- Beranda
- B-Log Collections
Tenda Pengungsian
...
TS
comANDRE
Tenda Pengungsian

selamat datang di gubuk sederhana kami

di sini hanya untuk ngobrol asik only, aturan mainnya manut sama yg dibuat mimin aja. OK?

ngobrol pinter minggu ini
22-05-2011 : Pendidikan kita menghasilkan koruptor?
2011-05-23 : republika tidak valid sebagai sumber berita di BP/LN? - CLOSED
2011-05-23 : white lies kepada pasien kronis?
2011-06-09 : belah duren di cirebon

2011-09-16 : pemerkosaan gara-gara rok mini?
2011-09-17 : peternakan bp raya?
2011-09-18 : jangan salahkan rok mini, salahkan otaknya?
2011-12-06 : anak dari orangtua pengidap hiv+ tidak boleh sekolah (umum)?
2012-03-21 : [POLL] Pilkada DKI 2012
0
196K
Kutip
8.9K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
B-Log Collections
3.1KThread•6.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
comANDRE
#5937
Paradoks pendidikan Indonesia: pendidikan yang menghasilkan koruptor
eh, sehubungan dengan program meng-go-blog-kan trid ini
gw usul artikel kompasiana tadi dijadiin bahan buat ngobrol asik
Sulit dicerna akal sehat bila kita melihat satu negara yang kaya justru menjadi gubuk derita bagi penduduknya. Ibarat tikus mati di lumbung padi atau rumah megah yang justru dihuni seorang busung lapar. Sungguh sangat ironi. Ironi yang lebih memilukan hati kita karena terjadi di negara sendiri.
Kekayaan negara dalam bentuk sumber daya alam bumi, tanah, laut yang melimpah seakan menjadi tak bernilai bila melihat kenyataan masih miskinnya banyak penduduk bangsa ini.
Apa sebab ironi ini?
Irak negeri 1001 malam, Indonesia negeri 1001 masalah. Idiom 1001 masalah tentunya tidak cocok benar karena bila kita daftar seluruh masalah bangsa ini, pastinya akan ada lebih dari 1001 masalah yang kita temukan. Mungkin sejuta, atau bahkan mungkin semilyar. Namun semua masalah tersebut saya meyakini berasal dari satu sumber yang sama: korupsi.
Kita semua tentu mahfum dengan hal tersebut. Meskipun sayangnya kemahfuman ini tidak bisa membuat korupsi hilang. Bangsa ini seakan kehilangan daya dan upayanya memberangus korupsi.
Mati satu tumbuh seribu. Pesan yang dulu ada untuk membakar semangat pejuang kemerdekaan kini lebih cocok untuk mengambarkan banyaknya koruptor-koruptor baru yang seakan terus menolak untuk tiada.
Kenapa begitu sulit menghilangkan korupsi di bumi Indonesia ini? Padahal tak henti-hentinya kita dengar berita tuntutan hukuman bagi koruptor-koruptor tersebut. Mulai pengusaha hingga penguasa. Lelaki ataupun perempuan. Elit pusat maupun daerah. Semua ditindak. Namun apa hasilnya? Korupsi tetap tidak hilang, meskipun kita juga telah mendeklarasikan korupsi sebagai musuh bersama.
Apakah perlu hukuman mati bagi koruptor? Tapi mengapa negara2 seperti Singapura dan Jepang bisa memiliki indeks korupsi rendah meskipun mereka tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor? Dan juga kenapa Cina yang sudah menerapkan hukuman mati masih saja memiliki masalah korupsi?
Sejatinya tidak perlu hukuman mati bagi koruptor. Karena tanpa dihukum mati pun mereka akan mati sendiri suatu saat. Sehingga ketika semua koruptor yang ada saat ini sudah menemui ajalnya, maka Indonesia seharusnya bisa menjadi negara bebas koruptor. Namun sayang kenyataannya tidak demikian. Kembali lagi mati satu tumbuh seribu.
Lalu kenapa koruptor di negara ini selalu ada lagi, ada lagi, dan ada lagi? Saya memiliki pendapat bahwa ada satu hal mendasar namun sangat penting yang menyebabkan sulitnya menghilangkan koruptor di negara ini. Mari sejenak kita lihat dan perhatikan para koruptor itu. Lihatlah jabatan dan kekuasaan mereka yang tinggi. Lihatlah gaya berpakaian mereka yang perlente. Lihatlah cara bicara mereka yang intelek, berbicara dengan susunan kata teratur dan membuai. Kemudian silahkan simpulkan, apakah mereka terlihat seperti orang2 yang berpendidikan rendah? Apakah kira-kira mereka dulunya adalah orang yang putus sekolah? Apakah mereka adalah orang2 yang hanya lulusan SD? lulusan SMP? lulusan SMA? Tidak !! Mereka adalah bagian dari sedikit orang Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan terbaik bangsa ini. Merekalah PRODUK nyata pendidikan kita seutuhnya. Merekalah bukti bahwa pendidikan kitalah yang menciptakan koruptor, yang oleh karenanya membuat korupsi sulit hilang dari negeri ini!!
Inilah paradoks pendidikan kita. Pendidikan yang menghasilkan koruptor. Bila demikian, apakah tidak terusik hati kita? Bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi pondasi peradaban bangsa, justru menjadi sumber masalah bangsa ini. Bila demikian, tidakkah kita harus takut bila nantinya makin banyak orang Indonesia yang sekolah justru akan makin banyak lagi koruptor di negara ini?
Lalu apa sebenarnya yang salah dengan pendidikan kita?
Ingatkah dulu saat-saat ketika kita masih sekolah (atau ingatkah hari-hari kalian di sekolah bagi yang masih sekolah), ketika guru-guru kita terus mendoktrin bahwa pelajar yang baik adalah pelajar dengan nilai tinggi? Ingatkah ketika guru dan sekolah terus menjadikan angka sebagai satu-satunya alasan penilaian prestasi siswa siswi mereka?
Sebaliknya, berapa seringkah guru-guru kita berkata, bahwa mereka akan tetap bangga pada kita dengan berapapun nilai yang kita dapat asalkan itu didapat dengan usaha yang maksimal dengan balutan kejujuran? Berapa seringkah guru-guru kita mengatakan bahwa nilai dan angka tidak pernah lebih penting dari kemampuan untuk menahan diri dari berbuat curang dan menipu diri sendiri? Apalagi menipu orang lain.
Tapi nyatanya guru dan sekolah kita lebih sibuk memikirkan materi bagi siswa siswinya. Sibuk meningkatkan nilai rata-rata sekolah. Sibuk membangun kelas-kelas akselerasi. Atau sibuk membangun sekolah-sekolah berstandar internasional yang parameter keberhasilannya lagi-lagi diukur dengan materi.
Lihatlah sekarang hasil dari pendidikan.
Dimulai dari hal kecil seperti mencontek atau menyalin tugas sekolah yang terjadi di seluruh tingkat pendidikan sekolah, baik dari sd hingga perguruan tinggi, dari pendidikan dengan kualitas terburuk hingga institusi pendidikan terbaik yang dimiliki bangsa ini yang juga telah banyak menyumbang pemimpin bangsa ini.
Lihatlah bagaimana guru dan sekolah mendidik anak-anaknya untuk berbuat curang. Dengan menyediakan jawaban ujian nasional untuk siswa siswi mereka demi kepentingan meningkatkan nilai kelulusan dan nilai rata-rata sekolah. Tidakkah miris hati kita melihat sekolah dan guru kita dengan jelas dan sistematis membentuk anak-anak bangsa untuk menipu.
Lalu tidakkah menjadi masuk akal bila bangsa ini tidak pernah kehabisan koruptor?
Itulah yang terjadi bila pendidikan hanya dinilai berdasarkan angka. Itulah yang terjadi ketika kulit mendapatkan lebih perhatian dibandingkan isi. Ketika akhirnya 9 yang kotor dianggap lebih baik dari 5 yang didapatkan dari usahanya sendiri. Mental itulah yang akan terus terbawa hingga kelak murid telah menjadi mahasiswa, dan mahasiswa menjadi pemimpin di masyarakat.
Pendidikan kita, disadari atau tidak telah mengajarkan anak-anak dan adik-adik kita utk mengejar materi. Baik itu materi dalam bentuk nilai pelajaran maupun bayangan tentang kesuksesan manusia yang melulu diidentikkan dengan banyaknya uang atau tingginya jabatan. Hingga terkuburlah dalam-dalam tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Lalu masih patutkah kita bertanya apa salahnya pendidikan kita, ketika sudah begitu besar terpampang kesalahan tersebut didepan wajah kita?
Saya cemburu pada Jepang karena mereka memiliki Nobita yang senantiasa berusaha untuk tidak mencontek meskipun sering mendapatkan nilai nol. Cemburu pada Jepang karena berhasil mendidik rakyatnya dengan sangat baik tentang kejujuran, hingga seorang komikus Doraemon pun masih sempat menyisipkan nilai-nilai tersebut dalam karyanya. Sungguh saya cemburu.
Sejatinya pendidikan akan selalu menjadi solusi bagi seluruh masalah umat manusia, dan ini tidak akan pernah berubah. Akan selalu demikian adanya. Hanya saja pendidikan punya caranya sendiri untuk bisa berguna. Punya arah jalannya sendiri dan tidak boleh salah.
Kembalikan pendidikan pada tujuan dasarnya, pada nilai-nilai luhurnya, untuk membentuk manusia seutuhnya dengan budi pekerti yang baik, dengan nilai akhlak moral yang bermartabat.
Didik anak-anak kita, adik-adik kita dengan sangat keras tentang kejujuran, integritas, dan nilai moral lainnya, hingga mereka akan terus menggigit dengan sekuat rahang mereka nilai2 tersebut sampai pada saatnya mereka terjun ke masyarakat, dan terlebih bila kelak mereka menjadi pemimpin.
Saya berharap bahwa pendidikan itu bisa benar-benar kembali pada hakikat mulanya. Yaitu pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia. Karena saya meyakini seutuhnya bahwa hanya dengan cara itulah kita bisa menghilangkan budaya korupsi bangsa ini sehabis-habisnya,hingga suatu saat nanti anak cucu kita bahkan tidak lagi mengenal kata korupsi. Hingga suatu hari nanti ketika anak cucu kita menjadi seperti halnya Nobita, lebih memilih untuk mendapatkan nilai nol daripada nilai seratus hasil kecurangan. Mari kita terus berusaha bersama, pemerintah dan masyarakat, untuk memperbaiki pendidikan kita agar hari itu, saat itu benar-benar bisa terwujud.
sumber
yuk mareee
-> kopi
yang laen kalo mau nyumbang topik silahken, nanti gw index di pekiwan
bisa tentang apa aja yg berkaitan dengan BP, gak musti ada sumber
gw usul artikel kompasiana tadi dijadiin bahan buat ngobrol asik
Quote:
Sulit dicerna akal sehat bila kita melihat satu negara yang kaya justru menjadi gubuk derita bagi penduduknya. Ibarat tikus mati di lumbung padi atau rumah megah yang justru dihuni seorang busung lapar. Sungguh sangat ironi. Ironi yang lebih memilukan hati kita karena terjadi di negara sendiri.
Kekayaan negara dalam bentuk sumber daya alam bumi, tanah, laut yang melimpah seakan menjadi tak bernilai bila melihat kenyataan masih miskinnya banyak penduduk bangsa ini.
Apa sebab ironi ini?
Irak negeri 1001 malam, Indonesia negeri 1001 masalah. Idiom 1001 masalah tentunya tidak cocok benar karena bila kita daftar seluruh masalah bangsa ini, pastinya akan ada lebih dari 1001 masalah yang kita temukan. Mungkin sejuta, atau bahkan mungkin semilyar. Namun semua masalah tersebut saya meyakini berasal dari satu sumber yang sama: korupsi.
Kita semua tentu mahfum dengan hal tersebut. Meskipun sayangnya kemahfuman ini tidak bisa membuat korupsi hilang. Bangsa ini seakan kehilangan daya dan upayanya memberangus korupsi.
Mati satu tumbuh seribu. Pesan yang dulu ada untuk membakar semangat pejuang kemerdekaan kini lebih cocok untuk mengambarkan banyaknya koruptor-koruptor baru yang seakan terus menolak untuk tiada.
Kenapa begitu sulit menghilangkan korupsi di bumi Indonesia ini? Padahal tak henti-hentinya kita dengar berita tuntutan hukuman bagi koruptor-koruptor tersebut. Mulai pengusaha hingga penguasa. Lelaki ataupun perempuan. Elit pusat maupun daerah. Semua ditindak. Namun apa hasilnya? Korupsi tetap tidak hilang, meskipun kita juga telah mendeklarasikan korupsi sebagai musuh bersama.
Apakah perlu hukuman mati bagi koruptor? Tapi mengapa negara2 seperti Singapura dan Jepang bisa memiliki indeks korupsi rendah meskipun mereka tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor? Dan juga kenapa Cina yang sudah menerapkan hukuman mati masih saja memiliki masalah korupsi?
Sejatinya tidak perlu hukuman mati bagi koruptor. Karena tanpa dihukum mati pun mereka akan mati sendiri suatu saat. Sehingga ketika semua koruptor yang ada saat ini sudah menemui ajalnya, maka Indonesia seharusnya bisa menjadi negara bebas koruptor. Namun sayang kenyataannya tidak demikian. Kembali lagi mati satu tumbuh seribu.
Lalu kenapa koruptor di negara ini selalu ada lagi, ada lagi, dan ada lagi? Saya memiliki pendapat bahwa ada satu hal mendasar namun sangat penting yang menyebabkan sulitnya menghilangkan koruptor di negara ini. Mari sejenak kita lihat dan perhatikan para koruptor itu. Lihatlah jabatan dan kekuasaan mereka yang tinggi. Lihatlah gaya berpakaian mereka yang perlente. Lihatlah cara bicara mereka yang intelek, berbicara dengan susunan kata teratur dan membuai. Kemudian silahkan simpulkan, apakah mereka terlihat seperti orang2 yang berpendidikan rendah? Apakah kira-kira mereka dulunya adalah orang yang putus sekolah? Apakah mereka adalah orang2 yang hanya lulusan SD? lulusan SMP? lulusan SMA? Tidak !! Mereka adalah bagian dari sedikit orang Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan terbaik bangsa ini. Merekalah PRODUK nyata pendidikan kita seutuhnya. Merekalah bukti bahwa pendidikan kitalah yang menciptakan koruptor, yang oleh karenanya membuat korupsi sulit hilang dari negeri ini!!
Inilah paradoks pendidikan kita. Pendidikan yang menghasilkan koruptor. Bila demikian, apakah tidak terusik hati kita? Bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi pondasi peradaban bangsa, justru menjadi sumber masalah bangsa ini. Bila demikian, tidakkah kita harus takut bila nantinya makin banyak orang Indonesia yang sekolah justru akan makin banyak lagi koruptor di negara ini?
Lalu apa sebenarnya yang salah dengan pendidikan kita?
Ingatkah dulu saat-saat ketika kita masih sekolah (atau ingatkah hari-hari kalian di sekolah bagi yang masih sekolah), ketika guru-guru kita terus mendoktrin bahwa pelajar yang baik adalah pelajar dengan nilai tinggi? Ingatkah ketika guru dan sekolah terus menjadikan angka sebagai satu-satunya alasan penilaian prestasi siswa siswi mereka?
Sebaliknya, berapa seringkah guru-guru kita berkata, bahwa mereka akan tetap bangga pada kita dengan berapapun nilai yang kita dapat asalkan itu didapat dengan usaha yang maksimal dengan balutan kejujuran? Berapa seringkah guru-guru kita mengatakan bahwa nilai dan angka tidak pernah lebih penting dari kemampuan untuk menahan diri dari berbuat curang dan menipu diri sendiri? Apalagi menipu orang lain.
Tapi nyatanya guru dan sekolah kita lebih sibuk memikirkan materi bagi siswa siswinya. Sibuk meningkatkan nilai rata-rata sekolah. Sibuk membangun kelas-kelas akselerasi. Atau sibuk membangun sekolah-sekolah berstandar internasional yang parameter keberhasilannya lagi-lagi diukur dengan materi.
Lihatlah sekarang hasil dari pendidikan.
Dimulai dari hal kecil seperti mencontek atau menyalin tugas sekolah yang terjadi di seluruh tingkat pendidikan sekolah, baik dari sd hingga perguruan tinggi, dari pendidikan dengan kualitas terburuk hingga institusi pendidikan terbaik yang dimiliki bangsa ini yang juga telah banyak menyumbang pemimpin bangsa ini.
Lihatlah bagaimana guru dan sekolah mendidik anak-anaknya untuk berbuat curang. Dengan menyediakan jawaban ujian nasional untuk siswa siswi mereka demi kepentingan meningkatkan nilai kelulusan dan nilai rata-rata sekolah. Tidakkah miris hati kita melihat sekolah dan guru kita dengan jelas dan sistematis membentuk anak-anak bangsa untuk menipu.
Lalu tidakkah menjadi masuk akal bila bangsa ini tidak pernah kehabisan koruptor?
Itulah yang terjadi bila pendidikan hanya dinilai berdasarkan angka. Itulah yang terjadi ketika kulit mendapatkan lebih perhatian dibandingkan isi. Ketika akhirnya 9 yang kotor dianggap lebih baik dari 5 yang didapatkan dari usahanya sendiri. Mental itulah yang akan terus terbawa hingga kelak murid telah menjadi mahasiswa, dan mahasiswa menjadi pemimpin di masyarakat.
Pendidikan kita, disadari atau tidak telah mengajarkan anak-anak dan adik-adik kita utk mengejar materi. Baik itu materi dalam bentuk nilai pelajaran maupun bayangan tentang kesuksesan manusia yang melulu diidentikkan dengan banyaknya uang atau tingginya jabatan. Hingga terkuburlah dalam-dalam tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Lalu masih patutkah kita bertanya apa salahnya pendidikan kita, ketika sudah begitu besar terpampang kesalahan tersebut didepan wajah kita?
Saya cemburu pada Jepang karena mereka memiliki Nobita yang senantiasa berusaha untuk tidak mencontek meskipun sering mendapatkan nilai nol. Cemburu pada Jepang karena berhasil mendidik rakyatnya dengan sangat baik tentang kejujuran, hingga seorang komikus Doraemon pun masih sempat menyisipkan nilai-nilai tersebut dalam karyanya. Sungguh saya cemburu.
Sejatinya pendidikan akan selalu menjadi solusi bagi seluruh masalah umat manusia, dan ini tidak akan pernah berubah. Akan selalu demikian adanya. Hanya saja pendidikan punya caranya sendiri untuk bisa berguna. Punya arah jalannya sendiri dan tidak boleh salah.
Kembalikan pendidikan pada tujuan dasarnya, pada nilai-nilai luhurnya, untuk membentuk manusia seutuhnya dengan budi pekerti yang baik, dengan nilai akhlak moral yang bermartabat.
Didik anak-anak kita, adik-adik kita dengan sangat keras tentang kejujuran, integritas, dan nilai moral lainnya, hingga mereka akan terus menggigit dengan sekuat rahang mereka nilai2 tersebut sampai pada saatnya mereka terjun ke masyarakat, dan terlebih bila kelak mereka menjadi pemimpin.
Saya berharap bahwa pendidikan itu bisa benar-benar kembali pada hakikat mulanya. Yaitu pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia. Karena saya meyakini seutuhnya bahwa hanya dengan cara itulah kita bisa menghilangkan budaya korupsi bangsa ini sehabis-habisnya,hingga suatu saat nanti anak cucu kita bahkan tidak lagi mengenal kata korupsi. Hingga suatu hari nanti ketika anak cucu kita menjadi seperti halnya Nobita, lebih memilih untuk mendapatkan nilai nol daripada nilai seratus hasil kecurangan. Mari kita terus berusaha bersama, pemerintah dan masyarakat, untuk memperbaiki pendidikan kita agar hari itu, saat itu benar-benar bisa terwujud.
sumber
yuk mareee
-> kopiyang laen kalo mau nyumbang topik silahken, nanti gw index di pekiwan

bisa tentang apa aja yg berkaitan dengan BP, gak musti ada sumber
0
Kutip
Balas