- Beranda
- Fanstuff
AI : Because February is A Month of Love [February Romance Fic Compilation Thread]
...
TS
st_illumina
AI : Because February is A Month of Love [February Romance Fic Compilation Thread]
"When the power of Love Conquer the Love of Power,
World Will Know True Peace"
World Will Know True Peace"
Spoiler for Doki-Doki Suru:
Spoiler for Ai no Chikara:
Thread Kompilasi Cerita Romance.
Bagi yang mau ikutan, cukup posting ceritanya di sini,
yang mau komen ceritanya juga cukup posting di sini juga,
yang mau diskusi juga posting di sini aja dulu.
Ini hanyalah Thread buat para penghuni FS mengekspresikan cinta nya.
Cerita cinta yang kayak apa? Terserah.
yang penting one-shot, langsung tamat, karena capek juga baca cerita cinta fitri yang sampe 8 season.....
Well Lets Get Started
Bagi yang mau ikutan, cukup posting ceritanya di sini,
yang mau komen ceritanya juga cukup posting di sini juga,
yang mau diskusi juga posting di sini aja dulu.
Ini hanyalah Thread buat para penghuni FS mengekspresikan cinta nya.
Cerita cinta yang kayak apa? Terserah.
yang penting one-shot, langsung tamat, karena capek juga baca cerita cinta fitri yang sampe 8 season.....
Well Lets Get Started
Spoiler for Index Librorum Amor Fabula:
-
- The Anomaly One Elf.qiwil
- Me & The Shy Girl - Mca_Trane
- Letter From The Heart - Shian
- Bottle - BiasaAjaKale
- The Unwritten - VermilionHelix
- Hetalia : Another Point in Timeline : Nengpuu3
- Pantai - Baliwa
- Hana - ChronosXIII
- This Might Be NIJIKON Love Story - Ekka
- Minggu - Ucokberingas
- Sadness - Raivac
- Satu Milimeter - Dantd
- Erodere - Its Yourdoom so Deal With It
- The Lost One - Doomreaper
- Suara Tak Berbunyi - Sangar
- Memori - Giande
- Pieces - Lea Han
- Aku Benci Valentine - Approach (temannya Kerdus)
- A Princess in My Sight - AnglerfishHero
- Ya Mengapa Tidak? -Striferser
- Krisantia - st_illumina
Spoiler for RULE:
Screw The Rule, You are here to show your love, not to be bound with some rule :3
If you have courage to break the rule, you better prepare an awesome Story
- Tema : The Power of Love
- Semua kisah cinta di perbolehkan, tapi karena ini forum umum, kisah cinta yang menyinggung SARA secara eksplisit (menjurus ke perendahan agama, baik agama sendiri maupun orang lain), NSFW secara eksplisit (hingga intercourse di jelaskan dengan gamblang) incest eksplisit, yuri/yaoi eksplisit (sampai intercourse) tidak di perkenankan,kecuali diberikan peringatan, spoiler berlapis, dan udah dapat persetujuan dari saya.(Untuk implisit dan borderline, just post it selama masih aman)
- Panjang kisah maksimal 3 postingan di Kaskus (30 ribu karakter) (welp, selama masih one shot gapapa lah, asal menarik)
- Dateline 25 Februari 2012 BATAS POSTING FICTION (karena kalo ga dikasih dateline kalian pada tarsok)
25 Februari-28 Februari Voting Period
1 Maret Pengumuman Pemenang (kalau ada)
Spoiler for Puresento:
Juara 1 : Id Donatur 2 Bulan
Juara 2 : Id DOnatur 1 Bulan
Juara 3 : GRP + 50
Romance Story Compilation Senbatsu
Periode Voting CLOSED
The Winner
Announcement
Selamat Buat Para Juara ^_^
Tunggu Event Fanstuff Berikutnya,
All the story here is so good...
Diubah oleh st_illumina 07-03-2013 21:42
0
12.3K
Kutip
245
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•343Anggota
Tampilkan semua post
nengpuu3
#39
Lurker, ijin ikutan ya gan 
--
Another Point in Timeline p.2

--
Hetalia Fanfiction: Another Point in Timeline
PrussiaXHungary
Rated T untuk bahasa kasar; historical karatan; Ungarn=Hongaria
PrussiaXHungary
Rated T untuk bahasa kasar; historical karatan; Ungarn=Hongaria
Quote:
Spoiler for Another Point in Timeline p.1:
1 Maret, 1944
Sepatu bot bersol tebal itu menimbulkan derap dijalanan berkonblok. Karena si pemilik yang mengeluarkan tenaga terlampau besar dan kecepatan yang diatas rata-rata. Daun-daun kering antara terhempas atau hancur terinjak olehnya. Dia tidak peduli. Bahkan ketika beberapa diantaranya yang baru terlepas dari dahan jatuh diatas rambut peraknya. Matanya yang dua warna terfokus pada satu rumah kecil tujuannya.
“Kita dikhianati!”
Kalimat dari pimpinannya terngiang terus didalam kepala. Terus. Hingga tak sadar, jika giginya bergemelutuk menahan emosi.
Emosi yang sudah tak bisa dia definisikan lagi dengan kata-kata. Karena tiap derap langkah menambah jenis dan kuantitasnya.
Kecewa.
Tidak percaya.
Amarah.
Sedih.
Sakit hati.
Dia benci. Sungguh. Dan kata kenapabergema dalam hatinya. Memantul-mantul ke segala arah di relung jiwanya. Memancing semua memori indah yang pernah ada, antara dia dan seorang wanita. Kembali ke permukaan menambah pedih yang dari tadi dia tepis. Dia prajurit. Dia tentara. Dia pemimpin. Jadi dia tak mungkin menangis. Apalagi ketika pintu kayu yang jadi tujuan berlarinya sekarang ada di depan mata.
“Halo, Prusia.” Sapa si wanita. Begitu pintu menjeblak terbuka.
“Ungarn..” Itu bukan balasan. Sekedar kata yang otomatis terlontar diantara engah nafas.
Diperhatikannya si wanita. Hongaria. Teman masa kecilnya, mantan pemimpinnya, wanita berambut cokelat pujaannya, wanita bermata hijau yang mengisi mimpinya, wanita yang beraliansi dengannya, terduduk di kursi kayu biasa. Menoleh memandangnya dengan sedikit senyum terpulas. Masih seperti biasa, seakan tidak ada yang salah didunia yang sedang penuh darah. Masih memukau dan mudah membuatnya terpana.
“Ada apa? Strategi baru?”
Kalimat tanya biasa itu mengembalikan kesadarannya. Pintu dibelakangnya dibiarkan terbuka. Dengan langkah lebar-lebar dia mendekati Hongaria.
“Ada apa? Kau bertanya padaku ada apa?” Penuh penekanan, kata-katanya itu.
“Jelas Prusia, aku tak—” Omongan Hongaria terpotong saat Prusia menyorongkan secarik kertas di depan mukanya. Sesaat, mata hijau itu membesar terkejut. Sesaat saja, dan kembali normal.
“Apa ini Hongaria? Jangan katakan kalau kau tak mengerti apa ini.” Sekarang dia bertahan agar tidak berteriak, suaranya marah tertahan.
Tidak seperti dia yang biasa. Hongaria mengalihkan wajahnya. Ditatapnya alur kayu pada meja dihadapannya. Mulutnya terbuka dan menutup, seperti otaknya tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk dikeluarkan. Akhirnya digigitnya bibir itu.
Prusia bukan jenis pria sabar. Jelas. Dibantingnya kertas itu bersama tangannya dimeja yang ditatap Hongaria. Membuat si wanita berjengit dan si meja menimbulkan derit. Diraihnya pundak wanita itu, membuatnya saling menatap.
“Jawab aku.” Sudah bukan kalimat tanya. Ada nada perintah disitu.
Hongaria sadar itu. Tenggorokannya kering dan matanya lebih memilih melirik kesamping saat dia berusaha menjawab, “Apa lagi yang bisa kujelaskan? Bukannya telegram di kertas itu sudah menjelaskan semuanya?”
Prusia sadar tangannya mencengkram pundak Hongaria lebih kencang.
“Kenapa?” Ada sedikit getar disuaranya. “Kenapa! HONGARIA!” Itu dia. Dia sudah tak bisa menahannya lagi.
Hongaria menggigit bibir dan masih berpaling.
“Tatap aku, dan jawab! Kenapa.. Ungarn..” Dua kata terakhir tak setegas yang ia mau, karena terdengar seperti rintihan saat ia akhirnya menundukkan kepala. Membuatnya tidak menyadari perubahan Hongaria yang juga sudah sampai di titiknya.
“Kenapa? Kau tanya kenapa? Harusnya kau lebih mengerti KENAPA!..
..Harusnya kau mengerti keadaanku!..
..Tapi apa yang kau, adikmu, dan pimpinanmu itu lakukan!..
..Tapi apa yang bisa kulakukan selain menuruti semua perintah kalian?..
..Ya, semuanya. Tak terkecuali.”
Kemudian yang ada hening. Cengkeraman tangan Prusia sudah terlepas di kalimat kedua yang terlontar dari mulut Hongaria. Keduanya sama-sama tak ingin bertemu mata. Si pria menatap peta di dinding sebelahnya dan si wanita kembali pada meja di hadapannya.
“Lalu kau mau apa?”
Kalimat sederhana itu membuat Prusia menengadah menatap Hongaria yang juga menatapnya. Dingin ekspresinya. Tak ada Hongaria si dewi musim semi, tak ada Hongaria si ceria, yang ada di hadapannya hanya Hongaria si pengkhianat. Prusia itu cerdas. Karenanya, dia sadar itu semua dari awal.
Tangan Prusia terkepal, tak mampu dia menatap Hongaria saat berkata, “Batalkan. Masih ada kesempatan, Hongari—”
“Itu tidak mungkin.” Hongaria memotong tegas. Membuat Prusia membelalak tak percaya. “Semua demi rakyatku. Aku ingin penyelesaian yang efisien, yang tidak merugikan semuanya. Kau personfikasi, pasti mengerti itu kan?” Lanjutnya tajam.
“Sampah! Kau mestinya tahu dalam perang tak ada kata ‘untung di kedua pihak’! Batalkan!”
“Hebat! Kau menasehatiku? Bah, kau pikir kau siapa!” Hongaria berdiri dan menggebrak meja.
Tangan Prusia mengepal berbarengan dengan mengerasnya ekspresi wajahnya, tapi seakan membiarkan Hongaria bicara, dia diam.
“Kau harusnya tahu dari awal keadaanku sedang seperti apa.” Lanjut Hongaria dengan suara tidak setinggi tadi, namun tetap siaga.
“Permasalahan wilayahku, si om-om turban sialan itu, ‘perceraian’ dengan Austria”—Prusia berjengit—“aku sama sekali tidak siap untuk perang, Prusia!”
Tinjunya bergetar, matanya tertutup sama seperti bibirnya. Seperti kepundan yang siap memuntahkan lava, Prusia saat itu.
“Perang ini… Aku tak pernah berharap terlibat dipusaran kegilaan ini.” Suara Hongaria melemah.
Kemudian hening sesaat sebelum wanita yang sekarang wajahnya tertunduk dan tertutupi rambutnya itu melanjutkan dengan sedikit bergetar, “Tapi, apa yang kalian lakukan padaku—atau perlu kubawa nama Italia bersaudara disini? Tekanan dan iming-iming!”
Dia berhenti lagi dan kali ini sambil menoleh, menatap Prusia, dia berkata, “Kau pasti mengerti alasan ini kan?”
Ditatap penuh harapan oleh wanita yang dia kasihi jelas meluluhkan hatinya. Tapi tidak untuk saat itu, tidak untuk keadaan yang terjepit saat itu.
Prusia memejamkan mata sekali lagi dan seolah ingin membuang amarah, dia menghembuskan nafas berat.
“Aku mengerti.” Katanya pelan sambil melangkah mendekati wanitanya, “Aku mengerti sekali.” Lanjutnya lagi. Sekarang dia berhadapan dengan Hongaria.
Hening saat itu. Prusia menatap dalam-dalam mata Hongaria. Mata hijau itu berbalik menatapnya, penuh harap. Yang dibalas Prusia dengan menarik tangan Hongaria, memendekkan jarak diantara mereka, dan dengan satu tarikan nafas dia menyatukan bibir Hongaria dengan bibirnya. Cepat, ringan, lembut, nyaris tanpa nafsu.
Hongaria yang terlalu terkejut tidak bisa bereaksi apa-apa. Prusia memanfaatkan itu dan memeluknya, ditenggelamkannya Hongaria dalam dekapan eratnya, sambil berbisik, “Aku mengerti, karenanya, bertahanlah sedikit lagi. Kumohon. Percayalah padaku, batalkan semua ini. Pimpinanku belum mengambil tindakan, aku masih bisa memperbaiki dan menutupi semua ini.” Prusia tahu dia nyaris putus asa membujuk wanita yang dikasihinya saat dia melanjutkan, “Kumohon, Hongaria, jangan pergi. Aku—”
Suara lantang senjata api memutuskan kalimatnya. Disusul kemudian rasa sakit dipunggungnya.
Sepatu bot bersol tebal itu menimbulkan derap dijalanan berkonblok. Karena si pemilik yang mengeluarkan tenaga terlampau besar dan kecepatan yang diatas rata-rata. Daun-daun kering antara terhempas atau hancur terinjak olehnya. Dia tidak peduli. Bahkan ketika beberapa diantaranya yang baru terlepas dari dahan jatuh diatas rambut peraknya. Matanya yang dua warna terfokus pada satu rumah kecil tujuannya.
“Kita dikhianati!”
Kalimat dari pimpinannya terngiang terus didalam kepala. Terus. Hingga tak sadar, jika giginya bergemelutuk menahan emosi.
Emosi yang sudah tak bisa dia definisikan lagi dengan kata-kata. Karena tiap derap langkah menambah jenis dan kuantitasnya.
Kecewa.
Tidak percaya.
Amarah.
Sedih.
Sakit hati.
Dia benci. Sungguh. Dan kata kenapabergema dalam hatinya. Memantul-mantul ke segala arah di relung jiwanya. Memancing semua memori indah yang pernah ada, antara dia dan seorang wanita. Kembali ke permukaan menambah pedih yang dari tadi dia tepis. Dia prajurit. Dia tentara. Dia pemimpin. Jadi dia tak mungkin menangis. Apalagi ketika pintu kayu yang jadi tujuan berlarinya sekarang ada di depan mata.
“Halo, Prusia.” Sapa si wanita. Begitu pintu menjeblak terbuka.
“Ungarn..” Itu bukan balasan. Sekedar kata yang otomatis terlontar diantara engah nafas.
Diperhatikannya si wanita. Hongaria. Teman masa kecilnya, mantan pemimpinnya, wanita berambut cokelat pujaannya, wanita bermata hijau yang mengisi mimpinya, wanita yang beraliansi dengannya, terduduk di kursi kayu biasa. Menoleh memandangnya dengan sedikit senyum terpulas. Masih seperti biasa, seakan tidak ada yang salah didunia yang sedang penuh darah. Masih memukau dan mudah membuatnya terpana.
“Ada apa? Strategi baru?”
Kalimat tanya biasa itu mengembalikan kesadarannya. Pintu dibelakangnya dibiarkan terbuka. Dengan langkah lebar-lebar dia mendekati Hongaria.
“Ada apa? Kau bertanya padaku ada apa?” Penuh penekanan, kata-katanya itu.
“Jelas Prusia, aku tak—” Omongan Hongaria terpotong saat Prusia menyorongkan secarik kertas di depan mukanya. Sesaat, mata hijau itu membesar terkejut. Sesaat saja, dan kembali normal.
“Apa ini Hongaria? Jangan katakan kalau kau tak mengerti apa ini.” Sekarang dia bertahan agar tidak berteriak, suaranya marah tertahan.
Tidak seperti dia yang biasa. Hongaria mengalihkan wajahnya. Ditatapnya alur kayu pada meja dihadapannya. Mulutnya terbuka dan menutup, seperti otaknya tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk dikeluarkan. Akhirnya digigitnya bibir itu.
Prusia bukan jenis pria sabar. Jelas. Dibantingnya kertas itu bersama tangannya dimeja yang ditatap Hongaria. Membuat si wanita berjengit dan si meja menimbulkan derit. Diraihnya pundak wanita itu, membuatnya saling menatap.
“Jawab aku.” Sudah bukan kalimat tanya. Ada nada perintah disitu.
Hongaria sadar itu. Tenggorokannya kering dan matanya lebih memilih melirik kesamping saat dia berusaha menjawab, “Apa lagi yang bisa kujelaskan? Bukannya telegram di kertas itu sudah menjelaskan semuanya?”
Prusia sadar tangannya mencengkram pundak Hongaria lebih kencang.
“Kenapa?” Ada sedikit getar disuaranya. “Kenapa! HONGARIA!” Itu dia. Dia sudah tak bisa menahannya lagi.
Hongaria menggigit bibir dan masih berpaling.
“Tatap aku, dan jawab! Kenapa.. Ungarn..” Dua kata terakhir tak setegas yang ia mau, karena terdengar seperti rintihan saat ia akhirnya menundukkan kepala. Membuatnya tidak menyadari perubahan Hongaria yang juga sudah sampai di titiknya.
In 1940, under pressure from Germany, Hungary joined the Axis.
“Kenapa? Kau tanya kenapa? Harusnya kau lebih mengerti KENAPA!..
Although initially hoping toavoid direct involvement in the war,
..Harusnya kau mengerti keadaanku!..
Hungary's participation soon becameinevitable
..Tapi apa yang kau, adikmu, dan pimpinanmu itu lakukan!..
Hungarian forces participatedin the invasion of Yugoslavia,
..Tapi apa yang bisa kulakukan selain menuruti semua perintah kalian?..
and the invasion of the Soviet Union
..Ya, semuanya. Tak terkecuali.”
Kemudian yang ada hening. Cengkeraman tangan Prusia sudah terlepas di kalimat kedua yang terlontar dari mulut Hongaria. Keduanya sama-sama tak ingin bertemu mata. Si pria menatap peta di dinding sebelahnya dan si wanita kembali pada meja di hadapannya.
“Lalu kau mau apa?”
Kalimat sederhana itu membuat Prusia menengadah menatap Hongaria yang juga menatapnya. Dingin ekspresinya. Tak ada Hongaria si dewi musim semi, tak ada Hongaria si ceria, yang ada di hadapannya hanya Hongaria si pengkhianat. Prusia itu cerdas. Karenanya, dia sadar itu semua dari awal.
Tangan Prusia terkepal, tak mampu dia menatap Hongaria saat berkata, “Batalkan. Masih ada kesempatan, Hongari—”
“Itu tidak mungkin.” Hongaria memotong tegas. Membuat Prusia membelalak tak percaya. “Semua demi rakyatku. Aku ingin penyelesaian yang efisien, yang tidak merugikan semuanya. Kau personfikasi, pasti mengerti itu kan?” Lanjutnya tajam.
“Sampah! Kau mestinya tahu dalam perang tak ada kata ‘untung di kedua pihak’! Batalkan!”
“Hebat! Kau menasehatiku? Bah, kau pikir kau siapa!” Hongaria berdiri dan menggebrak meja.
Tangan Prusia mengepal berbarengan dengan mengerasnya ekspresi wajahnya, tapi seakan membiarkan Hongaria bicara, dia diam.
“Kau harusnya tahu dari awal keadaanku sedang seperti apa.” Lanjut Hongaria dengan suara tidak setinggi tadi, namun tetap siaga.
“Permasalahan wilayahku, si om-om turban sialan itu, ‘perceraian’ dengan Austria”—Prusia berjengit—“aku sama sekali tidak siap untuk perang, Prusia!”
Tinjunya bergetar, matanya tertutup sama seperti bibirnya. Seperti kepundan yang siap memuntahkan lava, Prusia saat itu.
“Perang ini… Aku tak pernah berharap terlibat dipusaran kegilaan ini.” Suara Hongaria melemah.
Kemudian hening sesaat sebelum wanita yang sekarang wajahnya tertunduk dan tertutupi rambutnya itu melanjutkan dengan sedikit bergetar, “Tapi, apa yang kalian lakukan padaku—atau perlu kubawa nama Italia bersaudara disini? Tekanan dan iming-iming!”
Dia berhenti lagi dan kali ini sambil menoleh, menatap Prusia, dia berkata, “Kau pasti mengerti alasan ini kan?”
Ditatap penuh harapan oleh wanita yang dia kasihi jelas meluluhkan hatinya. Tapi tidak untuk saat itu, tidak untuk keadaan yang terjepit saat itu.
Prusia memejamkan mata sekali lagi dan seolah ingin membuang amarah, dia menghembuskan nafas berat.
“Aku mengerti.” Katanya pelan sambil melangkah mendekati wanitanya, “Aku mengerti sekali.” Lanjutnya lagi. Sekarang dia berhadapan dengan Hongaria.
Hening saat itu. Prusia menatap dalam-dalam mata Hongaria. Mata hijau itu berbalik menatapnya, penuh harap. Yang dibalas Prusia dengan menarik tangan Hongaria, memendekkan jarak diantara mereka, dan dengan satu tarikan nafas dia menyatukan bibir Hongaria dengan bibirnya. Cepat, ringan, lembut, nyaris tanpa nafsu.
Hongaria yang terlalu terkejut tidak bisa bereaksi apa-apa. Prusia memanfaatkan itu dan memeluknya, ditenggelamkannya Hongaria dalam dekapan eratnya, sambil berbisik, “Aku mengerti, karenanya, bertahanlah sedikit lagi. Kumohon. Percayalah padaku, batalkan semua ini. Pimpinanku belum mengambil tindakan, aku masih bisa memperbaiki dan menutupi semua ini.” Prusia tahu dia nyaris putus asa membujuk wanita yang dikasihinya saat dia melanjutkan, “Kumohon, Hongaria, jangan pergi. Aku—”
Suara lantang senjata api memutuskan kalimatnya. Disusul kemudian rasa sakit dipunggungnya.
Another Point in Timeline p.2
Diubah oleh nengpuu3 22-02-2013 22:27
0
Kutip
Balas