buhitozAvatar border
TS
buhitoz
Wayang, Silakan Anda Lihat Dari Berbagai Sudut.
Selamet malem.

Permisi, para sepuh sekalian.
Saya mau bikin trit tentang wayang.

Wayang dengan segala kisahnya, tokoh-tokohnya, karakter yang menyertainya
dan berbagai faktor eksternal yang melengkapi kehadirannya seakan bagai sumur yang tidak pernah kering.

Menjadi obrolan mulai dari warung kopi sampai cafe yang mentereng.
Oleh tukang becak sampai presiden.
Dari bromocorah sampai ulama.

Wayang, selain dibahas mengenai lakon dan tokohnya juga menjadi bahan kajian yang menarik dari berbagai sudut pandang.

Oleh karena itu, dengan segala hormat, saya membikin trit ini tidak lain untuk tempat berbagi informasi dan pengetahuan lain tentang wayang.

Mohon bimbingan dari para sepuh.
emoticon-shakehand
0
128.6K
2K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
BudayaKASKUS Official
2.3KThread1KAnggota
Tampilkan semua post
antasena_kekotaAvatar border
antasena_kekota
#25
TERBELENGGU OLEH ISTILAH (bagian II)
TERBELENGGU OLEH ISTILAH (bagian II)

Oleh Bambang Murtiyoso

KEDUDUKAN PAKEM

Pakem sering disikapi sebagai peraturan yang tidak boleh dilanggar, seperti pernyataan A. Seno-Sastroamidjojo yang telah dikutip pada bagian awal tulisan ini. Dalam buku yang samaNonton Wajang Kulit--Sastroamidjojo secara lebih tegas mengatakan: “Dengan perkataan lain merubah ‘sastra pinatok’ itu secara sewenang-wenang, sekalipun ke arah “perbaikan” . . . berarti membuat kesalahan . . . (1958:136).

Kususumadilaga dalam Serat Sastramiruda melampirkan satu teks lengkap dengan yang dikatakan: “iki ginawé babon lakon Parasara Rabi.” Pada bagian pengantar dikatakan bahwa: “cariyos ugering pedalangan ing¬kang sampun mupakat kanggé abdi dalang ing kadipatèn anom” (1930:1). Pernyataan ini memberikan pengertian bahwa pedoman lakon tersebut hanya berlaku di kalangan terbatas, kadipaten anom. Artinya, tidak harus diikuti oleh para dalang di luar kadipaten anom.

Ki Pujasumarta, dalang terkenal dari Klaten, angkatan pertama murid Padhasuka, berkaitan dengan pakem mengatakan bahwa: “pakem mono temené mung kanggo ancer-ancer para dalang sing lagi sinau mayang, yèn wis mayang temenan luguné kari gumantung marang kadéwasaning dalang. Sabab, lumrahé sing pada sinau mayang (di Padasuka) wis pada duwé sangu carané mayang, jalaran kabèh racak anak dalang sing wis payu mayang” (wawancara tanggal 12 Juni 1970). Perlu diketahui bahwa Pujasumarta sendiri di kalangan dalang, di luar keraton, terkenal sebagai dalang yang sangat ketat mengikuti pakem Padasuka.

Ki Atmacendana alias Nayawirangka dalam pengantar bukunya, Serat Tuntunan Padalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi, mengatakan bahwa: “dene angsal kula seserapan saking para saged kulaklempakaken sarta kula laras kangge tuntunan pasinaon padalangan, . . . (1956:8). Demikian juga Ki Wignyasutarna dalam pengantar tulisannya, Diktat Pedhalangan Ringgit Purwa Watjutjal Lampahan Makutharama, mengatakan senada dengan pernyataan Atmacendana. Prabaharjana dalam Serat Tuntunan Andhalang Djangkep Sinau Tanpa Guru Lampahan ‘Parta Krama’ utawi Dhaupipun Dewi Bratadjaya Angsal Raden Arjuna mengatakan bahwa: “Panggubah kula lampahan Partakrama . . . kadamel langkung cekak nanging rehne ngengeti bilih punika serat tuntunan andhalang tumrap para ingkang nembe sinau pramila kaangkah jangkep, kenginga kangge tambah seserapan )Probohardjono 1966:3).

Mencermati sejumlah pendapat di atas, agaknya dapat disimpulkan bahwa kedudukan pakem lebih diperuntukkan bagi para dalang pemula atau calon dalang, sifatnya sebagai pedoman awal dan/atau ancar-ancar semata. Apabila pakem disikapi sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan secara ketat oleh dalang, mungkin terbatas pada lingkup tertentu, misalnya keraton.

Sampai dengan artikel ini selesai ditulis dan diopload belum pernah dijumpai seorang dalang yang menyajikan pertunjukan wayangnya secara ketat seperti pakem pe-dalang¬an yang dipakai dan dianut; termasuk para dalang dan/atau guru dalang yang mengaku sebagai abdi dalem dalang keraton. Pendapat Sastroamidjojo yang sangat tajam bahwa pakem tidak boleh dirubah dapat dikatakan “ngawur’ sebab tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam jagat pakeliran. Pernyataan tajam itu kiranya dapat dimaklumi sebab Adeg, Seno-Sastroamidjojo bukan dalang; barangkali informasi yang diterima terbatas dari kalangan yang juga bukan dalang; kemungkinan juga tidak didasarkan atas pengamatan yang jeli dan bersungguh-sungguh.

Pada masa kejayaannya, keraton memang memiliki wibawa dan/atau pengaruh yang besar, termasuk di bidang pedalangan; tetapi perlu diingat bahwa peredaran pakem keraton itu tidak merata dan meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Dalang-dalang di luar keraton lazimnya meniru kepada para dalang yang lebih populer dan/atau senior; biasanya telah memiliki cara ter¬sendiri dalam melaksanakan pertunjukan wayangnya. Pada kenyataannya tidak semua dalang memiliki kegemaran membaca karena berbagai sebab. Dengan demikian banyak wujud pakeliran tidak sesuai, bahkan barangkali sama sekali berbeda, dengan pakem keraton.

Para dalang “tiru-tiru” itu selanjutnya, secara alami dan kreatif, dapat menyanggit sendiri pakelirannya dalam menghadapi segala permiantaan masyarakat yang selalu berubah. Sering terjadi para dalang “tiru-tiru” tadi lama-kelamaan menjadi dalang yang memiliki kepopuleran puncak di masyarakat luas. Ironisnya, yang terjadi sekarang, ada sejumlah dalang populer--yang nota bene sering dianggap perusak pakem--diangkat menjadi abdi dalem dalang di keraton, dengan diberi gelar kebangsawanan tertentu.



lanjut ke bawah....

V
V
V
V
V
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.