- Beranda
- The Lounge
Green Lifestyle
...
TS
Roasted
Green Lifestyle
Quote:
Quote:
Sebelumnya Bantu :
Quote:
Quote:
Spoiler for Read:
- Thread ini dibuat dalam rangka berpartisipasi dalam ajang "Earth Hour Thread Competition"
- Budayakan komen yang bermutu untuk memperlancar diskusi
- Dilarang keras untuk JUNK
- Untuk membalas komen Kaskuser lain, gunakan fasilitas "quote" serta "multi-quote"
Quote:
Quote:
Terimakasih seluruh kaskuser yang telah mendukung thread ini menjadi HT dan terimakasih kepada seluruh keluarga besar moderator dan admin semoga thread ini bermanfaat
Spoiler for HT PETROMAX 21 Maret 2012:
Quote:
Ada beberapa cara untuk melindungi bumi dari Global Warming Yaitu dengan cara Green Lifestyle di bawah ini ada beberapa penemuan yang akan saya bahas
Quote:
1. BANGUNAN ORGANIK DENGAN TAMAN VERTIKAL DI OSAKA
Spoiler for Images:
Quote:
Padatnya gedung-gedung di kota-kota besar menyebabkan semakin sedikitnya lahan tersisa. Akibatnya, taman yang ada hanya secuil dan tidak maksimal dalam memberikan fungsinya: keindahan, keteduhan dan kesegaran.
Menyiasati hal tersebut, sebuah bangunan di Osaka, Jepang mengubah penampilannya dengan bantuan desainer Italia, Gaetano Pesce. Bangunan tersebut yang sudah ada sejak tahun 1993, pada eksteriornya didesain dengan mengadopsi pohon bambu dan tunas-tunasnya.
Di sepanjang eksterior tersebut, dibuat semacam pot terbuat dari serat kaca yang memenuhi setiap petak warna merah yang mendominasi dindingnya. Sebanyak 80 jenis tanaman asli Jepang dipilih untuk mengisi pot-pot yang ada. Pemilihan dan penanamannya pun melibatkan ahli-ahli pertanian di Osaka.
Menyiasati hal tersebut, sebuah bangunan di Osaka, Jepang mengubah penampilannya dengan bantuan desainer Italia, Gaetano Pesce. Bangunan tersebut yang sudah ada sejak tahun 1993, pada eksteriornya didesain dengan mengadopsi pohon bambu dan tunas-tunasnya.
Di sepanjang eksterior tersebut, dibuat semacam pot terbuat dari serat kaca yang memenuhi setiap petak warna merah yang mendominasi dindingnya. Sebanyak 80 jenis tanaman asli Jepang dipilih untuk mengisi pot-pot yang ada. Pemilihan dan penanamannya pun melibatkan ahli-ahli pertanian di Osaka.
Quote:
2. Teknologi Solar Thermal Baru Mampu Produksi Listrik Murah (Solar Energy)
Spoiler for Images:
Quote:
Energi matahari sangat berpotensi untuk menghasilkan listrik dalam jumlah besar dan bisa diandalkan karena ketersediaannya yang terus menerus sepanjang siang hari, sementara pada malam harinya, energi lebih yang disimpan selama siang hari bisa dimanfaatkan kembali.
Walhasil, sebuah tim riset yang merupakan gabungan dari Boston College dan MIT membuat sebuah teknologi energi baru yang merupakan kombinasi dari kedua teknologi yang telah disebutkan sebelumnya.
Zhifeng Ren, profesor Fisika di Boston College yang juga menjadi pemimpin tim dan penulis utama hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Nature Materials, menambahkan teknologi yang dikembangkannya akan membuka kemungkinan untuk menghasilkan proses konversi energi surya menjadi listrik dengan lebih murah.
Walhasil, sebuah tim riset yang merupakan gabungan dari Boston College dan MIT membuat sebuah teknologi energi baru yang merupakan kombinasi dari kedua teknologi yang telah disebutkan sebelumnya.
Zhifeng Ren, profesor Fisika di Boston College yang juga menjadi pemimpin tim dan penulis utama hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Nature Materials, menambahkan teknologi yang dikembangkannya akan membuka kemungkinan untuk menghasilkan proses konversi energi surya menjadi listrik dengan lebih murah.
Quote:
3. Pembangkit Listrik Hydro Energy
Spoiler for Images:
Quote:
Indonesia yang dikelilingi oleh lautan bisa mencoba mengembangkan teknologi yang serupa dengan bioWave, sebuah pembangkit listrik gelombang laut yang dikembangkan oleh satu perusahaan di Australia, agar ketersediaan energi listrik di seluruh pulau tercukupi.
BioWave ini hanya memanfaatkan energi gelombang laut dengan menyerapnya menggunakan pelampung dan mengalirkannya menuju generator untuk menghasilkan listrik dengan bantuan pompa hidrolik yang dikenal sebagai O-Drive.
Sebuah pondasi segitiga ditanam di dasar laut untuk mengikat sistem pembangkit listrik tersebut tetap berada di posisinya. Jika terjadi badai atau gelombang besar, maka pembangkit tersebut segera merunduk rata di dasar untuk menghindari kerusakan.
Saat ini prototip berkapasitas 250 kiloWatt siap beroperasi pada kedalaman 30 meter, sedangkan skala komersial berkapasitas 1 MW beroperasi pada laut yang lebih dalam, berkisar 40-45 meter. Untuk membangkitkan daya sebesar itu, masing-masing pembangkit akan menggerakkan 4 buah O-Drive.
Untuk mendapatkan energi listrik yang lebih besar, maka beberapa BioWave bisa ditempatkan di satu area laut tertentu sebagai sebuah ladang pembangkit listrik gelombang laut dengan kedalaman dan gelombang yang ideal.
BioWave ini hanya memanfaatkan energi gelombang laut dengan menyerapnya menggunakan pelampung dan mengalirkannya menuju generator untuk menghasilkan listrik dengan bantuan pompa hidrolik yang dikenal sebagai O-Drive.
Sebuah pondasi segitiga ditanam di dasar laut untuk mengikat sistem pembangkit listrik tersebut tetap berada di posisinya. Jika terjadi badai atau gelombang besar, maka pembangkit tersebut segera merunduk rata di dasar untuk menghindari kerusakan.
Saat ini prototip berkapasitas 250 kiloWatt siap beroperasi pada kedalaman 30 meter, sedangkan skala komersial berkapasitas 1 MW beroperasi pada laut yang lebih dalam, berkisar 40-45 meter. Untuk membangkitkan daya sebesar itu, masing-masing pembangkit akan menggerakkan 4 buah O-Drive.
Untuk mendapatkan energi listrik yang lebih besar, maka beberapa BioWave bisa ditempatkan di satu area laut tertentu sebagai sebuah ladang pembangkit listrik gelombang laut dengan kedalaman dan gelombang yang ideal.
Quote:
4. Wind Harvester (Wind Energy)
Spoiler for Images:
Quote:
Tiga bilah rotor di atas sebuah menara dengan ketinggian tertentu hingga kini adalah tipe turbin yang paling banyak digunakan. Meski demikian, bertahan dari hempasan angin pada ketinggian tersebut adalah salah satu hal yang menjadikan turbin ini membutuhkan perawatan yang rutin dilakukan.
Turbin ini juga merupakan turbin angin yang menghasilkan kebisingan paling tinggi dibanding turbin angin jenis lainnya, seperti EcoWhisper, Windgate, atau Wing 7 Aeronautic. Alhasil turbin jenis itu juga harus ditempatkan di lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk.
windharvester-turbin-angin-desain-baruDari sisi estetika, turbin dengan tiga bilah rotor tersebut juga memiliki kelemahan. Menaranya yang tinggi dan bilah-bilahnya yang panjang menjadikannya tidak bisa menyatu dengan lingkungan sekitarnya.
Menyiasati hal tersebut, sebuah proyek yang didukung oleh Wind Power Innovations dan Nottingham Trent University tengah mengembangkan turbin angin baru yang berbeda dari teknologi lainnya.
Wind Harvester, nama yang diberikan bagi turbin hasil inovasi Heath Evdemon, mempunyai sebuah bilah horisontal. Pada prototipnya, ukuran bilah hanya sepanjang 1 meter. Gerakan turbinnya hanya perulangan dari setiap gerakan.
Prinsip kerjanya menyerupai sayap pesawat terbang. Ketika angin melalui bilah tersebut, maka gaya angkat angin akan mendorong bilah naik. Dan ketika mencapai titik tertentu, sudut bilah akan berubah dan mendorong bilah kembali bergerak turun ke posisi semula. Dan ketika pada titik bawah, maka sudut bilah akan kembali sudut semula.
Hanya saja hingga saat ini, teknologi turbin angin baru tersebut masih belum diketahui besaran daya, energi listrik dan efisiensinya. Heath sendiri sedang merencanakan untuk mengembangkan prototipnya ke skala yang lebih besar dengan panjang bilah sudu mencapai 15 meter.
Turbin ini juga merupakan turbin angin yang menghasilkan kebisingan paling tinggi dibanding turbin angin jenis lainnya, seperti EcoWhisper, Windgate, atau Wing 7 Aeronautic. Alhasil turbin jenis itu juga harus ditempatkan di lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk.
windharvester-turbin-angin-desain-baruDari sisi estetika, turbin dengan tiga bilah rotor tersebut juga memiliki kelemahan. Menaranya yang tinggi dan bilah-bilahnya yang panjang menjadikannya tidak bisa menyatu dengan lingkungan sekitarnya.
Menyiasati hal tersebut, sebuah proyek yang didukung oleh Wind Power Innovations dan Nottingham Trent University tengah mengembangkan turbin angin baru yang berbeda dari teknologi lainnya.
Wind Harvester, nama yang diberikan bagi turbin hasil inovasi Heath Evdemon, mempunyai sebuah bilah horisontal. Pada prototipnya, ukuran bilah hanya sepanjang 1 meter. Gerakan turbinnya hanya perulangan dari setiap gerakan.
Prinsip kerjanya menyerupai sayap pesawat terbang. Ketika angin melalui bilah tersebut, maka gaya angkat angin akan mendorong bilah naik. Dan ketika mencapai titik tertentu, sudut bilah akan berubah dan mendorong bilah kembali bergerak turun ke posisi semula. Dan ketika pada titik bawah, maka sudut bilah akan kembali sudut semula.
Hanya saja hingga saat ini, teknologi turbin angin baru tersebut masih belum diketahui besaran daya, energi listrik dan efisiensinya. Heath sendiri sedang merencanakan untuk mengembangkan prototipnya ke skala yang lebih besar dengan panjang bilah sudu mencapai 15 meter.
Quote:
5. Karang Penghasil Hidrogen
Spoiler for Images:
Quote:
Laut menyimpan banyak energi. Selain gelombang, arus dan perbedaan temperaturnya yang bisa dipanen sebagai penghasil energi, fenomena di laut dalam seperti hidrotermal atau coal bed methane juga diperkirakan mampu menghasilkan energi yang besar.
Tetapi potensi energi di laut dalam tidak hanya hidrotermal dan coal bed methane. Menurut para ilmuwan, ada kerang di dasar laut yang efisien dalam mengubah hidrogen menjadi energi, sebagai sel bahan bakar hidrogen buatan alam. Kerang itu ditemukan oleh Max Planck Institut Mikrobiologi Kelautan dan Cluster of Excellence (Marum)
Ketika pertama kali ventilasi hidrotermal ditemukan, penelitian secara luas dilakukan untuk menyediakan dua sumber energi bagi kehidupan laut - hidrogen sulfida dan metana. Sekarang, Max Planck Institut Mikrobiologi Kelautan telah menemukan sumber energi ketiga. Penemuan ini dibuat di sebuah pegunungan jauh di bawah permukaan laut Atlantik di lapangan lubang hidrotermal Logatchev yang berada 3000 meter di bawah permukaan laut. Ketika para peneliti membawa kerang kembali ke laboratorium mereka menemukan bahwa kerang-kerang tersebut menggunakan bentuk energi baru selain dari apa yang telah mereka temukan sebelumnya di ventilasi laut dalam.
"Perhitungan kami menunjukkan bahwa saat ini lubang hidrotermal, oksidasi hidrogen bisa memberikan energi tujuh kali lebih besar dari oksidasi metana, dan mempunyai energi hingga 18 kali lebih besar dari oksidasi sulfida," kata Jillian Petersen, salah seorang dari tim peneliti. Kerang-kerang tersebut yang dikenal dengan nama latin Bathymodiolus puteoserpentis, adalah yang paling melimpah di ventilasi Logatchev dan populasinya mampu mengkonsumsi sampai 5000 liter hidrogen per jam.
"Ventilasi hidrotermal di sepanjang pegunungan di tengah laut melepaskan sejumlah besar hidrogen sehingga dapat disamakan dengan jalan raya hidrogen dengan stasiun pengisian bahan bakar untuk produksi simbiosis primer," kata Petersen. Mungkin "jalan raya hidrogen" ini bisa mengarah ke pembuatan sel bahan bakar hidrogen bakteri untuk konsumsi energi manusia.
Tetapi potensi energi di laut dalam tidak hanya hidrotermal dan coal bed methane. Menurut para ilmuwan, ada kerang di dasar laut yang efisien dalam mengubah hidrogen menjadi energi, sebagai sel bahan bakar hidrogen buatan alam. Kerang itu ditemukan oleh Max Planck Institut Mikrobiologi Kelautan dan Cluster of Excellence (Marum)
Ketika pertama kali ventilasi hidrotermal ditemukan, penelitian secara luas dilakukan untuk menyediakan dua sumber energi bagi kehidupan laut - hidrogen sulfida dan metana. Sekarang, Max Planck Institut Mikrobiologi Kelautan telah menemukan sumber energi ketiga. Penemuan ini dibuat di sebuah pegunungan jauh di bawah permukaan laut Atlantik di lapangan lubang hidrotermal Logatchev yang berada 3000 meter di bawah permukaan laut. Ketika para peneliti membawa kerang kembali ke laboratorium mereka menemukan bahwa kerang-kerang tersebut menggunakan bentuk energi baru selain dari apa yang telah mereka temukan sebelumnya di ventilasi laut dalam.
"Perhitungan kami menunjukkan bahwa saat ini lubang hidrotermal, oksidasi hidrogen bisa memberikan energi tujuh kali lebih besar dari oksidasi metana, dan mempunyai energi hingga 18 kali lebih besar dari oksidasi sulfida," kata Jillian Petersen, salah seorang dari tim peneliti. Kerang-kerang tersebut yang dikenal dengan nama latin Bathymodiolus puteoserpentis, adalah yang paling melimpah di ventilasi Logatchev dan populasinya mampu mengkonsumsi sampai 5000 liter hidrogen per jam.
"Ventilasi hidrotermal di sepanjang pegunungan di tengah laut melepaskan sejumlah besar hidrogen sehingga dapat disamakan dengan jalan raya hidrogen dengan stasiun pengisian bahan bakar untuk produksi simbiosis primer," kata Petersen. Mungkin "jalan raya hidrogen" ini bisa mengarah ke pembuatan sel bahan bakar hidrogen bakteri untuk konsumsi energi manusia.
Spoiler for Urutan Thread Pembahasan:
Quote:
Quote:
- - Tujuan : Untuk Membahas cara dunia untuk Green Lifestyle
- - Latar Belakang : Mengenal adanya greenlifestyle membuat dunia lebih baik kedepannya
- - Analisis : analisis mengenai semuanya adalah bahwa greenlifestyle dapat memajukan bangsa kedepannya karena akan membuat bumi menjadi sehat
- - Solusi : Mulailah hidup GreenLifestyle
Daftar Isi :
Lanjutan 6 s/d 9
Lanjutan 10 s/d 12
Lanjutan 13 s/d 15
Lanjutan 16 s/d 18
Lanjutan 19 s/d 21
Lanjutan 22 s/d 25
0
43.3K
Kutip
2.3K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923KThread•83KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Roasted
#3
Lanjutan 6 s/d 9
Quote:
Quote:
6. Karbon Dioksida Menjadi GeoThermal
Spoiler for Images:
Quote:
Emisi karbon yang dituding sebagai salah satu penyebab perubahan iklim, masih menjadi perhatian para ilmuwan di berbagai belahan dunia. Salah satu metode yang dianggap bisa mengatasi masalah tersebut adalah carbon capture storage, dimana karbon ditangkap dan kemudian disimpan jauh ke dalam tanah.
Hanya saja ada satu kekurangan dari metode tersebut yaitu hanya menangkap dan menyimpan karbondioksida ke dalam perut bumi. Setidaknya hal itu menurut beberapa ilmuwan yang telah mengembangkan metode-metode yang lebih baik. Metode-metode baru tersebut bisa menyimpan karbondioksida dan kemudian memanfaatkannya untuk menghasilkan energi kembali.
Diantaranya adalah Martin Saar dan Jimmy Randolph dari University of Minnesota. Keduanya menggunakan metode berbasis carbon capture storage konvensional untuk mengembangkan metode mereka sendiri yang dikenal dengan CO2-plume geothermal (CPG). Sesuai namanya, metode tersebut juga sekaligus menghasilkan energi geothermal dari hasil pemanasan gas karbondioksida di dalam perut bumi. Riset mereka mendapatkan dana sebesar $600,000 dari University of Minnesota Institute on the Environments Initiative for Renewable Energy and the Environment (IREE).
Tidak lama berselang, tim ilmuwan di Lawrence Berkeley National Laboratory juga melakukan hal yang pada prinsipnya sama. Tim tersebut mendapatkan dana sebesar $5 million dari Departemen of Energy untuk mengembangkan metode yang memanfaatkan karbondioksida sebagai fluida kerja dalam sistem geothermal yang pada umumnya menggunakan air.
Keduanya memiliki kesamaan, menggantikan air dengan karbon dioksida sebagai fluida kerja dalam sistem pembangkit listrik geothermal. Jika gas karbon dioksida tersebut menyentuh batuan panas di dalam perut bumi, maka gas tersebut akan mengembang dan menghasilkan tekanan besar untuk menggerakkan generator.
Metode-metode ini tentunya memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh, jika tidak maka tidak ada penyandang dana yang mau membiayai riset mereka. Selain sebagai penangkap karbon, metode ini juga digunakan sebagai pembangkit listrik geothermal. Karena tidak membutuhkan air layaknya pembangkit geothermal konvensional, maka pembangkit sejenis itu bisa dibangun di lokasi yang tandus dan kering. Dan tentunya tidak akan terjadi scaling seperti pembangkit geothermal konvensional.
Metode-metode tersebut memang menjanjikan, tetapi sepertinya masih membutuhkan jalan yang relatif panjang untuk mencapai kesempurnaannya, walau teknologi pembangkit listrik geothermal saat ini sudah berada di tahap kematangannya. Material turbin yang tepat serta teknologi cooling tower adalah beberapa tantangan yang harus dipecahkan.
Hanya saja ada satu kekurangan dari metode tersebut yaitu hanya menangkap dan menyimpan karbondioksida ke dalam perut bumi. Setidaknya hal itu menurut beberapa ilmuwan yang telah mengembangkan metode-metode yang lebih baik. Metode-metode baru tersebut bisa menyimpan karbondioksida dan kemudian memanfaatkannya untuk menghasilkan energi kembali.
Diantaranya adalah Martin Saar dan Jimmy Randolph dari University of Minnesota. Keduanya menggunakan metode berbasis carbon capture storage konvensional untuk mengembangkan metode mereka sendiri yang dikenal dengan CO2-plume geothermal (CPG). Sesuai namanya, metode tersebut juga sekaligus menghasilkan energi geothermal dari hasil pemanasan gas karbondioksida di dalam perut bumi. Riset mereka mendapatkan dana sebesar $600,000 dari University of Minnesota Institute on the Environments Initiative for Renewable Energy and the Environment (IREE).
Tidak lama berselang, tim ilmuwan di Lawrence Berkeley National Laboratory juga melakukan hal yang pada prinsipnya sama. Tim tersebut mendapatkan dana sebesar $5 million dari Departemen of Energy untuk mengembangkan metode yang memanfaatkan karbondioksida sebagai fluida kerja dalam sistem geothermal yang pada umumnya menggunakan air.
Keduanya memiliki kesamaan, menggantikan air dengan karbon dioksida sebagai fluida kerja dalam sistem pembangkit listrik geothermal. Jika gas karbon dioksida tersebut menyentuh batuan panas di dalam perut bumi, maka gas tersebut akan mengembang dan menghasilkan tekanan besar untuk menggerakkan generator.
Metode-metode ini tentunya memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh, jika tidak maka tidak ada penyandang dana yang mau membiayai riset mereka. Selain sebagai penangkap karbon, metode ini juga digunakan sebagai pembangkit listrik geothermal. Karena tidak membutuhkan air layaknya pembangkit geothermal konvensional, maka pembangkit sejenis itu bisa dibangun di lokasi yang tandus dan kering. Dan tentunya tidak akan terjadi scaling seperti pembangkit geothermal konvensional.
Metode-metode tersebut memang menjanjikan, tetapi sepertinya masih membutuhkan jalan yang relatif panjang untuk mencapai kesempurnaannya, walau teknologi pembangkit listrik geothermal saat ini sudah berada di tahap kematangannya. Material turbin yang tepat serta teknologi cooling tower adalah beberapa tantangan yang harus dipecahkan.
Quote:
7. Tequila Bio Energy
Spoiler for Images:
Quote:
Tahu tequila? Minuman beralkohol khas Meksiko tersebut ternyata memiliki potensi energi yang besar. Hasil riset yang sudah dilakukan oleh banyak ilmuwan sebelumnya, kini ditegaskan lagi oleh sekelompok ilmuwan terhadap agave, tanaman yang biasa diolah menjadi minuman tersebut.
Dalam jurnal Global Change Biology Bioenergy, 14 penelitian berbeda yang dilakukan sekelompok ilmuwan dari University of Illinois, mendapati dua spesies agave yang bisa memproduksi biofuel lebih besar dari tanaman pangan seperti jagung, gandum, kedelai dan sorgum.
tequila
Salah satu produk tequila
Agave mengkonsumsi air dan menggunakan lahan lebih efisien dibandingkan tanaman-tanaman lainnya di dunia. Jarak pagar misalnya, meski dilaporkan sanggup hidup di daerah kering, tetapi pohonnya yang besar akan membutuhkan jarak tertentu antar tanaman agar pertumbuhannya optimal. Sementara sumber utama biofuel dari jarak terletak pada bijinya yang jika diperas hanya akan menghasilkan kurang lebih 15% dari beratnya.
Agave sendiri, menurut ahlinya, Arturo Valez Jimenez, CEO Agave Project di Meksiko, mampu menghasilkan 500 ton biomassa per hektar. Kandungan biomassa di dalamnya cukup untuk menghasilkan biofuel dan menggantikan tanaman pangan yang saat ini masih digunakan juga sebagai biofuel tanpa perlu penambahan lahan baru.
Dalam jurnal Global Change Biology Bioenergy, 14 penelitian berbeda yang dilakukan sekelompok ilmuwan dari University of Illinois, mendapati dua spesies agave yang bisa memproduksi biofuel lebih besar dari tanaman pangan seperti jagung, gandum, kedelai dan sorgum.
tequila
Salah satu produk tequila
Agave mengkonsumsi air dan menggunakan lahan lebih efisien dibandingkan tanaman-tanaman lainnya di dunia. Jarak pagar misalnya, meski dilaporkan sanggup hidup di daerah kering, tetapi pohonnya yang besar akan membutuhkan jarak tertentu antar tanaman agar pertumbuhannya optimal. Sementara sumber utama biofuel dari jarak terletak pada bijinya yang jika diperas hanya akan menghasilkan kurang lebih 15% dari beratnya.
Agave sendiri, menurut ahlinya, Arturo Valez Jimenez, CEO Agave Project di Meksiko, mampu menghasilkan 500 ton biomassa per hektar. Kandungan biomassa di dalamnya cukup untuk menghasilkan biofuel dan menggantikan tanaman pangan yang saat ini masih digunakan juga sebagai biofuel tanpa perlu penambahan lahan baru.
Quote:
8. Menanam Tanaman Pangan Untuk Pangan Lebih Efisien Dari Sisi Energi Dibanding Untuk Bahan Bakar
Spoiler for Images:
Quote:
Ilya Gelfand, salah satu peneliti utama dalam studi yang dilakukan Michigan State University tersebut menjelaskan bahwa efisiensi sebesar 36% bisa dicapai jika tanaman pangan memang ditanam untuk keperluan pangan. Idealnya jika tanaman pangan, dalam hal ini jagung, digunakan untuk pangan, kemudian sisa hasil panen lainnya seperti tongkol, daun dan biomassa lainnya digunakan untuk pupuk serta ethanol selulosa.
Riset yang dilakukan Michigan State University tersebut lebih komprehensif dibanding riset-riset lain yang juga melakukan hal sama, tetapi dalam periode waktu yang lebih singkat. Michigan State University memperhitungkan keseimbangan energi dari sistem pertanian secara komprehensif selama bertahun-tahun.
Para peneliti tersebut menggunakan dan menganalisa data-data dari W.K. Kellogg Long Term Ecological Research dari tahun 1989 hingga tahun 2007. Mereka membandingkan energi yang dibutuhkan dan yang dihasilkan dari memproduksi jagung, kedelai dan gandum dengan menggunakan empat sistem yaitu tanah yang diolah secara konvensional, tanpa diolah, rendah bahan kimia dan organik dan menggunakan semua hasil pertanian pertanian untuk pangan dan biofuel. mereka juga menghitung kesetimbangan energi dari penanaman alfalfa (Medicago sativa) sebagai bahan pakan ternak.
Hasil analisa yang didapatkan tim riset dan juga diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan yang tidak diolah merupakan yang paling efisien untuk produksi pangan dan biofuel. Menghasilkan satu kilogram jagung untuk bahan pangan memberikan efisiensi yang lebih baik dibanding dengan mengubahnya menjadi ethanol, baik dengan memprosesnya atau mengubahnya menjadi daging sebagai bahan pakan ternak. Sementara itu, menanam alfalfa untuk biofuel adalah 60% lebih efisien dibanding sebagai bahan pakan ternak.
Phil Robertson, profesor Ilmu Tanah dan Tanaman Michigan State University, yang juga anggota tim riset tersebut menambahkan bahwa hasil riset mereka bisa digunakan bagi pembuat kebijakan untuk menentukan strategi, selama tanaman pangan tetap digunakan sebagai bahan pangan dan sisa hasil pertanian digunakan untuk biofuel serta perlunya insentif untuk menanam rumput pada lahan yang kurang produktif.
Riset yang dilakukan Michigan State University tersebut lebih komprehensif dibanding riset-riset lain yang juga melakukan hal sama, tetapi dalam periode waktu yang lebih singkat. Michigan State University memperhitungkan keseimbangan energi dari sistem pertanian secara komprehensif selama bertahun-tahun.
Para peneliti tersebut menggunakan dan menganalisa data-data dari W.K. Kellogg Long Term Ecological Research dari tahun 1989 hingga tahun 2007. Mereka membandingkan energi yang dibutuhkan dan yang dihasilkan dari memproduksi jagung, kedelai dan gandum dengan menggunakan empat sistem yaitu tanah yang diolah secara konvensional, tanpa diolah, rendah bahan kimia dan organik dan menggunakan semua hasil pertanian pertanian untuk pangan dan biofuel. mereka juga menghitung kesetimbangan energi dari penanaman alfalfa (Medicago sativa) sebagai bahan pakan ternak.
Hasil analisa yang didapatkan tim riset dan juga diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan yang tidak diolah merupakan yang paling efisien untuk produksi pangan dan biofuel. Menghasilkan satu kilogram jagung untuk bahan pangan memberikan efisiensi yang lebih baik dibanding dengan mengubahnya menjadi ethanol, baik dengan memprosesnya atau mengubahnya menjadi daging sebagai bahan pakan ternak. Sementara itu, menanam alfalfa untuk biofuel adalah 60% lebih efisien dibanding sebagai bahan pakan ternak.
Phil Robertson, profesor Ilmu Tanah dan Tanaman Michigan State University, yang juga anggota tim riset tersebut menambahkan bahwa hasil riset mereka bisa digunakan bagi pembuat kebijakan untuk menentukan strategi, selama tanaman pangan tetap digunakan sebagai bahan pangan dan sisa hasil pertanian digunakan untuk biofuel serta perlunya insentif untuk menanam rumput pada lahan yang kurang produktif.
Quote:
9. Skotlandia Siap Bangun Pembangkit Listrik Arus Laut Terbesar Di Dunia
Spoiler for Images:
Quote:
Potensi energi laut masih terpendam dan belum banyak dimanfaatkan. Berbeda dengan energi angin yang saat ini telah mencapai angka total produksi di seluruh dunia sebesar 175 GW.
Hingga saat ini belum terdapat angka pasti tentang berapa besar energi laut telah diproduksi. Tingginya kesulitan dalam membuat pembangkit listrik untuk diletakkan di lingkungan yang ekstrim menjadi masalah utama kenapa energi laut masih belum optimal.
Meski demikian pengembangannya tetap terus dilakukan. Kali ini Skotlandia menjadi negara yang akan membangun pembangkit listrik tenaga arus laut terbesar di dunia.
Pemerintah Skotlandia belum lama ini telah menyetujui proposal Scottish Power Renewables untuk membangun pembangkit listrik tenaga arus laut di sekitar Caol Ila atau Sound of Islay. Perusahaan yang masih merupakan bagian dari Iberdrola Renovables --perusahaan yang sudah berkecimpung dalam bidang pembangkitan listrik energi terbarukan, khususnya di perairan laut-- rencananya akan membangun pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 10 MW dan cukup untuk melistrik 5.000 rumah di sekitarnya.
Scottish Power Renewables akan memanfaatkan selat di antara Isla dan Jura yang memiliki kecepatan arus mencapai 6 meter per detik.
Pemerintah Skotlandia yang menyediakan dana sebesar 40 juta pondsterling, juga yakin jika proyek tersebut berjalan lancar, maka Skotlandia akan memimpin di bidang energi kelautan.
Hingga saat ini belum terdapat angka pasti tentang berapa besar energi laut telah diproduksi. Tingginya kesulitan dalam membuat pembangkit listrik untuk diletakkan di lingkungan yang ekstrim menjadi masalah utama kenapa energi laut masih belum optimal.
Meski demikian pengembangannya tetap terus dilakukan. Kali ini Skotlandia menjadi negara yang akan membangun pembangkit listrik tenaga arus laut terbesar di dunia.
Pemerintah Skotlandia belum lama ini telah menyetujui proposal Scottish Power Renewables untuk membangun pembangkit listrik tenaga arus laut di sekitar Caol Ila atau Sound of Islay. Perusahaan yang masih merupakan bagian dari Iberdrola Renovables --perusahaan yang sudah berkecimpung dalam bidang pembangkitan listrik energi terbarukan, khususnya di perairan laut-- rencananya akan membangun pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 10 MW dan cukup untuk melistrik 5.000 rumah di sekitarnya.
Scottish Power Renewables akan memanfaatkan selat di antara Isla dan Jura yang memiliki kecepatan arus mencapai 6 meter per detik.
Pemerintah Skotlandia yang menyediakan dana sebesar 40 juta pondsterling, juga yakin jika proyek tersebut berjalan lancar, maka Skotlandia akan memimpin di bidang energi kelautan.
Daftar Isi :
Lanjutan 6 s/d 9
Lanjutan 10 s/d 12
Lanjutan 13 s/d 15
Lanjutan 16 s/d 18
Lanjutan 19 s/d 21
Lanjutan 22 s/d 25
0
Kutip
Balas