Kaskus

Entertainment

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Uang Palsu atau Berita Palsu?: Dagelan Hukum di Balik Isu Counterfeit di UIN Makassar

tanmalako091539Avatar border
TS
tanmalako091539
Uang Palsu atau Berita Palsu?: Dagelan Hukum di Balik Isu Counterfeit di UIN Makassar
Uang Palsu atau Berita Palsu?: Dagelan Hukum di Balik Isu Counterfeit di UIN Makassar

Sejak Desember 2024, publik dikejutkan oleh berita penangkapan belasan orang di lingkungan UIN Alauddin Makassar. Narasi yang dibangun media begitu dramatis: perpustakaan kampus disebut sebagai “pabrik uang palsu”, mesin cetak canggih disita, dan aparat dengan gagah menyebut kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah. Namun di balik gegap gempita pemberitaan itu, pertanyaan mendasar mengemuka: benarkah mesin yang ditemukan di perpustakaan kampus itu mampu mencetak uang palsu dengan kualitas layak edar? Ataukah seluruh rangkaian ini hanya sandiwara hukum yang sengaja dipentaskan untuk menutupi sesuatu yang nilainya jauh lebih berharga daripada reputasi sebuah kampus negeri?

Fakta pertama yang perlu diperiksa adalah spesifikasi mesin cetak yang dijadikan bukti utama. Mesin dengan seri GM-247IIMP-25 yang disita dari perpustakaan kampus bukanlah mesin cetak berteknologi tinggi sebagaimana yang digunakan Peruri, melainkan mesin cetak offset komersial. Mesin ini umum digunakan untuk keperluan percetakan buku, brosur, dan majalah. Ia bekerja dengan sistem tinta CMYK standar, menggunakan kertas biasa seperti HVS atau art paper, dan tidak dilengkapi teknologi keamanan apa pun. Tidak ada modul intaglio, tidak ada lapisan tinta optik, tidak ada kemampuan mencetak watermark atau benang pengaman. Dengan spesifikasi seperti ini, mustahil mesin tersebut menghasilkan lembaran yang dapat meniru Rupiah asli. Bahkan jika operatornya terampil, hasil cetakannya hanya menyerupai gambar uang dalam dua dimensi, tanpa tekstur timbul, kilau tinta khusus, atau karakteristik kertas berbasis kapas yang menjadi standar uang resmi.

Secara hukum, pemalsuan uang diatur secara jelas dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Unsur-unsur yang harus terpenuhi agar suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai pemalsuan antara lain: adanya perbuatan meniru atau memalsu rupiah, adanya niat untuk mengedarkan atau menggunakannya sebagai alat pembayaran yang sah, dan adanya potensi menimbulkan kerugian atau mengelabui pihak lain karena hasil tiruan memiliki kemiripan yang cukup untuk disalahartikan sebagai uang asli.

Pada kasus mesin cetak di UIN Makassar, kualitas hasil cetakan yang dihasilkan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Hasilnya lebih menyerupai replika atau ilustrasi uang yang biasa digunakan sebagai alat peraga, bukan lembaran yang bisa mengelabui masyarakat atau sistem keuangan. Secara teknis, pemalsuan uang menuntut kemiripan visual dan material yang tinggi dengan rupiah asli, termasuk kertas berbahan serat kapas, tinta khusus, cetakan intaglio timbul, dan fitur mikro seperti microtext dan benang pengaman. Mesin offset biasa, seperti yang ditemukan di perpustakaan UIN, tidak memiliki kemampuan untuk mereplikasi elemen-elemen ini. Hasil cetakannya akan terlihat datar, tanpa lapisan pengaman, dan sangat mudah dikenali sebagai tiruan murahan — bahkan setara uang mainan anak-anak.

Dalam praktik hukum, tingkat kemiripan menjadi faktor penting. Apabila hasil tiruan tidak memiliki potensi menipu masyarakat atau sistem keuangan, unsur pemalsuan tidak terpenuhi. Dengan kata lain, cetakan berkualitas rendah tidak dapat dianggap sebagai pemalsuan uang secara yuridis, karena tidak ada kemampuan atau niat efektif untuk mengedarkannya sebagai alat tukar.

Perbandingan dengan teknologi percetakan uang asli semakin menegaskan ketidakmungkinan ini. Menurut informasi resmi Bank Indonesia, Rupiah diproduksi menggunakan kertas berbasis serat kapas yang memiliki tekstur khas dan daya tahan tinggi. Proses cetaknya menggunakan teknologi intaglio, yang menghasilkan relief timbul pada permukaan uang sehingga mudah dikenali oleh sentuhan. Di dalamnya terpasang fitur keamanan berlapis, mulai dari microtext, hologram, tinta UV, hingga optically variable ink (OVI). Membayangkan mesin cetak offset di perpustakaan mampu menyaingi fasilitas ini sama saja dengan mengira printer rumahan dapat mencetak paspor elektronik.

Di sinilah ketidaksesuaian narasi mulai terkuak. Media dan aparat membangun cerita bombastis bahwa uang palsu senilai Rp700 triliun siap beredar. Angka fantastis ini menimbulkan kesan seolah-olah kampus telah bertransformasi menjadi percetakan uang bawah tanah berskala industri. Namun tidak ada penjelasan teknis yang mendukung klaim tersebut. Tidak ada laporan rinci tentang kualitas fisik hasil cetakan yang disita. Tidak ada bukti peredaran nyata, transaksi, atau pengungkapan jaringan distribusi. Tanpa itu semua, klaim ini lebih menyerupai propaganda ketimbang fakta, apalagi jika mempertimbangkan bahwa angka Rp700 triliun bahkan melampaui Produk Domestik Bruto beberapa provinsi di Indonesia Timur.

Indikasi bahwa kasus ini lebih dari sekadar kesalahan tafsir teknis semakin kuat. Banyak pihak mulai mencium aroma rekayasa, sebuah sandiwara hukum yang sengaja dipertontonkan. Jika memang benar kualitas cetakannya hanya setara uang mainan anak-anak, mengapa narasi uang palsu bernilai triliunan rupiah tetap dipaksakan? Mengapa angka fantastis Rp700 triliun dipublikasikan tanpa bukti teknis yang dapat diverifikasi publik? Mengapa tidak ada audit terbuka atau laporan resmi dari Bank Indonesia mengenai hasil uji forensik terhadap barang bukti?

Pertanyaan-pertanyaan ini membuka ruang bagi hipotesis yang lebih serius: ada sesuatu yang jauh lebih besar yang ingin ditutupi. Sesuatu yang nilainya dianggap lebih berharga daripada nama baik sebuah kampus negeri. Di titik ini, publik patut bertanya: siapa yang diuntungkan dengan narasi besar ini? Siapa yang terbebas dari sorotan publik ketika media sibuk memberitakan “percetakan uang palsu” yang sesungguhnya tidak pernah ada? Kecurigaan menguat bahwa kasus ini bukanlah soal pemalsuan uang, melainkan strategi pengalihan isu. Kampus dan mahasiswa dijadikan panggung, sementara agenda yang lebih besar bersembunyi di balik layar.

Ketiadaan transparansi memperkuat dugaan tersebut. Hingga kini, tidak ada laporan resmi bahwa Bank Indonesia melakukan uji laboratorium terhadap hasil cetakan. Tidak ada publikasi foto atau spesimen hasil cetak yang bisa diverifikasi publik. Tidak ada data peredaran yang menunjukkan uang itu benar-benar masuk ke pasar. Semua informasi menguap dalam kata-kata besar, sementara bukti fisik tetap tersembunyi. Dalam konteks ini, proses penyidikan dan persidangan lebih mirip drama yang naskahnya sudah disiapkan, dengan peran dan dialog yang diatur sedemikian rupa. Bahkan, jika menggunakan logika sederhana, yang justru tampak adalah bukan praktik pemalsuan uang, tetapi praktik sistematis pembuatan dan penyebaran berita palsu. Publik digiring untuk mempercayai bahwa ancaman besar telah digagalkan, padahal ancaman itu tidak pernah nyata sejak awal.

Seandainya aparat benar-benar ingin menegakkan keadilan, langkah forensik sederhana seharusnya dilakukan. Audit mesin cetak oleh ahli independen dapat segera membuktikan ketidakmungkinan produksi uang palsu berkualitas. Uji laboratorium oleh Bank Indonesia dapat mengkonfirmasi bahan dan teknik cetakan. Penelusuran distribusi dapat mengungkap apakah ada transaksi nyata. Persidangan terbuka dapat mengembalikan kepercayaan publik. Namun, langkah-langkah rasional itu tidak dilakukan atau setidaknya tidak dipublikasikan. Yang ada hanya diam, diselingi rilis pers yang penuh angka fantastis dan kalimat heroik.

Kenyataan ini menimbulkan kesan kuat bahwa kasus ini sengaja digoreng dan dipertontonkan. Mesin cetak biasa yang tak lebih canggih daripada fasilitas percetakan buku independen disulap menjadi “senjata kejahatan ekonomi”. Angka Rp700 triliun yang tidak pernah diverifikasi dijadikan mantra untuk membius publik. Dan sementara sorotan publik tertuju ke UIN Makassar, sesuatu yang lain—sesuatu yang nilainya mungkin tak terbayangkan—diam-diam terselamatkan dari perhatian. Di sinilah inti dari dugaan pengalihan isu itu: reputasi kampus dikorbankan untuk menjaga rahasia yang nilainya jauh lebih besar.

Kebenaran seharusnya tidak bergantung pada seberapa keras suara yang dikumandangkan atau seberapa besar angka yang disebutkan, melainkan pada keteguhan data dan bukti yang dapat diverifikasi. Hingga saat ini, tidak ada satu pun bukti teknis yang mendukung klaim bahwa UIN Makassar menjadi pabrik uang palsu. Yang ada hanyalah mesin cetak buku biasa, hasil cetakan yang bahkan tak bisa menipu pedagang gorengan sekalipun, dan proses hukum yang lebih menyerupai panggung teater ketimbang penegakan keadilan. Fakta ini menegaskan bahwa yang terjadi bukan percetakan uang palsu, melainkan pementasan berita palsu yang dikemas rapi untuk menutupi sesuatu yang nilainya jauh melampaui citra sebuah kampus negeri di Makassar.
0
71
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
KASKUS Official
1.3MThread104.1KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.