- Beranda
- Berita dan Politik
Malaysia Keluar dari Jebakan Middle-Income, Indonesia Kapan?
...
TS
jaguarxj220
Malaysia Keluar dari Jebakan Middle-Income, Indonesia Kapan?
Baru-baru ini muncul berita dari negara tetangga serumpun, Malaysia, tentang siapnya negara itu lolos dari middle-income trap (MIT), jebakan ekonomi yang diyakini menjadi salah satu penentu apakah sebuah negara bisa menjadi negara maju atau tidak.
Dari sisi teori, MIT adalah konsep yang diperkenalkan para ekonom seperti Barry Eichengreen, Donghyun Park, dan Kwanho Shin, dalam artikel mereka, "When Fast Growing Economies Slow Down: International Evidence and Implications for China" (2007).
Konsep itu menjelaskan fenomena di mana negara-negara yang telah mencapai tingkat pendapatan menengah, sulit untuk melanjutkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan naik ke status pendapatan tinggi. Penyebab utama dari jebakan ini adalah stagnasi dalam inovasi teknologi, ketergantungan pada tenaga kerja murah, dan ketidakmampuan untuk meningkatkan produktivitas.
Di sisi lain, menurut teori ini, negara-negara yang berhasil melompat keluar dari MIT adalah mereka yang mampu melakukan transformasi struktural dalam ekonominya. Ini melibatkan peralihan dari ekonomi berbasis komoditas atau manufaktur sederhana ke ekonomi berbasis teknologi tinggi dan jasa yang bernilai tambah tinggi.
Dalam buku mereka, “Why Nations Fail”, Daron Acemoglu dan James A. Robinson menekankan pentingnya institusi yang inklusif sebagai kunci keberhasilan ekonomi suatu negara. Mereka berpendapat bahwa negara-negara yang memiliki institusi inklusif, di mana kekuasaan didistribusikan secara luas dan akuntabel, cenderung lebih berhasil dalam mengatasi masalah ekonomi, termasuk jebakan middle-income. Indonesia harus fokus pada reformasi institusi untuk mengurangi korupsi dan meningkatkan efisiensi birokrasi, sehingga menciptakan iklim investasi yang lebih baik.
Mengapa Malaysia bisa?
Di luar urusan bikin iri, hal itu tentu menjadi refleksi bagi kita, warga negara Indonesia, yang merdeka lebih lama dari Malaysia (1957). Hingga dekade 1990-an, Indonesia adalah negara yang menjadi rujukan bagi Malaysia. Mahasiswa Malaysia memenuhi kampus-kampus Indonesia untuk belajar berbagai disiplin ilmu. Namun, Malaysia kemudian berhasil melakukan lompatan besar dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih fokus pada diversifikasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Malaysia berhasil mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas dengan mengembangkan sektor manufaktur dan jasa yang bernilai tambah tinggi. Mereka juga berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas. Langkah-langkah ini membuat Malaysia memiliki fondasi ekonomi yang lebih kuat dan siap untuk keluar dari middle-income trap.
Indonesia, di sisi lain, masih terjebak dalam berbagai masalah struktural yang menghambat kemajuan ekonomi. Salah satu hambatan terbesar adalah korupsi yang merajalela. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) yang dirilis oleh Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 38 dari 100 pada tahun 2023, yang menunjukkan tingkat korupsi yang tinggi. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Meski ada sedikit perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya, skor ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah serius yang menghambat reformasi ekonomi.
Dalam urusan korupsi, kita tak banyak beranjak dari Orde Baru. Bahkan, meski saat itu korupsi merajalela, praktik busuk itu lebih terselubung dan terpusat pada lingkaran kekuasaan. Indeks korupsi pada masa itu sulit diukur dengan metode modern. Ketika Orde Baru berakhir pada 1998, korupsi menjadi lebih terdesentralisasi dan menyebar ke berbagai tingkat pemerintahan.
Selain korupsi, inefisiensi birokrasi juga menjadi tantangan besar. Proses perizinan yang lamban dan tidak transparan sering kali menghambat investasi. Meski pemerintah telah menerapkan berbagai reformasi seperti penyederhanaan perizinan melalui Undang-Undang Cipta Kerja, implementasinya masih jauh dari sempurna. Apalagi di sisi lain, beleid itu pun merugikan sisi-sisi ekonomi, hak-hak para pekerja, serta mengurangi daya beli publik, yang dalam perekonomian sangat signifikan mendorong perkembangan ke arah pertumbuhan.
Dalam Global Competitiveness Report 2019 yang dirilis oleh World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat 50 dari 141 negara dalam hal efisiensi birokrasi. Ini menunjukkan bahwa meski ada kemajuan, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam hal birokrasi yang efisien.
Infrastruktur juga menjadi masalah. Meskipun ada kemajuan dalam pembangunan infrastruktur — terutama sejak pembangunan di-drive investasi swasta, misalnya pembangunan jalan tol dan bandara —, masih banyak wilayah di Indonesia yang kekurangan infrastruktur dasar. Menurut laporan dari Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2022, Indonesia masih membutuhkan investasi sekitar USD 500 miliar hingga 2024 untuk mencapai standar infrastruktur yang memadai di seluruh negeri. Keterbatasan itu tidak hanya menghambat mobilitas barang dan orang, tetapi juga menghalangi akses ke layanan penting seperti pendidikan dan kesehatan di daerah-daerah terpencil.
Keniscayaan teoritis
Sejatinya, meski dengan seabrek hambatan, peluang Indonesia untuk keluar dari jebakan MIT tak kurang-kurang. Namun tentu ada sejumlah syarat, kondisi, dan hambatan yang perlu diperhatikan. Berikut adalah beberapa poin kunci yang relevan berdasarkan teori dan pandangan ahli ekonomi, serta kondisi terkini.
Prof Dwight Perkins dari Harvard University menyatakan bahwa, "Ekonomi yang dapat meningkatkan pendidikan dan keahlian tenaga kerjanya, serta berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi, memiliki peluang besar untuk keluar dari middle-income trap."
Sementara Prof Richard Baldwin, guru besar ekonomi internasional kelahiran AS dari The Graduate Institute in Geneva, berpendapat bahwa “Negara-negara yang berhasil keluar dari middle-income trap adalah mereka yang berhasil mengintegrasikan diri ke dalam rantai nilai global dengan cara yang lebih kompleks dan bernilai tambah tinggi."
Di sisi lain, sebagai 'orang dalam’, ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menekankan, sangat penting bagi Indonesia untuk fokus pada reformasi struktural dan peningkatan kualitas institusi jika ingin menghindari middle-income trap.
Semua pendapat tersebut tergambar dari langkah yang membuka sukses Malaysia. Malaysia sejak lama telah melakukan upaya-upaya seperti diversifikasi ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan investasi besar-besaran dalam infrastruktur. Negara itu juga secara aktif mengembangkan sektor teknologi dan jasa sebagai motor pertumbuhan ekonomi baru. Sementara persoalan yang mereka hadapi pun nyaris sama dengan kita, yakni tantangan ketimpangan pendapatan dan keterbatasan tenaga kerja terampil.
Lihat saja, bagaimana langkah Malaysia untuk menjadi pusat teknologi semikonduktor sebagai bagian dari diversifikasi ekonominya, sudah tercapai sukses. Malaysia telah menjadi pemain penting dalam industri chip dan semikonduktor global, dengan posisi kuat dalam proses back-end seperti pengujian dan pengemasan semikonduktor, menyumbang sekitar 13 persen pasar global di bidang ini. Seperti pernah diulas The Diplomat, Malaysia juga menjadi eksportir semikonduktor terbesar keenam di dunia, menekankan perannya yang signifikan dalam rantai pasokan global.
NSS ini hanya bagian dari visi yang lebih luas dalam Rencana Induk Industri Baru Malaysia 2030, yang bertujuan untuk menggeser negara ke arah manufaktur dan proses desain yang lebih maju. Visi ini termasuk meningkatkan rantai nilai di industri semikonduktor dengan mendorong investasi baik dari dalam maupun luar negeri, serta meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal. Alhasil, secara keseluruhan, Malaysia sedang memposisikan diri sebagai pusat utama dalam industri semikonduktor, tidak hanya di Asia Tenggara tetapi juga secara global, dengan investasi yang signifikan, inisiatif strategis dari pemerintah, dan basis manufaktur yang sudah mapan.
Kejarlah ini, kita lolos MIT!
Produktivitas adalah kunci utama bagi sebuah negara untuk lepas dari jebakan middle-income trap. Ada beberapa indikator produktivitas yang dianggap penting untuk memungkinkannya terjadi. Itu antara lain Pertumbuhan Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity, TFP), yang mencerminkan efisiensi dalam penggunaan semua input produksi (tenaga kerja, modal, dan teknologi). Negara yang dapat meningkatkan TFP secara signifikan biasanya lebih mungkin lepas dari MIT. Rata-rata, pertumbuhan TFP di atas 2 persen per tahun dianggap sangat positif.
Selain itu, peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja, yang diukur sebagai output per jam kerja atau output per pekerja. Penelitian LPEM Fakultas Ekonomi UI menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia pada 2023 tercatat sekitar 26,328 dolar AS per pekerja. Angka itu dihitung dengan membagi nilai output ekonomi (PDB) yang dihasilkan oleh tenaga kerja dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja. Dengan angka tersebut, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih kurang produktif, hanya berada di peringkat kelima di antara negara-negara ASEAN, di belakang Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi. Di Korea Selatan, Jepang, dan AS, angka tersebut bisa lebih dari dua hingga tiga kali lipat.
Negara-negara yang berhasil melampaui middle-income trap sering kali menunjukkan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sekitar 3 persen hingga 4 persen per tahun dalam jangka waktu yang konsisten.
Indonesia juga harus mengejar Peningkatan Nilai Tambah. Sektor-sektor ekonomi harus beralih dari produksi barang-barang bernilai tambah rendah (seperti komoditas mentah atau setengah jadi) ke barang dan jasa bernilai tambah tinggi. Misalnya, peralihan dari produksi tekstil ke elektronik, atau dari pertanian ke industri manufaktur canggih. Nilai tambah per pekerja di sektor-sektor ini harus meningkat signifikan.
Karena itu pula, maka mau tak mau “inovasi dan teknologi” menjadi keniscayaan. Tingkat adopsi teknologi baru dan kemampuan untuk berinovasi merupakan syarat kritis. Barry Eichengreen, ekonom dari UC Berkeley, AS, mengatakan, negara-negara yang berhasil keluar dari middle-income trap adalah mereka yang mampu berinovasi dan mengembangkan sektor teknologi tinggi serta meningkatkan kualitas pendidikan.
Negara yang mampu meningkatkan intensitas penelitian dan pengembangan (R&D) biasanya memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Investasi R&D yang berkisar 1 persen hingga 3 persen dari PDB seringkali menjadi indikator bahwa negara tersebut berfokus pada inovasi. Sementara, dengan malu-malu harus kita katakan, menurut World Bank, Index Mundi, pada 2023, pengeluaran Indonesia untuk penelitian dan pengembangan (R&D) berada pada kisaran 0,28 persen dari PDB. Angka yang rendah!
Setelah semua itu, kejaran-kejaran lainnya yang tak bisa dipandang enteng adalah kualitas pendidikan dan pelatihan, penggunaan infrastruktur yang optimal dan efisien, urbanisasi, dan transformasi struktural yang sehat. World Bank menyarankan bahwa reformasi institusi, peningkatan infrastruktur, dan investasi dalam sumber daya manusia adalah kunci untuk keluar dari middle-income trap.
Sejalan itu, ekonom Jeffrey Sachs juga menekankan pentingnya pengembangan institusi yang kuat dan pemerintahan yang efektif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun jangan lupa, ada yang selalu saja diangkat para ekonom sebagai salah satu syarat lolosnya satu negara dari MIT: pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 6-7 persen per tahun.
Bisakah Indonesia mencapai semua itu? Harusnya bisa. Ada banyak modal dan potensi Indonesia untuk itu. Bila harus diinventarisasi, hal-hal baik itu bisa meliputi besarnya populasi dan peluang bonus demografi; sumber daya alam yang melimpah, potensi besar di ekonomi digital dan teknologi (lihat populasi muda yang adaptif terhadap teknologi, dan penetrasi internet yang terus meningkat, ekosistem *start-up* yang berkembang pesat, dll); peluang pertumbuhan kelas menengah; potensi pariwisata; lokasi geografis yang strategis, dan… Anda carilah sendiri!
Yang sering kita lihat alpa, mungkin soal political will yang naik dan benar. Kita sering melihat para elit negeri ini kurang punya komitmen akan Reformasi.
https://www.inilah.com/malaysia-kelu...ndonesia-kapan
Menuju MALAYSIA EMAS 2045...
Dari sisi teori, MIT adalah konsep yang diperkenalkan para ekonom seperti Barry Eichengreen, Donghyun Park, dan Kwanho Shin, dalam artikel mereka, "When Fast Growing Economies Slow Down: International Evidence and Implications for China" (2007).
Konsep itu menjelaskan fenomena di mana negara-negara yang telah mencapai tingkat pendapatan menengah, sulit untuk melanjutkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan naik ke status pendapatan tinggi. Penyebab utama dari jebakan ini adalah stagnasi dalam inovasi teknologi, ketergantungan pada tenaga kerja murah, dan ketidakmampuan untuk meningkatkan produktivitas.
Di sisi lain, menurut teori ini, negara-negara yang berhasil melompat keluar dari MIT adalah mereka yang mampu melakukan transformasi struktural dalam ekonominya. Ini melibatkan peralihan dari ekonomi berbasis komoditas atau manufaktur sederhana ke ekonomi berbasis teknologi tinggi dan jasa yang bernilai tambah tinggi.
Dalam buku mereka, “Why Nations Fail”, Daron Acemoglu dan James A. Robinson menekankan pentingnya institusi yang inklusif sebagai kunci keberhasilan ekonomi suatu negara. Mereka berpendapat bahwa negara-negara yang memiliki institusi inklusif, di mana kekuasaan didistribusikan secara luas dan akuntabel, cenderung lebih berhasil dalam mengatasi masalah ekonomi, termasuk jebakan middle-income. Indonesia harus fokus pada reformasi institusi untuk mengurangi korupsi dan meningkatkan efisiensi birokrasi, sehingga menciptakan iklim investasi yang lebih baik.
Mengapa Malaysia bisa?
Di luar urusan bikin iri, hal itu tentu menjadi refleksi bagi kita, warga negara Indonesia, yang merdeka lebih lama dari Malaysia (1957). Hingga dekade 1990-an, Indonesia adalah negara yang menjadi rujukan bagi Malaysia. Mahasiswa Malaysia memenuhi kampus-kampus Indonesia untuk belajar berbagai disiplin ilmu. Namun, Malaysia kemudian berhasil melakukan lompatan besar dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih fokus pada diversifikasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Malaysia berhasil mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas dengan mengembangkan sektor manufaktur dan jasa yang bernilai tambah tinggi. Mereka juga berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas. Langkah-langkah ini membuat Malaysia memiliki fondasi ekonomi yang lebih kuat dan siap untuk keluar dari middle-income trap.
Indonesia, di sisi lain, masih terjebak dalam berbagai masalah struktural yang menghambat kemajuan ekonomi. Salah satu hambatan terbesar adalah korupsi yang merajalela. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) yang dirilis oleh Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 38 dari 100 pada tahun 2023, yang menunjukkan tingkat korupsi yang tinggi. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Meski ada sedikit perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya, skor ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah serius yang menghambat reformasi ekonomi.
Dalam urusan korupsi, kita tak banyak beranjak dari Orde Baru. Bahkan, meski saat itu korupsi merajalela, praktik busuk itu lebih terselubung dan terpusat pada lingkaran kekuasaan. Indeks korupsi pada masa itu sulit diukur dengan metode modern. Ketika Orde Baru berakhir pada 1998, korupsi menjadi lebih terdesentralisasi dan menyebar ke berbagai tingkat pemerintahan.
Selain korupsi, inefisiensi birokrasi juga menjadi tantangan besar. Proses perizinan yang lamban dan tidak transparan sering kali menghambat investasi. Meski pemerintah telah menerapkan berbagai reformasi seperti penyederhanaan perizinan melalui Undang-Undang Cipta Kerja, implementasinya masih jauh dari sempurna. Apalagi di sisi lain, beleid itu pun merugikan sisi-sisi ekonomi, hak-hak para pekerja, serta mengurangi daya beli publik, yang dalam perekonomian sangat signifikan mendorong perkembangan ke arah pertumbuhan.
Dalam Global Competitiveness Report 2019 yang dirilis oleh World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat 50 dari 141 negara dalam hal efisiensi birokrasi. Ini menunjukkan bahwa meski ada kemajuan, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam hal birokrasi yang efisien.
Infrastruktur juga menjadi masalah. Meskipun ada kemajuan dalam pembangunan infrastruktur — terutama sejak pembangunan di-drive investasi swasta, misalnya pembangunan jalan tol dan bandara —, masih banyak wilayah di Indonesia yang kekurangan infrastruktur dasar. Menurut laporan dari Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2022, Indonesia masih membutuhkan investasi sekitar USD 500 miliar hingga 2024 untuk mencapai standar infrastruktur yang memadai di seluruh negeri. Keterbatasan itu tidak hanya menghambat mobilitas barang dan orang, tetapi juga menghalangi akses ke layanan penting seperti pendidikan dan kesehatan di daerah-daerah terpencil.
Keniscayaan teoritis
Sejatinya, meski dengan seabrek hambatan, peluang Indonesia untuk keluar dari jebakan MIT tak kurang-kurang. Namun tentu ada sejumlah syarat, kondisi, dan hambatan yang perlu diperhatikan. Berikut adalah beberapa poin kunci yang relevan berdasarkan teori dan pandangan ahli ekonomi, serta kondisi terkini.
Prof Dwight Perkins dari Harvard University menyatakan bahwa, "Ekonomi yang dapat meningkatkan pendidikan dan keahlian tenaga kerjanya, serta berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi, memiliki peluang besar untuk keluar dari middle-income trap."
Sementara Prof Richard Baldwin, guru besar ekonomi internasional kelahiran AS dari The Graduate Institute in Geneva, berpendapat bahwa “Negara-negara yang berhasil keluar dari middle-income trap adalah mereka yang berhasil mengintegrasikan diri ke dalam rantai nilai global dengan cara yang lebih kompleks dan bernilai tambah tinggi."
Di sisi lain, sebagai 'orang dalam’, ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menekankan, sangat penting bagi Indonesia untuk fokus pada reformasi struktural dan peningkatan kualitas institusi jika ingin menghindari middle-income trap.
Semua pendapat tersebut tergambar dari langkah yang membuka sukses Malaysia. Malaysia sejak lama telah melakukan upaya-upaya seperti diversifikasi ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan investasi besar-besaran dalam infrastruktur. Negara itu juga secara aktif mengembangkan sektor teknologi dan jasa sebagai motor pertumbuhan ekonomi baru. Sementara persoalan yang mereka hadapi pun nyaris sama dengan kita, yakni tantangan ketimpangan pendapatan dan keterbatasan tenaga kerja terampil.
Lihat saja, bagaimana langkah Malaysia untuk menjadi pusat teknologi semikonduktor sebagai bagian dari diversifikasi ekonominya, sudah tercapai sukses. Malaysia telah menjadi pemain penting dalam industri chip dan semikonduktor global, dengan posisi kuat dalam proses back-end seperti pengujian dan pengemasan semikonduktor, menyumbang sekitar 13 persen pasar global di bidang ini. Seperti pernah diulas The Diplomat, Malaysia juga menjadi eksportir semikonduktor terbesar keenam di dunia, menekankan perannya yang signifikan dalam rantai pasokan global.
NSS ini hanya bagian dari visi yang lebih luas dalam Rencana Induk Industri Baru Malaysia 2030, yang bertujuan untuk menggeser negara ke arah manufaktur dan proses desain yang lebih maju. Visi ini termasuk meningkatkan rantai nilai di industri semikonduktor dengan mendorong investasi baik dari dalam maupun luar negeri, serta meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal. Alhasil, secara keseluruhan, Malaysia sedang memposisikan diri sebagai pusat utama dalam industri semikonduktor, tidak hanya di Asia Tenggara tetapi juga secara global, dengan investasi yang signifikan, inisiatif strategis dari pemerintah, dan basis manufaktur yang sudah mapan.
Kejarlah ini, kita lolos MIT!
Produktivitas adalah kunci utama bagi sebuah negara untuk lepas dari jebakan middle-income trap. Ada beberapa indikator produktivitas yang dianggap penting untuk memungkinkannya terjadi. Itu antara lain Pertumbuhan Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity, TFP), yang mencerminkan efisiensi dalam penggunaan semua input produksi (tenaga kerja, modal, dan teknologi). Negara yang dapat meningkatkan TFP secara signifikan biasanya lebih mungkin lepas dari MIT. Rata-rata, pertumbuhan TFP di atas 2 persen per tahun dianggap sangat positif.
Selain itu, peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja, yang diukur sebagai output per jam kerja atau output per pekerja. Penelitian LPEM Fakultas Ekonomi UI menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia pada 2023 tercatat sekitar 26,328 dolar AS per pekerja. Angka itu dihitung dengan membagi nilai output ekonomi (PDB) yang dihasilkan oleh tenaga kerja dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja. Dengan angka tersebut, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih kurang produktif, hanya berada di peringkat kelima di antara negara-negara ASEAN, di belakang Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi. Di Korea Selatan, Jepang, dan AS, angka tersebut bisa lebih dari dua hingga tiga kali lipat.
Negara-negara yang berhasil melampaui middle-income trap sering kali menunjukkan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sekitar 3 persen hingga 4 persen per tahun dalam jangka waktu yang konsisten.
Indonesia juga harus mengejar Peningkatan Nilai Tambah. Sektor-sektor ekonomi harus beralih dari produksi barang-barang bernilai tambah rendah (seperti komoditas mentah atau setengah jadi) ke barang dan jasa bernilai tambah tinggi. Misalnya, peralihan dari produksi tekstil ke elektronik, atau dari pertanian ke industri manufaktur canggih. Nilai tambah per pekerja di sektor-sektor ini harus meningkat signifikan.
Karena itu pula, maka mau tak mau “inovasi dan teknologi” menjadi keniscayaan. Tingkat adopsi teknologi baru dan kemampuan untuk berinovasi merupakan syarat kritis. Barry Eichengreen, ekonom dari UC Berkeley, AS, mengatakan, negara-negara yang berhasil keluar dari middle-income trap adalah mereka yang mampu berinovasi dan mengembangkan sektor teknologi tinggi serta meningkatkan kualitas pendidikan.
Negara yang mampu meningkatkan intensitas penelitian dan pengembangan (R&D) biasanya memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Investasi R&D yang berkisar 1 persen hingga 3 persen dari PDB seringkali menjadi indikator bahwa negara tersebut berfokus pada inovasi. Sementara, dengan malu-malu harus kita katakan, menurut World Bank, Index Mundi, pada 2023, pengeluaran Indonesia untuk penelitian dan pengembangan (R&D) berada pada kisaran 0,28 persen dari PDB. Angka yang rendah!
Setelah semua itu, kejaran-kejaran lainnya yang tak bisa dipandang enteng adalah kualitas pendidikan dan pelatihan, penggunaan infrastruktur yang optimal dan efisien, urbanisasi, dan transformasi struktural yang sehat. World Bank menyarankan bahwa reformasi institusi, peningkatan infrastruktur, dan investasi dalam sumber daya manusia adalah kunci untuk keluar dari middle-income trap.
Sejalan itu, ekonom Jeffrey Sachs juga menekankan pentingnya pengembangan institusi yang kuat dan pemerintahan yang efektif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun jangan lupa, ada yang selalu saja diangkat para ekonom sebagai salah satu syarat lolosnya satu negara dari MIT: pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 6-7 persen per tahun.
Bisakah Indonesia mencapai semua itu? Harusnya bisa. Ada banyak modal dan potensi Indonesia untuk itu. Bila harus diinventarisasi, hal-hal baik itu bisa meliputi besarnya populasi dan peluang bonus demografi; sumber daya alam yang melimpah, potensi besar di ekonomi digital dan teknologi (lihat populasi muda yang adaptif terhadap teknologi, dan penetrasi internet yang terus meningkat, ekosistem *start-up* yang berkembang pesat, dll); peluang pertumbuhan kelas menengah; potensi pariwisata; lokasi geografis yang strategis, dan… Anda carilah sendiri!
Yang sering kita lihat alpa, mungkin soal political will yang naik dan benar. Kita sering melihat para elit negeri ini kurang punya komitmen akan Reformasi.
https://www.inilah.com/malaysia-kelu...ndonesia-kapan
Menuju MALAYSIA EMAS 2045...
Diubah oleh jaguarxj220 15-09-2024 14:50
viniest dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.2K
114
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
678.4KThread•47.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya