- Beranda
- Cerita Pejalan Domestik
Holiday to Yogyakarta Dieng Plateau [BikePacker]
...
TS
satriacustom
Holiday to Yogyakarta Dieng Plateau [BikePacker]
![Holiday to Yogyakarta Dieng Plateau [BikePacker]](https://dl.kaskus.id/imageshack.us/a/img6/6149/b3om.jpg)
Quote:
Diubah oleh satriacustom 25-10-2013 12:04
0
9.4K
72
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Cerita Pejalan Domestik 
2.1KThread•3.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
satriacustom
#3
Day 2 - 24 Agustus 2012
Bunyi alarm sudah terdengar, waktu sudah menunjukan pukul 04.00 WIB dini hari, saatnya bangun dan bersiap treking menuju Puncak Sikunir.
Kami mulai berjalan kaki melalui jalan setapak, suasana yang sepi dan gelap gulita kami terobos dengan menggunakan senter yang kami bawa masing-masing. Melewati jalanan dengan tekstur tanah yang sangat menanjak dan di sampingnya terdapat hutan serta jurang yang cukup dalam. Udara semakin terasa sangat dingin, konon katanya dari bule-bule yang pernah mendaki di sini dinginnya melebihi di Winter, Orange Country, California. Jaket dan sarung tangan yang saya pakai terasa belum cukup untuk melindungi tubuh dari dinginnya angin yang semriwing ini. Di tengah perjalanan saya melihat beberapa tenda yang sudah berdiri di balik gunung. Akhirnya kami sampai di puncak tertinggi dan sudah terlihat beberapa rombongan yang sudah mendahului kami. Pendakian selama ± 30 menit dan sukses membuat nafas kami ngos-ngosan. Puncak ini berkoordinat di S7.23883 dan E109.93000. Segera kami mencari spot yang bagus dan memasang tripod kamera untuk membidik Golden Sunrise, selanjutnya biar gambar yang bercerita.
Sedikit demi sedikit tampak semburat merah dari arah timur. Pemandangan siluet pun mulai nampak di hadapan kami, megahnya Gunung Sindoro mulai jelas didampingi Gunung Sumbing di belakangnya. Beberapa kumpulan awan berubah warnanya menjadi memerah terkena cahaya matahari yang mulai menyembul keluar. Jajaran lampu-lampu di beberapa desa di bawah tampak menghiasi kaki Gunung Sindoro. Tidak ada kabut sama sekali sehingga moment Golden Sunrise berhasil kami dapatkan. Subhanallah saya rasa tidak cukup di ungkapkan dengan kata-kata, sungguh fenomena matahari terbit yang sangat indah, awesome!
Versi siluetnya, saya mencoba mode speed tinggi dengan ISO rendah.
Gunung Sikunir memang salah satu tempat yang tepat untuk menanti bangunnya Sang Surya dari peraduannya. Gunung yang terletak di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo ini memiliki ketinggian 2.350 mdpl. Setelah puas menikmati moment sunrise kami kembali berjalan ke arah barat menuju lereng sebelah untuk melihat Telaga Cebong dari atas.
Saatnya kembali ke bawah, kini jalan yang kami tempuh berganti menjadi turunan yang curam. Harus extra hati-hati karena jika tidak kita akan terjun bebas ke bawah, sangat berbahaya.
Akhirnya kami sampai di tepian Telaga Cebong yang berkoordinat di S7.23627 dan E109.91998. Segera kami mengambil beberapa gambar, terlihat pula beberapa aktivitas para petani kentang, sayur mayur, dan warga sekitar yang membawa pompa serta selang air untuk mengairi ladangnya. Konon di sini masih banyak cebongnya (anak katak), memang sesuai dengan nama telaganya.
Waktu sudah menunjukan pukul 08.00 WIB saatnya kami prepare kembali melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna. Sampai kami keluar dari kawasan Telaga Cebong, ternyata terdapat beberapa loket retribusi di jalan. Lumayan berangkat malam jadi dapat gratisan, hehe..
Di sepanjang perjalanan banyak kami temui bentuk kawah yang jelas terlihat dari dataran karena dataran tinggi Dieng memang sejarahnya terbentuk oleh kawah gunung berapi yang sudah mati. Sebelum menjadi dataran, wilayah ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas-bekasnya berupa telaga.
Dari simpang tiga Dieng Theater ± 400 m kami sudah sampai di pelataran parkir roda dua di Telaga Warna. Setelah mencari posisi kami membayar tarif parkir dan menitipkan helm di penitipan yang sudah tersedia agar keamanan lebih terjamin. Sebenarnya ingin sekali nantinya foto bersama Si Kebo di pinggiran Telaga Warna seperti yang sudah pernah dilakukan Om Reza dari Forum Nusantaride. Tapi apa daya kini penjagaan di tiap sudut akses masuk ke Telaga sudah ketat, motor pun tidak bisa masuk kecuali para petani yang akan pergi ke ladangnya.
Telaga yang beralamatkan di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo ini mempunyai ketinggian lebih dari 2.100 mdpl. Letaknya yang tersembunyi di antara barisan perbukitan ini sangat menarik akan keelokan dan kemisteriusannya, konon banyak mitos yang menceritakan asal muasalnya telaga ini muncul. Salah satunya perhiasan yang di buang dari sebuah kerajaan yang menyebabkan warna telaga ini menjadi berwarna-warni. Setelah kami memasuki gerbang loket terdapat jalan setapak yang sudah di lengkapi paving block dengan hutan rimbun di tiap sisinya. Selain Telaga Warna, di kawasan ini juga terdapat Telaga Pengilon, Goa Jaran, Goa Gajah, dan Batu Semar. Kini terlihat hamparan air kehijauan di depan mata. Airnya yang begitu tenang, kicauan burung, dan rimbunnya hutan lindung sangat memberikan nuansa damai yang menyejukkan hati.
O iya, di sini saya melihat salah satu fenomena anak yang berambut gimbal, yang konon adalah raja tanpa mahkota dari Dieng. Anak gimbal tersebut memang terlahir normal, hanya pada suatu fase tiba-tiba rambut mereka berubah gimbal dengan sendirinya. Penduduk asli Dieng percaya bahwa mereka ini adalah keturunan dari pepunden leluhur pendiri Dieng dan terdapat makhluk gaib yang ‘menghuni dan menjaga’ rambut gimbal tersebut. Keunikannya terdapat pada keinginan (anak tersebut) yang harus terpenuhi, apapun permintaannya, seaneh dan sesulit apapun karena jika tidak si anak akan menderita sakit. Namun kebanyakan orang Dieng menganggap bahwa anak gimbal adalah berkah yang akan membawa keberuntungan bagi mereka. Sayang pada saat itu lupa mau memotret anak gimbal tersebut.
Kami terus berjalan kaki mengitari tepian telaga, rencananya kami akan mencari spot dimana Telaga Warna dan Pengilon serta latar Gunung Prau dapat menjadi satu di lensa kami. Tetapi niat tersebut sepertinya memang belum kesampaian, kami sudah berputar kasana kemari tapi tak kunjung tiba di tempat yang kami maksud. Hanya capek dan lelah yang kami dapatkan, maklum dari bangun pagi tadi belum sarapan apalagi cuci muka.
Setelah kami turun dari sebuah bukit kecil tiba-tiba munculah hamparan padang rumput yang luas. Wah di mana lagi ini, kami sempat ragu akan jalur yang kami lalui karena memang tidak ada papan penunjuk jalan. Setelah kami mencoba terus berjalan terlihat sebuah telaga yang berbeda, inilah Telaga Pengilon.
Saatnya kami kembali melanjutkan perjalanan karena hari sudah semakin siang. Setelah keluar dari kawasan Telaga Warna kami langsung menuju ke warung terdekat di area parkir kendaraan. Tentu saja mie ongklok yang kami tuju, ikon kuliner di Dieng, Wonosobo.
Warung kecil yang terdapat di salah satu area latar parkir di Telaga Warna ini tempatnya tidak terlalu luas dan nampak biasa saja, namun rasanya tidak kalah dengan warung-warung mie yang ada di bawah (Wonosobo). Perpaduan antara mie, sayuran, dan kuah kental bersama kubis dan kucai mentahnya lalu dimasukkan ke dalam semacam saringan dari bambu lalu di “ongklok-ongklok” atau dicelupkan berkali-kali ke dalam air mendidih. Setelah kenyang, kami berdikusi bagaimana rencana selanjutnya karena waktu sudah menunjukan pukul 10.30 WIB, akhirnya kami segera menuju ke Masjid Dieng untuk bersiap-siap beribadah sholat jum’at berjamaah dengan warga sekitar.
Spoiler for Treking ke Puncak Sikunir.:
Kami mulai berjalan kaki melalui jalan setapak, suasana yang sepi dan gelap gulita kami terobos dengan menggunakan senter yang kami bawa masing-masing. Melewati jalanan dengan tekstur tanah yang sangat menanjak dan di sampingnya terdapat hutan serta jurang yang cukup dalam. Udara semakin terasa sangat dingin, konon katanya dari bule-bule yang pernah mendaki di sini dinginnya melebihi di Winter, Orange Country, California. Jaket dan sarung tangan yang saya pakai terasa belum cukup untuk melindungi tubuh dari dinginnya angin yang semriwing ini. Di tengah perjalanan saya melihat beberapa tenda yang sudah berdiri di balik gunung. Akhirnya kami sampai di puncak tertinggi dan sudah terlihat beberapa rombongan yang sudah mendahului kami. Pendakian selama ± 30 menit dan sukses membuat nafas kami ngos-ngosan. Puncak ini berkoordinat di S7.23883 dan E109.93000. Segera kami mencari spot yang bagus dan memasang tripod kamera untuk membidik Golden Sunrise, selanjutnya biar gambar yang bercerita.
Spoiler for spoiler:
Spoiler for spoiler:
Spoiler for spoiler:
Sedikit demi sedikit tampak semburat merah dari arah timur. Pemandangan siluet pun mulai nampak di hadapan kami, megahnya Gunung Sindoro mulai jelas didampingi Gunung Sumbing di belakangnya. Beberapa kumpulan awan berubah warnanya menjadi memerah terkena cahaya matahari yang mulai menyembul keluar. Jajaran lampu-lampu di beberapa desa di bawah tampak menghiasi kaki Gunung Sindoro. Tidak ada kabut sama sekali sehingga moment Golden Sunrise berhasil kami dapatkan. Subhanallah saya rasa tidak cukup di ungkapkan dengan kata-kata, sungguh fenomena matahari terbit yang sangat indah, awesome!
Spoiler for spoiler:
Versi siluetnya, saya mencoba mode speed tinggi dengan ISO rendah.
Spoiler for spoiler:
Spoiler for Menggapai matahari.:
Spoiler for spoiler:
Spoiler for For BMC Batam di Puncak Sikunir, Dieng Plateau.:
Gunung Sikunir memang salah satu tempat yang tepat untuk menanti bangunnya Sang Surya dari peraduannya. Gunung yang terletak di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo ini memiliki ketinggian 2.350 mdpl. Setelah puas menikmati moment sunrise kami kembali berjalan ke arah barat menuju lereng sebelah untuk melihat Telaga Cebong dari atas.
Spoiler for spoiler:
Spoiler for spoiler:
Spoiler for spoiler:
Spoiler for Telaga Cebong dari atas.:
Spoiler for spoiler:
Saatnya kembali ke bawah, kini jalan yang kami tempuh berganti menjadi turunan yang curam. Harus extra hati-hati karena jika tidak kita akan terjun bebas ke bawah, sangat berbahaya.
Spoiler for Terlihat puncak dari Gunung Sindoro.:
Spoiler for Terdapat sebuah goa yang misterius, entah apa namanya kami tidak tahu..:
Spoiler for Lembah hijau.:
Spoiler for spoiler:
Akhirnya kami sampai di tepian Telaga Cebong yang berkoordinat di S7.23627 dan E109.91998. Segera kami mengambil beberapa gambar, terlihat pula beberapa aktivitas para petani kentang, sayur mayur, dan warga sekitar yang membawa pompa serta selang air untuk mengairi ladangnya. Konon di sini masih banyak cebongnya (anak katak), memang sesuai dengan nama telaganya.
Spoiler for spoiler:
Spoiler for Spyshoot, hehe..:
Spoiler for Kesibukan warga setempat di pagi hari.:
Spoiler for Di sinilah tempat kami camping semalam.:
Spoiler for For BOSS Kaskus di Telaga Cebong, Dieng Plateau.:
Spoiler for Si Kebo bersama teman maticnya.:
Spoiler for Api unggun bersama warga setempat.:
Spoiler for spoiler:
Waktu sudah menunjukan pukul 08.00 WIB saatnya kami prepare kembali melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna. Sampai kami keluar dari kawasan Telaga Cebong, ternyata terdapat beberapa loket retribusi di jalan. Lumayan berangkat malam jadi dapat gratisan, hehe..
Spoiler for spoiler:
Di sepanjang perjalanan banyak kami temui bentuk kawah yang jelas terlihat dari dataran karena dataran tinggi Dieng memang sejarahnya terbentuk oleh kawah gunung berapi yang sudah mati. Sebelum menjadi dataran, wilayah ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas-bekasnya berupa telaga.
Spoiler for spoiler:
Spoiler for PLTU di Dieng.:
Spoiler for Dieng Plateau Theater.:
Dari simpang tiga Dieng Theater ± 400 m kami sudah sampai di pelataran parkir roda dua di Telaga Warna. Setelah mencari posisi kami membayar tarif parkir dan menitipkan helm di penitipan yang sudah tersedia agar keamanan lebih terjamin. Sebenarnya ingin sekali nantinya foto bersama Si Kebo di pinggiran Telaga Warna seperti yang sudah pernah dilakukan Om Reza dari Forum Nusantaride. Tapi apa daya kini penjagaan di tiap sudut akses masuk ke Telaga sudah ketat, motor pun tidak bisa masuk kecuali para petani yang akan pergi ke ladangnya.
Spoiler for Selamat Datang di Telaga Warna.:
Spoiler for Peta wisata di Dieng Plateau.:
Telaga yang beralamatkan di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo ini mempunyai ketinggian lebih dari 2.100 mdpl. Letaknya yang tersembunyi di antara barisan perbukitan ini sangat menarik akan keelokan dan kemisteriusannya, konon banyak mitos yang menceritakan asal muasalnya telaga ini muncul. Salah satunya perhiasan yang di buang dari sebuah kerajaan yang menyebabkan warna telaga ini menjadi berwarna-warni. Setelah kami memasuki gerbang loket terdapat jalan setapak yang sudah di lengkapi paving block dengan hutan rimbun di tiap sisinya. Selain Telaga Warna, di kawasan ini juga terdapat Telaga Pengilon, Goa Jaran, Goa Gajah, dan Batu Semar. Kini terlihat hamparan air kehijauan di depan mata. Airnya yang begitu tenang, kicauan burung, dan rimbunnya hutan lindung sangat memberikan nuansa damai yang menyejukkan hati.
Spoiler for spoiler:
Spoiler for spoiler:
Spoiler for spoiler:
O iya, di sini saya melihat salah satu fenomena anak yang berambut gimbal, yang konon adalah raja tanpa mahkota dari Dieng. Anak gimbal tersebut memang terlahir normal, hanya pada suatu fase tiba-tiba rambut mereka berubah gimbal dengan sendirinya. Penduduk asli Dieng percaya bahwa mereka ini adalah keturunan dari pepunden leluhur pendiri Dieng dan terdapat makhluk gaib yang ‘menghuni dan menjaga’ rambut gimbal tersebut. Keunikannya terdapat pada keinginan (anak tersebut) yang harus terpenuhi, apapun permintaannya, seaneh dan sesulit apapun karena jika tidak si anak akan menderita sakit. Namun kebanyakan orang Dieng menganggap bahwa anak gimbal adalah berkah yang akan membawa keberuntungan bagi mereka. Sayang pada saat itu lupa mau memotret anak gimbal tersebut.
Spoiler for spoiler:
Spoiler for spoiler:
Kami terus berjalan kaki mengitari tepian telaga, rencananya kami akan mencari spot dimana Telaga Warna dan Pengilon serta latar Gunung Prau dapat menjadi satu di lensa kami. Tetapi niat tersebut sepertinya memang belum kesampaian, kami sudah berputar kasana kemari tapi tak kunjung tiba di tempat yang kami maksud. Hanya capek dan lelah yang kami dapatkan, maklum dari bangun pagi tadi belum sarapan apalagi cuci muka.
Spoiler for Terus berjalan tanpa arah.:
Spoiler for Istirahat dulu, hosh.. hosh..:
Spoiler for Hanya gambar dari Telaga Warna ini yang bisa kami ambil di atas bukit kecil.:
Spoiler for Terdapat sebuah makam:
Setelah kami turun dari sebuah bukit kecil tiba-tiba munculah hamparan padang rumput yang luas. Wah di mana lagi ini, kami sempat ragu akan jalur yang kami lalui karena memang tidak ada papan penunjuk jalan. Setelah kami mencoba terus berjalan terlihat sebuah telaga yang berbeda, inilah Telaga Pengilon.
Spoiler for spoiler:
Spoiler for spoiler:
Saatnya kami kembali melanjutkan perjalanan karena hari sudah semakin siang. Setelah keluar dari kawasan Telaga Warna kami langsung menuju ke warung terdekat di area parkir kendaraan. Tentu saja mie ongklok yang kami tuju, ikon kuliner di Dieng, Wonosobo.
Spoiler for Warung Makan Mie Ongklok.:
Spoiler for Mie Ongklok siap santap.:
Warung kecil yang terdapat di salah satu area latar parkir di Telaga Warna ini tempatnya tidak terlalu luas dan nampak biasa saja, namun rasanya tidak kalah dengan warung-warung mie yang ada di bawah (Wonosobo). Perpaduan antara mie, sayuran, dan kuah kental bersama kubis dan kucai mentahnya lalu dimasukkan ke dalam semacam saringan dari bambu lalu di “ongklok-ongklok” atau dicelupkan berkali-kali ke dalam air mendidih. Setelah kenyang, kami berdikusi bagaimana rencana selanjutnya karena waktu sudah menunjukan pukul 10.30 WIB, akhirnya kami segera menuju ke Masjid Dieng untuk bersiap-siap beribadah sholat jum’at berjamaah dengan warga sekitar.
Diubah oleh satriacustom 25-10-2013 11:58
0




































