TS
joeraygaul
Buddha Theravada Indonesia
Namo Buddhaya
Namo Dhammaya
Namo Sanghaya
Kalena Dhammasavanam, kalena dhammasakkhacca, ettammangalamuttamam'ti
_/|\_
Salam bagi semua kaskuser warga forspi sekalian, semoga semua dalam kondisi baik dan berbahagia semua.
Melalui trid ini TS berniat untuk menjalin komunikasi dengan semua warga kaskus yang menganut Buddhisme aliran Theravada atau yang sedang belajar mendalami Buddhisme dan siapa saja yang berminat untuk mempelajari Buddhisme Theravada.
Buddhisme Theravada atau sering juga disebut Buddhisme aliran selatan adalah Buddhisme yang sebagian besar sumber ajarannya berasal dari Pali Tipitaka, yaitu Tipitaka berbahasa Pali. Berbagai doktrin dan ajaran mendasar yang menjiwai ajaran Buddhisme Theravada adalah berbagai kitab yang kanonik yang penukisannya menggunakan bahasa Pali, yaitu suatu bahasa rumpun IndoArya yang digunakan sebagai bahasa text/tulisan (bukan bahasa lisan/ucapan) yang berkembang di India Tengah dahulu pada masa Sang Buddha Gotama masih hidup dan berkarya.
Ajaran dasar Buddhisme Theravada tidak berbeda terlalu jauh dengan aliran Buddhisme lainnya (Mahayana, Tantrayana, Vajrayana), yaitu sama2 bercorakkan Tilakkhana (3 corak), Cattariariyasaccana (4 kebenaran ariya), dan praktek pengembangan Buddhisme Theravada pun sama-sama mengembang suatu metode pelatihan diri yang disebut Ariyaattanghikkamagga (jalan mulia beruas delapan) yang sering dibagi menjadi tiga aspek yaitu latihan kebijaksanaan (panna), moralitas (sila), dan pelatihan pikiran dan konsentrasi (sammaddhi). Dan khusus untuk Theravada, yang berarti jalan/tradisi para tua2, pelatihan praktik dan pengembangan lebih difokuskan kepada pencapaian dalam kehidupan saat ini juga, yaitu jalan savakaboddhi.
So demikian penghantar singkat dari TS, saya sangat memohon agar para rekan warga Forspi dan forum kaskus ini mau ikut berbagi, dan membagi pengetahuannya mengenai Buddhisme Theravada di trit ini. Dan juga para senior agar sudi mau membagi pengetahuan dan pengalamannya di trit ini.
Namo Buddhaya,
Sabbhe sattha bhavantu sukkhitattha,
semoga semua mahluk berbahagia
_/|\_




Sejarah
Bagan dan Skema dari Pali Tipitaka
Ulasan Singkat Pali Tipitaka dan Skema Pali Tipitaka
Pencarian Kebenaran :
Empat Kebenaran Mulia/Cattari ariyasaccana :
Tiga corak ( Tilakkhana)
Patthimokkha Sila, Vinaya dan aturan bagi para Bikkhu/Petapa
Panduan bagi perumah tangga/umat awam :
Bahan untuk perenungan
Daftar Alamat Vihara Sangha Theravada Indonesia
Indeks Sutta, Tuntunan Puja Bakti, Tulisan2 bagian dari Tipittaka lainnya, Meditasi dan lain sebagainya
Indeks
Diasuh oleh :
Minibalanar
Info kegiatan dan acara Buddhist :
Info kegiatan dan acara Buddhist
Approved by Moderator :
Approved
Namo Dhammaya
Namo Sanghaya
Kalena Dhammasavanam, kalena dhammasakkhacca, ettammangalamuttamam'ti
_/|\_
Salam bagi semua kaskuser warga forspi sekalian, semoga semua dalam kondisi baik dan berbahagia semua.
Melalui trid ini TS berniat untuk menjalin komunikasi dengan semua warga kaskus yang menganut Buddhisme aliran Theravada atau yang sedang belajar mendalami Buddhisme dan siapa saja yang berminat untuk mempelajari Buddhisme Theravada.
Buddhisme Theravada atau sering juga disebut Buddhisme aliran selatan adalah Buddhisme yang sebagian besar sumber ajarannya berasal dari Pali Tipitaka, yaitu Tipitaka berbahasa Pali. Berbagai doktrin dan ajaran mendasar yang menjiwai ajaran Buddhisme Theravada adalah berbagai kitab yang kanonik yang penukisannya menggunakan bahasa Pali, yaitu suatu bahasa rumpun IndoArya yang digunakan sebagai bahasa text/tulisan (bukan bahasa lisan/ucapan) yang berkembang di India Tengah dahulu pada masa Sang Buddha Gotama masih hidup dan berkarya.
Ajaran dasar Buddhisme Theravada tidak berbeda terlalu jauh dengan aliran Buddhisme lainnya (Mahayana, Tantrayana, Vajrayana), yaitu sama2 bercorakkan Tilakkhana (3 corak), Cattariariyasaccana (4 kebenaran ariya), dan praktek pengembangan Buddhisme Theravada pun sama-sama mengembang suatu metode pelatihan diri yang disebut Ariyaattanghikkamagga (jalan mulia beruas delapan) yang sering dibagi menjadi tiga aspek yaitu latihan kebijaksanaan (panna), moralitas (sila), dan pelatihan pikiran dan konsentrasi (sammaddhi). Dan khusus untuk Theravada, yang berarti jalan/tradisi para tua2, pelatihan praktik dan pengembangan lebih difokuskan kepada pencapaian dalam kehidupan saat ini juga, yaitu jalan savakaboddhi.
So demikian penghantar singkat dari TS, saya sangat memohon agar para rekan warga Forspi dan forum kaskus ini mau ikut berbagi, dan membagi pengetahuannya mengenai Buddhisme Theravada di trit ini. Dan juga para senior agar sudi mau membagi pengetahuan dan pengalamannya di trit ini.
Namo Buddhaya,
Sabbhe sattha bhavantu sukkhitattha,
semoga semua mahluk berbahagia
_/|\_
Bagi para rekan kaskuser sangat dimohon agar tidak ngejunk, flame, atau trolling. Harapan TS agar trit ini dapat menjadi wadah komunikasi dan berbagi pemahaman dan wawasan agar praktik dan latihan kita semua semakin berkembang dan maju.
Annumodanna _/|\_
Annumodanna _/|\_



Sejarah
- Sejarah Singkat Buddhisme Theravada
- Kronologi Singkat Part 1
- Kronologi Singkat Part 2 dan Sejarah Singkat Sangha Theravada Indonesia (STI)
Bagan dan Skema dari Pali Tipitaka
Ulasan Singkat Pali Tipitaka dan Skema Pali Tipitaka
Pencarian Kebenaran :
- Saduran bebas Kalama Sutta, sumbangan artikel dari bro Minibalanar
- Kalama Sutta
- Kalama Sutta
- Kalama Sutta
- Kalama Sutta
- Ehipassiko, posted by Minibalanar
Empat Kebenaran Mulia/Cattari ariyasaccana :
- Pengantar dari TS
- Dari sumber lain yang saya copas
- Tulisan salah seorang member kaskus di forum lain yang saya copas
Tiga corak ( Tilakkhana)
Patthimokkha Sila, Vinaya dan aturan bagi para Bikkhu/Petapa
- Parajika dan Sanghadisesa
- Aniyata dan Nissagiya Pacittiya
- Pacittiya 1
- Pacittiya 2(Acelaka Vagga, Surapana Vagga, Sapana Vagga, Sahadhammika Vagga
- Pacittiya 3(Ratana Vagga) dan Patidesaniya
- Sekhiya
- Adhikarana Samatha
Panduan bagi perumah tangga/umat awam :
- Sigalovada Sutta
- Sigalovada Sutta
- Sigalovada Sutta
- Sigalovada Sutta
- Sigalovada Sutta
- Sigalovada Sutta
- Sigalovada Sutta
- Pancasila Buddhist, by Minibalanar
- [URL="http://www.kaskus.co.id/showpost.php?[*]p=698709246&postcount=66"]Pancasila Buddhist, by Minibalanar[/URL]
- Sila dan Vinaya by Minibalanar
- Sila dan Vinaya by Minibalanar
- Sila dan Vinaya by Minibalanar
- Pharabava Sutta
Bahan untuk perenungan
- Bebas dari kesalahan, tulisan Banthe Saddhaviro Mahathera
- Apakah agama Buddha itu kuno? Tulisan Banthe Uttamo
- Cara berpikir seorang praktisi dan non praktisi, tulisan Bikkhu Buddhadasa
- Perenungan Brahmavihara1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7
Daftar Alamat Vihara Sangha Theravada Indonesia
- Pulau Sumatra dan Banten
- DKI Jakarta dan Jawa Barat
- Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta
- Jawa Timur dan Bali
- Nusa Tenggara dan Pulau Kalimantan
- Pulau Sulawesi
Indeks Sutta, Tuntunan Puja Bakti, Tulisan2 bagian dari Tipittaka lainnya, Meditasi dan lain sebagainya
Indeks
Diasuh oleh :
Minibalanar
Info kegiatan dan acara Buddhist :
Info kegiatan dan acara Buddhist
Approved by Moderator :
Approved
Diubah oleh joeraygaul 22-11-2012 14:10
emineminna dan nona212 memberi reputasi
2
110.1K
747
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Spiritual
6.4KThread•2.7KAnggota
Tampilkan semua post
Minibalanar
#112
BAB SATU
JIWA
Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena. Setelah saling mengucapkan salam persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Milinda mulai bertanya:
1. “Apa sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?”
“Baginda, saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan.”
Mendengar itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu untuk menjadi saksi: “Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?” Kemudian dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, “Yang Mulia Nagasena, jika hal tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan? Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang bajik atau perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan tidak ada hasil karma. Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda, maka tidak akan ada pembunuh. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru di dalam Sangha Anda. Anda katakan bahwa Anda disebut Nagasena. Nah, apa itu Nagasena? Apakah rambutnya?”
“Saya tidak mengatakan demikian, raja yang agung.”
“Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?”
“Tentu saja tidak.”
“Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya?1 Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah sesuatu di luar semua itu yang disebut Nagasena?”
Masih saja Nagasena menjawab: “Bukan semuanya itu.”
“Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang Mulia telah berdusta.”
“Baginda, tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?”
“Naik kereta, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta? Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di luar semua itu?”
“Bukan semuanya itu, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, baginda, kereta ini hanyalah omong kosong. Baginda berdusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di India. Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?” Kemudian Nagasena memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: “Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, ‘Apakah kereta itu?’ beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?”
Maka secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama kepada raja, “Jawablah bila baginda bisa!”
“Yang Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia disebut kereta.”
“Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik2 di dalam tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut Nagasena. Seperti yang telah dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang Agung, ‘Seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata ‘kereta’ digunakan, demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata ‘makhluk’ digunakan.’”3
“Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit. Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau pasti akan menyetujui jawaban Anda.”
2. “Berapa musim penghujan (masa vassa) yang telah Anda jalani, Nagasena?”
“Tujuh, baginda.”
“Tetapi bagaimana dapat Anda katakan tujuh; apakah Anda yang tujuh atau jumlahnya yang tujuh?”
Lalu Nagasena menjawab, “Bayang-bayang baginda sekarang ada di tanah. Apakah baginda rajanya atau bayang-bayang itu rajanya?”
“Akulah rajanya, Nagasena, tetapi bayang-bayang itu ada karena aku.”
“Demikian juga, O baginda, jumlah tahunnya tujuh, saya tidaklah tujuh. Tetapi karena sayalah angka tujuh itu ada dan merupakan milik saya, sama seperti bayang-bayang itu merupakan milik baginda.”
“Sungguh hebat, Nagasena, dan sangat luar biasa. Dengan baik teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit.”
3. Kemudian raja berkata, “Yang Mulia, maukah Anda berdiskusi denganku lagi?”
“Jika baginda ingin berdiskusi sebagai orang terpelajar, ya; tetapi jika baginda ingin berdiskusi sebagai raja, tidak.”
“Bagaimana orang terpelajar berdiskusi?”
“Bila orang terpelajar berdiskusi akan ada kesimpulan, dan ada penyelesaian kekusutan; yang salah ditunjukkan kesalahannya dan dia mengakui kesalahannya tanpa marah.”
“Dan bagaimana raja berdiskusi?”
“Bila raja mendiskusikan suatu masalah dan beliau mengemukakan suatu pandangan, jika ada yang berbeda pendapat dengan raja maka raja akan menghukum orang itu.”
“Baik, kalau begitu sebagai orang terpelajarlah aku akan berdiskusi. Silakan Yang Mulia berbicara tanpa takut.”
“Dengan senang hati, baginda.”
“Nagasena, aku akan bertanya”, kata raja.
“Bertanyalah, baginda.”
“Aku telah bertanya, Yang Mulia.”
“Kalau demikian saya telah menjawab.”
“Apa yang telah Anda jawab?”
“Apa yang telah baginda tanyakan?”
Raja berpikir, “Bhikkhu ini benar-benar seorang terpelajar yang hebat, dia cukup mampu mendiskusikan apa pun juga denganku.” Maka sang raja menyuruh Devamantiya, menterinya, untuk mengundang Nagasena ke istana bersama dengan banyak bhikkhu lain. Raja lalu pergi dengan bergumam: “Nagasena, Nagasena.”
4. Maka Devamantiya, Anantakaya dan Mankura pergi ke petapaan Nagasena untuk menjemput para bhikkhu ke istana. Di dalam perjalanan menuju ke istana, Anantakaya berkata kepada Nagasena, “Yang Mulia, bila saya mengatakan ‘Nagasena’, apakah sebenarnya Nagasena itu?”
“Anda pikir apa Nagasena itu?”
“Jiwa, nafas di dalam yang keluar dan masuk.”
“Jika nafas itu, setelah keluar, tidak lagi kembali masuk, apakah orang itu masih akan hidup?”
“Tentu saja tidak.”
“Tetapi setelah para peniup trompet, misalnya, meniup trompetnya, apakah nafas mereka kembali pada mereka?”
“Tidak Yang Mulia, tidak.”
“Kalau begitu kenapa mereka tidak mati?”
“Saya tidak mampu berbantahan dengan Anda. Tolong jelaskanlah bagaimana.”
“Tidak ada jiwa di dalam nafas. Proses menarik dan menghembuskan nafas ini hanyalah tenaga unsur pokok dari kerangka tubuh.” Kemudian Nagasena Thera4 berbicara tentang Abhidhamma dan Anantakaya merasa puas dengan penjelasan itu.
5. Setelah para bhikkhu tiba di istana dan selesai makan, sang raja duduk di tempat rendah dan bertanya, “Apa yang akan kita diskusikan?”
“Marilah kita mendiskusikan Dhamma.”
Dan raja berkata, “Apa tujuan Yang Mulia meninggalkan kehidupan duniawi, dan apa tujuan akhir yang ingin dicapai?”
“Kami meninggalkan kehidupan duniawi dengan tujuan melenyapkan penderitaan dan tidak ada penderitaan lain yang muncul. Lenyapnya nafsu secara total tanpa sisa adalah tujuan akhir kami.”
“Yang Mulia, apakah setiap orang masuk Sangha untuk tujuan yang sangat mulia tersebut?”
‘Tidak. Ada yang masuk untuk menghindar dari kekejaman raja, ada yang untuk menghindar dari perampok, ada yang untuk menghindar dari hutangnya, dan ada yang untuk mencari nafkah. Tetapi mereka yang masuk dengan tujuan yang benar melakukannya agar nafsu dapat sepenuhnya padam.”
6. Sang raja berkata, “Adakah orang yang tidak terlahir kembali setelah mati?”
“Ya, ada. Orang yang tidak lagi mempunyai kekotoran batin tidak akan terlahir kembali setelah mati; yang masih mempunyai kekotoran batin akan terlahir kembali.”
“Apakah Anda akan terlahir kembali?”
“Jika saya mati dengan nafsu keinginan di dalam pikiran, ya; tetapi jika tidak, tidak.”
7. “Apakah seseorang yang terbebas dari kelahiran kembali itu bisa terbebas karena kekuatan penalarannya?”
“Dia bisa terbebas karena penalaran dan juga karena kebijaksanaan, keyakinan, moralitas, kewaspadaan, semangat, dan konsentrasi.”
“Apakah penalaran sama dengan kebijaksanaan?”
“Tidak. Binatang memiliki penalaran tetapi tidak memiliki kebijaksanaan.”
8. “Bhikkhu Nagasena, apa ciri khas penalaran; dan apa ciri khas kebijaksanaan?”
“Memegang adalah ciri penalaran, memotong adalah ciri kebijaksanaan.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Bagaimana petani gandum memanen gandumnya?”
“Mereka memegang batang-batang gandum dengan tangan kirinya, dan dengan sabit di tangan kanannya mereka memotong gandum tersebut.”
“Demikian juga halnya, O baginda, para petapa memegang pikirannya dengan penalaran dan memotong kekotoran batin dengan kebijaksanaan.”
JIWA
Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena. Setelah saling mengucapkan salam persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Milinda mulai bertanya:
1. “Apa sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?”
“Baginda, saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan.”
Mendengar itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu untuk menjadi saksi: “Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?” Kemudian dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, “Yang Mulia Nagasena, jika hal tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan? Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang bajik atau perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan tidak ada hasil karma. Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda, maka tidak akan ada pembunuh. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru di dalam Sangha Anda. Anda katakan bahwa Anda disebut Nagasena. Nah, apa itu Nagasena? Apakah rambutnya?”
“Saya tidak mengatakan demikian, raja yang agung.”
“Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?”
“Tentu saja tidak.”
“Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya?1 Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah sesuatu di luar semua itu yang disebut Nagasena?”
Masih saja Nagasena menjawab: “Bukan semuanya itu.”
“Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang Mulia telah berdusta.”
“Baginda, tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?”
“Naik kereta, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta? Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di luar semua itu?”
“Bukan semuanya itu, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, baginda, kereta ini hanyalah omong kosong. Baginda berdusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di India. Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?” Kemudian Nagasena memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: “Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, ‘Apakah kereta itu?’ beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?”
Maka secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama kepada raja, “Jawablah bila baginda bisa!”
“Yang Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia disebut kereta.”
“Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik2 di dalam tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut Nagasena. Seperti yang telah dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang Agung, ‘Seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata ‘kereta’ digunakan, demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata ‘makhluk’ digunakan.’”3
“Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit. Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau pasti akan menyetujui jawaban Anda.”
2. “Berapa musim penghujan (masa vassa) yang telah Anda jalani, Nagasena?”
“Tujuh, baginda.”
“Tetapi bagaimana dapat Anda katakan tujuh; apakah Anda yang tujuh atau jumlahnya yang tujuh?”
Lalu Nagasena menjawab, “Bayang-bayang baginda sekarang ada di tanah. Apakah baginda rajanya atau bayang-bayang itu rajanya?”
“Akulah rajanya, Nagasena, tetapi bayang-bayang itu ada karena aku.”
“Demikian juga, O baginda, jumlah tahunnya tujuh, saya tidaklah tujuh. Tetapi karena sayalah angka tujuh itu ada dan merupakan milik saya, sama seperti bayang-bayang itu merupakan milik baginda.”
“Sungguh hebat, Nagasena, dan sangat luar biasa. Dengan baik teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit.”
3. Kemudian raja berkata, “Yang Mulia, maukah Anda berdiskusi denganku lagi?”
“Jika baginda ingin berdiskusi sebagai orang terpelajar, ya; tetapi jika baginda ingin berdiskusi sebagai raja, tidak.”
“Bagaimana orang terpelajar berdiskusi?”
“Bila orang terpelajar berdiskusi akan ada kesimpulan, dan ada penyelesaian kekusutan; yang salah ditunjukkan kesalahannya dan dia mengakui kesalahannya tanpa marah.”
“Dan bagaimana raja berdiskusi?”
“Bila raja mendiskusikan suatu masalah dan beliau mengemukakan suatu pandangan, jika ada yang berbeda pendapat dengan raja maka raja akan menghukum orang itu.”
“Baik, kalau begitu sebagai orang terpelajarlah aku akan berdiskusi. Silakan Yang Mulia berbicara tanpa takut.”
“Dengan senang hati, baginda.”
“Nagasena, aku akan bertanya”, kata raja.
“Bertanyalah, baginda.”
“Aku telah bertanya, Yang Mulia.”
“Kalau demikian saya telah menjawab.”
“Apa yang telah Anda jawab?”
“Apa yang telah baginda tanyakan?”
Raja berpikir, “Bhikkhu ini benar-benar seorang terpelajar yang hebat, dia cukup mampu mendiskusikan apa pun juga denganku.” Maka sang raja menyuruh Devamantiya, menterinya, untuk mengundang Nagasena ke istana bersama dengan banyak bhikkhu lain. Raja lalu pergi dengan bergumam: “Nagasena, Nagasena.”
4. Maka Devamantiya, Anantakaya dan Mankura pergi ke petapaan Nagasena untuk menjemput para bhikkhu ke istana. Di dalam perjalanan menuju ke istana, Anantakaya berkata kepada Nagasena, “Yang Mulia, bila saya mengatakan ‘Nagasena’, apakah sebenarnya Nagasena itu?”
“Anda pikir apa Nagasena itu?”
“Jiwa, nafas di dalam yang keluar dan masuk.”
“Jika nafas itu, setelah keluar, tidak lagi kembali masuk, apakah orang itu masih akan hidup?”
“Tentu saja tidak.”
“Tetapi setelah para peniup trompet, misalnya, meniup trompetnya, apakah nafas mereka kembali pada mereka?”
“Tidak Yang Mulia, tidak.”
“Kalau begitu kenapa mereka tidak mati?”
“Saya tidak mampu berbantahan dengan Anda. Tolong jelaskanlah bagaimana.”
“Tidak ada jiwa di dalam nafas. Proses menarik dan menghembuskan nafas ini hanyalah tenaga unsur pokok dari kerangka tubuh.” Kemudian Nagasena Thera4 berbicara tentang Abhidhamma dan Anantakaya merasa puas dengan penjelasan itu.
5. Setelah para bhikkhu tiba di istana dan selesai makan, sang raja duduk di tempat rendah dan bertanya, “Apa yang akan kita diskusikan?”
“Marilah kita mendiskusikan Dhamma.”
Dan raja berkata, “Apa tujuan Yang Mulia meninggalkan kehidupan duniawi, dan apa tujuan akhir yang ingin dicapai?”
“Kami meninggalkan kehidupan duniawi dengan tujuan melenyapkan penderitaan dan tidak ada penderitaan lain yang muncul. Lenyapnya nafsu secara total tanpa sisa adalah tujuan akhir kami.”
“Yang Mulia, apakah setiap orang masuk Sangha untuk tujuan yang sangat mulia tersebut?”
‘Tidak. Ada yang masuk untuk menghindar dari kekejaman raja, ada yang untuk menghindar dari perampok, ada yang untuk menghindar dari hutangnya, dan ada yang untuk mencari nafkah. Tetapi mereka yang masuk dengan tujuan yang benar melakukannya agar nafsu dapat sepenuhnya padam.”
6. Sang raja berkata, “Adakah orang yang tidak terlahir kembali setelah mati?”
“Ya, ada. Orang yang tidak lagi mempunyai kekotoran batin tidak akan terlahir kembali setelah mati; yang masih mempunyai kekotoran batin akan terlahir kembali.”
“Apakah Anda akan terlahir kembali?”
“Jika saya mati dengan nafsu keinginan di dalam pikiran, ya; tetapi jika tidak, tidak.”
7. “Apakah seseorang yang terbebas dari kelahiran kembali itu bisa terbebas karena kekuatan penalarannya?”
“Dia bisa terbebas karena penalaran dan juga karena kebijaksanaan, keyakinan, moralitas, kewaspadaan, semangat, dan konsentrasi.”
“Apakah penalaran sama dengan kebijaksanaan?”
“Tidak. Binatang memiliki penalaran tetapi tidak memiliki kebijaksanaan.”
8. “Bhikkhu Nagasena, apa ciri khas penalaran; dan apa ciri khas kebijaksanaan?”
“Memegang adalah ciri penalaran, memotong adalah ciri kebijaksanaan.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Bagaimana petani gandum memanen gandumnya?”
“Mereka memegang batang-batang gandum dengan tangan kirinya, dan dengan sabit di tangan kanannya mereka memotong gandum tersebut.”
“Demikian juga halnya, O baginda, para petapa memegang pikirannya dengan penalaran dan memotong kekotoran batin dengan kebijaksanaan.”
0