Boy kini sudah lulus SD. Kau tahu Riyani? Aku jadi rajin belajar, karena aku rajin aku pun juara 1 dengan nilai EBTANAS tertinggi di SDku, sedangkan untuk sekota aku sepertinya di peringkat 3 atau 4. Entahlah, aku lupa dan tidak peduli. Yang penting aku bisa lulus dan berganti seragam.

Ada baiknya kau lupakan harapanmu untuk sebuah cerita lucu. Tak ada lagi kisah lucu untuk kedepannya, jadi sebaiknya kau siapkan tisu.
Masuk ke sekolah menengah alias SMP ternyata tak seindah yang kuduga. Aku dengan bodohnya memilih masuk ke SMP paling favorit di kota ini. Hasilnya? Aku kalah bersaing dengan anak-anak yang entah tiap hari diberi makan apa oleh orang tua mereka sehingga bisa jadi sejenius Einstein. Terlalu lebay? Memang.
Selain itu, teman-temanku kebanyakan kelewat kaya. Mereka diantar dan dijemput mobil-mobil mewah. Aku pun tak mau kalah, setiap hari aku berangkat dengan mobil super besar, limosin pun kalah, mobil itu disebut Bus.

Bukan berarti aku terkucilkan, disana pun kutemukan teman-teman sebaya yang juga angkot rider sepertiku. Selain itu teman-teman kaya pun bukan anak-anak sombong yang tak mau bergaul dengan kami. Mereka pun dengan senang dan tanpa jijik mau bermain bersama kami dari kasta Sudra ini.
Kala itu aku masih kelas 1, seorang gadis dari kasta Sudra bernama Lia (bukan nama sebenarnya) menjadi salah satu teman dekatku. Kedekatan kami disinyalir karena perasaan senasib dan sepenanggungan, sama-sama tidak disukai guru matematika yang galaknya naudzubileeh.

Maka seperti biasa, mulailah pihak wanita alias si Lia yang memulai percakapan.


Jam pulang berdentang. Berlarianlah anak-anak keluar sekolah persis seperti napi yang kabur dari tahanan. Aku yang memang belum upgrade level ke kasta Ksatria pun pulang naik angkot setelah sebelumnya berjalan agak lama di tengah terik siang hari.
Aku duduk dipojok paling ujung dekat dengan kaca belakang, bersebelahan dengan ibu-ibu tukang sayur. Melamun sepanjang jalan, melihat kiri kanan tak ada yang bening. Tumben, biasanya ada mbak-mbak SMA cantik yang naik angkot juga. Yah, mungkin mereka sudah naik level kali ya. Rasanya jadi hambar. Apalagi udara di dalam angkot begitu pengap dan panas.

Sejenak pandanganku teralihkan pada seorang cewek yang duduk di dekat pintu keluar angkot. Kulihat ternyata dia satu sekolah denganku, penasaran kupandangi lekat-lekat bak lem alteko mencari-cari name tag yang ada di dadanya. Sayang tertutup tas berwarna pink. Name tag ya, Name tag, bukan dadanya yang kulihat.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada pandangan matanya. Glek.. Aduuh malunyaaa.. jadilah kami pandang-pandangan tapi tidak sampai saling pelototan. Matanya agak sipit seperti orang China, bukan maksudku SARA tapi kulitnya memang tidak putih jadi rasanya bukan orang China murni. Mungkin persilangan. Sekarang kan lagi jaman persilangan biar memperbaiki keturunan.

Waktu serasa berhenti. Kau tahu rasanya Riyani? Seperti setelah melihat hujan kita ditemani oleh pelangi. Kami berpandangan beberapa saat lamanya, tak ada senyuman, tak ada apapun. Hanya saling melihat.
Dan kemudian waktu berjalan kembali, dia turun di tengah perjalanan tak jauh dari rumahku.
Sekilas akhirnya bisa kubaca name tagnya. Hanum.

Sejenak aku seperti tanpa sadar berbisik kepada diriku sendiri, seperti mendoktrin hati, “Hanum, kelak kita akan saling jatuh hati.”
Angkot mulai berjalan, kupandangi lekat-lekat bayangannya melalui kaca jendela. Angkot terus menjauh, menjauh dan semakin jauh. Samar-samar kulihat dia memasuki sebuah rumah. Kau tahu? Rumahnya besar bak istana dan tiba-tiba aku teringat kasta Sudraku. Yah elah.. pupus sebelum berkembang. Dan hilanglah bayangan Hanum ditelan debu jalanan dan asap knalpot angkot bututku tercinta.

=============================================

Setahun berlalu, kenaikan kelas pun tak dapat dihindari. Syukurlah aku tidak bodoh-bodoh banget sehingga ikutan naik kelas. Lia, teman baikku pun naik kelas.
Ketika itu kami sedang melihat-lihat ploting penempatan kelas ketika tiba-tiba Lia muncul di samping.


Ya. Gadis itu namanya Hanum.