Kaskus

Story

donnjuannAvatar border
TS
donnjuann
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!" - The Untold Story.
INDEKS UPDATED



Personal Literature: The Not so Sweet Life from Don Juan

Bab 1 - The Intro


Bab 2 - Ujian Awal Kehidupan
Bab 3 - In Cewek Jegeg We Trust


Bab 4 - Kelas Kakap on Facebook


Bab 5 - Tipe-tipe cowok yang membuat hati cewek Bergejolak


Bab 6 - Kost Terkutuk


Bab 7 - Pasangan yang Romantis


Bab 8 - Hati yang atletis


Bab 9 - Beberapa PDKT yang Sebaiknya Jangan Dilanjutkan



Bab 10 - THE HANDSOMOLOGY


Bab 11 - Changing Room


Bab 12 - The Unfinished Bussines


Bab 13 - The last: A Message from God


Spoiler for HARAP DIBUKA:




Cerpen-cerpen Don Juan

Never Try You Will Never Know


True Gamer Never Cheating


Memusuhi kok ngajak-ngajak


Selingkuh Yang Tidak Biasa


How i met your Mother


When a Girl Takes The Bill


Yang Nyakitin Yang Dipertahanin


The Jomblonology


5 Kenyataan Pahit dalam Hidup


The Long Distance Religionship






Ini ada cerita tak seberapa dariku untukmu.




"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!"


-Sebuah kisah memilukan Facebooker pencari jodoh-


Enjoy!



Spoiler for Tokoh dan Karakter:



Spoiler for How to enjoy this story:
emoticon-Blue Guy Cendol (L)
Diubah oleh donnjuann 20-09-2013 01:05
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
52.1K
355
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
donnjuannAvatar border
TS
donnjuann
#61
lanjutan
Dua puluh menit kemudian, kami tiba di tempat fitness. Tempatnya luas dan ramai. Begitu sampai di dalam, ada banyak lelaki yang otot-ototnya begitu mencemaskan. Gue minder. Ini seperti komunitas yang diprakarsai oleh Hulk dan Thor, kerjaannya gede-gedean otot. Teteknya bisa gerak-gerak. Gue panik.

“Don, ngapain kau di situ. Ke sini lah.”

“I-iya San, aku ke sana.” Gue cuma ngintip-ngintip di pintu masuk.

“Kau pemanasan dulu, nanti ikuti apa yang aku mainkan.”

“Oke, aku manut sama kapten aja.”

Setelah sepuluh menitan gue melakukan peregangan, Sani mulai ngajak gue ke wahana-wahana yang bisa dimainin.

“Don, yang ini namanya Bench press. Ini untuk melatih otot dada.”

“Oke.” Balas gue.

“Nah, kalau yang ini namanya butterfly. Ini juga untuk melatih otot dada.”

Nggih, San.”

“Nah, yang paling gampang kalau kau pake dumble. Main pull-over.

“Oh, jadi semua ini wahana yang bisa bikin tetek jadi gede dan gerak-gerak?”

“Kepalamu.”

Gue dikeplak Sani.

Tubuh dibagi menjadi beberapa otot besar. Otot dada, otot sayap, otot bahu, dan otot punggung. Sebagai pemula, sebaiknya melatih satu jenis otot per harinya. Jadi, hari ini gue akan latihan otot dada. Begitulah kultum dari instruktur Sani. Dia udah gue anggap personal trainer.

Ngeliat Sani yang dengan gampangnya mengangkat dumble 5 kg, gue pun mengikutinya. Satu.. dua.. tiga..

“ANJIRRR, LIGAMEN GUE KETARIKKK SAANNNN...”

Akhirnya gue cuma main dumble 4 kg. Beda cuma sekilo, tapi udah berasa ngangkat sekarung beras. Setelah empat set melatih otot biceps, gue mencoba main bench press yang dianjurkan Sani. Ngeliat Sani yang ngangkat beban kanan-kiri seberat 20 kg, gue cuma termenung, tatapan gue pergi ke awang-awang.

Otot lengan Sani nampak keras, besar dan kuat. Begitu melirik lengan sendiri, gue seperti melihat tanaman yang layu kekurangan tegangan turgor. Nggak ada tanda-tanda kehidupan. Otot paha dan betis Sani juga terpantau padat, berisi, dan sehat. Namun nggak demikian halnya dengan paha dan betis gue, ini lebih seperti pipi perempuan yang menggemaskan. Susu bantal..

Dan sekarang giliran gue untuk mencoba wahana bench press ini. Nggak mau ambil resiko, gue cuma berani ngangkat 5 kg kanan-kiri. Gue belum siap jika harus dilarikan ke rumah sakit gara-gara pingsan ketiban bench press.
Oke, satu.. dua.. tiga..

“HMMPFFFTTTT, SANNNN BANTUIN SANNNN!! NGGAK KEANGKAT INIIIII!!!..”

Gue bener-bener cemen.

Selang setengah jam kemudian, gue nyerah. Gue melambaikan tangan ke kamera. Gue nggak kuat lagi. Tenaga gue udah habis. Gue akhirnya menuju kantin, nungguin Sani yang belum kelar menyiksa otot-ototnya.

Besoknya, benar kata Sani, otot-otot gue terasa sakit semua, memilu sampai ke tulang. Katanya, ketika mengangkat beban di luar kemampuan otot, otot akan rusak. Karena tahu otot-ototnya rusak, tubuh akan menambal otot-otot yang rusak itu dengan serat-serat dan serabut otot yang baru. Dan terus begitu hingga otot-otot itu terlihat bertambah besar karena penambahan serat-serat dan serabut otot di atasnya.

Lalu apa bedanya dengan patah hati? Ketika hati menanggung luka dan kecewa di luar batas perasaan, maka hati akan remuk redam. Karena tahu hatinya – yang cuma satu-satunya itu remuk redam, nurani akan menambal keretakan di hati yang remuk itu dengan harapan-harapan baru. Dan terus begitu hingga hati menjadi lapang dan berjiwa besar untuk bisa dikecewakan atau dilukai lagi suatu hari nanti.

Sebenarnya, rasa sakit tak pernah hilang. Hanya aku yang bertambah kuat karenanya.

====


Dua bulan kemudian, gue ketemu dengan yang namanya inkonsistensi. Saat itu mulailah konsistensi gue dipertanyakan. Keluhan-keluhan mulai gue lontarkan. Sifat manusia memang seperti itu, ketika berusaha keluar dari zona nyaman, maka mengeluh adalah hal pertama yang bakal sering terjadi.

“San, gue udah rutin ke gym dua bulan ini, kok belum ada perubahan?”

“Kau istirahat teratur, nggak?”

“Gue dua bulan ini nggak pernah begadang, San?”

“Pola makan kau kek mana?”

“Rebus-rebusan semua, persis seperti yang lo bilang, San.”

“Oh gitu, berhenti mengeluh dan teruslah latihan.”

Yak, udah gue duga. Seperti inilah jawaban yang keluar dari mulut Sani. Sani ini orang yang koleris. Dia nggak akan berdebat panjang lebar untuk sesuatu yang udah jelas prosedurnya. Untuk beberapa hal memang berbanding terbalik dengan gue yang nyaris murni sanguin. Kalau Sani udah serius seperti ini, becandain dia nggak akan pernah jadi hal yang menarik.

Inti dari kalimat Sani ini adalah, gue harus menemukan motivasi. Tepatnya self-motivating. Kembali ke minggu-minggu awal gue fitness, sore itu hujan deras. Terpaksa kami mengurungkan niat untuk pulang dari gym dan menuju ke kantin buat makan. Sambil mengunyah ayam rebus dan nasi merah, Sani ngomongin tentang masalah konsistensi. Jadi, sebelum gue memutuskan untuk fitness bareng dia, ternyata dia udah ngajak teman-teman di kampus buat ikut fitness. Katanya ada tujuh orang. Dan yang sampai jadi Captain America cuma Sani seorang. Yang enam sisanya ke mana?

“Mereka nggak kuat, Don.” Tukas Sani.

“Mereka males apa gimana, San?”

“Entah. Akan selalu ada alasan untuk orang yang memang nggak sungguh-sungguh, Don.”

“Jadi cuma lo seorang jadinya? Rahasianya apa supaya tetep bertahan, San?”

“Konsistensi yang membuat aku bertahan di kala suka, komitmen yang membuat aku bertahan di kala duka.”

Gue terpukul.

Rasanya Sani benar, konsistensi dan komitmen bahkan berlaku nggak cuma di masalah memahat lekuk tubuh atau weight-loss program. Tapi berlaku di tiap sendi kehidupan. Dan tentu saja untuk cinta. Mungkin mereka yang pacarannya putus nyambung, mereka yang gonta-ganti pasangan dengan mudahnya, dan mereka yang berpindah-pindah dari satu hati ke hati yang lain untuk selalu mencari yang lebih baik, terbentur dengan masalah konsistensi dan komitmen. Padahal dua hal ini yang memberikan sebab mengapa tetap bertahan.

====


Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Kamis dan mendekati pukul 16.00, gue kembali latihan di gym. Kali ini tanpa Sani. Dia ada acara sama pacarnya. Sewaktu menulis di buku tamu resepsionis, tiba-tiba gue dikagetkan dengan sesosok cewek yang berdiri tepat di samping gue. Dia lengkap menggunakan atribut jogging. Tanktop dan celana gemes. Rambutnya masih digerai. Dan di depan gue, dia menguncirnya. Nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan.

Gue pun mimisan.

Di gym ini, ada dua lantai. Lantai yang bawah adalah fitness center, lantai atas adalah tempat aerobik dan kantin. Gue berjalan menuju fitness center, dia berjalan ke arah tangga. Tubuh kami berjalan ke arah yang berbeda, namun mata kami searah. Kami bertatapan.

Siapa gerangan dirinya.

Selang satu jam kemudian, orang-orang yang latihan aerobik di lantai atas udah selesai, dan turun ke bawah. Beberapa langsung pulang, sebagian sisanya masih latihan di fitness center. Biasanya mereka main tridmil. Dan yang paling gue suka, mereka ini cewek semua. Dari MILF, tante-tante seksi, dan tentu aja gadis-gadis riang yang membuat hati bergejolak. Karena gue juga udah selesai latihan, gue bergegas menuju kantin. Mau makan.

Begitu sampadi depan kantin, cewek yang tadi papasan di resepsionis itu lagi di depan meja kantin, memesan jus. Sambil meletakkan ransel, gue memesan makanan ke mbak penjaga kantin.

“Mbak, ayam rebus sama nasi merah, satu ya.”

“Makan di sini, mas?”

“Iya di sini mbak. Di sini aku ketemu dia. Di sini aku nembak dia. Di sini juga aku ngeliat dia ciuman sama orang lain, mbak. IYA, DI SINI MBAK. DI SINIII..!!!

“ERR.. pedes nggak mas?”

“Lah, ayamnya aja belum saya makan! Mana tau pedes apa nggak.”

“MAS! GRRR.. ayamnya dipisah apa disatuin sama nasinya?”

“Mbak, saya dan pacar saya udah dipisah sama jarak! Sekarang mbak mau misahin nasi sama ayam saya lagi?!? Mbak jahat tau nggak. Jahat!!

“...MAS!!”

“Ya?”

“SEKALI LAGI MASNYA NGERJAIN SAYAAAA...”

“Kenapa emangnya?!”

“....berarti masnya udah ngerjain saya empat kali.”

Eaaa. Mbaknya yang gantian ngerjain gue. Nyaris tiap makan di kantin, setiap giliran mbaknya ini yang jaga, pasti selalu gue godain. Tapi sialnya, kali ini dia tidak tinggal diam.

“Hahaha, kamu kok lucu sih, ada-ada aja deh.”

“Hah? Oh, ahahaha.” Gue nengok ke kiri.

“Kamu udah lama fitness di sini, ya?” Tanya cewek itu.

Sambil memegang segelas jus apelnya, dia ngeliatin gue dengan tatapan inosen. Iya, cewek yang ketemu di meja resepsionis tadi.

“Ah, ba-baru sebentar kok, mba.” Gue terbata-bata.

“Raina.” Dia mengulurkan tangannya.

“Oh iya, teman-temanku akrab memanggilku dengan, Don.” Gue menyambut tangannya, bersalaman.

“Nama yang aneh yaa.”

IYA. ANEH KAN? ITU NAMA GERMO DARI AMERIKA LATIN!! PUAS?

“Ahahaha, kamu orang ke sembilan yang bilang itu hari ini, haha.” Gue makin garing.

Mencoba tenang saat berhadap-hadapan dengan cewek cantik yang menggunakan tanktop full pressed-bodydan celana gemes sedekat ini memang membutuhkan ketenangan ekstra. Jangan sampai hidung gue bercucuran darah lagi.

“Kamu udah langsing, ngapain sih segala aerobik berpeluh-peluh di sini?”

“Ishhh, Raina masih gendut tauk.” Dia menembem-nembemkan pipinya.

“Errr..”

“Kenapa?”

“Kalau yang kayak kamu itu gendut, lantas yang seperti aku ini disebut apa?”

“Ah, nggak kok, kamu nggak gendut kok. Kamu cuma bersahabat baik dengan lemak.” Bales Raina.

*DHEG*

Ayunan mana ayunan.

“AHAHAHA, kamu bisa aja ya.” Gue tertawa menyembunyikan rasa perih.
Sore itu, lelah jadi nggak kerasa. Sambil mengunyah rasa lapar dilelan makanan, gue memandangi wajahnya. Dekat-dekat.






bersambung lagi, bro.
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.