Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #84 : Buku Gambar
Short Story #84 : Buku Gambar

Di hari ulang tahunku yang kesepuluh, aku mendapatkan hadiah buku gambar dari Kakek. Bagiku itu adalah hadiah yang kekanak-kanakan. Aku tak bisa menggambar, dan siapa pula yang memberi buku gambar tipis sebagai hadiah ulang tahun?

Namun, karena itu merupakan hadiah terakhir dari Kakek, aku menyimpan buku gambar itu dengan baik. Aku menyimpannya di bagian bawah lemari dan sama sekali terlupakan sampai aku tak sengaja menemukannya lagi lima tahun kemudian.

Sejak kecil aku sama sekali tak suka menggambar. Gambar terbaik yang pernah kubuat hanyalah pemandangan matahari di tengah dua gunung. Tapi entah kenapa aku ingin mencoba sedikit. Setidaknya aku harus menghargai apa yang Kakek berikan padaku.

Akhirnya aku pun mencoba menggambar tempat pensilku sendiri. Seperti yang kuduga, gambarku jelek. Garisnya tak lurus, arsirannya tak rapi. Kira-kira berapa tahun yang dibutuhkan para seniman untuk bisa menggambar dengan baik?

Untuk sejenak aku memandangi gambar pertamaku. Kurasa cukup itu saja, aku jelas tak punya bakat dalam menggambar.

‘DUG!’

Tepat saat aku hendak menutup buku gambarku, sesuatu yang jelas-jelas tak seharusnya ada di sana tiba-tiba saja muncul dan menghalangi buku gambar untuk tertutup sempurna. Kubuka lagi sampul buku gambar dan melihat sesuatu yang nyaris membuatku mempertanyakan kewarasanku sendiri.

Gambarku sudah hilang. Sebagai gantinya, kotak pensil paling jelek yang pernah kulihat kini ada di tempat seharusnya gambar itu berada. Bentuknya … persis seperti gambarku, tetapi entah bagaimana gambar dua dimensi itu kini berubah menjadi tiga dimensi.

Kucoba menyentuhnya dan sensasi dingin dari aluminium terasa di ujung jariku. Kotak pensil ini benar-benar nyata. Entah sihir apa yang tengah terjadi, tapi gambarku berubah menjadi nyata!

Sambil garuk-garuk kepala, kucoba menggambar sesuatu yang lain. Kali ini kucoba menggambar manusia. Dengan kemampuanku yang payah, yang bisa kubuat cuma gambar lingkaran dengan tubuh dan kaki-tangan garis layaknya stickman. Aku menunggu, menunggu, dan perlahan-lahan stickman pun melangkah keluar dari buku gambar.

Ternyata Kakek sudah memberiku buku sihir. Dari mana Kakek mendapatkan barang semacam ini?

Tak sempat aku memikirkan jawaban, Stickman mulai melompat tinggi hingga membentur atap. Suara benturan kecil yang tercipta antara kepalanya dengan atap memberitahuku bahwa dia benar-benar nyata. Dia mendarat dan kembali meloncat, kali ini dia melompat ke arah pintu.

Di situlah otakku mulai menjalankan akal sehatnya. Kalau sampai ada orang yang melihat Stickman bergerak seperti itu bisa-bisa daftar 7 Keajaiban Dunia akan ditulis ulang. Buru-buru aku ikut melompat dan menangkap Stickman sebelum dia bisa keluar dari kamar.

Stickman memberonta dengan tenaga yang nyaris tak terasa, tapi tak diragukan lagi dia nyata. Apa yang harus kulakukan dengannya? Tak mungkin kubiarkan dia berkeliaran di dunia nyata. Apa tak ada cara mengembalikannya ke buku gambar?

Kulihat halaman pertama buku gambar yang masih kosong karena ditinggal semua penghuninya. Iseng-iseng kutekan Stickman ke halaman buku gambar dan benar saja, dia masuk dan kembali menjagi benda dua dimensi.

Stickman sudah kembali menjadi lukisan. Kucoba menekan kotak pensil gambar pertamaku kembali ke halaman putih dan dia pun kembali menjadi gambar. Kedua gambarku tak lagi menjadi nyata. Tampaknya jika aku memasukkannya kembali ke buku gambar itu akan menghilangkan sihirnya.

Namun, memikirkan aku bisa mewujudkan sesuatu dengan menggambarnya saja sudah memberikan perasaan yang tak tergambarkan. Kagum, puas, dan bergairah.
Apa aku benar-benar bisa mewujudkan ‘apa pun’ hanya dengan menggambarnya?

Emas? Komputer?

Manusia?

***


Lima tahun kemudian ….

“Widih, makin bagus aja gambarmu.”

Tanpa sengaja Amira, salah satu teman sekampusku, mengintip apa yang kugambar di halaman belakang buku tulisku. Sebagai mahasiswa jurusan seni, menggambar bagus sudah jadi kewajiban. Namun gambarku benar-benar beda level dengan teman-temanku yang lain. Saking realistisnya sampai-sampai sulit dibedakan dengan foto.

“Eh, Ndre. Nanti pulang kuliah bisa anterin aku nggak beli peralatan gambar?” tanya Amira.

Nada suaranya yang sensual dan kedipan nakalnya membuatku paham kalau dia mencoba menggodaku. Amira bukan yang pertama dan jelas bukan yang terakhir, tapi aku tak tertarik padanya.

“Maaf, aku ada urusan.”

Dengan begitu saja kutolak dia dan kembali pada gambarku.

Banyak hal yang terjadi selama lima tahun. Aku fokus meningkatkan kualitas gambarku sampai-sampai memilih masuk jurusan seni. Gambar-gambar yang kuhasilkan sudah merubah hidupku.

Hanya setahun sejak mengenal buku gambar itu aku berhasil menciptakan batangan emas yang benar-benar bisa dijual. Uang yang kuhasilkan jauh melampaui perkiraan, tapi karena terus menerus menjual emas tanpa sertifikat bisa memancing kecurigaan, aku pun berhenti menggambar emas.

Aku pun mencoba menggambar secara lebih realistis. Menggambar smartphone cukup mudah, tapi entah kenapa smartphonenya tak bisa hidup meski sudah kuotak-atik. Tampaknya mesin canggih semacam itu berada di luar kemampuan buku gambar.

Akhirnya aku mencoba menggambar jam tangan mahal. Berhasil. Jam tangan mewah yang kuciptakan itu kujual ke banyak orang. Aku sengaja menyebutnya barang kw agar tak ada yang curiga. Biarlah uangnya lebih sedikit. Toh aku tak perlu modal untuk membuatnya.

Aku mengumpulkan kekayaan yang tak pernah kumimpikan sebelumnya. Tentunya aku menyembunyikan hal ini dari orangtuaku, mereka tak tahu apa pun. Saat aku masuk universitas kuputuskan untuk tinggal sendirian.

Berkat uang, banyak cewek yang mendekatiku. Awalnya aku senang, tapi akhirnya aku sadar mereka cuma menginginkan uangku. Bukan cuma cewek, aku tak lagi merasa ada yang benar-benar tulus di sekitarku. Perlahan-lahan semua orang terasa seperti gambar dua dimensi yang bisa kuciptakan dengan tanganku sendiri.

Tidak, aku tak bisa.

Masalahnya adalah, aku tak bisa menghasilkan barang yang lebih besar dari ukuran halaman buku gambar. Lahan putih seluas 30 x 15 senti itu membatasi karyaku. Karenanya aku tak bisa menggambar manusia. Aku pernah menggambar peri dan kurcaci, tapi bukan itu yang kumau.

Sesampainya di apartemen aku melhat kembali buku gambar ajaib pemberian Kakek. Gambar kotak pensil dan stickman yang pertama kubuat masih ada di halaman depan beserta gambar-gambar lain yang harus kukembalikan.

Sekarang hanya ada 15 lembar yang tersisa. Jika hanya menggambar benda mati maka aku tak perlu mengembalikannya ke buku gambar, tapi jika benda hidup seperti kurcaci mau tak mau harus kumasukkan lagi ke dalam buku. Kurasa aku sudah kapok menggambar makhluk hidup.

Namun, aku ingin menggambar manusia. Seorang manusia yang benar-benar tulus tanpa keserakahan dan emosi negatif lainnya. Andai saja aku punya halaman yang lebih besar ….

Dan tiba-tiba saja aku mendapat ide. Entah apakah ini akan berhasil atau tidak, tapi benar-benar layak untuk dicoba.

Akhinya aku pun merobek seluruh lembar buku gambar itu dari halamannya lalu menyusun semuanya di lantai membentuk satu kanvas besar. Ukurannya … cukup. Ya, ini cukup! Akhirnya aku bisa menggambar manusia!

***


Wanita itu luar biasa cantik.

Mulai dari ujung rambut hingga bulu halus di ujung kaki, semuanya sempurna. Tak sia-sia rasanya aku menghabiskan minggu demi minggu menggambar hingga detail terkecil. Apa yang kini berdiri di hadapanku adalah mahakarya yang selama ini kuimpi-impikan.

“Hai … ?”

Dia tidak menjawab sapaanku, tetapi dia sedikit memiringkan kepalanya tanda bingung. Apa mungkin dia tak bisa bicara? Atau dia tak mengerti bahasa manusia? Ahh, tidak terlalu penting.

Kucoba menyentuhnya dengan tanganku. Hangat. Kedua matanya memancarkan tanda tanya. Kurasa akan ada banyak pertanyaan di masa depan, tapi untuk sekarang biarkanlah aku menikmati kebahagiaan yang hanya bisa kurasakan dari suatu kemurnian.

***


Sudah beberapa hari, tapi Virgo (begitu aku menamainya) masih belum bicara. Tak diragukan lagi dia manusia, tapi jika terus seperti apa bedanya dia dengan boneka? Rasanya seperti tak ada jiwa dalam tubuhnya yang membuatnya tak mampu berpikir.

Setiap makan dia harus disuap, dia buang air sembarangan, bahkan melakukan apa pun dia tak bisa. Awalnya kukira aku tak masalah dengan itu, tapi kekurangan-kekurangannya mulai merepotkan dan membuatku tak nyaman.

Aku memang tak memikirkan terlalu jauh saat menggambarnya, tapi apa yang harus kulakukan padanya untuk seterusnya? Apa aku harus merawatnya seumur hidup?
Memikirkan itu membuatku takut.

‘Prrrtttt!’

Suara itu langsung menumbuhkan perasaan jijik dalam diriku. Suara kentut, itu yang paling tak kusuka. Saat aku menoleh ternyata sesuatu yang lebih buruk sudah terjadi. Tak cuma kentut, Virgo BAB!

“AHHH! SUDAH CUKUP!”

Dengan tenaga yang terlalu berlebihan aku menariknya langsung ke kamar mandi. Aroma kentut saja sudah cukup buruk, sekarang aku harus mengurus tainya yang berceceran. Dengan emosi aku mendorong Virgo masuk ke toilet. Harusnya dia tahu apa yang harus dia lakukan.

Namun emosi membuatku tak bisa menahan tenaga. Dia terdorong dan menabrak dinding. Keseimbangannya goyah dan terjatuh. Rasanya kepala Virgo jatuh dalam gerakan lambat menghantam dudukan toilet. Saat otakku bisa mencerna apa yang terjadi, darah sudah berceceran membanjiri lantai.

Virgo … tewas.

Tewas? Mayat? Apa yang harus kulakukan? Tidak! Tidak! Apa yang sudah kulakukan?
Pertanyaan-pertanyaan mengalir tanpa henti. Pembunuhan! Apa aku akan ditangkap karena membunuh? Tidak! Tidak mungkin! Mana boleh begitu!

Dan seketika aku mengingat buku gambarku. Benar, Virgo cuma gambar. Aku bisa mengembalikannya ke dunia dua dimensi dan membuat insiden ini tak pernah ada.

Aku pun mengeluarkan papan tempatku menempel lima belas lembar halaman buku gambarku. Asal dia menyentuh halaman buku gambar maka dia akan kembali ke dalam sana. Ya. Semua akan kembali seperti semula.

Namun … bukannya itu berarti aku tak bisa menggambar manusia lagi?

Pemikiran itu membuatku berhenti bergerak. Aku menatap Virgo yang kini berbaring tanpa daya lalu menatap kanvas putih luas yang bisa menghasilkan jauh lebih banyak manusia.

Mana yang harus aku pilih?

***


“Lapor komandan! Satu mayat lagi ditemukan!”

“Lagi? Aiisshhh. Sama?”

“Sama Komandan! Perempuan muda cantik tanpa identitas!”

“Huuffff …. Yaudah. Lakukan saja otopsi lebih dulu.”

“Baik Komandan!”

Komandan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Satu lagi kasus mayat tanpa identitas yang entah dari mana asalnya. Meski sudah bertahun-tahun melakukan penyelidikan, mereka tak pernah menemukan petunjuk apa pun. Mayat-mayat wanita cantik itu seolah muncul begitu saja dan tak pernah ada yang lapor mencari mereka.

Komandan mendesah berat. Dia benar-benar harus pensiun dan melupakan semua kegilaan ini.

***TAMAT***
itkgid
juzie.wowwowwow
spaghettimi
spaghettimi dan 17 lainnya memberi reputasi
18
569
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
31.9KThread44.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.