Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tapewormAvatar border
TS
tapeworm
Rekam Jejak Dimensi
Salam hangat dan sejahtera bagi seluruh penghuni, semoga selalu mabuk dalam kasih-Nya
Ane mau ijin berbagi cerita disini...

Sebagian dari cerita-cerita ini adalah fiksi sepenuhnya, sebagian lagi merupakan kisah nyata yang ane fiksikan...

... Semoga dapat dinikmati ...

emoticon-Shakehand2

Langsung aja deh ya emoticon-Blue Guy Smile (S)

Spoiler for Index:


Terinspirasi dari banyak buku, novel, artikel, film, music, dan mimpi etc.

NB: terima kasih fungi, karena kamu telah mengundang banyak inspirasi untuk menemukan ku emoticon-Blue Guy Smile (S)
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
4.5K
20
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
tapewormAvatar border
TS
tapeworm
#7
Dimensi 4: Sinai Rumi
Pria muda itu mempercepat langkahnya. Ia hiraukan nafasnya yang tersenggal-senggal. Ia hiraukan pula lalu lalang orang-orang berwajah lelah sepulang kerja. Tidak ada jalan lain, pikirnya. Nyawa-nyawa itu sedang bergantung pada langkah-langkahnya yang tergesa. Di kepalanya berseliweran ingatan-ingatan tentang banyak sekali orang. Almarhum istrinya, almarhum ayahnya, almarhum ibunya, teman-teman satu profesinya, ibu dan ayah mertuanya, Bagito, Subagyo, Yoto, Yoyo, Tomo, dan nama-nama lain yang bahkan tidak ia kenal.
\t
Matahari sudah benar-benar redup ketika ia sampai di halaman parkir gedung itu. Langkahnya makin tergesa, setengah berlari sekarang. Nafasnya makin cepat, begitu juga detak jantungnya, ketika menyusuri sebuah koridor bercat putih pucat. Bau obat dimana-mana. Ia benci bau obat, seperti ia benci berurusan dengan orang-orang kelurahan dan satpol-pp. Ia melewati tiga pintu di sebelah kanannya, baru pada pintu ke empat ia berhenti. Pada pintu itu tergantung sebuah papan kayu bertuliskan “Spesialis anak”. Ia terdiam. Seperti sedang memecahkan sebuah soal matematika yang amat rumit. Atau sedang meragukan sesuatu tepatnya. Ia mengepalkan tangannya lalu mulai mengetuk pintu. Tiga kali.
\t
“masuk”. sebuah suara menyahut dari balik pintu. Masih dalam keraguan ia menggenggam handle pintu yang terbuat dari metal berkilat. Handle pintu itu terasa sedingin es. Sangat dingin hingga membuat keringat dingin sebesar biji-biji jagung bermunculan di dahinya.
\t
Ruangan itu selalu tampak lebih sempit jika sudah dimasuki. Hanya terdapat sebuah meja kerja membosankan, alat-alat tulis kantor, bangku tidak berlengan yang juga membosankan, dan seorang pria paruh baya dengan tampang luar biasa membosankan yang sedang sibuk menulis sesuatu di selembar kertas. Lelaki di balik meja tetap sibuk menulis. Tidak menoleh. Tidak juga menyalami ataupun memberikan senyum hangat sebagai sambutan.
\t
“Sudah saya bilang, kami tidak bisa bantu kalau bapak belum urus perihal administrasi”.
\t“Tapi dok, pak RT, pak RW, dan orang-orang kelurahan tidak mau bantu saya. Mereka bilang saya warga gelap”.
\t
“Saudara Joko pasti mengerti, kalau semua ada prosedurnya”.
\t“Iya dok, tapi tolonglah saya. Dokter kan tau, istri saya baru saja meninggal, dan anak-anak itu adalah satu-satunya yang saya punya saat ini”
\t
“Nah, justru itu. Saudara Joko bahkan belum melunasi biaya bersalin dan perawatan istri saudara sebelum meninggal”.
\t“Tapi dok”
\t“Saudara Joko. Biarlah biaya yang sudah-sudah ditanggung oleh pihak rumah sakit”
\t“Tapi dok”
\t“Sebaiknya saudara membawa pulang anak-anak saudara”
\t“Tapi dok”
\t“Dan sebaiknya saudara banyak berdoa kepada Tuhan”
\t“Tapi dok...”
\t“Banyak-banyaklah memohon kesembuhan untuk kedua anak saudara”
\t
Ia terdiam. Nafasnya tertahan, detak jantungnya makin cepat. Tangannya mengepal keras. Ia pejamkan matanya, seperti sedang melihat Tuhan dalam keterpejamannya. Dan ia benci.
\t“Kalau Tuhan berpihak pada orang-orang macam dokter, maka detik ini juga saya akan berhenti menyembah-Nya” ucapnya dingin.
\t
Entah dari mana munculnya. Tiba-tiba saja ia sudah mengacung-acungkan sebilah pisau dapur tepat ke hidung si dokter. Si dokter ketakutan bukan main. Wajahnya yang barusan terlihat santai berubah menjadi pucat. Dokter itu hanya mampu mundur beberapa senti sebelum terbentur tembok kokoh dibelakangnya. Dokter itu terpojok, panik, ketakutan bukan main. Seperti kelinci yang ditaruh satu kandang dengan serigala.
\t
“Kita lihat saja, siapa yang bakalan mati, saya atau dokter? Yang pasti bukan anak-anak saya”
\t“Saudara sedang mengancam saya?”
\t“Saya sedang menukar nyawa salah satu dari kita dengan nyawa anak-anak saya”

♫♫♫

\t Malam itu, rumah sakit “Rakyat Sehat Sejahtera” lebih ramai dari biasanya. Tepat di depan loby utama rumah sakit terparkir tidak kurang lima mobil polisi. Ada juga beberapa mobil dinas televisi dan koran nasional. Beritanya cepat tersiar dari mulut ke mulut. Para penjenguk dan perawat berbisik-bisik: dr. David Muhamad Ridwan Sp.A Selamat tanpa luka serius— pria itu berhasil dilumpuhkan. Timah panas mendarat tepat di dahinya. Kematian yang cepat dan bersih. Begitu bisik-bisik mereka. Seorang penembak jitu akan mendapat penghargaan besok pagi, karena ia berhasil menyelamatkan seorang dokter specialis anak, dan membunuh seorang pemulung. Sekian desas-desus mereka wartakan.
\t
Joko, nama pria itu. Tidak banyak orang yang tau. Lagi pula siapa yang butuh nama seorang pemulung di negara ini. Umurnya terbilang muda. 28 tahun lebih 3 bulan 2 hari. Seminggu yang lalu istrinya baru saja meninggal, saat melahirkan kedua anaknya. Setahun yang lalu ibunya meninggal terkena ledakan kompor gas. Satu windu sebelumnya ayahnya meninggal kena sakit kuning. Malam itu, ia meninggal karena ingin menyelamatkan nyawa anak kembarnya. Sinai dan Rumi.
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.