pelangi1Avatar border
TS
pelangi1
Semangat Pluralisme Para Pendongeng
Semangat Pluralisme Para Pendongeng
Jessica Rezamonda | Sabtu, 01 September 2012 - 12:49:13 WIB

Para sineas dan dramawan panggung berlomba membangun wacana pluralisme.

Setelah dikecam para aktivis perempuan gara-gara membesut film Ayat-Ayat Cinta karena dianggap terlalu menyudutkan kaum perempuan, sutradara Hanung Bramantyo seperti tak berhenti membuat film-film bernuansa agama.

Bedanya, film-film besutan selanjutnya gantian bikin “naik darah” para ulama. Dimulai dari Perempuan Berkalung Sorban, Sang Pencerah, kemudian “?”, dan terakhir adalah film pendek berjudul Romi dan Yuli dari Cikeusik.

Film pendek yang merupakan visualisasi dari puisi esai berjudul “Atas Nama Cinta” karya Denny JA ini berkisah tentang kisah cinta sepasang kekasih dengan latar belakang kasus penyerangan penganut Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.

Hanung mencoba menampilkan sudut pandang korban dan menyampaikan pesan bahwa perbedaan seharusnya tidak melahirkan kebencian. Belum jelas reaksi para ulama atas film pendeknya ini.

Namun menarik untuk melihat bahwa wacana soal keberagaman dan pluralisme saat ini terus digeber oleh para sineas, justru di tengah situasi sosial dan politik Indonesia yang diseret ke arah sektarianisme.

Film debutan Erwin Arnada, Rumah Seribu Ombak, yang baru saja tayang perdana di bioskop Kamis (30/8) adalah salah satu yang menunjukkan hal ini, meski Erwin mengaku pada mulanya tidak terlalu ambil pusing mencari pesan-pesan moral yang ingin disiratkan dalam filmnya. Film ini berkisah tentang persahabatan seorang bocah muslim dan Hindu di Singaraja, Bali.

Erwin mengaku pada mulanya ia hanya merasa terkesan pada keharmonisan umat beragama yang ada di Desa Singaraja.

"Mereka harmonis sekali, sesuatu yang sangat jarang saya temui di tempat lain, maka saya angkat. Kalau dikatakan temanya tepat dengan keadaan sekarang, ya ini kebetulan aja. Sejak 2008 saya sudah menulis kisah ini, walau filmnya baru di 2012," ungkapnya.

Jika kemudian penonton menangkap nilai toleransi di dalamnya, bisa dibilang hal itu menjadi sebuah bonus. Menurutnya, setiap film akan memberikan pesan tertentu kepada penontonnya, walaupun ada kemungkinan tiap orang memiliki tafsiran yang berbeda.

Namun ia mengakui banyak penonton fillmnya menangkap pesan yang hampir sama, yaitu tentang indahnya kehidupan bertoleransi.

Erwin yakin, dengan film-film seperti ini, secara perlahan masyarakat akan semakin mengerti makna hidup bertoleransi.

"Awalnya mungkin hanya melalui beberapa ratus ribu penonton, tapi pada akhirnya akan menyebar. Karena pesan ini disampaikan melalui anak-anak maka mereka juga bisa mulai memahami itu—pentingnya hidup bertoleransi—sejak dini," katanya.

Sementara sineas Damien Dematra sangat yakin sebuah film memiliki kekuatan untuk memengaruhi pikiran seseorang. "Film itu sebenarnya bisa mencuci otak orang, menjadi baik atau jadi jahat, tergantung film apa yang disajikan. Bahkan, menurut Socrates, seorang yang menguasai cerita adalah seorang yang menguasai dunia," ungkap salah satu penggagas festival film perdamaian ini.

Ia percaya, seseorang yang terus-menerus dicekoki film horor lama kelamaan juga akan berubah menjadi "horor". Sebaliknya, jika yang ditonton adalah film perdamaian, lambat laun akan timbul kesadaran tentang pentingnya sebuah perdamaian.

Sutradara Garin Nugroho memiliki pandangan menarik tentang pembangunan wacana keberagaman atau pluralisme di Indonesia melalui medium film. Menurutnya, ini adalah pilihan. "Orang harus punya pilihan dalam hidup, dan karena saya memulai dari bangsa yang beragam maka saya harus melakukan perjuangan untuk keberagaman itu," ucap sutaradara Mata Tertutup dan Soegijo ini.

Ia melihat apa yang terjadi dulu, seperti kekerasan dalam keberagaman, masih terjadi hingga sekarang. Tak heran jika Garin cukup bersemangat saat mengerjakan film Mata Tertutup, yang mengisahkan bagaimana anak-anak muda Islam yang terjebak dalam gerakan radikal.

Film Agama

Kendati demikian, tak hanya film bertema pluralisme maupun deradikalisasi yang marak di tengah masyarakat. Banyak juga bermunculan film yang hanya mengangkat suku agama tertentu. Menurut Erwin, hal tersebut sah-sah saja.

"Karena filmmaker itu punya pendekatan pribadi sendiri. Ada yang pendekatannya melalui dakwah, ada yang dengan bersifat satir. Jadi memang itu sebuah pilihan. Tapi ya sah-sah aja pendekatan seperti itu," tuturnya.

Sementara itu, Garin justru merasa film-film seperti itu wajib dibuat agar orang mengalami berbagai jenis kepemimpinan. Ia berpendapat, saat ini diperlukan film-film dari tokoh agama tertentu, misalnya Islam, Hindu, Buddha, ataupun Kristen; sehingga dengan demikian orang akan memiliki panduan multikultur. Ia juga mengatakan masyarakat harus memiliki kedewasaan multikultur.

"Seperti ketika menuliskan buku tentang Soegija, menceritakan tentang gereja ya biarkan. Sang Pencerah menceritakan tentang agama Islam, tanpa ada agama lain, ya juga tidak ada masalah sama sekali. Selama kita tidak melakukan kekerasan terhadap agama lain," paparnya.

Baik Erwin maupun Garin meyakini penonton Indonesia cukup pandai untuk memilih dan memilah, mana yang baik dan mana yang buruk dari sebuah film. Selain itu, berdasarkan pengamatan Erwin, sejauh ini ia tidak menemukan film-film Indonesia yang memberikan dogma-dogma
tertentu yang perlu dikhawatirkan.

Penyelipan Fragmen

Dari dunia panggung pertunjukan, tema pluralisme juga mulai “disusupkan”. Harris Priadie Bah, sutradara kelompok Teater Kami, menjadi salah satu pelaku seni yang menyadari kelebihan itu. Setidaknya separuh dari jumlah keseluruhan produksi pementasan Teater Kami sejak 1989 dipastikan Harris kerap menyelipkan fragmen yang merepresentasikan pluralisme.

Dalam pementasan Teater Kami berjudul “Gegeroan” yang dipentaskan di Bentara Budaya Jakarta pada Rabu (29/8) dan Kamis (30/8), Harris pun mengaku sengaja menyelipkan unsur itu pada salah satu fragmennya. Walau pementasan yang menjadi bagian terakhir dari trilogi teks dramatik karya Harris tersebut secara garis besar sebetulnya menyoal disfungsi komunikasi.

Yang dimaksudkan Harris itu terselip pada adegan pernikahan. Dari panggung yang kosong, lantas muncullah dua pria dan dua perempuan yang berdiri berpasangan membelakangi penonton. Mereka hanya diam.

Perlahan-lahan terdengarlah rekaman suara-suara pasangan calon pengantin yang mengikrarkan janji setia. Ada suara mereka yang berikrar di depan penghulu dan juga pendeta. Ayat-ayat suci dari pelbagai bangsa dan agama pun terdengar dibacakan. Rekaman itu sengaja diperdengarkan berbarengan.

“Khusus fragmen itu sebenarnya saya ingin berbicara soal pluralisme, biarpun belum menjadi tema besar,” ujarnya.

Meskipun dunia kesenian seperti teater, dan juga film, punya peluang buat mengampanyekan pluralisme, Harris mengatakan tidak semua seniman yang mau memanfaatkannya dengan baik. Untuk teater, diamatinya banyak yang malah lebih nyaman berorientasi pada tema yang sangat artistik.

Daniel H Jacob, sutradara Teater Bejana, juga menjadi salah satu yang tak segan memakai pementasan berbau pluralisme. Berproduksi sejak 2004, Daniel mengatakan pihaknya kerap memilih sastra melayu Tionghoa, yang dianggap terpinggirkan. Naskah seperti Zonder Lentera, Boenga Roos dari Tjikembang, Nonton Cap Go Meh, dan Pentjoeri Hati mereka mainkan.

“Mengingatkan adanya sejarah budaya Tionghoa. Paling tidak masyarakat bisa mengetahuinya,” ungkapnya.

Meskipun belum menjadikan persoalan pluralisme sebagai tema besar dalam pementasan, Edian Munaedi, sutradara Teater Stasiun, mengakui sebetulnya isu keberagaman menjadi tema yang layak disinggung. “Karena kebenaran itu bisa dipertahankan, tetapi tidak untuk memaksakan kebenaran itu pada orang lain,” ujar Edian.(Nofanolo Zagoto)
------------------
pluralisme uda dari dulu ada dan indonesia hidup dari pluralisme itu sendiri
0
4.2K
24
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Tampilkan semua post
ndorobeyiAvatar border
ndorobeyi
#20
Quote:


Set dah... ente titisan mbah mpu gandring yaa? atau lagi kesurupan eyang gajah modo,... lagunya kayak yang tau bener kehidupan jaman dulu emoticon-Cape d... (S)... bangun oi...

Mau gimanapun, agama yang menghasung untuk berserah diri kepada Pemelihara ALam semesta akan selalu benar... Jika ada nista, berarti manusianya lah yang salah.... sekali lagi, manusianya....


0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.