--Serpihan 4--
[Sepiring Makanan di Pagi Hari]
Gak ada satupun pemikiran yang terbesit di kepalaku bahwa aku harus menyandang status broken home. Seperti ini toh rasanya, seperti gak punya semangat hidup untuk melakukan apapun.
Sudah seminggu berlalu sejak aku kabur dari Rumah, aku sekarang numpang tinggal di rumah Mas Ardhi, rekan kerjaku di tempat aku bekerja. Mas Ardhi ini, adalah satu-satu nya orang yang palin care denganku di tempat kerja, aku selalu curhat masalahku dengannya dan Mas Ardhi pun selalu mendengarkan curhatku dengan baik.
Suatu pagi aku terbangun dan tampak sosok yang mendekat masuk kamar itu aku melihatnya, seorang wanita yang sedang menggendong bayinya, nama perempuan itu Mbak Widi, dia adalah istri dari Mas Ardhi. Mereka sudah aku anggap keluarga sendiri.
Mas Ardhi dan Mbak Widi serta anaknya yang masih 7 bulan saat itu adalah keluarga kecil yang bahagia dan sederhana. Rumahnya masuk gang berhimpitan dengan rumah yang sesak sana-sini.Namun bagiku rumah sederhana yang mereka tempati hangat di hatiku, bahkan sinar cahaya yang membangunkanku pagi itu, seakan menyapaku dengan mesra untuk menghadapi kehidupan.
"Nana udah bangun, yuk sarapan dulu Na'" ujar Mbak Widi kepadaku
"Kok aku masih gak nafsu makan ya Mbak?"
"Lho...jangan gitu sakit lho entar, masak kalah sama adik Nino nih maemnya banyak" Mbak Widi, memperlihatkan bayinya yang lucu dan menggemaskan itu kearahku. Seketika wajah menggemaskan itu memberi ceria di hatiku.
"Mbak aku boleh gendong Nino gak?"
"Boleh, ngerti cara gendongnya?"
"Ngerti Mbak"
Mbak Widi menyerahkan Bayi Nino kepadaku dengan lembut, aku gendong Nino dengan dan aku tatap matanya yang bulat. Wajahnya yang polos membuatku iri, bahwa Nino sangat dicintai oleh orangtuanya dan dia kalau sudah besar nanti gak perlu mencicipi kehidupan yang aku jalani.
"Mas Ardhi, kemana Mbak?"
"Ke kantor design bentar ngambil pesenan, kamu ditanyain lho sama orang-orang kantor"
"Iya mbak udah gak masuk seminggu jadi gak enak"
"Gak apa-apa, tapi janji lho hari ini hari terakhir kamu libur kuliah sama kantor, semangat dong!" kata Mbak Widi
"Iya mbak Nana janji" ujarku
"Siiip....ayo maem, ada tempe penyet sama nasi tuh di meja"
Aku lahap makanan itu dengan nikmat, tak peduli itu hanya sepiring tempe penyet, nasi dan segelas air putih, bagiku itu adalah makanan terlezat di dalam rumah sederhana ini.
[Memulai Lembaran Baru]
Aku tahu, aku gak boleh berlama-lama tinggal di rumah Mas Ardhi dan Mbak Widi, walaupun mereka gak keberatan namun aku sungkan harus ngerepotin terus.
Akhirnya 3 bulan sudah berlalu dan aku mutusin untuk pindah ke kost baru. Pertama Mas Ardhi dan Mbak Widi menolak permintaanku mentah-mentah. mereka takut aku nanti kesusahan kalau jauh dari mereka. Namun aku jelaskan bahwa aku udah punya cukup uang untuk menyewa kost kecil-kecilan dekat kampus.
"Nana, apa gak usah dulu aja ngekost, sayang uang tabungannya kalau dipakek" ujar Mas Ardhi
"Iya lho Na, apa baiknya tinggal disini aja"
"Mas Mbak, makasih udah ngasih aku tempat tinggal, tapi aku udah tekad bakal ngejalanin hidup sendiri, aku juga udah bisa hitung kok sama pekerjaanku,biaya kulaih dan hidupku, masih cukup kok"
"Nggg....ya udah deh, terserah Nana aja, tapi hari ini kamu disni dulu ya, besok pagi kan libur ,nah...baru kamu mulai nyari-nyari kost-kost an, nanti dianterin Ardhi aja, oke" Ujar Mbak Widi
"Iya Mbak..."
"Oh iya ada satu lagi nih, sebenernya ada yang mau aku omongin sama kamu Na"
"Apa Mbak?"
"Ardhi kan sering cerita kalo kamu itu pinter nulis, terus pas presentasi di kantor, bulan lalu, kata Ardhi kamu pinter banget kalo menjelaskan laporan hasil kerja ke bos-bos gitu"
"Eh....biasa aja Mbak, Mas Ardhi nih tukang lapor!" ujarku malu sambil pura-pura pasang tampang sebal ke Mas Ardhi"
"Maksud Mbak, kamu mau gak pindah kerjaan, gantiin Mbak jadi penyiar Radio, di tempat kerja Mbak, soalnya Mbak udah mau pindah kerja di Perbankan Semarang bulan depan"
"Eh...yang bener Mbak?" tanyaku kaget
"iya...Mau gak?"
"Mau....mau....tapi aku anaknya grogian Mbak"
"Ya dicoba dulu, nanti Mbak kenalin sama bagian HRD nya di tempat Radio, terus kan nanti Mbak sendiri yang ngelatih kamu biar jadi Penyiar paling yahud"
"Waaah...makasih Mbak, terus kerjaanku yang ini gimana dong"
"Gak apa-apa, tinggalin aja, nanti Aku yang ngomong ke Pak Bosnya, tapi buat surat pengunduran diri dulu" Ujar Mas Ardhi lugas
"Gimana Na' Deal?"
Aku ngangguk-ngangguk senang tanda setuju, aku gak bayangin bakal kesampean jadi penyiar radio, soalnya dulu saat SMA pernah ikut Ektrakulikuler Broadcast.
Hari itu aku ngerasa ada secercah lembaran kertsa baru yang harus aku tulis kembali dengan pena kehidupanku.
[Keberadaan Mbok]
Kehidupanku sebagai single fighter berjalan lancar, gak terasa sudah setahun aku menjalani profesi seabagi penyiar radio.Keuangan juga mulai membaik, aku mulai jadi penyiar merangkap penulis kolom redaksi di sebuah majalah khusus bagian kemanusiaan. Kedua pekerjaan itu sangat nyaman dan flexible menurutku karena tidak menganggu jadwal kuliahku.
Menjadi Penyiar juga sangat bermanfaat bagiku, aku bisa kenal banyak orang, pergaulan juga jadi luas dan pengetahuanku juga jadi bertambah banyak, karena penyiar memang dituntut untuk tahu info terupdate.
Terlebih lagi kerja menjadi penulis kolom redaksi yang menuntutku untuk kenal dengan nara sumber.Suatu hari aku pernah menemui seorang narasumber korban pelecehan seksual, aku jadi tahu banyak tentang perasaan mereka.
Nara sumber lainnya juga membuatku kenal sama banyak orang di bagian kemanusiaan, dan bahkan seperti petugas PMI atau pengelola panti Jompo dan aku gak menyia-nyiakannya untuk mendapatkan info yang sekiranya bisa jadi petunjuk untuk menemukan Mbok.
Suatu hari berbekal sebuah foto hitam putih buram wajah Mbok yang aku punya dan dari info yang aku dapatkan dari pengelola Panti Jompo di daerah Batu, Mbok pernah dirawat di panti jompo ini namun sudah dipindahkan ke Panti jompo lain, namun karena pergantian kepengurusan dan pencatatan data nama yang kurang bagus, Keberadaan Mbok masih menjadi misteri buatku.
Aku gak mungkin mencari-cari Mbok keseluruh Panti Jompo di Indonesia. Kadang aku merasa putus asa, seperti gak ada harapan namun seketika aku melihat uang tabunganku yang mulai terkumpul kembali untuk Rumah Impian ku bersama Mbok kelak, semangat ku bangkit lagi...
(BERSAMBUNG)