TS
striferser
Kumpulan cerpen Striferser (Experiment)
Foreword
Thread ini berisi kumpulan cerpen yang aku buat.
Alasan aku membuat thread ini adalah berbagi pengalamanku dalam menulis cerita, dan tentu saja, mendapat saran dan kritik dari pembaca, karena saran dan kritik adalah cambuk dan dorongan terbaik agar penulis berusaha lebih baik dari sebelumnya. Aku menerima segala macam saran dan kritik, baik yang pedas maupun yang manis, jadi, silahkan tulis apa yang kalian pikirkan dengan jujur
Akhir kata, selamat membaca, semoga kalian menikmatinya :3
Index
Other thread
Thread ini berisi kumpulan cerpen yang aku buat.
Alasan aku membuat thread ini adalah berbagi pengalamanku dalam menulis cerita, dan tentu saja, mendapat saran dan kritik dari pembaca, karena saran dan kritik adalah cambuk dan dorongan terbaik agar penulis berusaha lebih baik dari sebelumnya. Aku menerima segala macam saran dan kritik, baik yang pedas maupun yang manis, jadi, silahkan tulis apa yang kalian pikirkan dengan jujur

Akhir kata, selamat membaca, semoga kalian menikmatinya :3
Index
Quote:
Original Posted By Striferser
Antara kamu, Kamu, dan Kamu (2nd POV)
Sayap 12(end)
Raja adalah perempuan!?
Aku Mati di Akhir Cerita 1 2
Melepas Sayap Kupu-Kupu
Kencan
Perjalanan
Sesajen
Peluru 1 2
Samus 1 23 (Dilombakan untuk Fantasy Fiesta 2012)
Kamu
Di Dalam Kelas
Tinju Keadilan
Surat untuk Ibu
Ikat mati Part 12
Negara di Bawah Kaki Raja
Menulis Propaganda Penulis Diasingkan
Si Pria dan Gadis Bicara Soal Kacamata
Surat Dari Medan Perang part1
Part 2
Antara kamu, Kamu, dan Kamu (2nd POV)
Sayap 12(end)
Raja adalah perempuan!?
Aku Mati di Akhir Cerita 1 2
Melepas Sayap Kupu-Kupu
Kencan
Perjalanan
Sesajen
Peluru 1 2
Samus 1 23 (Dilombakan untuk Fantasy Fiesta 2012)
Kamu
Di Dalam Kelas
Tinju Keadilan
Surat untuk Ibu
Ikat mati Part 12
Negara di Bawah Kaki Raja
Menulis Propaganda Penulis Diasingkan
Si Pria dan Gadis Bicara Soal Kacamata
Surat Dari Medan Perang part1
Part 2
Other thread
Quote:
Original Posted By Striferser
Parallel/Story[Dilombakan di Fanstuff award 2010 untuk kategori orific]
Seks, Tuhan, Naga, dan AK-47
Ending Seks Tuhan Naga dan Ak-47
Seks, Tuhan, Naga, dan AK-47 root lounge ending
Ya, Mengapa Tidak? part 1 2 (February Ai compilation thread)
Surat Dari Medan Perang part1
Part 2
Parallel/Story[Dilombakan di Fanstuff award 2010 untuk kategori orific]
Seks, Tuhan, Naga, dan AK-47
Ending Seks Tuhan Naga dan Ak-47
Seks, Tuhan, Naga, dan AK-47 root lounge ending
Ya, Mengapa Tidak? part 1 2 (February Ai compilation thread)
Surat Dari Medan Perang part1
Part 2
Diubah oleh striferser 29-09-2013 21:47
0
10K
Kutip
169
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
striferser
#52
Peluru part 2 (Revisi)
Part 2
Aku bertatapan langsung dengan laras pistol M1911 berwarna hitam. Tubuhku tidak bisa bergerak, terkekang oleh rasa takut. Si pria botak menatapku dengan tatapan yang setajam silet. Tatapannya bagaikan ular yang siap memangsa.
Hei sialan, kau telah melakukan kesalahan paling besar dalam hidupmu, yaitu mengganggu waktu minumku, ucapnya dingin sambil berjalan mendekat, pistol tetap terbidik ke dahiku. Aku hanya bisa menelan ludah dengan tangan terangkat di hadapan alat yang bisa menembakkan timah besi yang bisa membunuh manusia.
Dia menarik pelatuknya tanpa ragu. Bunyi tembakan yang cumiakkan berdenging di telingaku. Kilat putih memenuhi
penglihatanku.
Kupikir aku akan segera mati, tapi ternyata tidak. Peluru 45 kaliber yang meluncur keluar terlihat begitu lambat hingga terlihat hampir berhenti. Aku bisa melihatnya berputar membelah udara, meluncur ke arah kepalaku. Asap membumbung dari mulut pistol, selongsong meluncur keluar dari chamber. Aku bahkan bisa melihat percikan api berwarna kemerahan yang timbul dari mulut pistol saat peluru keluar dari mulut.
Segalanya bergerak sangat sangat sangat lambat. Permainan macam apa ini!?
Mungkin ini kesempatan bagiku, kesempatan untuk meloloskan diri dari situasi ini. Aku mencoba untuk bergerak, tapi tidak bisa. Hanya proses berpikirku yang bergerak dengan kecepatan suara. Tubuhku masih berada dalam kecepatan normal manusia.
Aku pernah membaca suatu artikel di majalah kesehatan. Aku ingat artikel tersebut membahas kalau saat manusia berada dalam tingkat konsentrasi tertinggi, segalanya akan terlihat bergerak lambat. Bahkan pada kasus tertentu, jarum detik jam akan terlihat seperti berhenti. Tampaknya artikel tersebut menjelaskan situasiku saat ini dengan sempurna.
Sungguh kemampuan yang luar biasa, sayang sungguh sayang, kemampuan ini tidak akan menyelamatkanku, hanya membuatku merasa kematianku tertunda dalam waktu lama.
Mungkin ini kesempatan yang diberikan Tuhan untuk aku bertobat? Mungkin jika aku bertobat, aku akan diselamatkan dari situasi ini, atau dengan kata lain, diberi keajaiban? Baiklah, akan kupakai kesempatan ini untuk berdoa, hal yang
tidak pernah kulakukan sejak aku menginjak usia 13 tahun dan pertama kali mengenal masturbasi.
Aku berdoa kepada Jesus, tidak ada jawaban
Aku berdoa kepada Allah, tidak ada jawaban.
Aku berdoa kepada Buddha, tidak ada jawaban.
Aku berdoa kepada Shiva, tidak ada jawaban.
Aku berdoa kepada Yahweh, tidak ada jawaban.
Apa artinya ini? Aku berdoa, tapi tidak ada pertolongan, keselamatan, atau respon dari Tuhan. Kupakai waktu yang lama ini untuk membuat hipotesis mengapa aku tidak mendapat respon, tidak memperdulikan peluru yang masih bergerak lambat ke arah kepalaku.
Hipotesis satu: Tuhan tidak pernah ada
Hipotesis dua: Tuhan sudah mati.
Hipotesis tiga: Tuhan menganggap bahwa aku tidak patut diselamatkan, dosaku terlalu banyak sehingga doaku tidak direspon.
Hipotesis empat: Tuhan sedang cuti.
Hmm, aku tidak tahu hipotesis mana yang benar, dan memikirkannya pun percuma, jadi aku melupakannya, dan memutuskan untuk mengalihkan perhatian ke arah peluru 45 kaliber di hadapanku.
Selagi menunggu peluru menembus kepalaku, aku teringat dengan cerita lelaki tua dan laut. Tokoh utama cerita itu bernama Santiago, seorang nelayan tua yang melaut dalam kondisi ketidaktahuan dan ketidakpastian. Selama 84 hari dia melaut, dia sama sekali tidak mendapatkan hasil tangkapan. Pada hari ke 85, dia memancing ikan marlin besar, dan berjuang selama tiga hari penuh hingga dia berhasil menangkap ikan terbesar yang pernah didapatkannya selama dia melaut. Mengapa aku memikirkan cerita ini di saat aku sedang berada di depan kematian berwujud timah panas? Mungkin aku membayangkan situasiku sedikit mirip dengan Santiago. Santiago berlayar dalam ketidaktahuan, tidak tahu kapan dia menangkap ikan, sementara aku berada dalam ketidaktahuan, tidak tahu kapan peluru 45 kaliber yang meluncur dengan sangat lambat akan membunuhku.
Aku melihat bayangan diriku terpantul di permukaan peluru yang berwarna kuning keemasan. Mataku membelalak, dengan mulut sedikit terbuka. Sosok yang terlihat konyol dan pantas untuk ditertawakan. Sosok diriku saat ini mengingatkanku dengan target pertamaku. Dia berwajah sama sepertiku saat aku menodongnya dengan pistol revolver S&W 38 kaliber. Waktu itu, setelah aku membunuhnya, aku hanya bisa tersenyum tipis melihat wajahnya yang terlihat konyol. Lidah yang terjulur, mata yang berputar hingga hanya terlihat bagian putihnya, darah yang membanjiri wajahnya. Sekarang, aku berada di posisi yang sama dengannya. Apa mungkin dia juga merasakan hal saat ini kurasakan? Menunggu peluru datang dalam kondisi gerak lambat, berada dalam rasa ketidaktahuan kapan kematian akan menjemput? Aku tidak akan tahu jawaban dari pertanyaan itu. Meskipun saat ini aku memiliki waktu banyak untuk berpikir, menemukan jawaban dari pertanyaanku adalah hal yang mustahil. Mencari tahu perasaan orang yang sudah mati sama seperti mencari hasil pembagian yang angka pembaginya adalah nol. Hanya satu jawaban yang bisa kuketahui, yaitu bahwa aku akan mati seperti korban pertamaku.
Saat ini, peluru 45 kaliber ini masih membelah udara dengan lamban, seolah-olah waktu miliknya seorang. Bosan dengan peluru, aku mencoba memusatkan pandanganku ke pria botak yang menembakkan peluru. Dengan susah payah, aku berhasil memusatkan pandangan, hingga wajah pria botak yang tadinya buram perlahan menjadi semakin jelas. Wajah si target terlihat masam, tidak ada kesenangan, kesedihan, atau emosi apapun dalam wajahnya. Aku jadi berpikir, apa mungkin aku mengenakan wajah yang sama dengannya saat aku membunuh seseorang? Sekali lagi, aku memikirkan hal yang tidak berguna. Saat pandanganku kembali ke peluru, peluru tersebut semakin dekat dengan diriku.
Kalau dipikir, hidupku ini memang menyedihkan. Tidak memiliki siapapun, hidup dalam kesendirian tanpa sepenuhnya mempercayai siapapun, termasuk rekanku. Satu-satunya alasan aku bisa percaya pada rekanku adalah dia sangat takut padaku. Dia tahu bahwa aku akan membunuhnya jika dia berani mengkhianatiku. Aku tidak memiliki kekasih ataupun orang yang kucintai. Aku tidak pernah merasakan cinta seperti yang dirasakan Frederic Henry kepada Catherine Barkley dalam hidupku. Sekarang, aku menjadi semakin depresi.
Sekian waktu berlalu, aku berada dalam rasa bosan yang tidak tertahankan. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kupikirkan. Entah berapa tahun bahkan abad (dalam pikiranku) aku menatap peluru ini bergerak dengan kecepatan yang bahkan lebih lambat dari seekor siput ke arah kepalaku. Ingin rasanya peluru ini cepat tiba di kepalaku dan membuat lubang besar di kepalaku agar aku bisa terhindar dari kebosanan yang merusak kewarasanku. Tidak bisakah cerita ini diakhiri dengan cepat dan pendek, kalau bisa, lebih pendek dari cerita dijual: sepatu bayi, tidak pernah dipakai. Aku ingin mati!
Percikan api berwarna merah perlahan meresap ke mataku, menyakiti mataku. Aku merasa air mataku basah. Sungguh perasaan yang tidak mengenakkan. Bau mesiu yang memabukkan menyerang penciumanku. Serbuk mesiu menyergap bibirku dan menyusup ke dalam mulut. Awalnya tidak terasa, tapi rasa pahit mesiu mengacaukan indera perasaku. Pahit berkepanjangan, bau menyengat, serta mata yang terekspos cahaya percikan api menyiksa diriku dengan brutal tanpa belas kasihan. Aku ingin mati!
Dengung yang ditimbulkan pistol memang pada awalnya tidak mengganggu, tapi setelah beberapa lama, gangguan kecil tersebut berubah menjadi ancaman. Denging tersebut perlahan mengikis kesabaran dan kewarasanku. Dengung tersebut membuat seluruh tubuhku terasa ngilu. Aku merasa bahwa lebih baik telingaku tuli total daripada menghadapi dengung menyebalkan ini. Sungguh neraka pendengaran. Aku ingin mati!
Setelah sekian waktu berlalu, dengung tersebut tidak lagi menjadi masalah bagiku. Mengapa? Mudah saja, saat ini peluru sudah mengikis kulitku, dan ya ampun, sungguh perih dan panas! Kulitku perlahan terkikis oleh timah panas ini.
Rasa perih dalam waktu berkepanjangan ini membuatku menjerit sejerit-jeritnya dalam pikiranku. Rasa perih menjalar ke seluruh tubuhku, rasanya tubuhku seperti ditusuk-tusuk ribuan pedang! Jika tubuhku bisa merespon proses berpikirku, maka kupastikan akan keluar jeritan memilukan dari mulutku. Perih yang tidak tertahankan menyiksa jiwaku. Aku ingin mati!
Peluru telah mencapai tengkorak kepalaku. Dengan lamban, peluru mengikis tengkorakku seperti sebuah bor. Ngilu dan sakit menambah penderitaanku Suara peluru yang berputar cepat mengikis tengkorak bergema di telingaku. Seluruh tulang dalam tubuhku merasakan ngilu tak tertahankan dengan tempat yang ditembus peluru sebagai pusatnya. Aku ingin mati!
Pada saat peluru sukses menembus tengkorakku, jiwa dan kewarasanku sudah mencapai batasnya. Aku sudah tidak lagi peduli dengan rasa sakit, segalanya terasa begitu hampa. Seluruh indraku sudah lumpuh akibat serangan dari segala penjuru. Pada titik ini, aku sudah bisa dianggap mati. Aku tidak mau memikirkan apapun, biarlah peluru ini sampai pada pemberhentian terakhirnya, tempat si peluru akan bersarang, yaitu kepalaku!
Peluru merobek syaraf-syaraf di materi abu-abuku. Sensasi baru yang tidak terduga menyebar ke tubuhku bagaikan petir. Rasa sakit ini sudah tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Aku tidak tahu berapa lama penderitaan ini akan berlanjut. Aku hanya ingin satu hal, Mati!
Note: Part 2 ini bisa dibaca tanpa perlu membaca part 1 dulu, karena awalnya part 2 ini yang konsepnya sudah lebih matang dibanding part 1
Spoiler for peluru part 2:
Aku bertatapan langsung dengan laras pistol M1911 berwarna hitam. Tubuhku tidak bisa bergerak, terkekang oleh rasa takut. Si pria botak menatapku dengan tatapan yang setajam silet. Tatapannya bagaikan ular yang siap memangsa.
Hei sialan, kau telah melakukan kesalahan paling besar dalam hidupmu, yaitu mengganggu waktu minumku, ucapnya dingin sambil berjalan mendekat, pistol tetap terbidik ke dahiku. Aku hanya bisa menelan ludah dengan tangan terangkat di hadapan alat yang bisa menembakkan timah besi yang bisa membunuh manusia.
Dia menarik pelatuknya tanpa ragu. Bunyi tembakan yang cumiakkan berdenging di telingaku. Kilat putih memenuhi
penglihatanku.
Kupikir aku akan segera mati, tapi ternyata tidak. Peluru 45 kaliber yang meluncur keluar terlihat begitu lambat hingga terlihat hampir berhenti. Aku bisa melihatnya berputar membelah udara, meluncur ke arah kepalaku. Asap membumbung dari mulut pistol, selongsong meluncur keluar dari chamber. Aku bahkan bisa melihat percikan api berwarna kemerahan yang timbul dari mulut pistol saat peluru keluar dari mulut.
Segalanya bergerak sangat sangat sangat lambat. Permainan macam apa ini!?
Mungkin ini kesempatan bagiku, kesempatan untuk meloloskan diri dari situasi ini. Aku mencoba untuk bergerak, tapi tidak bisa. Hanya proses berpikirku yang bergerak dengan kecepatan suara. Tubuhku masih berada dalam kecepatan normal manusia.
Aku pernah membaca suatu artikel di majalah kesehatan. Aku ingat artikel tersebut membahas kalau saat manusia berada dalam tingkat konsentrasi tertinggi, segalanya akan terlihat bergerak lambat. Bahkan pada kasus tertentu, jarum detik jam akan terlihat seperti berhenti. Tampaknya artikel tersebut menjelaskan situasiku saat ini dengan sempurna.
Sungguh kemampuan yang luar biasa, sayang sungguh sayang, kemampuan ini tidak akan menyelamatkanku, hanya membuatku merasa kematianku tertunda dalam waktu lama.
Mungkin ini kesempatan yang diberikan Tuhan untuk aku bertobat? Mungkin jika aku bertobat, aku akan diselamatkan dari situasi ini, atau dengan kata lain, diberi keajaiban? Baiklah, akan kupakai kesempatan ini untuk berdoa, hal yang
tidak pernah kulakukan sejak aku menginjak usia 13 tahun dan pertama kali mengenal masturbasi.
Aku berdoa kepada Jesus, tidak ada jawaban
Aku berdoa kepada Allah, tidak ada jawaban.
Aku berdoa kepada Buddha, tidak ada jawaban.
Aku berdoa kepada Shiva, tidak ada jawaban.
Aku berdoa kepada Yahweh, tidak ada jawaban.
Apa artinya ini? Aku berdoa, tapi tidak ada pertolongan, keselamatan, atau respon dari Tuhan. Kupakai waktu yang lama ini untuk membuat hipotesis mengapa aku tidak mendapat respon, tidak memperdulikan peluru yang masih bergerak lambat ke arah kepalaku.
Hipotesis satu: Tuhan tidak pernah ada
Hipotesis dua: Tuhan sudah mati.
Hipotesis tiga: Tuhan menganggap bahwa aku tidak patut diselamatkan, dosaku terlalu banyak sehingga doaku tidak direspon.
Hipotesis empat: Tuhan sedang cuti.
Hmm, aku tidak tahu hipotesis mana yang benar, dan memikirkannya pun percuma, jadi aku melupakannya, dan memutuskan untuk mengalihkan perhatian ke arah peluru 45 kaliber di hadapanku.
Selagi menunggu peluru menembus kepalaku, aku teringat dengan cerita lelaki tua dan laut. Tokoh utama cerita itu bernama Santiago, seorang nelayan tua yang melaut dalam kondisi ketidaktahuan dan ketidakpastian. Selama 84 hari dia melaut, dia sama sekali tidak mendapatkan hasil tangkapan. Pada hari ke 85, dia memancing ikan marlin besar, dan berjuang selama tiga hari penuh hingga dia berhasil menangkap ikan terbesar yang pernah didapatkannya selama dia melaut. Mengapa aku memikirkan cerita ini di saat aku sedang berada di depan kematian berwujud timah panas? Mungkin aku membayangkan situasiku sedikit mirip dengan Santiago. Santiago berlayar dalam ketidaktahuan, tidak tahu kapan dia menangkap ikan, sementara aku berada dalam ketidaktahuan, tidak tahu kapan peluru 45 kaliber yang meluncur dengan sangat lambat akan membunuhku.
Aku melihat bayangan diriku terpantul di permukaan peluru yang berwarna kuning keemasan. Mataku membelalak, dengan mulut sedikit terbuka. Sosok yang terlihat konyol dan pantas untuk ditertawakan. Sosok diriku saat ini mengingatkanku dengan target pertamaku. Dia berwajah sama sepertiku saat aku menodongnya dengan pistol revolver S&W 38 kaliber. Waktu itu, setelah aku membunuhnya, aku hanya bisa tersenyum tipis melihat wajahnya yang terlihat konyol. Lidah yang terjulur, mata yang berputar hingga hanya terlihat bagian putihnya, darah yang membanjiri wajahnya. Sekarang, aku berada di posisi yang sama dengannya. Apa mungkin dia juga merasakan hal saat ini kurasakan? Menunggu peluru datang dalam kondisi gerak lambat, berada dalam rasa ketidaktahuan kapan kematian akan menjemput? Aku tidak akan tahu jawaban dari pertanyaan itu. Meskipun saat ini aku memiliki waktu banyak untuk berpikir, menemukan jawaban dari pertanyaanku adalah hal yang mustahil. Mencari tahu perasaan orang yang sudah mati sama seperti mencari hasil pembagian yang angka pembaginya adalah nol. Hanya satu jawaban yang bisa kuketahui, yaitu bahwa aku akan mati seperti korban pertamaku.
Saat ini, peluru 45 kaliber ini masih membelah udara dengan lamban, seolah-olah waktu miliknya seorang. Bosan dengan peluru, aku mencoba memusatkan pandanganku ke pria botak yang menembakkan peluru. Dengan susah payah, aku berhasil memusatkan pandangan, hingga wajah pria botak yang tadinya buram perlahan menjadi semakin jelas. Wajah si target terlihat masam, tidak ada kesenangan, kesedihan, atau emosi apapun dalam wajahnya. Aku jadi berpikir, apa mungkin aku mengenakan wajah yang sama dengannya saat aku membunuh seseorang? Sekali lagi, aku memikirkan hal yang tidak berguna. Saat pandanganku kembali ke peluru, peluru tersebut semakin dekat dengan diriku.
Kalau dipikir, hidupku ini memang menyedihkan. Tidak memiliki siapapun, hidup dalam kesendirian tanpa sepenuhnya mempercayai siapapun, termasuk rekanku. Satu-satunya alasan aku bisa percaya pada rekanku adalah dia sangat takut padaku. Dia tahu bahwa aku akan membunuhnya jika dia berani mengkhianatiku. Aku tidak memiliki kekasih ataupun orang yang kucintai. Aku tidak pernah merasakan cinta seperti yang dirasakan Frederic Henry kepada Catherine Barkley dalam hidupku. Sekarang, aku menjadi semakin depresi.
Sekian waktu berlalu, aku berada dalam rasa bosan yang tidak tertahankan. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kupikirkan. Entah berapa tahun bahkan abad (dalam pikiranku) aku menatap peluru ini bergerak dengan kecepatan yang bahkan lebih lambat dari seekor siput ke arah kepalaku. Ingin rasanya peluru ini cepat tiba di kepalaku dan membuat lubang besar di kepalaku agar aku bisa terhindar dari kebosanan yang merusak kewarasanku. Tidak bisakah cerita ini diakhiri dengan cepat dan pendek, kalau bisa, lebih pendek dari cerita dijual: sepatu bayi, tidak pernah dipakai. Aku ingin mati!
Percikan api berwarna merah perlahan meresap ke mataku, menyakiti mataku. Aku merasa air mataku basah. Sungguh perasaan yang tidak mengenakkan. Bau mesiu yang memabukkan menyerang penciumanku. Serbuk mesiu menyergap bibirku dan menyusup ke dalam mulut. Awalnya tidak terasa, tapi rasa pahit mesiu mengacaukan indera perasaku. Pahit berkepanjangan, bau menyengat, serta mata yang terekspos cahaya percikan api menyiksa diriku dengan brutal tanpa belas kasihan. Aku ingin mati!
Dengung yang ditimbulkan pistol memang pada awalnya tidak mengganggu, tapi setelah beberapa lama, gangguan kecil tersebut berubah menjadi ancaman. Denging tersebut perlahan mengikis kesabaran dan kewarasanku. Dengung tersebut membuat seluruh tubuhku terasa ngilu. Aku merasa bahwa lebih baik telingaku tuli total daripada menghadapi dengung menyebalkan ini. Sungguh neraka pendengaran. Aku ingin mati!
Setelah sekian waktu berlalu, dengung tersebut tidak lagi menjadi masalah bagiku. Mengapa? Mudah saja, saat ini peluru sudah mengikis kulitku, dan ya ampun, sungguh perih dan panas! Kulitku perlahan terkikis oleh timah panas ini.
Rasa perih dalam waktu berkepanjangan ini membuatku menjerit sejerit-jeritnya dalam pikiranku. Rasa perih menjalar ke seluruh tubuhku, rasanya tubuhku seperti ditusuk-tusuk ribuan pedang! Jika tubuhku bisa merespon proses berpikirku, maka kupastikan akan keluar jeritan memilukan dari mulutku. Perih yang tidak tertahankan menyiksa jiwaku. Aku ingin mati!
Peluru telah mencapai tengkorak kepalaku. Dengan lamban, peluru mengikis tengkorakku seperti sebuah bor. Ngilu dan sakit menambah penderitaanku Suara peluru yang berputar cepat mengikis tengkorak bergema di telingaku. Seluruh tulang dalam tubuhku merasakan ngilu tak tertahankan dengan tempat yang ditembus peluru sebagai pusatnya. Aku ingin mati!
Pada saat peluru sukses menembus tengkorakku, jiwa dan kewarasanku sudah mencapai batasnya. Aku sudah tidak lagi peduli dengan rasa sakit, segalanya terasa begitu hampa. Seluruh indraku sudah lumpuh akibat serangan dari segala penjuru. Pada titik ini, aku sudah bisa dianggap mati. Aku tidak mau memikirkan apapun, biarlah peluru ini sampai pada pemberhentian terakhirnya, tempat si peluru akan bersarang, yaitu kepalaku!
Peluru merobek syaraf-syaraf di materi abu-abuku. Sensasi baru yang tidak terduga menyebar ke tubuhku bagaikan petir. Rasa sakit ini sudah tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Aku tidak tahu berapa lama penderitaan ini akan berlanjut. Aku hanya ingin satu hal, Mati!
Note: Part 2 ini bisa dibaca tanpa perlu membaca part 1 dulu, karena awalnya part 2 ini yang konsepnya sudah lebih matang dibanding part 1

0
Kutip
Balas