untuk melewati permukaan yang tidak ditutupi sampah daun Fall. Walaupun begitu, entah kenapa hembusan angin terasa menyegarkan, juga bagaimana nikmatnya bunyi gemerisik daun yang masih menempel pada pohonnya.
“Berhenti!”
Aku yang asyik mengamati suasana, secara refleks langsung mengerem sepeda mendengar suara Elza. Bingung karena teriakannya, aku menengok kebelakang lalu bertanya.
“Ada apa lagi?”
“...”
Dia terdiam, kedua mata Ruby-nya begitu terfokus, menatap kearah samping jalan ini. Aku yang tidak mendapat jawaban, penasaran, mengikuti arah pandangannya. Melihat sesuatu yang begitu miris.
Rumah yang ditinggalkan.
Pagar besinya sih cukup tinggi, setinggi dadaku, sayangnya terlihat jelas berkarat, terutama dibagian atasnya. Dan dari sela – sela pagarnya, terlihat sebuah halaman yang alang – alang dengan liarnya tumbuh.
Melihat lebih dalam lagi, sebuah rumah cukup besar berdiri, yang sayangnya nampak tak mengenakkan. Cat temboknya terlihat memudar, juga sedikit bercak kecil menempel yang sepertinya adalah bekas lumpur.
Sedangkan pintunya nampak begitu rapuh, bahkan gagangnya terkulai lemas pada benda yang berasal dari kayu tersebut. Jendelanya pun, selain retak, debu tebal dengan jelas menempel pada permukaannya. Menyebabkan melihat dalam rumah tersebut sesuatu yang mustahil.
“H-hey, Zael! Lebih baik kita lanjutkan perjalanan sekarang!”
“H-huh?”
Elza menepuk – nepuk punggungku, dan aku kembali menjalankan sepeda seperti permintaannya. Namun belum lama aku mengayuh, dia kembali berbicara sambil berpegangan pada pinggangku.
“Zael?”
Sambil tetap mengayuh pedal pelan – pelan, aku bertanya balik.
“Hmm? Kenapa lagi? Kalau kau minta yang aneh – aneh lagi, aku tidak akan menjawab.”
“Tidak, soal sebelumnya... Apa kau tahu kenapa rumah tersebut ditinggalkan?”
“Eh? Kurasa sih, itu lima tahun yang lalu...”
“Lima tahun yang lalu?”
“Ya, dari info yang kudengar, karena penghuninya pindah keluar kota.”
“Hmm... Kenapa rumah itu masih ada ya kalau begitu?”
“Siapa tahu? Lagipula memangnya kenapa kau bertanya? Apa ada yang penting?”
Dia terdiam sebentar.
“Y-yah, aku hanya penasaran saja. Apa rumah kita akan menjadi seperti itu bila kita pindah?”
“Tidak tahu juga sih... Tapi kalau itu sampai terjadi, kurasa pilihan kita tepat untuk tidak meninggalkan rumah.”
“Kenapa?”
“Bukankah rumah tanpa penghuni sama saja seperti tubuh tidak memiliki jiwa?”
“...”
“Darimana kau mendapatkan kalimat tersebut?”
Akupun menjawab sambil mencoba melirik padanya.
“Tidak tahu juga sih, sudah lama soalnya, jadi aku lupa. Hey, bagaimana bila kita ke Supermarketdulu?”
Elza berpikir sebentar, mengingat apa yang berada dalam kulkas, sebelum akhirnya setuju atas saranku. Stang sepeda pun langsung kubelokkan, segera melaju kearah bangunan yang isinya sangat beragam, selain sebagai penyedia bahan makanan.
Yah, meski alasan tadi cukup masuk akal bagiku. Kurasa alasanku sesungguhnya bukanlah hal tersebut. Melainkan karena rumah itu adalah salah satu peninggalan ibu, yang sangat amat berharga.
Sesuatu yang selalu mengingatkan diriku untuk hidup di dunia, ya, selain dirinya...
Fin
Diubah oleh lacie. 15-05-2013 06:04
0
Kutip
Balas