Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

buhitozAvatar border
TS
buhitoz
Wayang, Silakan Anda Lihat Dari Berbagai Sudut.
Selamet malem.

Permisi, para sepuh sekalian.
Saya mau bikin trit tentang wayang.

Wayang dengan segala kisahnya, tokoh-tokohnya, karakter yang menyertainya
dan berbagai faktor eksternal yang melengkapi kehadirannya seakan bagai sumur yang tidak pernah kering.

Menjadi obrolan mulai dari warung kopi sampai cafe yang mentereng.
Oleh tukang becak sampai presiden.
Dari bromocorah sampai ulama.

Wayang, selain dibahas mengenai lakon dan tokohnya juga menjadi bahan kajian yang menarik dari berbagai sudut pandang.

Oleh karena itu, dengan segala hormat, saya membikin trit ini tidak lain untuk tempat berbagi informasi dan pengetahuan lain tentang wayang.

Mohon bimbingan dari para sepuh.
emoticon-shakehand
0
128.6K
2K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
BudayaKASKUS Official
2.3KThread1.1KAnggota
Tampilkan semua post
buhitozAvatar border
TS
buhitoz
#20
Wayang: Di Balik Bayang-bayang Perubahan (II)
Sensor Wayang, Suara dari Kongres

SELAIN membaca sedikit buku tentang wayang dan berbincang santai dengan “pengamat perubahan dalang” seperti Bambang Murtiyoso, Roesman, dan Cahya, ada cara lain yang tidak kalah sederhananya untuk mencari tahu secuil persoalan aktual yang dihadapi jagat perwayangan Indonesia. Yaitu dengan berusaha betah duduk menyimak jalannya Kongres Sena Wangi ini dan berharap sedikit keberuntungan akan muncul cerita menarik.

Seperti Kamis sore dua pekan lalu, tepatnya pada sesi kedua kongres hari pertama. Bagian yang semestinya diisi dengan tanggapan para peserta kongres terhadap laporan pertanggungjawaban kerja pengurus Sena Wangi masa bakti 1999-2005 itu sempat dijadikan penyampaian unek-unek beberapa anggota masyarakat pewayangan.

Gatot, seorang peserta dari Banyumas, Jawa Tengah, angkat bicara soal kiprah dalang di daerahnya dalam menyemarakkan persaingan order tanggapan wayang. Ia mengilustrasikan, ada seorang dalang yang sudah deal harga Rp 4 juta dengan pihak yang akan menggelar pertunjukan wayang.

Eh, beberapa pekan sebelum pergelaran, ada dalang lain yang mendatangi orang yang punya hajat tadi. Si dalang ini menawarkan harga jauh lebih murah. Cuma Rp 2,5 juta. “Ini bentuk serobotan yang tidak beretika!” ujarnya dengan nada geram.

Kali lain, seorang peserta asal Nganjuk, Jawa Timur, mengemukakan unek-uneknya. Ia mengaku prihatin dengan fenomena dalang yang menyikapi zaman susah pasar seret tanggapan wayang dengan melakukan terobosan dangkal dan asal menghibur. Strategi verbal dan visual yang berkonotasi cabul menempati porsi besar pertunjukan wayang.

Sedangkan unsur cerita dan sastra tidak lagi menjadi perhatian dalangnya. “Mungkin dibutuhkan semacam sensor wayang atau tata krama dalang untuk mengendalikan terobosan-terobosan yang kebablasan itu,” ia menandaskan. Ada juga yang menyampaikan harapan tentang fasilitas pensiun buat para dalang sepuh.

Kemudian, ada keinginan menghidupkan kembali bahasa daerah sebagai salah satu bekal penonton untuk memahami bahasa ungkap wayang, program sosialisasi wayang di sekolah-sekolah, penerbitan berkala tentang pewayangan dan beberapa lainnya. “Secara umum, persoalan dunia wayang yang muncul dalam kongres kali ini tidak jauh berbeda dengan persoalan yang muncul dalam kongres sebelumnya,” kata seorang peserta sesaat setelah sesi yang unik itu rampung.

Perubahan yang Kekal

PROBLEMATIKA tersebut, seusang apa pun muatannya, sepertinya sudah menjadi salah satu bagian penting yang menandai eksistensi wayang dari masa ke masa. Disadari atau tidak, sesederhana apa pun, tradisi perubahan dalam pertunjukan wayang dipandang sama tuanya dengan usia wayang di Indonesia. “Pergelaran wayang di zaman Majapahit, apakah diungkapkan dengan bahasa Jawa yang kita gunakan sekarang ini?” ujar Bambang Murtiyoso dengan gaya retoris.

Jika perbandingan aspek linguistik itu dianggap berbau naif dan kurang intelek untuk memetakan kawasan perubahan, boleh disimak catatan Ketua STSI Solo, Prof. Dr. Soetarno, tentang salah satu tanda perubahan yang diusung maestro dalang Ki Narto Sabdo, pada tahun 1961-an. “Contohnya, Ki Narto mulai memasukkan unsur humor di awal lakon, bagian yang biasanya bernuansa sangat serius dan agung,” Soetarno menjelaskan.

Namun, perubahan yang dilakukan almarhum Ki Narto bersifat ke dalam atau kontemplatif dengan tetap mempertahankan pakem pakeliran (pentas) wayang kulit. “Lepas era keemasan Ki Narto, muncul Ki Manteb Soedarsono dengan orientasi visualnya yang mengandalkan gerak,” kata Soetarno.

Ki Mantep yang lihai dalam hal sabetan (memainkan wayang) itu mau pentas bersama dengan pelawak, penyanyi dangdut, dan penyanyi campursari. Ia bahkan membolehkan pelawak dan penyanyi dangdut beraksi di pangung wayangn kulit dengan berdiri dan berjoget di antara para pemain gamelan dan dalang yang duduk bersimpuh.

Sedangkan dalang papan atas lain, seperti Ki Anom Soeroto yang setia di jalur pakem ini, belakangan juga tidak menolak kehadiran bintang tamu dalam pentas wayang kulit. Ki Anom, yang dijuluki sebagai dalang “bersuara emas”, memberi tempat para pelawak seperti Timbul, Kirun, dan Ranto Edi-Gudel (almarhum) menyemarakkan panggungnya.

Ia juga mau menerima kehadiran penyanyi campursari dan keroncong seperti Wadjinah di pentasnya. Hanya saja, Ki Anom menolak jika bintang tamunya berdiri di atas pentas. Tapi dalam soal pakem pakeliran, Ki Anom dan Ki Manteb sama-sama masih setia pada pakem. Dua dalang kondang ini berusaha memadukan fungsi wayang sebagai tuntunan (pembawa pesan moral) dan wayang sebagai tontonan alias hiburan.

Berbeda dengan dalang muda yang muncul belakangan yang lebih mengedapan wayang sebagai hiburan. Misalnya, Ki Djoko Hadiwijoyo alias Ki Djoko Edan dari Semarang membawa grup musik dangdut ke dalam pentasnya. Ia juga menampilkan tokoh Gereng yang dimainkan oleh pemain wayang orang dari Ngesti Pandowo, Semarang.

Selain itu, Ki Djoko juga memeriahkan pakeliran dengan tata cahaya yang gemerlapan. Hal serupa juga dilakukan oleh Ki Warseno Slenk, adik kandung Ki Anom Soeroto. Sedangkan Ki Enthus Susmono dari Tegal mengusung gaya pentas wayang kulit pesisiran.

Dengan kualitas dan kuantitas yang beragam, perubahan itu ada dalam wilayah ”to be continued”. Dari dalang senior menuju dalang generasi tengah, berlanjut ke dalang-dalang dari generasi lebih muda lagi yang kredibilitasnya mulai diukur secara akademis melalui indeks prestasi kumulatif.

Argumen di balik strategi perubahan yang diusung masing-masing dalang pun begitu variatif. Mulai urusan meningkatkan kualitas estetik sampai inovasi dengan pemanfaatan perkembangan teknologi. Tujuanya, lebih mendekatkan dan memopulerkan wayang ke tengah masyarakat, eksperimentasi independen dan atau altruistik, menyerap kecenderungan pasar, dan lain-lain.

“Dalang dan wayang sangat permisif pada perubahan,” begitu ditegaskan pengajar ilmu pedalangan di ISI Yogyakarta, Kasidi Hadiprayitno, putra Ki Timbul Hadiprayitno. Menyimak itu semua, saya jadi teringat kalimat yang pernah ditulis almarhum Umar Kayam di bab pendahuluan buku Kelir Tanpa Batas.

Tentu saja bukan bagian yang menyebutkan potensi wayang sebagai topik pembicaraan yang membosankan, melainkan kalimat yang menyatakan bahwa: “Wayang selalu berada dalam proses yang tidak kunjung berakhir.”

Sebagai karya manusia yang mulai dikenal di sekurang-kurangnya sejak abad ke-10 Masehi. Ada juga yang menyebut wayang telah hadir di bumi Nusantara sejak 3.500 tahun lampau. Selama itu pula, wayang memiliki kemampuan yang luar biasa lugas untuk senantiasa hadir dari waktu ke waktu, di tengah-tengah peradaban manusia. Bambang Murtiyoso menyebut wayang sebagai karya jenius.
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.