- Beranda
- Stories from the Heart
Kisah 2 Hati Kecil
...
TS
Pujangga.Sesat
Kisah 2 Hati Kecil
Kisah 2 Hati Kecil
[K2HK]
Sebelumnya, maaf kalo cerita gue sedikit berantakan. Gue bukan penulis hebat seperti kalian.
Dan jujur, gue menulis pengalaman hidup gue ini karena terinspirasi sama cerita Om Ari a.k.a pujangga.lamadan Om Anto a.k.a bukanpujangga.
Jadi, maaf juga kalo nantinya cerita gue terkesan mirip sama mereka dari segi gaya penulisan. Terima kasih om, atas inspirasinya
Oh iya, perkenalkan nama gue Indra. Dan cerita ini berawal ketika gue baru masuk SMA.
[K2HK]
Sebelumnya, maaf kalo cerita gue sedikit berantakan. Gue bukan penulis hebat seperti kalian.
Dan jujur, gue menulis pengalaman hidup gue ini karena terinspirasi sama cerita Om Ari a.k.a pujangga.lamadan Om Anto a.k.a bukanpujangga.
Jadi, maaf juga kalo nantinya cerita gue terkesan mirip sama mereka dari segi gaya penulisan. Terima kasih om, atas inspirasinya

Oh iya, perkenalkan nama gue Indra. Dan cerita ini berawal ketika gue baru masuk SMA.
Quote:
anasabila memberi reputasi
1
87.8K
599
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Pujangga.Sesat
#460
Part 27
Hari menjelang malam saat gue melangkahkan kaki menuju ke satu tempat. Sepanjang perjalanan ini, perasaan gue berkecamuk antara kesal dan sesal. Sesekali, gue menendang beberapa kerikil di jalanan hanya demi melampiaskan kekesalan gue sendiri. Kata-kata Syeanne terus terngiang di kepala gue.
"Lo harus minta maap, Dra. Beneran deh, mulut lo jahat banget." kata Syeanne sambil menatap gue, tajam.
Berkali-kali gue menyalahkan diri gue sendiri, tapi gue nggak mendapatkan apa-apa dari hal itu. Hanya menambah kekesalan dan penyesalan gue.
Gue berdiri mematung di depan pagar bercat biru itu, cukup lama gue mengumpulkan keberanian untuk membukanya. Setelah gue membuka pagar itu pun gue masih harus berhadapan dengan pintu kayu yg kokoh. Gue mulai ragu untuk melanjutkannya. Tapi bagaimanapun juga gue harus minta maap sama Vedora, sebelum semuanya tambah kacau.
Gue ketok perlahan pintu itu, hal yg nggak pernah gue lakukan sebelumnya. Gue ketok terus, menunggu jawaban dari dalam. Cukup lama sampai tangan gue mulai terasa sakit karenanya.
"Siapa?" sapa seseorang dari dalam.
"Gue... Indra..." sahut gue.
Nggak ada lagi jawaban dari dalam. Gue kembali mengetok pintu itu, "Gue masuk ya, Ve?"
Tapi tetep nggak ada respon sedikit pun dari dalam. Gue terus mengetok dan menyebut nama Vedora dari luar. Gue udah seperti seorang suami yg nggak boleh masuk rumah sama istrinya gara-gara pulang larut malam.
"Vedoranya nggak dirumah!" teriak seseorang dari dalam, akhirnya.
Gue menangkap teriakan itu sebagai izin gue untuk masuk. Gue buka pintu itu perlahan, berusaha agar nggak menimbulkan suara. Gue liat sosok gadis yg gue cari sedang duduk manis menatap kosong ke tv yg sedang menyala.
"Ngapain masuk sih? Udah gue bilang, Vedoranya nggak dirumah." ujarnya tanpa menoleh sedikitpun ke gue.
Gue berusaha tersenyum mendengarnya. Gue mengambil posisi duduk agak jauh dari Vedora.
"Ve, maapin gue ya." ujar gue tanpa basa-basi.
"Buat apa?" balasnya ketus, sambil menekan tombol-tombol remote yg ia pegang.
"Gue tau gue salah, Ve. Gue keceplosan ngomong gitu. Gue nggak ada maksud apa-apa, Ve. Gue cuma becanda."
"Lo nggak salah kok. Lo bener, emang mending nggak punya HP daripada nggak punya pacar." cetusnya, tetap tanpa menoleh ke gue.
Gue udah nggak bisa ngomong lagi. Kata-kata itu seolah memutus jalan maaf gue. Yg bisa gue lakukan hanya diam dan menyesal. Betapa bodohnya gue.
"Mau minum apa?" tanya Vedora, memecah keheningan. Gue merasa aneh dengan kata-kata itu.
"Lo nggak berniat ngusir gue kan?" pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulut gue.
"Gue cuma nawarin minuman, kok. Lagipula gue nggak ada hak buat ngusir tamu gue." balasnya.
Sikap Vedora jelas sangat dingin ke gue. Sementara gue udah nggak tau lagi harus berbuat apa untuk memecahkan kebekuan diantara kita. Waktu berlalu perlahan, membiarkan gue tersiksa dengan keadaan. Tiap obrolan yg keluar dari mulut kami layaknya obrolan dua orang yg baru saling kenal. Dan jujur aja, gue nggak bisa nyaman dengan hal seperti ini. Sampai satu momen, entah bagaimana awalnya, Vedora bilang ke gue, "Dra... Lo harus tau, ada banyak hal yg lebih berharga daripada pacar. Dan gue udah mendapatkan segala hal itu dari lo." ujar Vedora, sambil menatap gue. "Mungkin lo hanya seorang pacar atau seseorang yg sangat berarti buat Syeanne. Tapi bagi gue, lo selalu lebih dari itu." lanjutnya kemudian.
"Maapin gue, Ve. Gue nggak pernah nyangka, lo udah terlalu jauh menyukai gue." ujar gue, dalam hati.
"Dra, besok bantuin gue cari pacar ya?" ujar Vedora. Sangat mengagetkan gue.
"Lo masih marah sama gue?"
"Nggak kok, dari awal gue nggak pernah marah sama lo. Gue tau tadi itu lo becanda." senyumnya, "Tapi, gue juga nggak bisa terus-terusan berdiam diri jadi cewek bodoh yg selalu ada disamping lo. Gue juga butuh seseorang disamping gue, Dra."
Gue diem sejenak. Sungguh, gue nggak akan pernah rela kalo Vedora sampe harus digandeng cowok laen selaen gue. Ngebayangin hal itu aja cukup membuat gue sakit.
"Jangan egois, Dra." kata Vedora, seakan bisa membaca apa yg gue pikirin, "Dengan atau tanpa bantuan lo, gue bisa kok cari cowok laen."
Kemudian, sambil berlalu ke dapur mengambil dan beberapa cemilan, Vedora sedikit bergumam ke gue. Kata-kata yg bikin gue mengerutkan kening dan bertanya-tanya sendiri. Gue mungkin nggak terlalu jelas ngedengernya, dan gue juga nggak yakin dengan apa yg dia ucapkan. Entah salah atau bener, dia sepertinya bilang, "Lagipula, kita juga butuh topeng kan, Dra?"
"Lo harus minta maap, Dra. Beneran deh, mulut lo jahat banget." kata Syeanne sambil menatap gue, tajam.
Berkali-kali gue menyalahkan diri gue sendiri, tapi gue nggak mendapatkan apa-apa dari hal itu. Hanya menambah kekesalan dan penyesalan gue.
Gue berdiri mematung di depan pagar bercat biru itu, cukup lama gue mengumpulkan keberanian untuk membukanya. Setelah gue membuka pagar itu pun gue masih harus berhadapan dengan pintu kayu yg kokoh. Gue mulai ragu untuk melanjutkannya. Tapi bagaimanapun juga gue harus minta maap sama Vedora, sebelum semuanya tambah kacau.
Gue ketok perlahan pintu itu, hal yg nggak pernah gue lakukan sebelumnya. Gue ketok terus, menunggu jawaban dari dalam. Cukup lama sampai tangan gue mulai terasa sakit karenanya.
"Siapa?" sapa seseorang dari dalam.
"Gue... Indra..." sahut gue.
Nggak ada lagi jawaban dari dalam. Gue kembali mengetok pintu itu, "Gue masuk ya, Ve?"
Tapi tetep nggak ada respon sedikit pun dari dalam. Gue terus mengetok dan menyebut nama Vedora dari luar. Gue udah seperti seorang suami yg nggak boleh masuk rumah sama istrinya gara-gara pulang larut malam.
"Vedoranya nggak dirumah!" teriak seseorang dari dalam, akhirnya.
Gue menangkap teriakan itu sebagai izin gue untuk masuk. Gue buka pintu itu perlahan, berusaha agar nggak menimbulkan suara. Gue liat sosok gadis yg gue cari sedang duduk manis menatap kosong ke tv yg sedang menyala.
"Ngapain masuk sih? Udah gue bilang, Vedoranya nggak dirumah." ujarnya tanpa menoleh sedikitpun ke gue.
Gue berusaha tersenyum mendengarnya. Gue mengambil posisi duduk agak jauh dari Vedora.
"Ve, maapin gue ya." ujar gue tanpa basa-basi.
"Buat apa?" balasnya ketus, sambil menekan tombol-tombol remote yg ia pegang.
"Gue tau gue salah, Ve. Gue keceplosan ngomong gitu. Gue nggak ada maksud apa-apa, Ve. Gue cuma becanda."
"Lo nggak salah kok. Lo bener, emang mending nggak punya HP daripada nggak punya pacar." cetusnya, tetap tanpa menoleh ke gue.
Gue udah nggak bisa ngomong lagi. Kata-kata itu seolah memutus jalan maaf gue. Yg bisa gue lakukan hanya diam dan menyesal. Betapa bodohnya gue.
"Mau minum apa?" tanya Vedora, memecah keheningan. Gue merasa aneh dengan kata-kata itu.
"Lo nggak berniat ngusir gue kan?" pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulut gue.
"Gue cuma nawarin minuman, kok. Lagipula gue nggak ada hak buat ngusir tamu gue." balasnya.
Sikap Vedora jelas sangat dingin ke gue. Sementara gue udah nggak tau lagi harus berbuat apa untuk memecahkan kebekuan diantara kita. Waktu berlalu perlahan, membiarkan gue tersiksa dengan keadaan. Tiap obrolan yg keluar dari mulut kami layaknya obrolan dua orang yg baru saling kenal. Dan jujur aja, gue nggak bisa nyaman dengan hal seperti ini. Sampai satu momen, entah bagaimana awalnya, Vedora bilang ke gue, "Dra... Lo harus tau, ada banyak hal yg lebih berharga daripada pacar. Dan gue udah mendapatkan segala hal itu dari lo." ujar Vedora, sambil menatap gue. "Mungkin lo hanya seorang pacar atau seseorang yg sangat berarti buat Syeanne. Tapi bagi gue, lo selalu lebih dari itu." lanjutnya kemudian.
"Maapin gue, Ve. Gue nggak pernah nyangka, lo udah terlalu jauh menyukai gue." ujar gue, dalam hati.
"Dra, besok bantuin gue cari pacar ya?" ujar Vedora. Sangat mengagetkan gue.
"Lo masih marah sama gue?"
"Nggak kok, dari awal gue nggak pernah marah sama lo. Gue tau tadi itu lo becanda." senyumnya, "Tapi, gue juga nggak bisa terus-terusan berdiam diri jadi cewek bodoh yg selalu ada disamping lo. Gue juga butuh seseorang disamping gue, Dra."
Gue diem sejenak. Sungguh, gue nggak akan pernah rela kalo Vedora sampe harus digandeng cowok laen selaen gue. Ngebayangin hal itu aja cukup membuat gue sakit.
"Jangan egois, Dra." kata Vedora, seakan bisa membaca apa yg gue pikirin, "Dengan atau tanpa bantuan lo, gue bisa kok cari cowok laen."
Kemudian, sambil berlalu ke dapur mengambil dan beberapa cemilan, Vedora sedikit bergumam ke gue. Kata-kata yg bikin gue mengerutkan kening dan bertanya-tanya sendiri. Gue mungkin nggak terlalu jelas ngedengernya, dan gue juga nggak yakin dengan apa yg dia ucapkan. Entah salah atau bener, dia sepertinya bilang, "Lagipula, kita juga butuh topeng kan, Dra?"
0