SRC 2013 - Februari



Sinopsis
“Selama tiga puluh satu hari ke depan kita tidak akan berhubungan dengan cara apapun…Biarkan semua berjalan apa adanya agar diri kita merasakan apa yang seharusnya kita rasakan. Jika kita benar-benar saling membutuhkan, jiwa kita akan merintih merasakan kepedihan yang amat sangat. Hal ini sudah cukup membuat kita yakin untuk kembali bersatu,” jelas Faisal.

“Jika tidak?” tanya Laksmi.

“Jika tidak… atau keraguan masih melanda jiwa kita masing-masing, berarti kita memang tidak ditakdirkan untuk menyatu. Cinta membutuhkan keyakinan, Laksmi. Hal yang tidak kita miliki saat ini,” jawab Faisal.

Dalam 31 HARI ke depan, keputusan itu harus dibuat. Tiada lagi ruang untuk menunggu bagi Faisal dan Laksmi. Apakah mereka akan menyatu merangkai kenangan indah yang begitu banyak telah membekas di jiwa mereka? Atau berpisah demi untuk mengubur dendam masa lalu kedua orangtua mereka?

31 Hari adalah kisah penuh kekuatan tentang kasih sayang, penderitaan, ketakwaan dan dendam masa lalu. Sebuah kisah dengan berbagai ujian hidup yang menyertai tanpa henti yang pada akhirnya berbuah pada banyak hal 'baik' yang tak terduga. Banyak pesan moral yang tertuang dalam kisah ini bagai membuka lembaran-lembaran hikmah yang tak ada habis-habisnya untuk digali. Mohammad Yasser Fachri dengan begitu detail menghadirkan sisi-sisi keindahan kota Washington DC yang dibalut dengan penggambaran Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin dalam bahasa yang santun tanpa menggurui.

Membaca buku ini... saya seperti membaca buku Ayat-Ayat Cinta dan Bumi Cinta dengan versi Fachri atau Ayyas yang kuliah di Amrik dan bermukim serta bekerja di sana. Bedanya Fachri atau Ayyas di novelnya Habiburrahman dengan Faisal di novel ini adalah, kalau Fachri atau Ayyas itu anak orang nggak mampu, kalau Faisal ini anak orang yang mampuuuu... ditambahi dengan banget.

Membaca kisah cinta Faisal ini rasanya datar dan berat. Entah kenapa, berbeda dengan Ayat-Ayat cinta atau Bumi Cinta yang bisa saya baca dengan mengalir. Di sini, alurnya terasa amat lambat dan cara penceritaannya pun terkesan monoton seperti ini



Errr... ini terasa kriuk sekali saat aku membacanya ._.

Sosok Faisal ini terasa sempurna sekali, rajin sholat di masjid, pintar, cerdas, suka prosa, pintar melukis, punya masa lalu yang kelam, dan amat menjaga kesuciannya. Tapi beneran dah, 'rasa' si Faisal ini berbeda dengan 'Rasa' Fachri ataupun Ayyas. Dan hal itu membuat saya termangu dan melongo sesaat, kemudian garuk-garuk pipi yang tidak gatal. Rasanya... penceritaannya kurang mengalir dengan bebas, cenderung kaku dan seolah menjelaskan dengan baku.

Kemudian, dialognya pun terkesan rada garing lagi. Ini contohnya:



Errr..., lagi-lagi saya merasa 'kriuk'. Dialog yang terasa kurang mengalir ini tidak hanya saya temui di satu-dua bab saja tetapi, hampir di setiap bab sehingga saya terpaksa tinggalkan dan berlanjut ke halaman berikutnya.

Kemudian soal penamaan tokoh perempuan yang bernama Laksmi. Saat pertama kali mendengar nama Laksmi, apa yang kalian pikirkan?

Yang ada di dalam pikiran saya adalah, seorang wanita berkulit hitam manis dengan mata hitam bulat dan rambut hitam bergelombang. Dan... sosoknya merupakan sosok salah satu dari wanita india.

Gak tahunya, sosok Laksmi di sini adalah sosok wanita Jawa

Sulit sekali bagi saya membayangkan Laksmi sebagai wanita jawa. Saya berusaha untuk membayangkannya sebagai wanita jawa tetapi yang ada, tetap saja model india yang menari-nari di dalam pikiran saya -_______-"

Terlepas dari penamaan tokoh, sosok si laki-laki yang terlalu sempurna (menurut saya), jalan cerita yang terasa berat dan kurang mengalir, dialog yang kurang menarik juga, saya suka dengan cover buku ini. Cerah dan menyejukkan mata. Kemudian, saya juga suka dengan alurnya yang runtut dan rapi walau kerapiannya justru membuat saya klenger juga karena bosan.

Rate dari 5 untuk buku ini