- Beranda
- Cinta Indonesiaku
Seni Peran - Artikel
...
TS
template
Seni Peran - Artikel
Contoh Post :


0
54.9K
Kutip
23
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Cinta Indonesiaku
5.3KThread•2.6KAnggota
Tampilkan semua post
verditch
#1
kaskus : verditch
kategori : Seni Peran
bentuk karya : Artikel mengenai sejarah dulmuluk
sumber : http://infokito.wordpress.com/2007/1...istiwa-sosial/
keterangan : ini adalah artikel tentang kesenian dulmuluk dari sumatra selatan
Dulmuluk sebagai Peristiwa Sosial
Terminologi dan pemahaman yang selama ini kerap melihat kelisanan selalu mendahului keberaksaraan tak berlaku dalam teater tradisi Abdul Muluk atau Dulmuluk di Sumatera Selatan. Sejarah kelahiran teater rakyat ini justru memperlihatkan fenomena sebaliknya.
Dilihat dari perspektif sejarah kelahirannya, dalam pentas Dulmuluk keberaksaraan (literacy) malah mendahului kelisanan (orality). Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa tradisi lisan dalam sejarah kebudayaan Nusantara, terutama di ranah kebudayaan Melayu, berkelindan dengan tradisi tulis. Satu situasi yangmenurut pemikiran banyak ahli bisa digunakan sebagai salah satu pijakan untuk merunut sejarah perkembangan intelektualitas suatu bangsa.
Dalam kasus teater tradisi Dulmuluk, fenomena itu bukan semata karena inspirasi penciptaannya berangkat dari teks-teks Melayu klasik. Di luar itu ada proses trial and error, semacam eksperimentasi, tentang bagaimana sebuah teks bisa tampil lebih menarik bila dihadirkan sebagai sebuah pertunjukan seni.
Sejarah Teater Tradisional Dulmuluk
Dari manakah dulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau.
Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, mengungkapkan, salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk Palembang.
Seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk
Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu, kata Anwar Putra Bayu.
Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumsel Muhsin Fajri menilai, pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Perjalanan dulmuluk mulai surut sejak tahun 1990-an, ketika alternatif hiburan semakin banyak, terutama melalui televisi dan film layar lebar. Teater tradisi itu semakin merosot setelah orang yang menggelar hajatan lebih memilih pertunjukan organ tunggal. Akhirnya, dulmuluk seperti kehabisan energi, kehilangan pamor, dan tidak mampu bangkit lagi.
Kehidupan komunitas
Konon, pertunjukan Dulmuluk sempat berada di puncak kejayaannya pada era 1960-an dan 1970-an. Ketika itu ada puluhan grup teater tradisi Dulmuluk. Di beberapa tempat teater tradisi ini dikenal juga sebagai pertunjukan Johori. Istilah Johori berasal dari nama belakang tokoh utamanya, yang bernama lengkap Abdul Muluk Jauhari.
Pada masa kejayaannya itu, grup Dulmuluk tak hanya ada di daratan Sumatera Selatan. Wilayah apresiasinya bahkan tercatat hingga ke Pulau Bangka dan Belitung, yang kala itu masih bergabung dengan Provinsi Sumsel.
Grup-grup Dulmuluk pun menjamur. Di banyak tempat, Dulmuluk menjadi tontonan wajib untuk memeriahkan acara perkimpoian, khitanan, atau upacara adat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Sebagai pemain sekaligus figur yang menonjol dalam teater tradisi Dulmuluk, Saidi Kamaludin dari Desa Pemulutan, Kabupaten Ogan Komering, bahkan harus menularkan ilmu kedulmulukannya di banyak tempat.
Permintaan sebagai guru alias pelatih Dulmuluk berdatangan. Puluhan kelompok Dulmuluk dari berbagai kabupaten di Sumsel, di antaranya grup Dulmuluk dari Desa Danau Tampang dan Petar Dalam di Muara Enim, adalah hasil binaan Saidi.
Waktu itu honornya dibayar dengan beras atau padi, kata Saidi, yang saat ini di usianya yang ke-69 masih bermain Dulmuluk bersama grup Abdul Muluk Setia Kawan yang ia pimpin. Kalau honor main sudah lupa, kalau tak salah Rp 200 sekali main, tambahnya.
Robert Martin Dumas dalam disertasi yang dipertahankannya di Universitas Leiden, Belanda (Mei, 2000), mencatat, dalam sebuah kelompok teater Dulmuluk, peran guru sangat penting. Meski grup teater Dulmuluk merupakan kelompok yang cair, di mana seseorang dalam satu grup boleh bermain untuk grup lain, posisi guru dalam kelompok tersebut tetap merupakan sosok sentral.
Seorang guru punya karisma di antara para pemain yunior, kata Robert Martin Dumas dalam disertasi berjudul Teater Abdulmuluk in Zuid-Sumatra of de drempel van een Nieuw Tijdperk (Teater Abdulmuluk di Sumatera Selatan di Ambang Pintu Sebuah Era Baru).
Seperti halnya kebanyakan teater tradisi di Nusantara, Dulmuluk tak cuma mengandalkan akting di atas panggung untuk menyampaikan pesan kepada penonton. Unsur nyanyian, musik, tari, gerak badan, pidato, dan komunikasi dengan audiens menjadi bagian tak terpisahkan dalam pentas Dulmuluk.
Setelah bergaul dengan para pemain Dulmuluk sejak 1987, bahkan pada 1990 sempat bergabung sebagai pemain, Dumas sampai pada satu kesimpulan, Sebuah pertunjukan teater non-Barat seperti Abdul Muluk lebih merupakan peristiwa sosial ketimbang semata-mata sebuah peristiwa seni drama.
Dumas memang tak berlebihan. Sebagai tontonan, Dulmuluk memang memberikan apa yang ingin diketahui khalayak lewat aksi panggung mereka. Namun, kebanyakan orang lupa bahwa berhadapan dengan teater tradisi seperti Dulmuluk, unsur-unsur di luar pertunjukan drama itu sendiriyang tentunya masih dalam satu rangkaian peristiwabisa memberi informasi berharga, termasuk fenomena sosial-budaya terkait keberadaan Dulmuluk sebagai bagian komponen seni pertunjukan rakyat.
Taruhlah menyangkut tahap persiapan menjelang pertunjukan. Tentang kerepotan mengumpulkan pemain, perjuangan mencari tempat penyewaan properti panggung, hingga prosesi berupa upacara sesaji sesaat menjelang pentas, memberi semacam gambaran kehidupan sosial komunitas ini. Misalnya, mengapa harus ada beras-kunyit, pisang mas, telur atau ayam panggang, kembang tujuh warna, dan kemenyan?
Selain untuk tolak-balak agar pertunjukan berjalan lancar, juga agar aura pemain benar-benar muncul. Misalnyo, kalu jadi rajo pecak rajo nian, kata Saidi.
Begitu pun setelah pertunjukan usai. Prosesi pembagian honor hanyalah salah satunya. Lebih dari itu, sebelum kembali kehidupan sehari-hari masing- masing, keguyuban yang cair dalam komunitas itu akan saling berbagi pengalaman. Bahkan, ruang sempit di belakang panggung itu tak jarang menjadi tepat mengadubagai ruang konsultasi terbukaterkait peristiwa keseharian, termasuk dalam urusan pribadi sekalipun.
Begitulah dinamika di balik petas Dulmuluk. Bagaimanapun, sebagai bentuk kesenian Melayu yang kental dipengaruhi ajaran Islam, selalu saja ada pesan yang diselipkan. Seperti lantunan syair Saidi ini: Pada masa inilah zaman/Suka di mata bercampur teman/Harta di dunia jangan disayangkan/Akhirnya esok akan ditinggalkan/ // Ah!
kategori : Seni Peran
bentuk karya : Artikel mengenai sejarah dulmuluk
sumber : http://infokito.wordpress.com/2007/1...istiwa-sosial/
keterangan : ini adalah artikel tentang kesenian dulmuluk dari sumatra selatan
Spoiler for Dulmuluk:
Dulmuluk sebagai Peristiwa Sosial
Terminologi dan pemahaman yang selama ini kerap melihat kelisanan selalu mendahului keberaksaraan tak berlaku dalam teater tradisi Abdul Muluk atau Dulmuluk di Sumatera Selatan. Sejarah kelahiran teater rakyat ini justru memperlihatkan fenomena sebaliknya.
Dilihat dari perspektif sejarah kelahirannya, dalam pentas Dulmuluk keberaksaraan (literacy) malah mendahului kelisanan (orality). Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa tradisi lisan dalam sejarah kebudayaan Nusantara, terutama di ranah kebudayaan Melayu, berkelindan dengan tradisi tulis. Satu situasi yangmenurut pemikiran banyak ahli bisa digunakan sebagai salah satu pijakan untuk merunut sejarah perkembangan intelektualitas suatu bangsa.
Dalam kasus teater tradisi Dulmuluk, fenomena itu bukan semata karena inspirasi penciptaannya berangkat dari teks-teks Melayu klasik. Di luar itu ada proses trial and error, semacam eksperimentasi, tentang bagaimana sebuah teks bisa tampil lebih menarik bila dihadirkan sebagai sebuah pertunjukan seni.
Sejarah Teater Tradisional Dulmuluk
Dari manakah dulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau.
Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, mengungkapkan, salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk Palembang.
Seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk
Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu, kata Anwar Putra Bayu.
Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumsel Muhsin Fajri menilai, pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Perjalanan dulmuluk mulai surut sejak tahun 1990-an, ketika alternatif hiburan semakin banyak, terutama melalui televisi dan film layar lebar. Teater tradisi itu semakin merosot setelah orang yang menggelar hajatan lebih memilih pertunjukan organ tunggal. Akhirnya, dulmuluk seperti kehabisan energi, kehilangan pamor, dan tidak mampu bangkit lagi.
Kehidupan komunitas
Konon, pertunjukan Dulmuluk sempat berada di puncak kejayaannya pada era 1960-an dan 1970-an. Ketika itu ada puluhan grup teater tradisi Dulmuluk. Di beberapa tempat teater tradisi ini dikenal juga sebagai pertunjukan Johori. Istilah Johori berasal dari nama belakang tokoh utamanya, yang bernama lengkap Abdul Muluk Jauhari.
Pada masa kejayaannya itu, grup Dulmuluk tak hanya ada di daratan Sumatera Selatan. Wilayah apresiasinya bahkan tercatat hingga ke Pulau Bangka dan Belitung, yang kala itu masih bergabung dengan Provinsi Sumsel.
Grup-grup Dulmuluk pun menjamur. Di banyak tempat, Dulmuluk menjadi tontonan wajib untuk memeriahkan acara perkimpoian, khitanan, atau upacara adat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Sebagai pemain sekaligus figur yang menonjol dalam teater tradisi Dulmuluk, Saidi Kamaludin dari Desa Pemulutan, Kabupaten Ogan Komering, bahkan harus menularkan ilmu kedulmulukannya di banyak tempat.
Permintaan sebagai guru alias pelatih Dulmuluk berdatangan. Puluhan kelompok Dulmuluk dari berbagai kabupaten di Sumsel, di antaranya grup Dulmuluk dari Desa Danau Tampang dan Petar Dalam di Muara Enim, adalah hasil binaan Saidi.
Waktu itu honornya dibayar dengan beras atau padi, kata Saidi, yang saat ini di usianya yang ke-69 masih bermain Dulmuluk bersama grup Abdul Muluk Setia Kawan yang ia pimpin. Kalau honor main sudah lupa, kalau tak salah Rp 200 sekali main, tambahnya.
Robert Martin Dumas dalam disertasi yang dipertahankannya di Universitas Leiden, Belanda (Mei, 2000), mencatat, dalam sebuah kelompok teater Dulmuluk, peran guru sangat penting. Meski grup teater Dulmuluk merupakan kelompok yang cair, di mana seseorang dalam satu grup boleh bermain untuk grup lain, posisi guru dalam kelompok tersebut tetap merupakan sosok sentral.
Seorang guru punya karisma di antara para pemain yunior, kata Robert Martin Dumas dalam disertasi berjudul Teater Abdulmuluk in Zuid-Sumatra of de drempel van een Nieuw Tijdperk (Teater Abdulmuluk di Sumatera Selatan di Ambang Pintu Sebuah Era Baru).
Seperti halnya kebanyakan teater tradisi di Nusantara, Dulmuluk tak cuma mengandalkan akting di atas panggung untuk menyampaikan pesan kepada penonton. Unsur nyanyian, musik, tari, gerak badan, pidato, dan komunikasi dengan audiens menjadi bagian tak terpisahkan dalam pentas Dulmuluk.
Setelah bergaul dengan para pemain Dulmuluk sejak 1987, bahkan pada 1990 sempat bergabung sebagai pemain, Dumas sampai pada satu kesimpulan, Sebuah pertunjukan teater non-Barat seperti Abdul Muluk lebih merupakan peristiwa sosial ketimbang semata-mata sebuah peristiwa seni drama.
Dumas memang tak berlebihan. Sebagai tontonan, Dulmuluk memang memberikan apa yang ingin diketahui khalayak lewat aksi panggung mereka. Namun, kebanyakan orang lupa bahwa berhadapan dengan teater tradisi seperti Dulmuluk, unsur-unsur di luar pertunjukan drama itu sendiriyang tentunya masih dalam satu rangkaian peristiwabisa memberi informasi berharga, termasuk fenomena sosial-budaya terkait keberadaan Dulmuluk sebagai bagian komponen seni pertunjukan rakyat.
Taruhlah menyangkut tahap persiapan menjelang pertunjukan. Tentang kerepotan mengumpulkan pemain, perjuangan mencari tempat penyewaan properti panggung, hingga prosesi berupa upacara sesaji sesaat menjelang pentas, memberi semacam gambaran kehidupan sosial komunitas ini. Misalnya, mengapa harus ada beras-kunyit, pisang mas, telur atau ayam panggang, kembang tujuh warna, dan kemenyan?
Selain untuk tolak-balak agar pertunjukan berjalan lancar, juga agar aura pemain benar-benar muncul. Misalnyo, kalu jadi rajo pecak rajo nian, kata Saidi.
Begitu pun setelah pertunjukan usai. Prosesi pembagian honor hanyalah salah satunya. Lebih dari itu, sebelum kembali kehidupan sehari-hari masing- masing, keguyuban yang cair dalam komunitas itu akan saling berbagi pengalaman. Bahkan, ruang sempit di belakang panggung itu tak jarang menjadi tepat mengadubagai ruang konsultasi terbukaterkait peristiwa keseharian, termasuk dalam urusan pribadi sekalipun.
Begitulah dinamika di balik petas Dulmuluk. Bagaimanapun, sebagai bentuk kesenian Melayu yang kental dipengaruhi ajaran Islam, selalu saja ada pesan yang diselipkan. Seperti lantunan syair Saidi ini: Pada masa inilah zaman/Suka di mata bercampur teman/Harta di dunia jangan disayangkan/Akhirnya esok akan ditinggalkan/ // Ah!
Spoiler for gambar pentas dulmuluk:
0
Kutip
Balas