- Beranda
- The Lounge
Cuplikan Kisah Nyata Satuan Tugas Rajawali Kompi Pemburu
...
TS
pioneer1980
Cuplikan Kisah Nyata Satuan Tugas Rajawali Kompi Pemburu
DI GALI DI KUMPULKAN BERDASARKAN KISAH NYATA
BASED FROM A TRUE STORY
BASED FROM A TRUE STORY
INDEX KISAH 1
KOMPI PEMBURU RAJAWALI
KOMPI PEMBURU RAJAWALI
✔1. [Credit : Agan Kopralcepak] - Pengenalan
✔2. [Credit : Agan Kopralcepak] - First Blood
✔3. [Credit : Agan Kopralcepak] - Kebiasaan Tentara Kita
✔4. [Credit : Agan Kopralcepak] - Kapal Selam Siapa
✔5. [Credit : Agan Kopralcepak] - Siapa David Alex
✔6. [Credit : Agan Kopralcepak] - Penyelamatan Post Terpencil
✔7. [Credit : Agan Kopralcepak] - Salah Lirik
✔8. [Credit : Agan Kopralcepak] - Penyerangan Gudang Bawah Tanah
✔9. [Credit : Agan Kopralcepak] - Fretilin Kena Tsunami
✔10. [Credit : Agan Kopralcepak] - Lulik
✔11. [Credit : Agan Kopralcepak] - Mengerjai Bos Baru
✔12. [Credit : Agan Kopralcepak] - Misteri Gugurnya Sang Danton
✔13. [Credit : Agan Kopralcepak] - Yang Paling Di Timtim
✔14. [Credit : Agan Kopralcepak] - Sengsaranya Nongkrong di Kotis
✔15. [Credit : Agan Kopralcepak] -Collateral Damage
✔16. [Credit : Agan Kopralcepak] - Mencari Brimob Yang Hilang
✔17. [Credit : Agan Kopralcepak] - Penyergapan Dalam Kota
✔18. [Credit : Agan Kopralcepak] - SS-1 Pindad
✔19. [Credit : Agan Kopralcepak] - HomeBase Tak Kalah Tegangnya
✔20. [Credit : Agan Kopralcepak] - Salah Sasaran
✔21. [Credit : Agan Kopralcepak] - Mengenang Sang Komandan Rajawali
✔22. [Credit : Agan Kopralcepak] - Nyasar Membawa Berkah
✔23. [Credit : Agan Kopralcepak] - Memburu Si Pembakar
✔24. [Credit : Agan Kopralcepak] - Penasaran
✔25. [Credit : Agan Kopralcepak] - Perbandingan Fretilin dan GAM
✔26. [Credit : Agan Kopralcepak] -Panah SGI
✔27. [Credit : Agan Kopralcepak] - Membekuk Gerilyawati
✔28. [TS] - Disekolahkan Biar Pandai!
✔29. [TS] - Cerita Sari Aceh
✔30. [Credit : Formil] -Taktik Decoy
✔31. [Credit : Formil] - Rajawali Sektor Timur 1998
✔31. [Credit : Agan Kopralcepak] - Penghadang Yang Dihadang
✔32. [Credit : Agan Kopralcepak] - Mencoba Peralatan Baru
✔33. [Credit : Agan Kopralcepak] - Lulik
✔32. [TS] - Intermezo1
✔33. [TS] - Intermezo2
✔34. [Credit : Alexanderhagal] -Jiancok Asu Koen!
✔35. [Credit : FORMIL] - Intermezo3
✔36. [Credit : FORMIL] - Lembah Mistis
✔37. [Credit : FORMIL] - Oleh-Oleh
✔38. [Credit : FORMIL] - Lelucon Saat Kontak
✔39. [Credit : FORMIL] - Istirahat Pun Guyon
✔40. [Credit : FORMIL] - Sydrom Mata Kuning
✔41. [Credit : FORMIL] - 501 Duel Jarak Dekat
✔42. [Credit : agan Zenergun] - Bobby Trap
✔43. [Credit : KakRhoma] - Si Ular
✔44. [TS] - Nenek Mengenang Cucu
✔45. [TS] - Arwah Mengunjungi Komandan
✔46. [TS] - Mat engasr
✔47. [TS] - Membom Dedemit
✔48. [TS] - Tumbangnya Orang Sakti- Bag 2.
✔49. [Credit : Agan Erwinparikesit] - Masuk Kolam Bag 2.
✔50. [Credit : Agan Erwinparikesit] - Bukit Tengkorak Bag 2. Bag 3. Bag 4.
✔51. [Credit : Agan Erwinparikesit] - Memenuhi Tantangan GAM
✔52. [TS] - Dor! GAM Malah Ketawa
✔53. [TS] - Insiden Caracas
✔54. [Credit : FORMIL] - Rajawali 330 TOD Papua
INDEX KISAH 2
OPERASI OPERASI DI TIMTIM, PAPUA & ACEH
OPERASI OPERASI DI TIMTIM, PAPUA & ACEH
Timor Timur
✔[Credit : FORMIL] - Operasi Linud TerbesarBag.2 Bag.3 Bag.4
✔[URL=...][Credit : FORMIL] - Grup 1/Kopassandha Membuka Operasi Seroja[/URL]
✔[Credit : FORMIL] - Si Kancil
✔[Credit : FORMIL] - Serangan Heroin Di Gunung Qablaque Bag.2 Bag.3 Bag 4.
✔[Credit : FORMIL] - Operasi Kikis Bag 2.
✔[Credit : Agan Gemahripahlohji] - Kisah Bapak Ane
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Kisah Bapakku Di Timtim
✔[TS] - Sepenggal Kisah Prabowo di Medan Tempur
✔[Credit : Agan Samueltirta] - Behind Enemy Lines Tim Umi Bag.2
Bag.3 Bag.4
✔[Credit : Agan Samuel Tirta] - Rambo Yg Sebenarnya : PRATU SUPARLAN
✔[Credit : Agan Samuel Tirta] - Gugurnya Sukisno
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : TANDA LAHIR
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : TIDUR NGELONIN GRANAT
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : IBUUUU...SAKITNYA BUUUUK..!/:berdukas/ Bag 2.
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane :KONYOL-KONYOLAN Bag 2.
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : INDERA KE ENAM Bag 2.
✔[Credit : Shahpanzer] - Tangguhnya Si Krebo Hutan
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : BUAH SETAN
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : LETNAN MUDA KERAS KEPALA
✔[Credit : Agan Jagm] - (Foto) Pemburu Krebo Hutan
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : LOBSTER
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : LOBANGNYA BUAYA
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : KAPTEN MARAHI MAYOR
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : PETA OH PETA Bag 2.
✔[Credit : FORMIL] - EPIC FOTO
✔[Credit : FORMIL] - ( Foto ) Rekapitulasi Yg Gugur di Timtim
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : BAD DAY FOR LOGISTIC Bag 2.
✔[Credit : Agan Pemakanmayat] - Beberapa Penghadangan Truk TNI Yg Banyak Memakan Korban
✔[Credit : TS] - Penghadangan Di Baunoraq
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - Timtim Band Of Brother : Kisah Bapak Ane : HUNTED Bag 2.
✔[Credit : Agan Bakulmendoan] - ( Foto ) Makam Bapak Ane
✔[Credit : Agan Ekolistrik] - ( Foto ) Bapak Ane Gugur di Timtim
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - ( Foto ) TIMTIM BAND OF BROTHER : Koleksi Bapak Ane 1
✔[Credit : Agan Alexanderhagal] - ( Foto ) TIMTIM BAND OF BROTHER : Koleksi Bapak Ane 2
✔[Credit : Pelita] - TIMTIM SEBUAH PERJUANGAN
✔[Credit : Agan Samueltirta] - Ku Lakukan Demi Keluargaku Bag 2. Bag 3. Bag 4. Bag 5.
Bag 6.
Diubah oleh pioneer1980 12-11-2014 01:26
andriyanzaky131 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.7M
2.6K
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.1KThread•83.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pioneer1980
#685
Bag.2
Jam 06.00 pagi, Jenderal Umar Wirahadikusuma, Panglima Kodam V Jaya datang dan mendapati ibu terbaring di kamar tidur. Setelah ia pulang para tentara lain berdatangan ke rumah kami. Penjagaan di rumah kami digantikan oleh pasukan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Kami disarankan untuk sementara waktu meninggalkan rumah. Darah bapak mulai dibersihkan, di pel. Saat itu dadaku terasa sesak. Pagi itu baru kami tahu ternyata yang dibunuh dan diculik bukan hanya bapak sendiri, tapi juga para perwira tinggi yang selalu menyebut diri mereka, “Tangan Kanan bapak”.
Kira-kira pukul 09.00 pagi, karangan bunga dari “Bela Flora” datang dengan ucapan, “Selamat Ulang Tahun 1 Oktober 1965” buat ibuku. Ternyata yang mengirimnya adalah bapak sendiri. Bunga itu membuat kedukaan kami semakin mendalam.
Menjelang tengah hari kami mengemasi beberapa lembar pakaian ke dalam koper. Kami sekeluarga mengungsi ke daerah Pasar Minggu. Tetangga kami, keluarga Jenderal Marjadi memiliki kebun dan rumah kecil disana. Kami tinggal di rumahnya tanpa penerangan listrik. Daerah itu masih berupa hutan. Aku tak ingat lagi berapa puluh orang yang menyertai kami. Sepanjang hari kami hanya duduk-duduk saja, mengobrol dengan para pengawal. Satu-satunya informasi yang bisa kami terima adalah dari siaran Radio Australia. Tapi beritanya pun simpang siur. Semua ajudan bapak datang silih berganti. Kadang Om Bardi, kadang Om Darto. Bila mereka tiba kami selalu bertanya bagaimana keadaan bapak? Apa sudah dirawat dokter? Apa Bung Karno bersama-sama bapak? Tapi lagi-lagi kami mendapat jawaban yang tidak pasti. Untuk menenangkan kami, Om Bardi atau Om Darto selalau bilang,
“Adik-adik nggak usah kuatir, bapak ada disana, bersama-sama Bung Karno. Bapak baik-baik saja”.
Namun bagai disambar petir, berita yang menyentakan datang dari Radio Australia bahwa Jenderal Achmad Yani telah diculik dan dibunuh oleh sekelompok tentara yang belum dikenal. Sedangkan kedudukan bapak sebagai Menpangad oleh Bung Karno digantikan oleh Mayor Jenderal Pranoto. Saat itu perasan dan tenaga kami serasa lemas luluh lantak. Tapi kami belum yakin dengan berita radio itu.
3 Oktober 1965, sekitar jam 09.00 malam, ketika kami sedang duduk-duduk dengan para pengawal, ibu tiba-tiba keluar dari kamarnya. Wajahnya sangat sayu. Ibu mengatakan kepada tante Tinik supaya disiapkan kebaya hitam. Ibu pun mengajak kami untuk masuk ke dalam kamarnya. Kami terperanjat. Setiba di kamar kami bertanya kepada ibu,
“Kenapa ibu minta kebaya hitam?”. Ibu menjawab,
“Bapakmu wis ora ono, entas teko nang ibu. Pesene: jaga anak baik-baik”. (Bapak sudah tidak ada lagi, baru saja bapak datang pada ibu dan pesannya: Jagalah anak baik-baik). Malam itu kami semua menangis. Ibu bilang: sudahlah! Kamu semua berdoa untuk bapak. Supaya bapak tenang di Surga.
Selanjutnya sore Senin, 4 Oktober 1965, Om Bardi dan beberapa pengawal datang lagi. Pakaian mereka penuh lumpur dengan wajah yang sangat letih. Kami langsung menyambut mereka dan bertanya, “Sudah ketemu bapak om?”. Dengan suara perlahan Om Bardi menjawab, “Sudah. Sudah ketemu”. Suaranya lirih hampir tak terdengar. Om Bardi pun langsung menemui ibu di kamar. Ia lama sekali di dalam. Kami menunggu di luar dengan penuh tanda tanya. Rupanya Om Bardi sedang menyampaikan kepada ibu tentang keadaan bapak yang sebenarnya. Tak lama kemudian kami semua dipanggil. Aku melihat Om Bardi menundukan kepala dan menangis. Firasat jelek mulai menghantui kami. Benar saja, tak lama kemudian, ibu berkata kepada kami,
“Bapak betul-betul sudah tidak ada. Sekarang hanya ada ibu dan kamu semua. Kita harus mengikhlaskan bapak. Kamu semua harus menerima kenyataan ini”.
Hari penantian, hari-hari yang panjang dan penuh rasa bimbang dan sedih, berakhir sudah bersamaan dengan habisnya semua harapan. Bapak telah tiada, gugur sebagai bunga bangsa dalam suatu tindakan yang sangat keji.
Ibu lalu mengajak kami semua berdoa untuk bapak. Usai berdoa ibu berkata kepada Om Bardi bahwa ibu ingin melihat jasad bapak. Om Bardi mengatakan sebaiknya tidak usah. Tapi ibu tetap saja memaksa. Om Bardi lantas meyakinkan ibu bahwa semua jasad para korban sudah dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) untuk dibersihkan.
Ibu lalu memutuskan, kami semua pulang ke rumah. Dengan mengendarai jib lengkap dengan pengawal, pukul 05.00 sore, kami pulang ke rumah di Jl. Lembang D 58. Suasana di jalan-jalan yang kami lalui, yang biasanya ramai dengan kendaran dan manusia, kini sepi dan lengang. Sampai di rumah, kami kaget, kami dapati rumah sudah bersih. Pintu dan kaca yang tertembus peluru sudah diganti. Lantai rumah sudah dipel, bahkan tak ada sedikit pun noda darah yang tertinggal. Sepi..., sepi sekali suasana rumah kami.
Saat masuk ke dalam rumah, ibu langsung menuju kamar tidurnya. Sementara aku menuju ruang makan lalu duduk di kursi biru mencoba mengerti apa yang telah terjadi. Saat itu aku sadar, kami semua telah menjadi anak yatim. Orang tua kami tinggal ibu seorang diri. Perasaanku hancur memikirkan bagaimana kami hidup dan menata masa depan tanpa ayah.
Keinginan untuk melihat jasad bapak sudah tak tertahan. Perasaan itu terus menggebu dalam dada, kapankah, jam berapakah kami boleh melihat jasad bapak? Saat yang dinanti-natikan akhirnya datang juga. Jam 09.00 malam, ibu, aku dan saudara-saudaraku naik kendaraan beriring-iringan menuju Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di JL. Merdeka Utara 2, Jakarta. Di sepanjang jalan sangat lengang, sepi, seram penuh tentara berjaga-jaga. Selain itu banyak orang menangis dengan wajah geram. Tak lama kemudian kami memasuki MBAD yang sudah penuh sesak dengan manusia, bau mayat dan asap dupa mengepul memenuhi ruangan. Tujuh peti jenasah terselubung bendera merah-putih, masing-masing dijaga oleh empat Taruna Akademi Militer Nasional. Aku dan kakak serta adik-adikku dituntun menuju peti jenasah bapak. Di depannya tertulis Letnan Jendral Ahmad Yani. Yah..., inilah bapak, tapi sayang jasad bapak tidak dapat dilihat lagi. Bapak ada di dalam peti ini, entah sudah seperti apa wujudnya. Kami hanya dapat memeluk peti sembari menangis, “Bapak.....Bapak......Bapak......”.
Ruangan penuh dengan asap dupa, tangis dimana-mana, suasana semakin haru, semua menundukan kepala, semua menangis. Aku melihat ibu terpaku. Semangat dan tenaganya seakan sudah terkuras habis. Ibu bahkan tidak sanggup menangis lagi lalu tak sadarkan diri, meskipun dikerumuni ibu-ibu dan dikipasi. Kami semua duduk, lemas dan lunglai. Disana baru akau ketahui ada ibu Soeprapto, ibu Haryono, ibu Parman, ibu Panjaitan, ibu Sutoyo lengkap dengan putra-putrinya. Keluarga Tandean juga ada. Kami semua larut dalam duka. Para pengunjung pun tak kuasa menahan tangis. Bahkan di luar para tentara dan massa pun sendu menangis. Histeris. Karena semua merasa kehilangan.
Kira-kira pukul 09.00 pagi, karangan bunga dari “Bela Flora” datang dengan ucapan, “Selamat Ulang Tahun 1 Oktober 1965” buat ibuku. Ternyata yang mengirimnya adalah bapak sendiri. Bunga itu membuat kedukaan kami semakin mendalam.
Menjelang tengah hari kami mengemasi beberapa lembar pakaian ke dalam koper. Kami sekeluarga mengungsi ke daerah Pasar Minggu. Tetangga kami, keluarga Jenderal Marjadi memiliki kebun dan rumah kecil disana. Kami tinggal di rumahnya tanpa penerangan listrik. Daerah itu masih berupa hutan. Aku tak ingat lagi berapa puluh orang yang menyertai kami. Sepanjang hari kami hanya duduk-duduk saja, mengobrol dengan para pengawal. Satu-satunya informasi yang bisa kami terima adalah dari siaran Radio Australia. Tapi beritanya pun simpang siur. Semua ajudan bapak datang silih berganti. Kadang Om Bardi, kadang Om Darto. Bila mereka tiba kami selalu bertanya bagaimana keadaan bapak? Apa sudah dirawat dokter? Apa Bung Karno bersama-sama bapak? Tapi lagi-lagi kami mendapat jawaban yang tidak pasti. Untuk menenangkan kami, Om Bardi atau Om Darto selalau bilang,
“Adik-adik nggak usah kuatir, bapak ada disana, bersama-sama Bung Karno. Bapak baik-baik saja”.
Namun bagai disambar petir, berita yang menyentakan datang dari Radio Australia bahwa Jenderal Achmad Yani telah diculik dan dibunuh oleh sekelompok tentara yang belum dikenal. Sedangkan kedudukan bapak sebagai Menpangad oleh Bung Karno digantikan oleh Mayor Jenderal Pranoto. Saat itu perasan dan tenaga kami serasa lemas luluh lantak. Tapi kami belum yakin dengan berita radio itu.
3 Oktober 1965, sekitar jam 09.00 malam, ketika kami sedang duduk-duduk dengan para pengawal, ibu tiba-tiba keluar dari kamarnya. Wajahnya sangat sayu. Ibu mengatakan kepada tante Tinik supaya disiapkan kebaya hitam. Ibu pun mengajak kami untuk masuk ke dalam kamarnya. Kami terperanjat. Setiba di kamar kami bertanya kepada ibu,
“Kenapa ibu minta kebaya hitam?”. Ibu menjawab,
“Bapakmu wis ora ono, entas teko nang ibu. Pesene: jaga anak baik-baik”. (Bapak sudah tidak ada lagi, baru saja bapak datang pada ibu dan pesannya: Jagalah anak baik-baik). Malam itu kami semua menangis. Ibu bilang: sudahlah! Kamu semua berdoa untuk bapak. Supaya bapak tenang di Surga.
Selanjutnya sore Senin, 4 Oktober 1965, Om Bardi dan beberapa pengawal datang lagi. Pakaian mereka penuh lumpur dengan wajah yang sangat letih. Kami langsung menyambut mereka dan bertanya, “Sudah ketemu bapak om?”. Dengan suara perlahan Om Bardi menjawab, “Sudah. Sudah ketemu”. Suaranya lirih hampir tak terdengar. Om Bardi pun langsung menemui ibu di kamar. Ia lama sekali di dalam. Kami menunggu di luar dengan penuh tanda tanya. Rupanya Om Bardi sedang menyampaikan kepada ibu tentang keadaan bapak yang sebenarnya. Tak lama kemudian kami semua dipanggil. Aku melihat Om Bardi menundukan kepala dan menangis. Firasat jelek mulai menghantui kami. Benar saja, tak lama kemudian, ibu berkata kepada kami,
“Bapak betul-betul sudah tidak ada. Sekarang hanya ada ibu dan kamu semua. Kita harus mengikhlaskan bapak. Kamu semua harus menerima kenyataan ini”.
Hari penantian, hari-hari yang panjang dan penuh rasa bimbang dan sedih, berakhir sudah bersamaan dengan habisnya semua harapan. Bapak telah tiada, gugur sebagai bunga bangsa dalam suatu tindakan yang sangat keji.
Ibu lalu mengajak kami semua berdoa untuk bapak. Usai berdoa ibu berkata kepada Om Bardi bahwa ibu ingin melihat jasad bapak. Om Bardi mengatakan sebaiknya tidak usah. Tapi ibu tetap saja memaksa. Om Bardi lantas meyakinkan ibu bahwa semua jasad para korban sudah dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) untuk dibersihkan.
Ibu lalu memutuskan, kami semua pulang ke rumah. Dengan mengendarai jib lengkap dengan pengawal, pukul 05.00 sore, kami pulang ke rumah di Jl. Lembang D 58. Suasana di jalan-jalan yang kami lalui, yang biasanya ramai dengan kendaran dan manusia, kini sepi dan lengang. Sampai di rumah, kami kaget, kami dapati rumah sudah bersih. Pintu dan kaca yang tertembus peluru sudah diganti. Lantai rumah sudah dipel, bahkan tak ada sedikit pun noda darah yang tertinggal. Sepi..., sepi sekali suasana rumah kami.
Saat masuk ke dalam rumah, ibu langsung menuju kamar tidurnya. Sementara aku menuju ruang makan lalu duduk di kursi biru mencoba mengerti apa yang telah terjadi. Saat itu aku sadar, kami semua telah menjadi anak yatim. Orang tua kami tinggal ibu seorang diri. Perasaanku hancur memikirkan bagaimana kami hidup dan menata masa depan tanpa ayah.
Keinginan untuk melihat jasad bapak sudah tak tertahan. Perasaan itu terus menggebu dalam dada, kapankah, jam berapakah kami boleh melihat jasad bapak? Saat yang dinanti-natikan akhirnya datang juga. Jam 09.00 malam, ibu, aku dan saudara-saudaraku naik kendaraan beriring-iringan menuju Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di JL. Merdeka Utara 2, Jakarta. Di sepanjang jalan sangat lengang, sepi, seram penuh tentara berjaga-jaga. Selain itu banyak orang menangis dengan wajah geram. Tak lama kemudian kami memasuki MBAD yang sudah penuh sesak dengan manusia, bau mayat dan asap dupa mengepul memenuhi ruangan. Tujuh peti jenasah terselubung bendera merah-putih, masing-masing dijaga oleh empat Taruna Akademi Militer Nasional. Aku dan kakak serta adik-adikku dituntun menuju peti jenasah bapak. Di depannya tertulis Letnan Jendral Ahmad Yani. Yah..., inilah bapak, tapi sayang jasad bapak tidak dapat dilihat lagi. Bapak ada di dalam peti ini, entah sudah seperti apa wujudnya. Kami hanya dapat memeluk peti sembari menangis, “Bapak.....Bapak......Bapak......”.
Ruangan penuh dengan asap dupa, tangis dimana-mana, suasana semakin haru, semua menundukan kepala, semua menangis. Aku melihat ibu terpaku. Semangat dan tenaganya seakan sudah terkuras habis. Ibu bahkan tidak sanggup menangis lagi lalu tak sadarkan diri, meskipun dikerumuni ibu-ibu dan dikipasi. Kami semua duduk, lemas dan lunglai. Disana baru akau ketahui ada ibu Soeprapto, ibu Haryono, ibu Parman, ibu Panjaitan, ibu Sutoyo lengkap dengan putra-putrinya. Keluarga Tandean juga ada. Kami semua larut dalam duka. Para pengunjung pun tak kuasa menahan tangis. Bahkan di luar para tentara dan massa pun sendu menangis. Histeris. Karena semua merasa kehilangan.
0