sarindiAvatar border
TS
sarindi
nenek ini sudah 30 tahun demo di depan gedung putih
CONCEPTION Picciotto tinggal di Lafayette Park, Washington DC. Itu sebuah taman asri dengan patung-patung elok di dalamnya. Di tengah-tengah taman seluas 30 ribu meter persegi tersebut ada patung mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Andrew Jackson sedang menunggang kuda. Patung tersebut didirikan pada 1853. Selain itu, masih ada empat patung lain yang ’’menjaga’’ empat penjuru taman. Di tengah taman itu ada dua kolam. Bebek-bebek liar kerap datang dan berenang-renang di dalamnya. Di sekitarnya tupai-tupai imut sering terlihat berlarian di rerumputan atau melompat-lompat pada pepohonan. Asyik sekali.

Spoiler for nenek1:


Bukan itu saja yang membuat Lafayette Park terasa istimewa. Taman tersebut terletak tepat di utara White House, salah satu bangunan penting di bawah langit, tempat tinggal presiden AS. Taman dan White House hanya dipisahkan oleh Pennsylvania Avenue, ’’America’s Main Street’’ (jalan utama AS). Pennsylvania Avenue ’’memisahkan’’ Lafayette Park dengan White House pada 1804, saat pemerintahan Presiden Thomas Jefferson. Taman tersebut baru ’’dibaptis’’ dengan nama Lafayette pada 1824 untuk menghormati Marquis de Lafayette, orang Prancis yang ikut berjuang pada revolusi Amerika.

Di sekeliling Lafayette Park bertebaran gedung megah dengan arsitektur khas dua abad silam. Sebut saja gedung Department of Treasury, Department of Veteran Affairs, kantor pemerintahan eksekutif AS yang lama dan baru, hingga Department of Commerce. Tak heran pada 1970 kawasan tersebut ditetapkan sebagai National Historic Landmark District.

Namun, jangan bayangkan ’’rumah’’ Conception Picciotto semegah bangunan-bangunan cagar budaya AS itu. Jangan bayangkan pula dia tinggal di bangunan yang setara dengan White House yang bergaya mansion tersebut. Picciotto, wanita tua yang akrab dipanggil Connie atau Conchita itu, tinggal di sebuah tenda plastik. Kecil dan kumuh, mirip tempat tinggal kaum (maaf) gelandangan.

Spoiler for nenek2:


Aneka poster dan foto ’’menghiasi’’ tenda Connie. Dua yang terbesar bertulisan Live by the Bomb, Die by the Bomb (Hidup karena bom, mati karena bom) dan Ban All Nuclear Weapons or Have a Nice Doomsday (Larang bom nuklir, jika tidak, selamat menikmati kiamat). Kalimat itu dituliskan pada sebentuk tripleks kuning. Di baliknya ada beragam foto korban-korban perang hingga aneka kliping koran tentang Connie dan William Thomas, dua demonstran yang memandegani demonstrasi di Lafayette Park itu.

Connie dan Thomas boleh dibilang mbah-nya demonstran di dunia. Setidaknya, di AS. Itu bukan lantaran Connie dan Thomas sudah menjadi mbah-mbah (kakek dan nenek), namun mereka memang sudah begitu lama tinggal dan berdemonstrasi di depan White House tersebut. Tercatat, aksi itu dimulai pada 3 Juni 1981 oleh Thomas. Lalu, Connie bergabung dua bulan kemudian, yakni pada 1 Agustus 1981. Total, sudah 27 tahun mereka berdemonstrasi demi sesuatu yang mereka sebut sebagai ’’perdamaian dunia’’.

Spoiler for nenek3:


Aksi itu telah begitu lama, sehingga keduanya mengalami lima kali pergantian pemimpin AS. Mulai era Ronald Reagan, George Bush, Bill Clinton, George W. Bush, dan segera menyusul Barack Obama. Jawa Pos mengunjungi Connie pada Sabtu yang hangat, 15 November. Ketika itu Connie tak ada di tenda. Yang menjaga tenda itu adalah seorang pria tua yang jenggotnya dikelabang. Pria itu tak mau berkata apa pun selain, ’’Just wait for Connie (tunggu Connie saja).’’

Setengah jam menunggu, sesosok wanita kecil yang mengayuh sepeda secara cepat muncul dari ujung jalan. Dengan cekatan wanita yang wajah dan tangannya tampak berkeriput itu turun dari sepeda dan menaruh kendaraannya di samping tenda. Dialah Connie. Wanita tua tersebut membalas sapaan saya secara akrab. Begitu tahu bahwa yang mendatanginya adalah wartawan dari Indonesia, Connie terpekik kecil. ’’Ah, Indonesia! Saya punya koran dari Indonesia,’’ kata Connie.

Sejurus kemudian, wanita bertinggi badan sekitar 150 sentimeter itu membungkuk ke dalam tendanya. Tangannya meraih jajaran arsip pada kotak plastik. Tangannya meraih selembar kertas berwarna kuning. Ternyata, yang dia tunjukkan adalah Jawa Pos edisi online yang dia cetak. Ada tulisan tentang dia di situ.
Memang, Connie pernah diwawancarai koran ini pada 2004. Cukup berkesan, kata Connie. ’’Sepanjang ingatan saya, itu satu-satunya wawancara saya dengan wartawan Indonesia,’’ ujar Connie.

’’Wah, kalau begitu saya nomor dua,’’ jawab saya. ’’That’s fine! That’s great!’’ sahut Connie cepat lantas tertawa lepas. Connie memang cepat akrab kepada siapa pun. Barangkali, itu lantaran dia berjumpa dengan berbagai macam orang setiap hari.

Spoiler for nenek4:


Meski kecil, wanita bernama asli Conception Martin itu masih tampak sehat. Genggaman tangannya kuat, senyumnya lepas. Saat dia tersenyum, tampak jajaran giginya yang sebagian besar sudah tanggal. Hidungnya mancung. Kerut-kerut di wajah wanita kelahiran Spanyol itu menyembunyikan sisa-sisa kecantikannya di masa muda.

Berapa umur Connie sekarang? ’’Oh, I stop counting (sudah nggak saya hitung). Bagi saya itu tidak penting. Yang penting adalah saya tetap sehat,’’ kata wanita yang kepalanya tampak terlalu besar untuk seorang wanita kecil itu. Belakangan, saya tahu bahwa dia tampak ’’besar kepala’’ lantaran selalu memakai helm yang digabungkan dengan wig serta bandana.

Connie tidak hanya menyembunyikan umur saat percakapan. Pada situs resmi aktivitasnya, [url=http://www.prop1.org,]www.prop1.org,[/url] juga tak disebutkan usianya. Satu-satunya catatan adalah, tanggal lahir Connie sama dengan Martin Luther King Jr, yakni 15 Januari. Namun, berbagai sumber mencatat bahwa wanita yang pernah muncul di film Fahrenheit 9/11 garapan Michael Moore itu lahir pada 1945. Artinya, sekarang dia berumur sekitar 63 tahun.

Memang, Connie masih tampak fit untuk seorang wanita sepuh yang menghabiskan hari-harinya tinggal di tenda, siang-malam, panas-hujan atau salju, siang terik atau malam dingin, selama 27 tahun. ’’Saya tidak tahu. Mungkin Tuhan menjaga saya. Di sini saya memang tinggal berdua. Me and Him (saya dan Dia),’’ katanya sambil menuding ke langit.

Menurut Connie, ada banyak hal yang juga membuatnya tetap bersemangat, tetap giat menyuarakan kebenaran berdasar versinya. ’’Ini sebuah pengorbanan. We have to sacrifice so we have to survive (kami harus berkorban sehingga kami harus tetap bertahan),’’ ungkapnya.

Tinggal di tenda selama dua dekade lebih memang sebuah pengorbanan yang cukup berat. Connie harus meninggalkan keluarga. Dia kehilangan privasi plus harus menghadapi tekanan dari berbagai pihak, misalnya pemerintah, yang ingin menghentikan aktivitas Connie tersebut. Memang, di satu sisi, Connie adalah pejuang. Namun, di sisi lain, bisa jadi dia adalah ’’hal kecil yang mengganggu’’. Seperti gatal di punggung yang terus berlarian meski sudah coba digaruk.

Tenda tempat tinggal Connie berbentuk half-dome alias separo kubah. Orang tidak bisa berdiri di dalam tenda yang hanya berisi satu tempat tidur plus beberapa lembar selimut flanel itu. Ada lemari tempat berbagai arsip, pamflet, dan selebaran lain, serta satu radio. Sebuah boneka beruang abu-abu tampak menyembul di antara tumpukan arsip tersebut.

Connie juga tak bisa mandi, buang air, dan beberapa aktivitas lain di tempat dia mangkal itu. ’’Kalau (untuk urusan) itu, tiap hari saya naik sepeda ke ’markas’. Kalau bersepeda (jaraknya) sekitar 15 menit,’’ ujarnya. Yang disebut Connie sebagai markas adalah rumah William Thomas, pelopor demonstrasi itu, yang kini berumah tangga dan punya rumah.

Meski begitu, Thomas dan Connie masih sering bergantian berjaga dan menyuarakan pendapat di tenda kecil tersebut. ’’Tapi, lebih sering saya,’’ kata wanita yang berimigrasi ke AS saat umur 18 tahun itu. Di markas atau rumah William Thomas itu, Connie tak hanya membersihkan diri. Dia juga browsing di internet, membalas e-mail, menonton televisi, untuk tetap mendekatkan diri pada isu-isu terbaru di dunia. ’’Itu hanya saya lakukan sekitar 1-2 jam. Sebab, tenda ini tak boleh ditinggal,’’ ujarnya.

Biasanya saat pergi ke markas, ada orang lain yang menggantikan Connie. Menurut Connie, kalau tenda itu kosong, polisi bisa membersihkannya. Memang ada peraturan bahwa demonstran harus berada dalam jarak sekitar 3 kaki atau hampir satu meter dengan ’’peralatan’’ demonstrasinya. Misalnya, pamflet atau papan-papan unjuk rasa. Di luar jarak itu, polisi bisa bebas membersihkan alat-alat demonstrasi.

Karena itu, Connie menolak saat Jawa Pos menawarinya wawancara sambil duduk di bangku taman yang terletak sekitar dua meter dari tenda. Maka, wawancara pun dilakukan sambil ndeprok (duduk di tanah) di depan tenda. Kadang, percakapan dilakukan sambil berdiri, sambil menjaga jarak dengan ’’rumah’’ Connie itu.
Spoiler for sumber:

itu berita lama gan, kalo ane lihat di wikipedia, nenek conie sudah memulai aksinya sejak tahum 1981. jadi sudah 30 tahun emoticon-Matabelo
0
4.3K
44
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.8KThread82.3KAnggota
Tampilkan semua post
sarindiAvatar border
TS
sarindi
#12
Quote:


iyaa gann
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.