Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

black.mindedAvatar border
TS
black.minded
[HOLY] Anda Bertanya, Muslim Menjawab - Part 26




KAMI BERSAKSI BAHWASANYA
TIADA ILAH YANG BERHAK UNTUK DIIBADATI KECUALI ALLAH
DAN MUHAMMAD ADALAH UTUSAN ALLAH


Quote:




Quote:


Quote:
Diubah oleh black.minded 21-01-2013 06:51
anakjahanam721
pakisal212
dejavugendeng
dejavugendeng dan 3 lainnya memberi reputasi
2
695.1K
29.8K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Debate Club
Debate Club
8.2KThread3.6KAnggota
Tampilkan semua post
muhas14Avatar border
muhas14
#16279
Sejarah Penulisan Hadits

SEBAGAIMANA pengetahuan yang sering kita terima dari studi hadits, bahwa hadits adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an, yang memiliki peranan penting dalam berbagai disiplin dan dimensi kehidupan. Rasulullah selain meninggalkan wahyu (al-Qur'an) juga As-Sunnah (Hadits) sebagai pegangan dan penuntun umat Islam dimanapun dan kapanpun. Walapun posisinya nomor dua, tetapi kedudukan hadits sangat penting dalam menjelaskan dan menjabarkan pesan-pesan atau perintah dan larangan yang ditegaskan oleh al-Qur'an.

Tulisan ini akan menyajikan tentang sejarah penulisan hadits. Seperti yang banyak kita jumpai bahwa dari sekian kitab sunnah yang ada sekarang ini merupakan hasil kerja keras dari proses seleksi yang cukup panjang. Tak pelak lagi, bahwa dalam sejarah pengumpulan dan penulisan selalu diwarnai perdebatan panjang dalam rangka menentukan keotentikan hadits. Sikap kehati-hatian dan kecermatan telah ditunjukkan oleh para penghimpun hadits dengan cara yang selektif dan penuh pertimbangan.

Sebagian orang berpendapat bahwa pada masa Rasulullah, periwayatan hadits umumnya hanya dilakukan melalui hafalan dari satu sahabat ke sahabat lain, bukan melalui tulisan. Pertimbangannya hanya sederhana, yakni dikhawatirkan akan tercampur dengan ayat-ayat al-Qur'an. Meskipun al-Qur'an sendiri pada awalnya juga sama, bukan untuk dibukukan (ditulis). Tetapi secara tegas, Rasulullah memberikan lampu hijau kepada para sahabat supaya mencatatnya dengan alat tulis. Sehingga pengumpulan dan penulisan ayat-ayat al-Qur'an lebih mudah di bandingkan dengan kondisi hadits.

Sementara pendapat lain mengatakan bahwa pada diri hadits belum ada ketegasan tentang perintah yang jelas mengenai penulisannya. Bahkan ada sebuah riwayat yang mengatakan sebaliknya, bahwa para sahabat dilarang menulis. Atas dasar inilah kemudian tidak semua hadits dapat diterima dengan serta-merta. Sehingga satu hal yang membuktikan ketidakotentikan hadits yang dianggap berasal dari Nabi tentang pelarangan penulisan hadits adalah pernyataan Umar, berkenaan dengan maksud penghimpunan hadits. Umar diriwayatkan berkata: "saya bermaksud menuliskan hadits Nabi. Tetapi niat itu segera kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab tertentu dan mereka mengabaikan kitab suci. Demi Allah, saya tidak akan membiarkan sesuatu pun yang dapat mengubah Kitab Allah. "

Riwayat di atas mengungkapkan bahwa khalifah kedualah yang untuk pertama kali, berniat menulis hadits. Dalam sebagian versi dari riwayat penulisan ini disebutkan bahwa Umar berembuk dengan para sahabat yang lain tentang perkara ini dan mereka pun menyetujuinya; tetapi pendiriannya lalu berubah karena alasan yang telah ia nyatakan, dan bukan berdasarkan larangan Nabi.

Hal lain yang dapat dikutip sebagai bukti ketidakotentikan hadits mengenai larangan penulisan hadits ialah pernyataan Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya. Pada hari itu, ketika para sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, Nabi bersabda kepada mereka: "Bawakan kepadaku kertas dan tinta, sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus ke dalam kekeliruan." Ada sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya dengan mengatakan, "Cukup bagi kita Kitab Allah." Riwayat ini menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain al-Qur'an bukan saja tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting menurut pertimbangan Nabi agar ummah tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan.

Sekitar Penulisan Hadits
Mengkaji tentang seputar penulisan hadits, setidaknya akan kita jumpai dua perspektif yang berbeda. Perspektif yang pertama melarang penulisan hadits dengan memakai dasar kepada hadits yang diyakini dari Rasul. Sementara perspektif kedua, mengatakan bahwa penulisan hadits pada masa Nabi diperbolehkan, dengan bersumber pula pada hadits Nabi.

Al-Nawawi dalam bukunya yang berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang pelarangan menulis hadits pada masa Rasulullah saw. Salah satu hadits yang diyakini dari Rasulullah diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri.
لاَ تَكْتُبُوْا عَنيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْسَحُهُ
Artinya: Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur'an, hendaklah ia menghapusnya.

Sejalan dengan hadits di atas, Masjfuk Zuhdi menambahkan bahwa larangan penulisan ini ada hikmahnya. Pertama, berhubungan pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang Ummi (tidak bisa baca tulis), sedang waktu itu wahyu Ilahi masih turun Qur'an, jadi Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat membedakan qur'an dan hadits, sehingga terjadi percampuran antara keduanya.

Kedua, Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuannya mereka untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan/ulisan danini berarti secara tidak langsung mendidik mereka untuk percaya pada kemampuan sendiri.

Masih menanggapi hadits Abu Sa'id al-Khudri, menurut Ja'farian hadits tersebut tidak dapat diterima keshahihannya dengan alasan berikut; Pertama, kalau kita menerima hadits itu, berarti kita tidak dapat membatasi penerapannya pada masa tertentu saja. Jika penulisan hadits tidak diperbolehkan dan haram, maka haramnya itu harus untuk setiap saat. Tetapi para perawi hadits tidak berpegang kepadanya dan pada akhirnya mereka menulis serta menghimpun berbagai hadits.

Kedua, perawi initelah meriwatkan juga hadits yang lain yang menunjukkan boleh menulishadits,dan kalu kita menganggap kedua rangkaian hadits ini sama kuat, kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan. Dalam hal ini keduanya kehilangan kredibilitasnya, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan kelemahan hadits dengan cara lain.

Ketiga, Abu Sa'id al-Khudri yang meriwayatkan juga hadits ini, telah menyampaikan pernyataan lain yang bertentangan dengan ini. Ia berkata; "pada masa iti, kita tidak menuliskan apa pun kecuali al-Qur'an dan Tasahhud". Dari pernyataan ini ada dua hal yang dapat disimpulkan; pertama, Abu Sa'id al-Khudri tidak berkata bahwa mereka menuliskan hadits atas perintahNabi, kerana seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan tersebut bukanlah yang ia maksudkan. Kedua, ditambahkannya kata tasahhud dalam pernyataanitu tidak sesuai dengan maksud pelarangan penulisan apa pun kecuali al-Qur'an. Perlu diperhatikan bahwa dalam hadits lain yang semua dari Ibn Mas'ud, istikharah disebut bersama tasahhud. Dan masih banyak alasan lain yang berkenaan dengan riwayat Abu Sa'id al-Khudri tersebut.

Sebaliknya, di samping ada riwayat yang melarang penulisan hadits, ada juga yang membolehkannya. Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam bukunta Fath al- Bari Syarh al-Bukhari dikatakanbahwa riwayat yang membolehkan itu berasal dari Abu Hurairah. Periwayatan ini, berkaiatn dengan terjadinya "fath al-Makkah". Pada waktu itu, Rasulullah berdiri untuk menyampaikan khutbahkepada penduduk Makkah, ketika dalam penyampaian ada seorang dari Yaman berdiri bernama Abu Syah, tiba-tiba berkata; ya Rasulullah!, tuliskan (khutbah tersebut) untukku, maka Rasulullah berkata kepada para sahabat; tuliskan khutbah ini untuknya!

Penjelasan lain yang diungkapkan oleh Hasbi al-Shidiqi, merujuk kepada kitab "al-Madkhal" yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah;

مَامِنْ أَ حَدٍ مِنْ أَصْحَابِ النبِيِ ص م، أَكْثَرَ حَدِيْثًا عَنْهُ مِنيْ إِلا مَاكَانَ عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ العَاصِ فَإِنهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَنَا أَكْتُبُ
Artinya: Tidak seorang dari sahabat nabi yang demikian banyak (lebih mengetahui) hadits rasul daripadaku, selain Abdullah ibn Amr ibn Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.

Masih dalam penjelasan al-Shidiqi, bahwa ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lain. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.

Penjelasan yang hampir senada juga dikemukakan Zuhdi, bahwa sebuah riwayat dari Nabi;

اُكْتُبْ عَنيْ، فَوَالذِي نَفْسِى بِيَدِهِ مَاخَرَجَ مِنْ فَميْ إِلا حَق
Artinya: Tulislah dariku, demi dzat (Tuhan) yang jiwaku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang benar (haq).


Hadits tersebut, merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash tentang penulisan sunah-sunah. Sementara al-Shidiqi, menjelaskan riwayat tersebut bahwa selain Nabi sendiri pernah mengirim surat kepada sebagain pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat Unta dan Kambing. Dan pernah dengan tegas Nabi memerintahkan sahabat menulis hadits.

Secara dhahir, dua versi riwayat di atas betul-betul bertentangan, karena itu para ulama mengambil suatu pendekatan untuk mengkompromikan atau mendamaikan (al-jam'u) antara keduanya. Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari versi yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu riwayat yang terkuat dari kedua riwayat tersebut.

Pendekatan pertama, seperti yang tertera dalam Kitab Ibn Hajar bahwa langkah yang harus ditempuh adalah dengan cara mengkritisi sanad/rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan larangan penulisan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri merupakan salahsatu hadits yang sanadnya mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa'id al-Khudri.

Pendekatan kedua, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa perlu dilakukan sebuah langka pendamaian hadits yang bertentangan. Hadits riwayat Abu Sa'id al-Khudri, sebetulnya ditujukan kepada mereka yang menulis hadits dan al-Qur'an dalam satu shahifah, sebab selain mereka mendengar ayat yang diturunkan, juga mendengarkan penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, sehingga kalau ditulis dalam satu shahifah akan tercampur.

0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.