- Beranda
- Cinta Indonesiaku
Lagu/Tarian/Alat Musik - Artikel
...
TS
template
Lagu/Tarian/Alat Musik - Artikel
Contoh Post :


0
105.5K
Kutip
106
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Cinta Indonesiaku
5.3KThread•2.6KAnggota
Tampilkan semua post
sejuta bintang
#84
Kaskus ID : sejuta bintang
Kategori : Alat Musik
Bentuk Karya : Artikel
Sumber : http://www.acehforum.or.id/perjalana...eh-t44703.html
Keterangan : Artikel tentang Musik Aceh
UNTUK membicarakan musik Aceh lebih spesifik, memang cukup rumit lantaran untuk memulainya sangat sulit menentukan periode masa yang diingini. Musik di Aceh belum memiliki rumusan yang dapat dijadikan tolak ukur dalam perkembangan musik dunia, gara-gara Aceh tidak pernah mengkaji musiknya hingga tuntas. Yang ada adalah argumentasi yang terkadang tidak tepat untuk musik Aceh itu sendiri.
Dalam catatan kecil, saya mengambarkan bahwa Aceh adalah daerah yang paling miskin dengan musik. Padahal, Aceh memiliki keragaman budaya yang kuat dan terbagi-bagi. Yang berpayung pada Aceh saja ada beberapa suku seperti ureueng Aceh (suku yang berdiam disebagaian besar kabupaten), Ureueng Gayo (berdiam di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur), Ureueng Alaih (orang Alas yang berdiam di Aceh Tenggara), Ureueng Teumieng (Orang Tamiang yang tinggal di Aceh timur berbatasan dengan Sumatera Utara), Ureueng Singke (Singkil Hulu yang berdiam di Hulu sungai Singkel Aceh Selatan), Ureueng Kluet (berdiam di daerah hulu kecamatan Kluet Kiabupaten Aceh Selatan), Ureueng Pulo (Orang Pulau yang berdiam dipulau Simeulue dan di Pulau Banyak) dan Aneuk Jamee yang berdian disebagian besar Aceh Selatan dan sebagian lagi di Aceh Barat.
Kekuatan seninya beragam. Suku Gayo misalnya, memiliki kesenian syaer yang luar biasa. Didaerah ini banyak didiami oleh seniman tradisi yang punya ciri khas, sehingga tidak heran apabila lagu-lagu yang lahir di daerah ini lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sedangkan di Belahan barat dan Selatan Aceh tersembunyi banyak seni Zikir, dan semua itu berpayung kepada satu daerah bernama Aceh. Dari masing-masing keseniannya berbeda-beda, baik pada bit maupun muatan syair, tergantung pada kondisi alam daerah tersebut.
Seni seperti Rapa-i, Tari Seudati, Zikir dan hikayat adalah kesenian yang paling populer di pesisir Aceh, yang juga meliputi daerah kepulauan seperti Sabang. Sementara daerah seperti kepulauan Siemeulue lebih kepada Pantun dan Nandong, yaitu sebuah kesenian syair dan musik berupa biola. Untuk daerah Alas, Aceh Tenggara juga sama lebih kepada tari dan syair. Sedangkan Gayo, daerah pegunungan yang terkenal dengan seni Vocal bernama Didong.
Pada tari seudati yang menonjol adalah syair dan bebuyian dari tubuh seperti pukulan pada dada, ketrip jari, dan hentakan kaki. Sedangkan Didong Gayo merupakan kesenian tradisi yang cuma menggunakan vocal dan tepukan tangan dan bantal. Tetapi biasanya, baik Seudati, hikayat dan Didong kekuatannya terletak pada syair.
Jadi bisa disimpulkan bahwa alat musik Aceh yang ideal adalah Vocal (Voice), Percusi (Rebana, Gegedem, Rapai, Genderang Aceh), Alat Tiup (Seruling dan Serune Kale), Bantal, dan Musik tubuh (Ketrip Jari dan Pukulan Perut), sedangkan musik yang pernah berkembang di Aceh tahun 40-an seperti Gambus, Orkes, dan Qasidah merupakan pengaruh Islam yang luas, dan Aceh gagal menjadikan musik-musik itu berciri khas khusus, sehingga dia tergolong musik yang umum.
Sementara alat petik seperti gitar tidak ditemukan sebagai bagian alat musik yang lazim untuk dimainkan, apalagi piano dan Keyboard yang punya relevansi gereja. Sedangkan Biola, Hareubab, dan Gambus termasuk yang paling sering dimainkan pada masa orde lama. Biola dikenal dengan biola Aceh yang biasa digunakan untuk mengiringi pantun dan lawak yang ditokohkan oleh Nyak Maneh di daerah Pidie, namun biola Aceh lainnya dimainkan di Aceh Timur, namun di Aceh Timur lebih sebagai alat pengiring musik dengan Cord yang berjalan menyerupai irama syair persis dengan Nazam. Hareubab (Arbab Aceh) instrumen gesek Aceh ini ditemukan di daerah Pidie, Aceh Barat, dan Aceh Besar. Arbab Aceh dibuat dari tempurung besar, dipasang tangkai kayu sepanjang hampir 50 cm, dan dilengkapi dengan dawai logam. Biasa digunakan untuk mengiringi pantun jenaka. Penyanyinya seorang pria berpakaian wanita yang disebut Fatimah Abi. Sementara gambus merupakan alat musik yang berasal dari Arab. Alat ini sudah umum digunakan di Indonesia dan lebih dikenal sebagai alat musik padang pasir.
Dalam musik-musik rakyat yang biasa menjadi mainan masayarakat Aceh seperti alat tiup yang terbuat dari batang padi kering atau jerami (wa), peluit yang terbuat dari pelepah daun pinang yang menyerupai suara burung (peuleupeuek), alat tiup yang terbuat tanah merah (pib-pib)), alat musik yang terbuat dari selembar besi kecil dan tipis (genggong), alat tiup (buloh) menyerupai suling dengan nada tinggi (bansi), dan seruling yang lebih halus dari bansi. Semua alat musik itu kini nyaris hilang dan tidak populer lagi, sehingga juga tidak dimainkan untuk menjadi bagian dari alat musik Aceh. Akibatnya jenis-jenis itu juga ikut hilang ditelan zaman.
Lagu Aceh yang dimusikan baru dikenal pada masa orde baru, dimana diawali dengan lahirnya lagu-lagu pop seperti Bungong Jeumpa, Bungong Seulanga, dan Dibabah Pinto. Sebelumnya, lagu-lagu Aceh namun dalam format seudati yang disebut lagu. Sedangkan untuk mengiring tari tetap dalam format tradisi seperti Ranup Lampuan yang cuma diiringi musik percusi Rapai, Genderang, dan Seurune Kale. Begitu juga dengan pencipta lagu baru terlahir pada tahun 70-an, dimana Ibnu Arhas termasuk tokoh yang mencipta lagu, kendati dengan syair yang lari dari kebiasaan menulis syair Aceh.
Kategori : Alat Musik
Bentuk Karya : Artikel
Sumber : http://www.acehforum.or.id/perjalana...eh-t44703.html
Keterangan : Artikel tentang Musik Aceh
Spoiler for musik:
Perjalanan Musik Aceh
UNTUK membicarakan musik Aceh lebih spesifik, memang cukup rumit lantaran untuk memulainya sangat sulit menentukan periode masa yang diingini. Musik di Aceh belum memiliki rumusan yang dapat dijadikan tolak ukur dalam perkembangan musik dunia, gara-gara Aceh tidak pernah mengkaji musiknya hingga tuntas. Yang ada adalah argumentasi yang terkadang tidak tepat untuk musik Aceh itu sendiri.
Dalam catatan kecil, saya mengambarkan bahwa Aceh adalah daerah yang paling miskin dengan musik. Padahal, Aceh memiliki keragaman budaya yang kuat dan terbagi-bagi. Yang berpayung pada Aceh saja ada beberapa suku seperti ureueng Aceh (suku yang berdiam disebagaian besar kabupaten), Ureueng Gayo (berdiam di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur), Ureueng Alaih (orang Alas yang berdiam di Aceh Tenggara), Ureueng Teumieng (Orang Tamiang yang tinggal di Aceh timur berbatasan dengan Sumatera Utara), Ureueng Singke (Singkil Hulu yang berdiam di Hulu sungai Singkel Aceh Selatan), Ureueng Kluet (berdiam di daerah hulu kecamatan Kluet Kiabupaten Aceh Selatan), Ureueng Pulo (Orang Pulau yang berdiam dipulau Simeulue dan di Pulau Banyak) dan Aneuk Jamee yang berdian disebagian besar Aceh Selatan dan sebagian lagi di Aceh Barat.
Kekuatan seninya beragam. Suku Gayo misalnya, memiliki kesenian syaer yang luar biasa. Didaerah ini banyak didiami oleh seniman tradisi yang punya ciri khas, sehingga tidak heran apabila lagu-lagu yang lahir di daerah ini lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sedangkan di Belahan barat dan Selatan Aceh tersembunyi banyak seni Zikir, dan semua itu berpayung kepada satu daerah bernama Aceh. Dari masing-masing keseniannya berbeda-beda, baik pada bit maupun muatan syair, tergantung pada kondisi alam daerah tersebut.
Seni seperti Rapa-i, Tari Seudati, Zikir dan hikayat adalah kesenian yang paling populer di pesisir Aceh, yang juga meliputi daerah kepulauan seperti Sabang. Sementara daerah seperti kepulauan Siemeulue lebih kepada Pantun dan Nandong, yaitu sebuah kesenian syair dan musik berupa biola. Untuk daerah Alas, Aceh Tenggara juga sama lebih kepada tari dan syair. Sedangkan Gayo, daerah pegunungan yang terkenal dengan seni Vocal bernama Didong.
Pada tari seudati yang menonjol adalah syair dan bebuyian dari tubuh seperti pukulan pada dada, ketrip jari, dan hentakan kaki. Sedangkan Didong Gayo merupakan kesenian tradisi yang cuma menggunakan vocal dan tepukan tangan dan bantal. Tetapi biasanya, baik Seudati, hikayat dan Didong kekuatannya terletak pada syair.
Jadi bisa disimpulkan bahwa alat musik Aceh yang ideal adalah Vocal (Voice), Percusi (Rebana, Gegedem, Rapai, Genderang Aceh), Alat Tiup (Seruling dan Serune Kale), Bantal, dan Musik tubuh (Ketrip Jari dan Pukulan Perut), sedangkan musik yang pernah berkembang di Aceh tahun 40-an seperti Gambus, Orkes, dan Qasidah merupakan pengaruh Islam yang luas, dan Aceh gagal menjadikan musik-musik itu berciri khas khusus, sehingga dia tergolong musik yang umum.
Sementara alat petik seperti gitar tidak ditemukan sebagai bagian alat musik yang lazim untuk dimainkan, apalagi piano dan Keyboard yang punya relevansi gereja. Sedangkan Biola, Hareubab, dan Gambus termasuk yang paling sering dimainkan pada masa orde lama. Biola dikenal dengan biola Aceh yang biasa digunakan untuk mengiringi pantun dan lawak yang ditokohkan oleh Nyak Maneh di daerah Pidie, namun biola Aceh lainnya dimainkan di Aceh Timur, namun di Aceh Timur lebih sebagai alat pengiring musik dengan Cord yang berjalan menyerupai irama syair persis dengan Nazam. Hareubab (Arbab Aceh) instrumen gesek Aceh ini ditemukan di daerah Pidie, Aceh Barat, dan Aceh Besar. Arbab Aceh dibuat dari tempurung besar, dipasang tangkai kayu sepanjang hampir 50 cm, dan dilengkapi dengan dawai logam. Biasa digunakan untuk mengiringi pantun jenaka. Penyanyinya seorang pria berpakaian wanita yang disebut Fatimah Abi. Sementara gambus merupakan alat musik yang berasal dari Arab. Alat ini sudah umum digunakan di Indonesia dan lebih dikenal sebagai alat musik padang pasir.
Dalam musik-musik rakyat yang biasa menjadi mainan masayarakat Aceh seperti alat tiup yang terbuat dari batang padi kering atau jerami (wa), peluit yang terbuat dari pelepah daun pinang yang menyerupai suara burung (peuleupeuek), alat tiup yang terbuat tanah merah (pib-pib)), alat musik yang terbuat dari selembar besi kecil dan tipis (genggong), alat tiup (buloh) menyerupai suling dengan nada tinggi (bansi), dan seruling yang lebih halus dari bansi. Semua alat musik itu kini nyaris hilang dan tidak populer lagi, sehingga juga tidak dimainkan untuk menjadi bagian dari alat musik Aceh. Akibatnya jenis-jenis itu juga ikut hilang ditelan zaman.
Lagu Aceh yang dimusikan baru dikenal pada masa orde baru, dimana diawali dengan lahirnya lagu-lagu pop seperti Bungong Jeumpa, Bungong Seulanga, dan Dibabah Pinto. Sebelumnya, lagu-lagu Aceh namun dalam format seudati yang disebut lagu. Sedangkan untuk mengiring tari tetap dalam format tradisi seperti Ranup Lampuan yang cuma diiringi musik percusi Rapai, Genderang, dan Seurune Kale. Begitu juga dengan pencipta lagu baru terlahir pada tahun 70-an, dimana Ibnu Arhas termasuk tokoh yang mencipta lagu, kendati dengan syair yang lari dari kebiasaan menulis syair Aceh.
0
Kutip
Balas