TS
prabuanom
beberapa simbolisasi ubo rampe dan falsafahnya
ubo rampe atau piranti sesajian ada banyak sekali, misal bunga bungaan. kue, janur, dan banyak lagi lainnya. semua pasti memiliki makna kenapa dipakai, dipilih dan dipergunakan sebagai sarana ritual. saya ingin membahasanya satu persatu, tetapi mohon maaf tidak bisa urut karena kebanyakan ilmunya dari hasil googling. jadi kalo ada yang ingin menambahkan sangat dipersilakan sekali untuk ikut menambahkan atau mendiskusikannya. mari kita mulai membahasnya sedikit demi sedikit falsafah dan simbolisasi dalam ubo rampe, piranti dan peralatan, atau ritualnya itu sendiri. sebagai bagian dari khazanah budaya kita 


daftar isi:
note:
kebanyakan disini berbentuk copasan artikel. makna filosofinya ada dalam penjelasan artikel tersebut. tidak disajikan mentah inti per inti. jadi jangan merasa segan untuk membaca.



daftar isi:
- halaman 1
falsafah simbolisasi janur kuning
falsafah angka tujuh dalam sesajen
bubur sajen malam satu suro oleh mbah buhitoz
filosofi canang oleh mbah angsip
- halaman 2,
falsafah simbolisasi kupat/ketupat
makna kupat dari budaya sunda dan betawi dr kang angel
seri falsafah makna kembang setaman
makna kembang kantil
makna kembang melati
makna kembang kenongo
makna kembang mawar
kembang telon, kembang boreh, kembang tujuh rupa
upacara ritual king ho ping dan sesajennya
mengenai angka 7 tambahan dr mbah empheldum
- halaman 3,
tambahan makna kupat oleh mbah empel
upacara panggih adat dan sesajennya
makna kepyok kembang mayang yg menyertai keluarnya pengantin wanita
lempar sirih balangan gantal dan maknanya
makna ritual wijikan dan memecah telur
berjalan gandeng jari kelingking, tampa kaya, dan dahar klimah
ubo rampe bagi ibu hamil yang susah melahirkan bersama maknanya by kang buhitoz
tambahan makna angka tujuh oleh mbah detiklink
falsafah, makna, simbolisasi roti buaya dari betawi
falsafah, simbolisasi, makna kue keranjang
falsafah simbolisasi baju adat pernikahan aceh
selamatan mitoni, tingkepan, ubo rampe serta makna nya
- halaman 4,
makna sajen dari budaya sunda oleh kang angel
falsafah makna tumpeng
hiasan pernikahan ala surakarta dan maknanya
falsafah makna dari tradisi ojung
falsafah upacara pelet kandhung dari madura
- halaman 5,
tambahan makna simbolisasi hiasan pernikahan oleh mbah grubyuk
tambahan filosofi kupat oleh kang angel
makna, simbolisasi, sajen muludan dan pelal cirebon oleh kang angel
makna filosofi sintren oleh kang angel
makna dan filosofi yang terkandung dalam reog ponorogo
kesenian reak cianjur 1 oleh kang angel
kesenian reak cianjur 2 oleh kang angel
- halaman 6,
makna bagian ubo rampe ritual jawa
filosofi makna tedak sinten
falsafah simbolisasi kesenian bantengan
antara perkutut dan falsafah jawa
sekilas falsafah keris
falsafah, simbolisasi nyadran dan sesajinya
makna ritual chau da fa hui serta perlengkapan ritualnya
filosofi poleng by bli patih djelantik
- halaman 7,
falsafah kirab agung tapa bisu
hakekat upacara tumpak landhep bali
makna tuturiagina andala, sesaji dr pulau di makassar
filosofi sedekah laut pocosari dan ubo rampenya
Peusijuek dalam budaya aceh oleh mbah agung
erau kutai kartanegara part 1
erau kertanegara part 2
- halaman 8,
falsafah ritual ya qowiyu
ya qowiyu dan makna apem
falsafah makna tayuban
falsafah tari topeng cirebon part 1
falsafah tari topeng cirebon part 2
- halaman 9,
falsafah gamelan
tradisi cowongan
tahap pelaksanaan cowongan dan sesajinya part 1
tahapan cowongan part 2
selamatan tingkep dan sesajinya oleh kang buhitoz
tumpeng robyong dalam slamatan tingkep oleh kang buhitoz
tambahan tentang tumpeng oleh kang buhitoz
- halaman 10,
menempati rumah baru by kang buhitoz
tarawangsa makna dan simbolisnya oleh kang buhitoz part 1
tarawangsa makna dan simbolnya oleh kang buhitoz part 2
tarawangsa makna dan simbolnya oleh kang buhitoz part 3
tarawangsa makna dan simbolisnya oleh kang buhitoz part 4
tambahan tarawangsa makna saji oleh papi angel
kebo bule keraton surakarta
upacara membangun pura
menanam kebo perjaka oleh kang buhitoz
- halaman 11,
kirab tebu temanten
tanam kepala kerbau awal musim giling tebu
tanam kepala kerbau by papi angel
kepala kerbau by kang buhitoz
pertamanan bali
filosofi tanaman dan penempatannya bali
aspek religi pertamanan bali
aspek usada pertamanan bali
sifat air dalam ritual kungkum by kang buhitoz
jaranan
- halaman 12,
sesaji dalam kesenian jaranan
sesaji cok bakal
sesaji buceng mas
- halaman 13,
slamatan kematian
makna sajen dalam ritual kematian
simbolisasi cermin
mabeakala adat bali
simbolisasi meru
- halaman 14
sajen mengenai babaran
sapu gerang
filosofi makna wadah daun pisang, picuk takir dll
makna takir
makna takir 2
takir pontang
makna sudi
- halaman 15
bedug kentongan makna
upacara wiwitan
pis bolong bali
pis bolong bali 2
makna festival dongzhi onde
pisang, menjari seperti berdoa
- halaman 16
badik
tradisi bebuang suku bugis kalimantan
upacara mapalili suku bugis part 1
upacara mappalili suku bugis part 2
upacara mappalili suku bugis part 3
upacara mappalili suku bugis part 4
note:
kebanyakan disini berbentuk copasan artikel. makna filosofinya ada dalam penjelasan artikel tersebut. tidak disajikan mentah inti per inti. jadi jangan merasa segan untuk membaca.
Diubah oleh prabuanom 10-07-2013 13:59
0
136.9K
327
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
2.5KThread•1.6KAnggota
Tampilkan semua post
buhitoz
#12
Bubur Sajen Malam 1 Suro
Permisi, mbah...
Ikut berbagi di sini...
![kaskus-image]()
Bubur Sajen malam 1 Suro, Tanggal 1 Suro (1 Muharram dalam tarikh Islam, atau 1 Asyura) diperingati oleh masyarakat Jawa dengan cara yang khas dan telah dilaksanakan secara turun-temurun selama berabad-abad. Sayangnya, tradisi ini tampaknya telah semakin termarginalkan dan hanya dilaksanakan oleh kaum sepuh yang masih memelihara tradisi itu sebagai pusaka budaya.
Seperti halnya dalam tradisi dan budaya yang lain, setiap ritual pelintasan (rites of passage) selalu diiringi dengan elemen kuliner sebagai lambang. Kaum Islam di Jawa merayakan Idul Fitri dengan nasi kuning, sementara suku-suku lain di Indonesia merayakannya dengan sajian ketupat. Pada Hari Raya Imlek, saudara-saudara kita yang keturunan Tionghoa memakai kue keranjang sebagai lambang. Kaum Kristen di Amerika Serikat menandai Thanksgiving Day dengan sajian kalkun panggang. Tidak satu pun kitab suci agama yang mewajibkan hadirnya makanan-makanan itu dalam hari-hari raya keagamaan. Karena itu, tradisi ini harus dilihat sebagai murni tradisi yang terpisah dari syariat agama. Tradisi ini memberi warna dan nuansa budaya dari rangkaian ritual agama bagian perayaan atau celebration, atau festival, untuk memaknai kesyukuran. Mohon dicatat, tradisi Imlek dan Thanksgiving bukanlah bagian dari ritual agama.
Masyarakat Jawa menghadirkan bubur suran atau bubur suro pada malam menjelang datangnya 1 Suro. Dalam konsep Jawa, setelah lewat pukul empat petang dianggap sudah memasuki hari baru esok. Harus diingat bahwa bubur suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik. Bubur suro syarat dengan lambang, dan karenanya harus dibaca, dilihat, dan ditafsirkan sebagai alat (uba rampe dalam bahasa Jawa) untuk memaknai 1 Suro atau Tahun Baru yang akan datang.
Bubur suro dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Rasanya gurih dengan nuansa asin-pedas tipis. Di atas bubur ini ditaburi serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima, serta tujuh jenis kacang, yaitu: kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, kacang bogor sebagian digoreng, sebagian direbus. Diakhiri dengan beberapa iris ketimun dan beberapa lembar daun kemangi. Bayangkan, bauran elemen bahan dan bumbu yang menghadirkan berbagai tekstur. Klethik, klethuk, kriuk, krenyes.
Lauk yang umum dipakai untuk mendampingi bubur suro adalah opor ayam yang mlekoh dan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas. Campuran itu menjadikan bubur suro sangat bergizi. Tidak heran bila Universitas Atma Jaya di Jakarta dan Universitas Airlangga di Surabaya melakukan kajian tentang kandungan gizi bubur suro dan menerbitkannya dalam makalah ilmiah.
Sebagai uba rampe, bubur suro tidak hadir sendiri. Ada lagi uba rampe lain berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan. Hadirnya sirih lengkap melambangkan asal-usul dan penghormatan atau pengenangan kita kepada orang tua dan para leluhur khususnya yang telah mendahului kita. Sirih lengkap biasanya diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual pelintasan Jawa dengan makna yang sama. Di Tanah Melayu kita juga melihat tradisi sekapur sirih ini untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.
Kembar mayang yang hadir pada peringatan 1 Suro berbeda dengan kembar mayang yang kita lihat pada upacara pernikahan masyarakat Jawa. Disebut kembar mayang karena memang terdiri atas dua vas bunga. Masing-masing vas berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.
Sekeranjang buah-buahan juga diisi dengan tujuh jenis buah, dan masing-masing terdiri atas tujuh butir, misalnya: tujuh jeruk, tujuh salak, tujuh rambutan, dan lain-lain. Maknanya adalah agar semua pekerjaan dan tindakan menghasilkan buah yang manis dan bermanfaat bagi sesama.
Bila kita melihat, membaca, dan memberi makna pada lambang-lambang yang dihadirkan oleh bubur suro dan uba rampe-nya itu, akan tampak kemiripannya dengan tradisi modern menyambut tahun baru yang ditandai dengan refleksi dan resolusi. Kita melakukan peninjauan kembali terhadap kinerja tahun sebelumnya, dan kemudian membuat resolusi untuk memerbaiki tata hidup dan pencapaian di tahun berikutnya.
Bubur suro dan uba rampe yang dihadirkan kemudian tampil sebagai alat atau check list untuk memudahkan proses refleksi dan resolusi yang kita lakukan. Sudahkah kita punya tekad yang kuat untuk bekerja? Sudah benar dan bersihkah landasan tekad kita? Apakah pekerjaan kita sudah mengharumkan lingkungan kita? Apakah semua itu telah menghasilkan buah yang nyata? Bila belum, ayo kita perbaiki untuk tahun berikutnya.
Di Tasikmalaya dan Garut, ada beberapa kelompok masyarakat yang merayakan tradisi dengan bubur sura pada tanggal 10 Muharam yang pada intinya terdiri atas bubur merah dan bubur putih yang masing-masing disimpan secara terpisah. Bubur merah dan bubur putih ini kemudian diusung ke masjid desa bersama hahampangan (berbagai makanan kecil) untuk disantap berjamaah.
Di Garut, beberapa orang tua menjadikan 10 Asyura untuk menabalkan nama anaknya yang baru lahir. Biasanya orang tua membawa si bayi ke masjid, kemudian memerkenalkan namanya kepada hadirin. Karena acara perkenalan ini memakai syarat bubur merah dan bubur putih, di masyarakat Sunda sering terdengar ungkapan: "Ngaran budak teh geus beunang ngabubur beureum ngabubur bodas." (Nama anak ini sudah dikuatkan dengan bubur merah dan bubur putih).
Lepas dari urusan keberagamaan, saya hanya ingin membaca bubur suro sebagai sebuah pusaka kuliner yang patut dilestarikan dalam konteks tradisi dan budaya. Banyak dari kita yang sudah lupa doktrin Trisakti yang dulu sering diucapkan Bung Karno, yaitu: berdaulat dalam politik, berswadaya dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
sumber: http://pakarbisnisonline.blogspot.co...am-1-suro.html
Ikut berbagi di sini...

Bubur Sajen malam 1 Suro, Tanggal 1 Suro (1 Muharram dalam tarikh Islam, atau 1 Asyura) diperingati oleh masyarakat Jawa dengan cara yang khas dan telah dilaksanakan secara turun-temurun selama berabad-abad. Sayangnya, tradisi ini tampaknya telah semakin termarginalkan dan hanya dilaksanakan oleh kaum sepuh yang masih memelihara tradisi itu sebagai pusaka budaya.
Seperti halnya dalam tradisi dan budaya yang lain, setiap ritual pelintasan (rites of passage) selalu diiringi dengan elemen kuliner sebagai lambang. Kaum Islam di Jawa merayakan Idul Fitri dengan nasi kuning, sementara suku-suku lain di Indonesia merayakannya dengan sajian ketupat. Pada Hari Raya Imlek, saudara-saudara kita yang keturunan Tionghoa memakai kue keranjang sebagai lambang. Kaum Kristen di Amerika Serikat menandai Thanksgiving Day dengan sajian kalkun panggang. Tidak satu pun kitab suci agama yang mewajibkan hadirnya makanan-makanan itu dalam hari-hari raya keagamaan. Karena itu, tradisi ini harus dilihat sebagai murni tradisi yang terpisah dari syariat agama. Tradisi ini memberi warna dan nuansa budaya dari rangkaian ritual agama bagian perayaan atau celebration, atau festival, untuk memaknai kesyukuran. Mohon dicatat, tradisi Imlek dan Thanksgiving bukanlah bagian dari ritual agama.
Masyarakat Jawa menghadirkan bubur suran atau bubur suro pada malam menjelang datangnya 1 Suro. Dalam konsep Jawa, setelah lewat pukul empat petang dianggap sudah memasuki hari baru esok. Harus diingat bahwa bubur suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik. Bubur suro syarat dengan lambang, dan karenanya harus dibaca, dilihat, dan ditafsirkan sebagai alat (uba rampe dalam bahasa Jawa) untuk memaknai 1 Suro atau Tahun Baru yang akan datang.
Bubur suro dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Rasanya gurih dengan nuansa asin-pedas tipis. Di atas bubur ini ditaburi serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima, serta tujuh jenis kacang, yaitu: kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, kacang bogor sebagian digoreng, sebagian direbus. Diakhiri dengan beberapa iris ketimun dan beberapa lembar daun kemangi. Bayangkan, bauran elemen bahan dan bumbu yang menghadirkan berbagai tekstur. Klethik, klethuk, kriuk, krenyes.
Lauk yang umum dipakai untuk mendampingi bubur suro adalah opor ayam yang mlekoh dan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas. Campuran itu menjadikan bubur suro sangat bergizi. Tidak heran bila Universitas Atma Jaya di Jakarta dan Universitas Airlangga di Surabaya melakukan kajian tentang kandungan gizi bubur suro dan menerbitkannya dalam makalah ilmiah.
Sebagai uba rampe, bubur suro tidak hadir sendiri. Ada lagi uba rampe lain berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan. Hadirnya sirih lengkap melambangkan asal-usul dan penghormatan atau pengenangan kita kepada orang tua dan para leluhur khususnya yang telah mendahului kita. Sirih lengkap biasanya diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual pelintasan Jawa dengan makna yang sama. Di Tanah Melayu kita juga melihat tradisi sekapur sirih ini untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.
Kembar mayang yang hadir pada peringatan 1 Suro berbeda dengan kembar mayang yang kita lihat pada upacara pernikahan masyarakat Jawa. Disebut kembar mayang karena memang terdiri atas dua vas bunga. Masing-masing vas berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.
Sekeranjang buah-buahan juga diisi dengan tujuh jenis buah, dan masing-masing terdiri atas tujuh butir, misalnya: tujuh jeruk, tujuh salak, tujuh rambutan, dan lain-lain. Maknanya adalah agar semua pekerjaan dan tindakan menghasilkan buah yang manis dan bermanfaat bagi sesama.
Bila kita melihat, membaca, dan memberi makna pada lambang-lambang yang dihadirkan oleh bubur suro dan uba rampe-nya itu, akan tampak kemiripannya dengan tradisi modern menyambut tahun baru yang ditandai dengan refleksi dan resolusi. Kita melakukan peninjauan kembali terhadap kinerja tahun sebelumnya, dan kemudian membuat resolusi untuk memerbaiki tata hidup dan pencapaian di tahun berikutnya.
Bubur suro dan uba rampe yang dihadirkan kemudian tampil sebagai alat atau check list untuk memudahkan proses refleksi dan resolusi yang kita lakukan. Sudahkah kita punya tekad yang kuat untuk bekerja? Sudah benar dan bersihkah landasan tekad kita? Apakah pekerjaan kita sudah mengharumkan lingkungan kita? Apakah semua itu telah menghasilkan buah yang nyata? Bila belum, ayo kita perbaiki untuk tahun berikutnya.
Di Tasikmalaya dan Garut, ada beberapa kelompok masyarakat yang merayakan tradisi dengan bubur sura pada tanggal 10 Muharam yang pada intinya terdiri atas bubur merah dan bubur putih yang masing-masing disimpan secara terpisah. Bubur merah dan bubur putih ini kemudian diusung ke masjid desa bersama hahampangan (berbagai makanan kecil) untuk disantap berjamaah.
Di Garut, beberapa orang tua menjadikan 10 Asyura untuk menabalkan nama anaknya yang baru lahir. Biasanya orang tua membawa si bayi ke masjid, kemudian memerkenalkan namanya kepada hadirin. Karena acara perkenalan ini memakai syarat bubur merah dan bubur putih, di masyarakat Sunda sering terdengar ungkapan: "Ngaran budak teh geus beunang ngabubur beureum ngabubur bodas." (Nama anak ini sudah dikuatkan dengan bubur merah dan bubur putih).
Lepas dari urusan keberagamaan, saya hanya ingin membaca bubur suro sebagai sebuah pusaka kuliner yang patut dilestarikan dalam konteks tradisi dan budaya. Banyak dari kita yang sudah lupa doktrin Trisakti yang dulu sering diucapkan Bung Karno, yaitu: berdaulat dalam politik, berswadaya dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
sumber: http://pakarbisnisonline.blogspot.co...am-1-suro.html
0