Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #68 : Mati di Perantauan
Short Story #68 : Mati di Perantauan

“Eh Ki, ayo dong! Universitas bagus lo itu. Emangnya kau nggak mau menjelajah tanah baru?”

Sahabat baikku Ando mengulangi rapalan yang sama entah untuk kesekian ribu kalinya. Mungkin dia ini sebenarnya Batman, kok bisa dia nggak pernah lelah membujukku siang malam?

“Aku nggak mau lo. Kau nggak capek-capek bujuk aku, tapi aku juga nggak akan capek-capek bilang nggak. Udahlah, emang kau segitu takutnya merantau sendirian?”

“Yaelah. Laki-laki itu harus merantau, Ki! Mau jadi apa kau kalau terus di kampung kayak gini?”

Mau jadi apa? Kurasa pertanyaan itu tak lagi relevan di tengah perkembangan jaman yang super duper maju. Bahkan orang kampung pun bisa jadi kaya raya asal tahu caranya. Aku saja sudah punya penghasilan sendiri dengan upload berbagai macam video ke Tiktok.

“Udahlah Do, nggak usah kau khawatir sama aku. Pergilah, kejar cita-citamu. Kau nggak bisa jadi dokter kalau cuma belajar di Youtube.”

Kutepuk pundaknya lalu pergi ke kantin. Ando itu anak pintar. Dia akan lulus dengan cepat dan menjadi dokter terbaik di seantero kampung Durian Runtuh. Dia harus merantau dan belajar, tapi sayangnya aku tak bisa ikut dengannya.

Aku tak mau merantau. Aku tak mau meninggalkan kampung ini.

Dulu aku punya seorang Kakak. Kami tak dekat karena umur yang terpaut jauh, tapi dia kakakku. Sejauh yang kuingat dia merantau ke Ibukota dan belajar di sana. Awalnya tak ada yang aneh, tapi suatu hari dia tidak mengangkat teleponnya.

Awalnya tak ada yang cemas, tapi sekali berubah menjadi dua, dua menjadi tiga, tiga berubah menjadi tak pernah.

Kami tak kenal siapa pun di Ibukota, kakakku juga tak pernah membawa teman ke rumah jadi kami tak tahu apa yang terjadi. Akhirnya, dengan bermodalkan nekat, ayahku pergi ke alamat kosan kakakku dan mendobrak masuk.

Visum dokter bilang dia sudah meninggal lebih dari seminggu. Tak ada teman kosnya yang tahu karena kakakku memang jarang bergaul. Mungkin jika Ayah tak datang mereka baru akan tahu saat mayatnya berbau busuk.

Kejadian itu selalu membuatku merinding. Membayangkan diriku sendirian tanpa ada orang lain yang tahu keadaanku, itu membuatku takut. Jika aku pergi merantau dan mati, siapa yang akan mengurusku? Berapa banyak kesulitan untuk mengirim mayat dari ibukota ke kampung ini? Jika sedang sial, bukankah mayatku sudah akan membusuk saat ditemukan?

Memang aku bisa merantau dengan Ando, tapi itu bukan berarti kami bisa terus bersama. Kami akan punya kesibukan masing-masing, kenalan masing-masing, dan mungkin tak akan sering bertemu.
Ahh tidak, mungkin bayangan mati di tanah asing sudah cukup untuk membuatku menolak tawarannya.

Karena itulah aku menolak tawarannya. Aku meminta maaf, tapi dia terus membujukku sampai hari terakhir keberangkatannya. Dia punya mimpi besar, tapi aku cuma pria sederhana. Aku tak masalah menghabiskan seluruh hidupku di kampung ini. Lampu kelap-kelip perkotaan terlalu menyilaukan untuk tidur.

***


Sama sekali tak ada yang buruk dari tinggal di kampung. Film dan sinetron terlalu mendramatisir keadaan. Walaupun tak ada bioskop, kami masih bisa nonton film di LayarKaca XXI. Walau tak ada mobil listrik, kami sudah gembira dengan bensin.

Setelah lulus Sma aku langsung mendapat kerja dan dua tahun kemudian aku langsung menikah. Kurasa hidupku jauh lebih baik dari sebagian besar remaja ibukota. Berita-berita di internet sangat mengerikan untuk dibaca. Itu satu hal tambahan yang membuatku betah di kampung, persaingan hidup tidak seberat kota besar.

Ando masih berkuliah. Walau tak sering tapi kami rutin berkirim kabar. Pesan-pesan balasannya cuma memberitahu sedikit tentang kehidupannya di sana, tapi dia benar-benar optimis bisa lulus tepat waktu. Dia datang saat pernikahanku dengan tubuh yang jauh lebih kurus dan rambut panjang. Penampilannya berubah drastis, tapi dia jauh lebih periang dan bersemangat dibanding saat Sma. Dia bahkan menyumbang lagu di pernikahanku.

Aku tak sabar menunggunya buka praktek di kampung ini. Mungkin ada sebagian kecil dari diriku yang berharap ikut merantau dan menjadi sarjana, dan Ando lah yang mewujudkan keinginan itu untukku.

Tak sabar aku mendengar cerita-cerita dari tanah luar. Tak sabar aku mendengar kisah apa saja yang dia alami di perantauan sana. Kuyakin dia akan kembali dan menceritakan semuanya.

Aku yakin begitu. Aku harap begitu. Andai saja begitu.

***


“Eh Ki, ayo dong! Universitas bagus lo itu. Emangnya kau nggak mau menjelajah tanah baru?”

Aku menguap dan menepuk pundaknya.
“Okelah kalau kau maksa. Yuk! Kita taklukkan Ibukota sama-sama.”

Kami berangkat menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Melewati susah dan senang. Saling berbagi beban dan kesulitan. Sampai akhirnya berhasil sampai di acara wisuda.


“Sayang!”

Begitu banyak halangan yang harus kami hadapi di Ibukota. Pergaulan tidak sehat, UKT mahal, uang jajan yang terbatas, sampai malnutrisi.

“Sayang?!”

[/i]Namun semuanya terbayar tuntas. Ibukota yang kejam pun tak bisa menghancurkan kami. Empat tahun perjuangan, kini saatnya mengabdi di kampung halaman ….[/i]

“SAYANG!!!”

Aku tersontak, tersadar, lalu menangis. Kulihat lagi sosok istriku yang sudah berpakaian rapi sementara aku tak sanggup membuka lemari pakaian.

“Kalau nggak berangkat sekarang nanti kita telat lo,” ucapnya.

Aku hanya mengangguk.

Saat berangkat dari rumah pun aku masih merasa jiwaku tertinggal di angan-angan. Belum pernah aku menghabiskan begitu banyak waktu membayangkan apa yang akan terjadi seandainya pilihan hidupku berbeda. Semua terlihat begitu indah, tak ada sedikit pun penderitaan.

Namun kenyataan justru membawa penderitaan yang tak sanggup kutahan. Di atas kuburan Ando, aku terus melarikan diri dalam khayalan di mana kami berhasil lulus dan pulang membawa prestasi.

Namun nyatanya aku menolak bujukan Ando. Dia pergi sendirian, berjuang sendirian, dan akhirnya menempuh jalan yang tak seharusnya.

Katanya dia menjadi pecandu narkoba di sana. Badan kurus, kepribadian hyperaktif, harusnya aku menyadari itu saat dia datang ke nikahanku. Dia jatuh dalam adiksi obat terlarang sampai akhirnya mulai mencuri untuk bisa membelinya. Entah dapat adrenalin dari mana dia mencuri di siang bolong. Saat ketahuan dia panik dan kabur dengan motor, tapi malah terlibat kecelakaan yang merenggut nyawanya.

Mengapa bisa jadi seperti itu? Aku bertanya pada diriku sendiri.

Seandainya aku ikut merantau dengannya maka aku pasti bisa mencegahnya memakai barang terlarang itu.

Seandainya aku ikut merantau dengannya aku pasti bisa membimbingnya untuk fokus belajar.

Seandainya aku ikut merantau dengannya aku pasti bisa menghalaunya bergaul dengan orang yang salah.

Tapi aku tidak ikut dengannya. Aku memilih tinggal di kampung karena aku takut mati di perantauan.

Kenapa aku takut mati? Padahal tak ada yang perlu dipusingkan oleh orang yang mati. Tapi bagaimana kalau sahabat baikku lah yang mati? Dia mati meninggalkanku tenggelam dalam penyesalan.

Dia mati di perantauan. Tanpa gelar tanpa kebanggaan, kembali cuma mayat. Sama seperti kakakku.

Entah seperti apa sebenarnya wujud perantauan itu. Mengapa orang-orang hanya kembali dengan penderitaan? Mereka pergi mengejar mimpi, tapi kembali dalam keadaan mati. Apakah itu layak? Apakah mereka … bahagia?

“Sayang.”

“Hmm?”

“Anak kita nanti … nggak perlu merantau ke mana-mana ya.”

“….”

Aku senang menghabiskan hidupku di kampung ini. Kematian Ando adalah penyesalan yang akan menghantuiku seumur hidup, tapi setidaknya aku akan memastikan tragedi itu tak akan terulang. Tak perlu jauh-jauh mengejar mimpi. Apa gunanya kalau kau mati?

***TAMAT***
Diubah oleh ih.sul 08-06-2024 17:27
Yoayoayo
bebyzha
papahmuda099
papahmuda099 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
1.3K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32KThread45KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.