- Beranda
- The Lounge
8 Perusahaan (Nasional yang selama ini kita sangka milik) asing
...
TS
islamholic
8 Perusahaan (Nasional yang selama ini kita sangka milik) asing
Quote:
Quote:
tiada repost diantara kita
Spoiler for norepost:
Sebelum ane bikin trit ini ane udah search pake berbagai keyword gak ada yg sama gan. Bagi yg merasa in repost mohon tunjukkan buktinya
1. J.CO
Spoiler for j.co:
2. Olimpic
Spoiler for olympic:
3. Hoka Hoka Bento
Spoiler for hokben:
4. Ceres
Spoiler for ceres:
5. Wings
Spoiler for wings:
6. Nexian
Spoiler for nexian:
7. Hypermart
Spoiler for hypermart:
8. Edward Forrer
Spoiler for eforrer:
==============================================================
TAMBAHAN
9. POLYTRON
Spoiler for polytron:
10. Polygon
Spoiler for polygon:
11. WIM Cycles
Spoiler for wim:
12. CFC
Spoiler for cfc:
Quote:
CFC (California Fried Chicken) sudah terkenal dengan cita rasa ayam gorengnya yang nikmat dan gurih. Tahukah Anda bahwa perusahaan ini merupakan perusahaan Indonesia.
Memang nama yang dimiliki perusahaan ini sangat mencerminkan Negara Amerika. Namun ternyata produknya murni asal Indonesia.
Kebanggaan yang dimiliki CFC terletak pada ciri khas rasanya yang sebanding dengan ayam goreng asal Amerika. Awalnya, perusahaan ini bernama California Pioneer Chicken. Namun sejak tahun 1988, namanya diganti menjadi California Fried Chicken hingga sekarang
13. BYON
Spoiler for byon:
Quote:
di saat persaingan pasar notebook di indonesia, ada satu produk namanya byon. yap, produk ini terkenal murah, kenapa? karena ini produk indonesia gan . jadi kalo buat di indonesia ga kena pajak macem macen gan, so jadi lebih murah gan..
kalo soal kualitas? byon sendiri mempunyai konsep unik yaitu konsep notebook yg dapat di upgrade menjadi komputer destkop gan. produk ini juga ga kalah ama produk2 lain gan.. kehadiran byon juga membuktikan bahwa indonesia juga mampu membuat teknologi canggih gan !!
14. EIGER DAN BODYPACK
Spoiler for eigerbodypack:
Quote:
biasanya kalo agan agan liat bodypack, pasti ada eiger. kenapa gan? karena bodypack dan eiger ini masih dalam satu induk gan . berpusat di bandung gan (ada yg dibandung gan? ) . kedua produk ini terkenal dengan produk tasnya gan . loh terus bedanya apa gan??
bodypack : tasnya lebih ke style atau wisata
eiger : untuk berbau alam, ga salah di kalangan pencinta alam eiger sudah tidak asing lg gan.
15. EXSPORT
Spoiler for exsport:
Quote:
Quote:
Quote:
Selain Eiger dan Bodypack, produk tas terkenal lainnya juga asli dari Indonesia yaitu Exsport. Kualitasnya gak kalah ama pesaingnya gan
16. Jeans LEA
Spoiler for lea:
Quote:
wah ini produk indonesia gan? benar ! ini produk indonesia loh gan.. walopun agan ngeliat toko dan iklannya berbau amerika, tp jgn salah ini tetap produk murni indonesia kok gan . kalo kualitas? wah sudah pasti terjamin gan.. hampir di semua mall mall ada yg jual nih produk gan . lea pun ga pernah minder kalo sejajar ama produk produk lokal di mall mall gan (ialah sama sama produk lokal gan ):
Quote:
SEKILAS INFO DARI KASKUSER GAN
Quote:
Original Posted By r23y►Sorry yah TS ... ane sih review hp2 dari chinna ... ane ngk setuju kalo di bilang cuma nexian yg lokal ... kenapa?? wong dia cuma merk doang yg lokal ... tetep aja re branding hp dr chinna ... apanya yg lokal?? kalo cuma merk doang banyak koq yg bertebaran ... ke roxy aja tuh banyak yg ngaku LOKAL LOKAL ... tp tetep aja ngk ada beda ... cuma tempel sticker
ane ngerasain pas pake nexian journey ... apa tuh motorolla mbat produk lokal jadi quench XT505??
kecuali kalo kaya polytron yg mang produksi di sini .. nah ane akuin nexian deh lokal
sama juga BYON ... tuh laptop nya juga dr negri bambu
sisanya ane setuju gan ... tambahin lagi produk nail dan hammer ... tuh branding di luar negri terkenal ... dan juga BATA sepatu
anyway ,,, cendol send
ane ngerasain pas pake nexian journey ... apa tuh motorolla mbat produk lokal jadi quench XT505??
kecuali kalo kaya polytron yg mang produksi di sini .. nah ane akuin nexian deh lokal
sama juga BYON ... tuh laptop nya juga dr negri bambu
sisanya ane setuju gan ... tambahin lagi produk nail dan hammer ... tuh branding di luar negri terkenal ... dan juga BATA sepatu
anyway ,,, cendol send
Quote:
Maaf karena keterbatasan karakter 10000, Ane bikin link single post gan
Quote:
SEGELAS CENDOL DAN RATE TIDAKLAH MEMISKINKAN AGAN
SUMBER:
http://www.anakui.com
http://chrisnatal.blog.binusian.org/...-toh%E2%80%A6/
http://ptsayapamasutama.blogspot.com...didirikan.html
http://www.nexian.co.id/
http://beritaaneh.com/2010/08/produk...k-luar-negeri/
Quote:
MAMPIR KE LAPAK ANE YG LAIN GAN
Quote:
Supported by:
0
175.6K
Kutip
8.6K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
922.8KThread•82.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
islamholic
#68
Quote:
Edward Forrer
Edward Forrer mungkin terdengar seperti nama orang asing, namun pada kenyataannya ini adalah nama seorang buruh di Bandung pada tahun 1980-an. Edward Forrer biasa dipanggil Edo adalah seorang pemuda miskin. Masa-masa kecilnya diliputi kepedihan. Sering kali ia menyaksikan bagaimana ibunya harus membujuk adik-adiknya meminum air yang banyak untuk mengganjal perut. Edo menjadi tulang punggung keluarga di usia muda ketika ayah dan ibunya bercerai. Sebagai lulusan SMA, ia tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan selain menjadi buruh kasar. Ia bekerja di bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun 1980-an, Edo mendapat pencerahan untuk mengubah nasibnya. Suatu hari ia membaca sebuah artikel mengenai pengembangan talenta di koran. Artikel itu dibacanya berulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi mencari hal yang mungkin menjadi bakatnya. Butuh waktu cukup lama hingga ia teringat bahwa semenjak sekolah dasar dia sangat senang menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu-satunya bakat yang dimiliki, meskipun telah lama ia lupakan.
Dengan cepat, Edo menghidupkan bakatnya itu dengan objek yang sudah tidak asing lagi: Sepatu. Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat ia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Ia pun mendesain sepatunya sendiri dengan membuat modifikasi tumpukan sepatu yang sehari-hari dilihatnya, dengan tambahan imajinasi dan kreasi. Namun sayang, bos tempatnya bekerja menolak untuk memproduksi desain itu. Penolakan itu tidak membuat Edo jera, dia tetap rajin membuat desain-desain baru meskipun ia tahu desain tersebut hanya akan berakhir di laci meja.
Pada tahun 1989, Edo mengambil keputusan berani untuk meninggalkan perusahaannya setelah melihat tidak adanya peluang untuk mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama tetapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing.
Dengan bermodalkan sepeda kumbang tua, ia menawarkan produknya dengan cara yang gila; ketika itu ia belum memproduksi satu pun desainnya sehingga ia menawarkan sepatunya hanya dengan gambar yang ia buat. Sial bagi Edo, ide penjualan yang unik ini ditolak mentah-mentah, tak ada yang mau membeli sepatunya. Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah terlebih karena ia meminta uang muka terlebih dahulu sebelum sepatunya dibuat, ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.
Untuk menutupi biaya hidup, Edo membuka les private. Tak disangka orang tua murid di tempat Edo mengajar menjadi pelanggan pertama Edo. Mungkin karena belas kasihan, orang tua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar uang muka untuk membeli bahan kulit. Edo girangnya bukan main saat mengerjakan pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya mengantarkan sepatu untuk si ibu. Sepatu itu dibuat dengan susah payah karena meskipun pandai mendesain, dia tidak begitu pintar menge-sol sepatu. Karena itu ia terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit pertama. Produk pertamanya itu memang dipasarkan dengan cara yang tidak lazim, tetapi hasilnya bagus dan kokoh sehingga si Ibu merasa senang.
Ibu tersebut kemudian memamerkan sepatu buatan Edo ke ibu-ibu lainnya, dari arisan ke arisan, sepatu customized buatan Edo yang kokoh dan tidak pasaran menjadi terkenal dan penjualan meningkat, dari yang tadinya lima order dalam seminggu menjadi lima pesanan dalam sehari. Edo pun mengumpulkan uang dan dengan Rp.200.000 ia merekut dua orang karyawan dan membeli sebuah mesin jahit.
Seiring dengan membengkaknya penjualan, Edo tidak lagi menawarkan produknya dengan sepeda kumbang, tetapi membangun showroom kecil-kecilan berukuran 2 x 2 meter di ruang tamu rumahnya. Perkembangan selanjutnya, ia mampu menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung, namun karena ternyata tidak laku, ia memindahkan tokonya ke tempat yang lebih besar di Jalan Veteran No. 44 bandung, yang kini menjadi kantor pusat Edward Forrer.
Konsumen Edo yang tadinya ibu-ibu kelas menengah ke bawah pun berangsur angsur berubah menjadi konsumen menengah ke atas. Gerai distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orang-orang dari Jakarta. Selain desain sepatu yang modis, orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama lengkap Edo: Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia. Padahal sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung.
Menghadapi pesanan bertubi-tubi, Edo kewalahan dan memutuskan untuk tidak memproduksi sepatunya sendiri. Ia hanya menyediakan desainnya dan menjualnya dengan merek miliknya. Edo juga memantapkan tim kreatif desain dan menjadikannya sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini. Ia menargetkan desainernya mampu menelurkan 2 model sandal dan sepatu baru setiap 10 hari.
Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai penjualan di luar negeri untuk mewujudkan mimpinya sebagai pembuat sepatu terbaik di dunia. Ia memiliki satu gerai ada di Malaysia dan Hawaii serta dua di Australia yang dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri. Saya ini pemimpi dan visioner. Selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu, kata Edo.
Kini Edo tinggal di Australia, menikmati hasil kerjanya; dan sesekali pulang ke Bandung untuk memantau bisnisnya dari dekat.
Spoiler for eforrer:
Quote:
Quote:
Pada tahun 1980-an, Edo mendapat pencerahan untuk mengubah nasibnya. Suatu hari ia membaca sebuah artikel mengenai pengembangan talenta di koran. Artikel itu dibacanya berulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi mencari hal yang mungkin menjadi bakatnya. Butuh waktu cukup lama hingga ia teringat bahwa semenjak sekolah dasar dia sangat senang menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu-satunya bakat yang dimiliki, meskipun telah lama ia lupakan.
Dengan cepat, Edo menghidupkan bakatnya itu dengan objek yang sudah tidak asing lagi: Sepatu. Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat ia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Ia pun mendesain sepatunya sendiri dengan membuat modifikasi tumpukan sepatu yang sehari-hari dilihatnya, dengan tambahan imajinasi dan kreasi. Namun sayang, bos tempatnya bekerja menolak untuk memproduksi desain itu. Penolakan itu tidak membuat Edo jera, dia tetap rajin membuat desain-desain baru meskipun ia tahu desain tersebut hanya akan berakhir di laci meja.
Pada tahun 1989, Edo mengambil keputusan berani untuk meninggalkan perusahaannya setelah melihat tidak adanya peluang untuk mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama tetapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing.
Dengan bermodalkan sepeda kumbang tua, ia menawarkan produknya dengan cara yang gila; ketika itu ia belum memproduksi satu pun desainnya sehingga ia menawarkan sepatunya hanya dengan gambar yang ia buat. Sial bagi Edo, ide penjualan yang unik ini ditolak mentah-mentah, tak ada yang mau membeli sepatunya. Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah terlebih karena ia meminta uang muka terlebih dahulu sebelum sepatunya dibuat, ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.
Untuk menutupi biaya hidup, Edo membuka les private. Tak disangka orang tua murid di tempat Edo mengajar menjadi pelanggan pertama Edo. Mungkin karena belas kasihan, orang tua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar uang muka untuk membeli bahan kulit. Edo girangnya bukan main saat mengerjakan pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya mengantarkan sepatu untuk si ibu. Sepatu itu dibuat dengan susah payah karena meskipun pandai mendesain, dia tidak begitu pintar menge-sol sepatu. Karena itu ia terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit pertama. Produk pertamanya itu memang dipasarkan dengan cara yang tidak lazim, tetapi hasilnya bagus dan kokoh sehingga si Ibu merasa senang.
Ibu tersebut kemudian memamerkan sepatu buatan Edo ke ibu-ibu lainnya, dari arisan ke arisan, sepatu customized buatan Edo yang kokoh dan tidak pasaran menjadi terkenal dan penjualan meningkat, dari yang tadinya lima order dalam seminggu menjadi lima pesanan dalam sehari. Edo pun mengumpulkan uang dan dengan Rp.200.000 ia merekut dua orang karyawan dan membeli sebuah mesin jahit.
Seiring dengan membengkaknya penjualan, Edo tidak lagi menawarkan produknya dengan sepeda kumbang, tetapi membangun showroom kecil-kecilan berukuran 2 x 2 meter di ruang tamu rumahnya. Perkembangan selanjutnya, ia mampu menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung, namun karena ternyata tidak laku, ia memindahkan tokonya ke tempat yang lebih besar di Jalan Veteran No. 44 bandung, yang kini menjadi kantor pusat Edward Forrer.
Konsumen Edo yang tadinya ibu-ibu kelas menengah ke bawah pun berangsur angsur berubah menjadi konsumen menengah ke atas. Gerai distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orang-orang dari Jakarta. Selain desain sepatu yang modis, orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama lengkap Edo: Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia. Padahal sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung.
Menghadapi pesanan bertubi-tubi, Edo kewalahan dan memutuskan untuk tidak memproduksi sepatunya sendiri. Ia hanya menyediakan desainnya dan menjualnya dengan merek miliknya. Edo juga memantapkan tim kreatif desain dan menjadikannya sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini. Ia menargetkan desainernya mampu menelurkan 2 model sandal dan sepatu baru setiap 10 hari.
Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai penjualan di luar negeri untuk mewujudkan mimpinya sebagai pembuat sepatu terbaik di dunia. Ia memiliki satu gerai ada di Malaysia dan Hawaii serta dua di Australia yang dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri. Saya ini pemimpi dan visioner. Selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu, kata Edo.
Kini Edo tinggal di Australia, menikmati hasil kerjanya; dan sesekali pulang ke Bandung untuk memantau bisnisnya dari dekat.
0
Kutip
Balas