buhitozAvatar border
TS
buhitoz
Wayang, Silakan Anda Lihat Dari Berbagai Sudut.
Selamet malem.

Permisi, para sepuh sekalian.
Saya mau bikin trit tentang wayang.

Wayang dengan segala kisahnya, tokoh-tokohnya, karakter yang menyertainya
dan berbagai faktor eksternal yang melengkapi kehadirannya seakan bagai sumur yang tidak pernah kering.

Menjadi obrolan mulai dari warung kopi sampai cafe yang mentereng.
Oleh tukang becak sampai presiden.
Dari bromocorah sampai ulama.

Wayang, selain dibahas mengenai lakon dan tokohnya juga menjadi bahan kajian yang menarik dari berbagai sudut pandang.

Oleh karena itu, dengan segala hormat, saya membikin trit ini tidak lain untuk tempat berbagi informasi dan pengetahuan lain tentang wayang.

Mohon bimbingan dari para sepuh.
emoticon-shakehand
0
128.6K
2K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
BudayaKASKUS Official
2.3KThread1KAnggota
Tampilkan semua post
buhitozAvatar border
TS
buhitoz
#307
Semar Dan Socrates
Sejak kecil saya gemar nonton wayang kulit. Kisah-kisahnya sangat mengesankan dan heroik. Dan di dalamnya juga terdapat banyak pelajaran spiritual yang bisa kita petik. Wayang kulit adalah bahasa pralambang, tamsil atau isyarat. Watak pemberani dan lugu misalnya, dipersonafikasikan sebagai tokoh Bima Sena, atau Arya Werkudara, kstaria gagah perkasa berpostur tinggi besar seperti raksasa, dan tidak suka menggunakan bahasa Jawa krama yang halus. Dia lebih suka ngoko, atau menggunakan bahasa Jawa kasar. Bagi dia, kejujuran lebih penting daripada sekedar halus atau berbasa-basi.

Sedangkan yang kita jumpai dalam budaya kita justru kebalikannya: lebih penting halus daripada jujur. Kebalikannya adalah Buta Cakil: ini lambang kemunafikan. Buta Cakil adalah satu-satunya buta, atau raksasa dalam pewayangan, yang memiliki postur tubuh seperti manusia atau ksatria. Kulitnya halus mulus seperti kulit manusia, bahkan pakaiannya batik seperti pakaian seorang priyayi, senjatanya pun keris, ini juga senjata para ksatria... hanya saja ia bermuka raksasa. Ia melambangkan makhluk-makhluk munafik: yang berpenampilan manusia, tapi sejatinya adalah raksasa buas pemangsa manusia. Dan akhir lakon Buta Cakil selalu sama: dia mati berdiri tertusuk kerisnya sendiri.

Wayang kulit juga merupakan catatan perjalanan spiritualitas orang Jawa sendiri. Sebelum masuknya agama Hindu-Budha ke tanah Jawa, orang Jawa sudah menyembah Tuhannya sendiri yaitu Sang Hyang Taya: Dia Yang Tak Dapat Dibandingkan Dengan Segala Sesuatu. Sedangkan wayang kulit bukan produk Jawa 100%. Ceritanya diimpor dari India: Mahabharata dan Ramayana. Maka dewa-dewa Hindu pun menghiasi pakeliran wayang kulit: Bathara Brahma, Wisnu dan Bathara Guru. Dan pada zaman Islam, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga wayang kulit pun di-Islamkan. Dewa-dewa Hindu dianggap sebagai anak-anak keturunan Nabi Adam. Dan senjata ampuh milik Prabu Yudhistira kalimasada, yang aslinya adalah kalimahosadha, diartikan sebagai Kalimat Sahadat.

Yang menarik dalam zaman Islam ini adalah tokoh Yamadipati: dewa pencabut nyawa yang berpenampilan seperti ulama, dengan jubah panjang, sorban, dan janggut panjang. Menurut Agus Sunyoto, dalam novelnya Syaikh Siti Jenar (LKiS 2003), tokoh Yamadipati ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga untuk menggambarkan para ulama gadungan yang bersedia diperbudak oleh Sultan Trenggana untuk menebarkan kematian dimana-mana demi membasmi lawan-lawan politiknya.

Perjumpaan Demak Islam dengan Portugis yang beragama Kristen juga meninggalkan catatan dalam dunia pewayangan, yaitu seorang tokoh bernama: Dewa Srani (dari kata serani atau Nasrani). Dewa Srani digambarkan sebagai seorang dewa di kahyangan, dengan muka berwarna putih, anak Bathari Durga yang berkeinginan merebut kerajaan Prabu Yudhistira. Kehadiran Dewa Srani ini bukan saja menggambarkan kehidupan politik di Nusa Jawa pada masa itu, tapi bahkan merambah ke isu theologis: yaitu polemik khas Islam-Kristen tentang ajaran Tauhid (keesaan Tuhan): dalam sebuah lakon carangan misalnya, diceritakan bahwa Dewa Srani berusaha merebut senjata Prabu Yudhistira yang sangat ampuh yaitu kalimasada atau Kalimat Sahadat.

Namun tokoh yang paling sakral dalam dunia pewayangan adalah Semar: dewa asli Jawa. Ia digambarkan sebagai seorang manusia biasa, bahkan seorang rakyat jelata, abdi yang setia... namun ia tidak mau tunduk-sujud menyembah kepada siapapun, tidak kepada raja-raja kaya, tidak pula kepada dewa-dewa di kahyangan. Misinya murni untuk menjaga harmoni semesta raya. Dan demi mengemban tugasnya itu ia kalau perlu mendamprat dewa-dewa di kahyangan dan mempermalukan mereka. Semar tak pernah takut pada para dewa. Ia berperan di Nusa Jawa seperti halnya Socrates di Yunani. Dialah yang menyerukan pada penduduk di Nusa Jawa agar tidak sujud menyembah kepada apapun atau siapapun kecuali Sang Hyang Taya: Ia
Yang Tak Dapat Dibandingkan Dengan Segala Sesuatu. Bahkan Agus Sunyoto dalam novelnya Syaikh Siti Jenar (LKiS, 2003), menyebut Semar (Dyah Hyang Semar) sebagai nabinya orang Jawa pada jaman purbakala yang menyampaikan ajaran keesaan Tuhan.

oleh Yohanes Sutopo

sumber: http://old.nabble.com/Semar-Dan-Socr...d30550568.html

Adapun tentang Dewa Srani, ini adalah penggambaran dari sifat angkara murka. Dewa Srani adalah putra dari Betara Kala dan Dewi Durga yang selalu ingin menyebarluaskan berbagai macam prilaku kejahatan di dunia. Dalam konteks kekinian, Dewa Srani merupakan visualisasi dari Sang Monster Penjajah dari Barat yang kuku-kukunya sudah mencengkeram kuat di seluruh dunia terutama di bumi Timur Tengah, dan akar-akarnyapun sudah menyebar ke seluruh dunia. Hampir semua Negara di seluruh dunia menjadi mangsanya, terjajah budayanya, ekonominya, social dan politiknya. Siapa berani menantang aku, maka akan aku hancurkan.

sumber: http://denmaspriyadi.blogspot.com/

tambahan catatan untuk nama Dewa Srani dari sejarah Wedung, Demak:

* Di awal abad ke-16 (1505-1515) diceritakan: datang Dewa Srani dengan armada lautnya di perairan Kepulauan Gajahoyo, dari Atasangin, dan kejar-kejaran dengan Raja Kalimantoro. Beberapa kapal Dewa Srani tenggelam di perairan sekitar kepulauan tersebut. Sisanya meneruskan pelayaran ke Timur.

Catatan : “Dewa Srani” adalah armada kapal-kapal yang berbendera salib (palang-pantek-merah), armada Portugis dan Spanyol yang memburu kaum Moro (kaum Muslim Spanyol) sampai di Kepulauan Mindanao, Philipina Selatan. Akhirnya kaum Moro mendarat di Mindanao dan masuk hutan-hutan, dan kemudian akhirnya menjadi warga negara Philipina sampai sekarang.

sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Wedung,_Demak
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.