- Beranda
- The Lounge
Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan bantahan terhadap WAHABI
...
TS
arzalcvl
Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan bantahan terhadap WAHABI

Quote:
Sbelumnya TS minta maaf karna thread ini kepanjangan. mudah2an gak
, 
Pesan TS sebelumnya:
TS bukan Wahhabi
Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan bahwa Rasululah bersabda:
"Jauhilah prasangka (buruk), karena sesungguhnya prasangka (buruk) adalah perkataan yang paling dusta (bohong)." (HR. Muttafaq 'alaihi)
Mohon dibaca baik2 secara keseluruhan
, 
Pesan TS sebelumnya:
TS bukan Wahhabi
Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan bahwa Rasululah bersabda:
"Jauhilah prasangka (buruk), karena sesungguhnya prasangka (buruk) adalah perkataan yang paling dusta (bohong)." (HR. Muttafaq 'alaihi)
Mohon dibaca baik2 secara keseluruhan
Quote:
Thread ini TS bagi mnjadi:
1. Pengantar.
2. Perjalanan Beliau Menuntut Ilmu
3. Perjalanan Dakwah Beliau
4. Wahabi dan Bantahannya
5. Karya Beliau
1. Pengantar
Nasab dan Kelahiran Beliau
1. Pengantar.
2. Perjalanan Beliau Menuntut Ilmu
3. Perjalanan Dakwah Beliau
4. Wahabi dan Bantahannya
5. Karya Beliau
1. Pengantar
Spoiler for pengantar:
Keadaan Umat di Najd Pada Masa Sebelum Beliau
1. Keadaan Sosial Politik Najd Kala Itu.
Mayoritas dari penduduk Najd kala itu terdiri dari kabilah-kabilah Arab yang dikenal akan nasabnya, dan para pendatang yang berdatangan untuk tinggal di Najd hanyalah minoritas saja.
Waktu itu sisi pandang masyarakat Najd terhadap seseorang tergantung pada nasab yang dia miliki. Hal ini sangat menyolok sekali terutama dalam urusan perkimpoian, lowongan mendapat pekerjaan dan lain sebagainya. Masyarakat Najd terbagi menjadi dua kelompok atau dua golongan, Hadhari dan Badawi (Badui), meskipun didapati perubahan sifat atau ciri pada sebagian penduduk. Yang demikian itu menimbulkan kesulitan bagi kita untuk menggolongkan kelompok yang ketiga ini, karena mereka itu bukan Badui murni dan juga tidak Hadhari murni [1]
Orang-orang Badui merasa bangga atas diri mereka dan kehidupan padang pasirnya. Mereka merasa bahwa orang-orang Hadhari hina di hadapan mereka. Penunjang kehidupan ekonomi mereka adalah kekayaan binatang, dan yang paling berharga bagi mereka diantara binatang-binatang yang ada adalah unta. Dan kebetulan daerah Najd adalah daerah yang kaya akan unta sehingga tidak aneh kalau Najd biasa disebut dengan Ummul Ibil [2].
Adapun orang-orang Hadhari (orang-orang kota) memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang Badui, yang mana sebagian mereka berpendapat bahwa sifat kejantanan yang ada pada orang-orang Hadhari ataupun yang ada pada orang-orang Badui berada pada garis yang sama [3], sebagian yang lain berpendapat bahwa orang-orang Badui harus diperlakukan dengan kekerasan, karena dengan cara demikian mereka bisa menjadi baik[4]
Adapun penunjang kehidupan ekonomi mereka adalah bertani. Sedangkan perdagangan adalah satu-satunya penunjang kehidupan ekonomi yang ada atau dimiliki oleh orang-orang Badui maupun orang-orang Hadhari.
Mengenai hal kepemimpinan, sangatlah jauh berbeda antara orang-orang Badui dengan orang-orang Hadhari. Di mana seorang pemimpin yang ada di kalangan orang-orang Badui haruslah memenuhi kriteria seorang pemimpin, misalnya memiliki derajad lebih dari yang lain, pemberani dan memiliki pandangan dan gagasan yang jitu. Cara-cara mereka ini lebih mirip dengan sistem demokrat. Adapun orang-orang Hadhari lebih cenderung pemilihan pemimpin mereka jatuh ke tangan orang-orang yang memilki kekuatan dan kekuasaan, cara-caranyapun sudah banyak dicampuri dengan kelicikan dan tipu muslihat demi teraihnya kepemimpinan tersebut.
2. Keadaan Kegaamaan Di Najd Waktu Itu.
Penduduk negeri Najd sebelum adanya dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab keadaannya menyedihkan. Keadaan yang apabila seorang mukmin menyaksikannya tidak akan ridha selama-lamanya. Syirik (persekutuan) terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tumbuh dengan suburnya, baik syirik besar maupun syirik kecil. Sampai-sampai kubah, pepohonan, bebatuan, gua dan orang-orang yang dianggap sebagai wali pun disembah sebagaimana layaknya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penduduk Najd kala itu telah terpesona dengan kehidupan dunia dan syahwat. Sehingga pintu-pintu kesyirikan terbuka lebar untuk mereka. Marja' (sandaran) mereka kepada ahli sihir dan para dukun, sehingga negeri Najd terkenal akan hal itu. Bahkan Makkah, Madinah dan Yaman menjadi basis kemusyrikan kala itu. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan umat Islam ini dengan dilahirkannya seorang mujaddid besar, penegak panji-panji tauhid dan penyampai kebenaran yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Dialah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, yang kelak berjuang mati-matian dalam rangka tegaknya tauhidullah dan menebas habis setiap yang berbau syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
1. Keadaan Sosial Politik Najd Kala Itu.
Mayoritas dari penduduk Najd kala itu terdiri dari kabilah-kabilah Arab yang dikenal akan nasabnya, dan para pendatang yang berdatangan untuk tinggal di Najd hanyalah minoritas saja.
Waktu itu sisi pandang masyarakat Najd terhadap seseorang tergantung pada nasab yang dia miliki. Hal ini sangat menyolok sekali terutama dalam urusan perkimpoian, lowongan mendapat pekerjaan dan lain sebagainya. Masyarakat Najd terbagi menjadi dua kelompok atau dua golongan, Hadhari dan Badawi (Badui), meskipun didapati perubahan sifat atau ciri pada sebagian penduduk. Yang demikian itu menimbulkan kesulitan bagi kita untuk menggolongkan kelompok yang ketiga ini, karena mereka itu bukan Badui murni dan juga tidak Hadhari murni [1]
Orang-orang Badui merasa bangga atas diri mereka dan kehidupan padang pasirnya. Mereka merasa bahwa orang-orang Hadhari hina di hadapan mereka. Penunjang kehidupan ekonomi mereka adalah kekayaan binatang, dan yang paling berharga bagi mereka diantara binatang-binatang yang ada adalah unta. Dan kebetulan daerah Najd adalah daerah yang kaya akan unta sehingga tidak aneh kalau Najd biasa disebut dengan Ummul Ibil [2].
Adapun orang-orang Hadhari (orang-orang kota) memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang Badui, yang mana sebagian mereka berpendapat bahwa sifat kejantanan yang ada pada orang-orang Hadhari ataupun yang ada pada orang-orang Badui berada pada garis yang sama [3], sebagian yang lain berpendapat bahwa orang-orang Badui harus diperlakukan dengan kekerasan, karena dengan cara demikian mereka bisa menjadi baik[4]
Adapun penunjang kehidupan ekonomi mereka adalah bertani. Sedangkan perdagangan adalah satu-satunya penunjang kehidupan ekonomi yang ada atau dimiliki oleh orang-orang Badui maupun orang-orang Hadhari.
Mengenai hal kepemimpinan, sangatlah jauh berbeda antara orang-orang Badui dengan orang-orang Hadhari. Di mana seorang pemimpin yang ada di kalangan orang-orang Badui haruslah memenuhi kriteria seorang pemimpin, misalnya memiliki derajad lebih dari yang lain, pemberani dan memiliki pandangan dan gagasan yang jitu. Cara-cara mereka ini lebih mirip dengan sistem demokrat. Adapun orang-orang Hadhari lebih cenderung pemilihan pemimpin mereka jatuh ke tangan orang-orang yang memilki kekuatan dan kekuasaan, cara-caranyapun sudah banyak dicampuri dengan kelicikan dan tipu muslihat demi teraihnya kepemimpinan tersebut.
2. Keadaan Kegaamaan Di Najd Waktu Itu.
Penduduk negeri Najd sebelum adanya dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab keadaannya menyedihkan. Keadaan yang apabila seorang mukmin menyaksikannya tidak akan ridha selama-lamanya. Syirik (persekutuan) terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tumbuh dengan suburnya, baik syirik besar maupun syirik kecil. Sampai-sampai kubah, pepohonan, bebatuan, gua dan orang-orang yang dianggap sebagai wali pun disembah sebagaimana layaknya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penduduk Najd kala itu telah terpesona dengan kehidupan dunia dan syahwat. Sehingga pintu-pintu kesyirikan terbuka lebar untuk mereka. Marja' (sandaran) mereka kepada ahli sihir dan para dukun, sehingga negeri Najd terkenal akan hal itu. Bahkan Makkah, Madinah dan Yaman menjadi basis kemusyrikan kala itu. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan umat Islam ini dengan dilahirkannya seorang mujaddid besar, penegak panji-panji tauhid dan penyampai kebenaran yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Dialah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, yang kelak berjuang mati-matian dalam rangka tegaknya tauhidullah dan menebas habis setiap yang berbau syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Nasab dan Kelahiran Beliau
Spoiler for nasab dan kelahiran beliau:
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup ditengah-tengah keluarga yang dikenal denan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf), dimana Ali Musyarraf ini cabang atau bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf adalah kakek beliau ke-9 menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf [5]
Beliau dilahirkan di negeri Uyainah pada tahun 1115H. Daerah Uyainah ini terletak di wilayah Yamamah yang masih termasuk bagian dari Najd. Letaknya berada di bagian barat laut dari kota Riyadh yang jaraknya (jarak antara Uyainah dan Riyadh) lebih kurang 70 Km.
Beliau dilahirkan di negeri Uyainah pada tahun 1115H. Daerah Uyainah ini terletak di wilayah Yamamah yang masih termasuk bagian dari Najd. Letaknya berada di bagian barat laut dari kota Riyadh yang jaraknya (jarak antara Uyainah dan Riyadh) lebih kurang 70 Km.
Diubah oleh arzalcvl 01-02-2013 08:49
0
36.1K
Kutip
230
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104KAnggota
Tampilkan semua post
TS
arzalcvl
#1
2. Perjalanan Beliau dalam Menuntut Ilmu
Perjalanan Beliau Dalam Menuntut Ilmu
Spoiler for perjalanan thullab:
Ibnu Ghannam berkata : "Muhammad bin Abdul Wahhab telah menampakkan semangat thalabul-ilmi nya sejak usia belia. Beliau memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya. Beliau tidak suka dengan main-main dan perbuatan yang sia-sia.[6]. Beliau mulai thalabul-ilmi dengan mendalami al-Qur'anul Karim, sehingga tidak aneh kalau beliau sudah hafal ketika umur 10 tahun.[7]. Yang demikian itu terjadi pada diri beliau dikarenakan banyak faktor yang mendukungnya. Diantaranya adalah semangat beliau yang sangat menggebu-gebu dalam menuntut ilmu, juga keadaan lingkungan keluarga yang benar-benar mendorong dan memicu beliau untuk terus menerus menuntut ilmu. Dan Syaikh Abdul Wahhab-lah guru dan sekaligus orang tua beliau yang pertama-tama mencetak kepribadian beliau.
Sampai-sampai ketika ayah beliau Syaikh Abdul Wahhab menulis surat kepada seorang temannya mengatakan (dalam surat tsb) : " Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus, kalau seandainya dia belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan serta menguasai apa yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam (baligh) pada usia dua belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas untuk menjadi imam, maka aku jadikan dia sebagai imam shalat berjamaah dikarenakan ma'rifah dan ilmunya tentang ahkam. Dan pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia. Kemudian setelah nikah, dia meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi permintaannya dan aku berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut. Lalu berangkatlah dia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukun-rukun Islam".[8]
Setelah berhaji beliau belajar dengan para Ulama Haramain (Makkah dan Madinah) selama lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke daerah Uyainah. Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau belajar dari ayah yang sekaligus sebagai guru pelajaran Fiqh Hambali, tafsir, hadits dan tauhid.[9]
Tidak berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu dari Ulama Haramaian, khususnya para ulama Madinah Al-Munawarah. Di Madinah beliau belajar dien dengan serius, dan Madinah saat itu adalah tempat berkumpulnya ulama dunia. Diantara guru beliau yang paling beliau kagumi dan senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Setelah beliau merasa cukup untuk menuntut ilmu dari para ulama Madinah al-Munawwarah ini maka beliau kembali lagi ke kampung halaman, Uyainah.
Setahun kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi menuju daerah Irak dan Ahsaa.[10] Kota Damaskus saat itu sebuah kota yang sarat akan kegiatan keislaman. Disana terdapat sebuah madrasah yang digalakkan padanya ke ilmuan tentang madzhab Hambali dan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan tersebut. Oleh karena itu negeri yang pertama kali di cita-citakannya untuk menuntut ilmu adalah Syam. Di negeri itulah Damaskus berada. Namun dikarenakan perjalanan dari Najd menuju Damaskus secara langsung sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pergi menuju Bashrah (Irak),[11] pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah menuju Damaskus sangatlah mudah.
Setelah di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara ini tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus yang semula dianggap mudah ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk tinggal di Bashrah. Beliau belajar Fiqh dan Hadits dari sejumlah ulama yang berada di kota Bashrah tersebut -hanya saja dari nara sumber yang ada- tidak menyebutkan nama guru-guru beliau yang ada di kota tersebut kecuali hanya seorang saja yaitu Syaikh Muhammad al-Majmu'i.[12] Disamping ilmu fiqh dan hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah sehingga beliau betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat mengarang beberapa kitab yang berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah. [13]
Ternyata tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau, khususnya para ulama suu' yang ada di Bashrah, dimana mereka tidak henti-hentinya menentang dan memusuhi beliau. Nah dikarenakan ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab itulah akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan negeri Bashrah, tempat beliau belajar dan dakwah saat itu.
Kemudian beliau pergi menuju suatu tempat yang bernama az-Zubair. Setelah perjalanan beberapa saat di sana, beliau melanjutlan perjalanan menuju al-Ahsaa'. Di daerah tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu dien dari para ulama al-Ahsaa'. Di antara guru-guru beliau yang ada di al-Ahsaa' tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Dan memang, Ahsaa' saat itu merupakan gudang nya ilmu sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah Arab berdatangan ke Ahsaa' untuk menuntut ilmu di sana.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan kelana thalabul-ilmi nya ke daerah Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H [14]. Dimana kebetulan ayah beliau yang tadinya menjadi qadhi di Uyainah telah pindah ke daerah tersebut. Maka berkumpullah beliau dengan ayahnya di sana.
Tapi baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua beliau. Ayah beliau Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H [15]. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggantikan ayahnya dalam melaksanakan segala aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun mulai berdatangan ke Haryamala untuk menuntut ilmu dari beliau. Bahkan para pemimpin negeri pun di sekitar Haryamala pun menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hanya dua tahun tinggal di Haryamala (sepeninggal ayahnya) demi menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah Utsman bin Ma'mar untuk tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau.[16].
Sampai-sampai ketika ayah beliau Syaikh Abdul Wahhab menulis surat kepada seorang temannya mengatakan (dalam surat tsb) : " Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus, kalau seandainya dia belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan serta menguasai apa yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam (baligh) pada usia dua belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas untuk menjadi imam, maka aku jadikan dia sebagai imam shalat berjamaah dikarenakan ma'rifah dan ilmunya tentang ahkam. Dan pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia. Kemudian setelah nikah, dia meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi permintaannya dan aku berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut. Lalu berangkatlah dia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukun-rukun Islam".[8]
Setelah berhaji beliau belajar dengan para Ulama Haramain (Makkah dan Madinah) selama lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke daerah Uyainah. Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau belajar dari ayah yang sekaligus sebagai guru pelajaran Fiqh Hambali, tafsir, hadits dan tauhid.[9]
Tidak berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu dari Ulama Haramaian, khususnya para ulama Madinah Al-Munawarah. Di Madinah beliau belajar dien dengan serius, dan Madinah saat itu adalah tempat berkumpulnya ulama dunia. Diantara guru beliau yang paling beliau kagumi dan senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Setelah beliau merasa cukup untuk menuntut ilmu dari para ulama Madinah al-Munawwarah ini maka beliau kembali lagi ke kampung halaman, Uyainah.
Setahun kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi menuju daerah Irak dan Ahsaa.[10] Kota Damaskus saat itu sebuah kota yang sarat akan kegiatan keislaman. Disana terdapat sebuah madrasah yang digalakkan padanya ke ilmuan tentang madzhab Hambali dan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan tersebut. Oleh karena itu negeri yang pertama kali di cita-citakannya untuk menuntut ilmu adalah Syam. Di negeri itulah Damaskus berada. Namun dikarenakan perjalanan dari Najd menuju Damaskus secara langsung sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pergi menuju Bashrah (Irak),[11] pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah menuju Damaskus sangatlah mudah.
Setelah di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara ini tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus yang semula dianggap mudah ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk tinggal di Bashrah. Beliau belajar Fiqh dan Hadits dari sejumlah ulama yang berada di kota Bashrah tersebut -hanya saja dari nara sumber yang ada- tidak menyebutkan nama guru-guru beliau yang ada di kota tersebut kecuali hanya seorang saja yaitu Syaikh Muhammad al-Majmu'i.[12] Disamping ilmu fiqh dan hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah sehingga beliau betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat mengarang beberapa kitab yang berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah. [13]
Ternyata tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau, khususnya para ulama suu' yang ada di Bashrah, dimana mereka tidak henti-hentinya menentang dan memusuhi beliau. Nah dikarenakan ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab itulah akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan negeri Bashrah, tempat beliau belajar dan dakwah saat itu.
Kemudian beliau pergi menuju suatu tempat yang bernama az-Zubair. Setelah perjalanan beberapa saat di sana, beliau melanjutlan perjalanan menuju al-Ahsaa'. Di daerah tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu dien dari para ulama al-Ahsaa'. Di antara guru-guru beliau yang ada di al-Ahsaa' tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Dan memang, Ahsaa' saat itu merupakan gudang nya ilmu sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah Arab berdatangan ke Ahsaa' untuk menuntut ilmu di sana.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan kelana thalabul-ilmi nya ke daerah Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H [14]. Dimana kebetulan ayah beliau yang tadinya menjadi qadhi di Uyainah telah pindah ke daerah tersebut. Maka berkumpullah beliau dengan ayahnya di sana.
Tapi baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua beliau. Ayah beliau Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H [15]. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggantikan ayahnya dalam melaksanakan segala aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun mulai berdatangan ke Haryamala untuk menuntut ilmu dari beliau. Bahkan para pemimpin negeri pun di sekitar Haryamala pun menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hanya dua tahun tinggal di Haryamala (sepeninggal ayahnya) demi menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah Utsman bin Ma'mar untuk tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau.[16].
Diubah oleh arzalcvl 01-02-2013 01:10
0
Kutip
Balas