BarroncepakAvatar border
TS
Barroncepak
PB NU: Presiden Tak Perlu Minta Maaf kepada Korban G30S PKI (WASPADA PKI)
PB NU: Presiden Tak Perlu Minta Maaf kepada Korban G30S PKI

Jurnas.com | SEJUMLAH organisasi yang dimotori oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menyatakan penolakanya atas munculnya wacana rencana permintaan maaf Presiden RI kepada para mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disebut sebagai korban Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965-1966.

”Menolak keras semua bentuk permintaan maaf dari Pemerintah/Presiden RI terhadap korban G30S / PKI 1965-1966. Tentang rekonsiliasi, biarkan berlangsung secara alamiah dan berbudaya,” ujar Wakil Ketua PB NU, As'ad Said Ali, bersama Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Anshor, Nusron wahid dan sejumlah tokoh lainnya saat membacakan pernyataan sikap di Kantor PB NU, Jakarta, Rabu (15/8).

Menurut As'ad, permintaan maaf itu seyogianya memang tak perlu dilakukan guna melindungi dan menghormati para keturunan PKI. ”Untuk apa minta maaf, karena ada akan aspek hukum bila seperti itu. Jadi lupakan saja karena justru dengan ini maka kami akan melindungi dan menghormati teman-teman turunan PKI,” katanya.

Namun disisi lain, munculnya wacana itu juga dinilai sebagai indikasi adanya upaya membangkitkan kembali PKI.

Karena itu, tak hanya mengkritisi wacana permintaan maaf Presiden, PB NU dan sejumlah organisasi lainnya, jelas As'ad, juga menegaskan sikap untuk menentang tuntutan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk peradilan HAM terkait pelanggaran HAM berat 1965-1966. ”Rekomendasi Komnas HAM agar ada pengadilan Ad Hoc itu urusan negara. Karena orang-orang kita saja (PB NU) dibunuh tapi tidak pernah menununtut,” tegas As'ad.

As'ad menilai, pembentukan peradilan HAM hanya akan menimbulkan masalah baru menyangkut tuntutan dan saksi, sehingga PB NU memilih untuk berjiwa besar dan melupakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan korban PKI, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah tahun 1965.

”Memang semua kejadian itu tidak bisa dihapus tapi hal itu juga tidak bisa menghalangi rekonsiliasi. Jadi yang lalu biar berlalu dan sekarang menatap kedepan,” katanya.

http://www.jurnas.com/news/69002/PB_...sional/Politik


NU Minta Warga Waspadai Kebangkitan PKI
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta warga mewaspadai kebangkitan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketua umum Gerakan Pemuda Ansor Nusron Wahid menengarai beberapa peristiwa akhir-akhir ini ada kaitannya dengan pergerakan PKI. Bahkan pergerakan itu, kata dia, berasal dari lingkungan istana.

Peristiwa pertama, kata Nusron, adalah munculnya wacana mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf kepada korban pembantaian 1965-1966. “Wacana ini muncul dari lingkungan dalam istana,” kata Nusron di kantor PBNU pada Rabu 15 Agustus 2012.

Peristiwa kedua adalah rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) agar pemerintah membentuk peradilan HAM guna mengungkap kasus pembantaian atas ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI pada 1965.

Ketiga, kata Nusron, adalah pergerakan-pergerakan dan aktivitas mantan anggota PKI di Jawa Barat, Jawa Tengah, juga Jawa Timur. “Sudah jelas di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bleh ada ideologi lain sebagai pandangan hidup dasar negara selain Pancasila,” katanya.

Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Said Ali justru mempertanyakan mengapa hanya kasus pembantaian PKI saja yang diungkap. Menurut As’ad tak adil jika kasus pembantaian 1965-1966 diungkap tapi peristiwa-peristiwa sebelumnya tidak. “Kita sama-sama tahu, pada masa itu ada banyak pembunuhan. Sebelumnya banyak anggota NU dibunuh tapi kami tidak mengungkit-ungkit,” ujarnya.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar tak setuju dengan sikap PBNU. Menurutnya, kasus antara pembunuhan anggota NU dengan pembantaian PKI adalah dua hal yang berbeda. “Pembunuhan orang NU adalah hukum pidana karena konflik horizontal, sedangkan pembantaian PKI adalah perintah negara, jadi ada konflik vertikal,” kata Haris.

http://www.tempo.co/read/news/2012/0...ebangkitan-PKI

dan juga yang perlu diwaspadai adalah tindakan provokasi dan memecah belah antar warga negara.

bukan.bomat
bukan.bomat memberi reputasi
1
10.8K
101
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.4KAnggota
Tampilkan semua post
Ma_79Avatar border
Ma_79
#14
Jangan pukul rata bahwa yang meninggal adalah pantas, coba baca berita ini dan renungkan, bahwa orde baru telah melakukan pelanggaran yg cukup berat..

Seminar Intern "Biografi Ibrahim Isa"
DITULIS OLEH ANGGIH TANGKAS WIBOWO

Pergolakan politik yang terjadi pada 1965 tak hanya berdampak pembunuhan dan penangkapan massal anggota dan simpatisan PKI di Indonesia. Mereka yang sedang bertugas di luar negeri dan tetap mendukung Sukarno sebagai presiden yang sah pun tak luput dari kesewenangan Orde Baru.

Paspor mereka dicabut semena-mena dan terpaksa hidup terkatung-katung di negeri orang tanpa kewarganegaraan. “Orang-orang klayaban ini,” demikian Gus Dur menjuluki kaum eksil, berpindah dari satu negara ke negara lain, mencoba bertahan hidup sambil berharap situasi politik di tanah air berubah. Mereka tak putus asa, berlawan dengan caranya masing-masing, kendati kenyataan pahit dengan harus menjadi warganegara asing harus mereka jalani ketimbang tak bisa pulang sama sekali.

Ibrahim Isa adalah satu dari sekian banyak eksil yang kini bermukim di negeri Belanda. Sebelum prahara terjadi, dia bertugas sebagai perwakilan Indonesia untuk Organisasi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika yang berkedudukan di Kairo, Mesir. Sepuluh tahun lebih melewati hidup sebagai eksil di Cina dan kemudian di Belanda sampai sekarang. Dia kini sedang berada di tanah airnya dan akan berbagi cerita tentang puluhan tahun menjadi political dissident.

Dari latar belakang tersebut, maka tanggal 21 Juni 2011 diadakan diskusi seminar intern dengan pembicara Ibrahim Isa, beliau adalah salah satu tokoh kaum eksil yang menjadi korban G30S 1965 dan ia juga bekerja sebagai sekretaris dari Wertheim Foundation yang berlokasi di Amsterdam, Belanda.

Seminar ini dihadiri oleh peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI dan beberapa peneliti bidang sosial lainnya. Ia mendiskusikan kisah para eksil yang dirampas haknya sebagai warga negara Indonesia oleh Rezim Orde Baru dan nasib mereka yang tidak bisa pulang ke tanah air.

Ia menceritakan tentang latar belakang bagaimana terjadinya orang-orang menjadi eksil. Eksil sendiri berarti orang Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya karena paspor mereka dicabut pemerintah Indonesia dan mereka tidak bisa kembali lagi ke Indonesia. Sejak itu hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak politik mereka dicabut dan sampai hari ini tidak dipulihkan. Mereka selanjutnya didiskriminasi dan distigmatisasi untuk seumur hidup.

Menurutnya mereka yang kehilangan kewarganegaraan tanpa “proses” karena dianggap terkait dengan pemberontakan G30S. Sekretaris Wertheim Foundation ini bercerita bahwa orang-orang eksil yang terdapat diluar negeri tetap respect dan merasa mengakui dan menginginkan kembali ke Indonesia. Ia pernah menjelaskan tentang masalah paspor cuma masalah administrasi semata, karena ia tidak pernah merasa malu dengan kewarganegaraan Indonesia yang pernah ia miliki.

Ibrahim pernah bertemu dengan Perdana Menteri China, dan pernah dipeluk Fiedel Castro dalam rangka solidaritas Asia, Afrika, Amerika Latin di Havana, Cuba. Saat itu ia menjelaskan pentingnya tentang solidaritas teman-teman dalam perjuangan para eksil. Beliau tidak suka bila ada warga negara Indonesia merasa malu sebagai bangsa Indonesia dan tidak bangga dengan NKRI karena ia sendiri saat tinggal diluar negeri sangat bangga dengan Indonesia dan ingin kembali ke Indonesia.

Ia menyerukan tentang kurangnya kesadaran berbangsa bagi bangsa Indonesia seperti memperingati “Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908”, hal ini dapat dilakukan bangsa kita dengan berbagai cara. Seyogianya dengan tujuan utama meningkatkan kesadaran berbangsa. Karena, untuk meneruskan perjuangan demi kebenaran dan keadilan, demi kemulyaan dan kejayaan bangsa dan negeri Indonesia, yang dalam tahun-tahun belakangan ini menghadapi tantangan yang semakin gawat, amat diperlukan pengetahuan dan pengenalan tentang sejarah dan identitas bangsa sendiri.

Hanya dengan landasan itu baru mungkin bisa ditegakkan keyakinan serta optimisme tak tergoyahkan, yang amat diperlukan dalam perjuangan yang panjang ini. Keinginan yang ia ingin sampaikan adalah agar pemerintah NKRI mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada kaum eksil yang pernah diambil kewarganegaraan mereka. Ia sering menulis berbagai cerita baik peristiwa, tokoh, isu politik di internet yang pernah ia alami semasa hidupnya dan banyak kolega eksil diberbagai negara Eropa yang selalu mengikuti dan membaca tulisan-tulisannya di internet. (Anggih Tangkas Wibowo)


[url]www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kegiatan/474-seminar-intern-qbiografi-ibrahim-isaq[/url]

Banyak kasus serupa, mereka aset bangsa yg dikirim ke luar negeri oleh Sukarno untuk belajar sehingga kelak bisa membangun negara dicabut kewarganegaraannya, dipisahkan dari keluarga tanpa dasar yg jelas..apa itu bukan suatu kesewenang2an oleh pemerintah..

Saya hanya ingin mengajak supaya yg lain jangan cuman mendegar PKI terus Semuanya jahanam..yang teriak PKI juga belum tentu tangannya bersih dari darah...kasus ini sengaja mau dipetieskan karena melibatkan banyak pihak.
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.