Saat pertama saya melihat covernya, menurut saya 9S 10A memiliki cover yang sederhana namun representatif. Spacing, jarak margin, dan jumlah kata dalam satu halaman terlihat proporsional, tidak terlalu penuh, sehingga pembaca nyaman saat membaca. Dengan cerita yang begitu runut dan detil, menceritakan anggota keluarganya satu per satu, buku ini entah mengapa tidak dapat membuat saya penasaran untuk mengetahui isi lembar selanjutnya. Cara bercerita yang kadang berlebihan dan berulang-ulang membuat saya terbiasa dan kelamaan tidak menjadi asik lagi untuk dinikmati. Seperti pengulangan kata-kata ‘meditasi’ dan ‘melankoli’ yang efeknya akan menjadi spesial bila tidak sering dituliskan.

Inti cerita buku ini menekankan pada pergulatan penulis untuk berdamai dengan keadaan yang terus menghimpit sejak ia kecil dan bisa tetap survive. Hal ini akan sangat inspiratif bagi pembaca yang tidak atau mengalami kondisi yang sama seperti penulis. Akan tetapi, bagi pembaca yang mengalami keadaan yang lebih sulit mungkin tidak akan mengganggap buku ini sesuatu yang ‘wah’. Selain itu, saya menyayangkan hadirnya sosok anak kecil dalam buku ini. Di tengah kisah dan tokoh-tokoh lain yang memang nyata, hadirnya tokoh fiksi anak kecil ini membuat cerita menjadi janggal. Akan tetapi, si anak kecil telah menjadi alat bantu yang sangat vital bagi penulis. Saya sempat membayangkan, bagaimana buku ini tanpa si anak itu?

Overall, buku ini tetap mengajarkan kita banyak hal, pelajaran kesederhanaan, keprihatinan, bertahan hidup dalam keadaan sulit, tekun, dan tidak berputus asa. Bukanlah hal yang mudah untuk menuliskan sebuah kisah indah ke dalam kata-kata. Karena proses mengingat-ingat bisa jadi lebih sulit daripada membuat cerita baru.

Rating : 3/5