Kaskus

News

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

harrywjyyAvatar border
TS
harrywjyy
32 Menjabat, Kenapa Pak Harto Tak Siapkan Putra Mahkota?
32 Menjabat, Kenapa Pak Harto Tak Siapkan Putra Mahkota?
Sumber Gambar

Selamat Datang di Thread TS!

emoticon-Baby Boy

Perbincangan mengenai pengganti Presiden Soeharto sebelum beliau turun dari jabatan adalah salah satu aspek penting dari dinamika politik Indonesia pada era Orde Baru. Topik ini mencuat secara terbuka pada tahun 1996 melalui buku "Manajemen Presiden Soeharto (Penuturan 17 Menteri)," yang memberikan wawasan mendalam tentang pandangan para menteri terkait kepemimpinan Soeharto dan keputusan untuk tidak menyiapkan "putra mahkota". Keputusan ini menarik untuk dikaji karena mencerminkan pendekatan Soeharto terhadap konsep kekuasaan dan regenerasi politik di Indonesia.

Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini, menjelaskan bahwa meskipun ada desakan dari berbagai golongan untuk menetapkan penerus, Soeharto menolak ide tersebut dengan alasan bahwa tindakan semacam itu tidak demokratis. Dalam pandangannya, memilih seorang penerus secara langsung menyerupai sistem monarki, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang diusung oleh negara ini. Sikap ini menunjukkan bahwa Soeharto berusaha menjaga citra demokratis meskipun pemerintahannya sering kali dikritik sebagai otoriter.

32 Menjabat, Kenapa Pak Harto Tak Siapkan Putra Mahkota?
Sumber Gambar

Hayono Isman, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, menambahkan bahwa Soeharto percaya pada proses regenerasi alami. Menurut Hayono, Soeharto yakin bahwa mekanisme regenerasi yang ada dalam sistem politik Indonesia akan menghasilkan pemimpin baru tanpa perlu intervensi langsung. Pendekatan ini dianggap konsisten dengan prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945, yang menekankan pada sistem kaderisasi dan meritokrasi.

Namun, keputusan untuk tidak menyiapkan penerus secara eksplisit juga bisa dipandang sebagai strategi politik yang hati-hati. Soeharto, yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang cerdik, mungkin menyadari risiko politik dari menunjuk seorang penerus secara terbuka. Tindakan semacam itu bisa memicu friksi di kalangan elite politik atau bahkan mempercepat proses delegitimasi kekuasaannya. Dengan membiarkan proses regenerasi terjadi secara alami, Soeharto bisa menghindari potensi konflik internal dan mempertahankan stabilitas politik yang lebih luas.

Di sisi lain, pendekatan ini juga menimbulkan masalah tersendiri. Tanpa ada penerus yang jelas, transisi kepemimpinan menjadi tidak pasti, yang bisa menimbulkan kekosongan kekuasaan dan ketidakpastian politik. Ketika Soeharto akhirnya mundur pada tahun 1998, Indonesia menghadapi krisis politik yang signifikan, sebagian karena kurangnya kesiapan dan kejelasan mengenai siapa yang akan mengambil alih kepemimpinan. Ini menunjukkan pentingnya perencanaan transisi yang jelas dan terstruktur dalam pemerintahan.

32 Menjabat, Kenapa Pak Harto Tak Siapkan Putra Mahkota?
Sumber Gambar

Keputusan untuk tidak menunjuk "putra mahkota" juga memunculkan pertanyaan tentang peran dan fungsi dari mekanisme kaderisasi dalam politik Indonesia. Meskipun secara formal tidak ada penerus yang dipersiapkan, kenyataannya, ada upaya sistematis untuk membentuk dan mempromosikan individu-individu tertentu dalam birokrasi dan militer yang dianggap loyal kepada Soeharto. Sistem kaderisasi ini lebih sering didasarkan pada loyalitas personal daripada kompetensi, yang pada akhirnya dapat merugikan proses demokratisasi dan pembangunan institusi politik yang sehat.

Pada akhirnya, pengalaman ini menyoroti tantangan dalam menyeimbangkan antara stabilitas politik dan proses demokratisasi. Sementara Soeharto berusaha untuk menjaga citra demokratis dengan menolak konsep putra mahkota, pendekatan ini juga berkontribusi terhadap ketidakpastian dan ketidakstabilan yang terjadi pasca pemerintahannya. Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi bangsa Indonesia mengenai pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses transisi kekuasaan.

Dengan demikian, refleksi tentang pengganti Soeharto tidak hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga memberikan wawasan yang berharga bagi masa depan politik Indonesia. Ini menekankan perlunya pembangunan sistem politik yang lebih inklusif dan demokratis, di mana proses regenerasi kepemimpinan dilakukan secara transparan dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang diakui.

Sumber Valid (baca baik-baik)
Sumber 1
Sumber 2
Sumber 3

Terima Kasih Sudah Mampir, Jangan Lupa Komen danCendolnya Gan!

emoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Gan


Diubah oleh harrywjyy 24-07-2024 23:23
krukov
britaku
scorpiolama
scorpiolama dan 10 lainnya memberi reputasi
11
2.4K
112
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
KASKUS Official
6.5KThread10.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.