Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
Papua: ‘Rumah sakit bukan tempat untuk bikin pos‘ - Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
 Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
Keterangan gambar,Kendaraan milik TNI terlihat di halaman RSUD Paniai, Senin (27/05), saat rumah sakit itu berhenti beroperasi sementara.

Rumah Sakit Umum Daerah Paniai di Provinsi Papua Tengah kembali dibuka, Selasa (29/05), setelah ditutup selama dua hari. Tuduhan berbeda saling dilemparkan oleh TNI/Polri dan milisi pro-kemerdekaan terkait penutupan rumah sakit menyusul eskalasi konflik bersenjata sejak pembunuhan Komandan Rayon Militer Aradide pada awal Mei lalu.

Para pekerja medis asli Papua mempertanyakan penempatan personel militer dan kepolisian di rumah sakit rujukan untuk Kabupaten Paniai, Dogiyai, dan Deiyai tersebut. Adapun, sejumlah pekerja medis di RSUD itu khawatir akan menjadi korban konfik bersenjata.

Apa pemicu dan dampak penutupan RSUD Paniai? Respons apa saja yang muncul di kabupaten itu?

BBC News Indonesia berbicara dengan para pejabat terkait serta warga sipil untuk menelisik polemik tersebut.

Apa yang terjadi di RSUD Paniai?
Satu per satu pasien rawat inap mulai keluar dari RSUD Paniai sejak 22 Mei, kata seorang pemuka agama di kabupaten tersebut.

Seperti banyak orang yang berbicara kepada BBC News Indonesia terkait konflik Papua, dia meminta identitasnya disembunyikan atas alasan keamanan.

Pemuka agama ini berkata, sejumlah pasien saat itu memutuskan pulang sebelum menuntaskan perawatan. Mereka cemas terdampak konflik bersenjata di pusat Kabupaten Paniai.

RSUD Paniai berjarak sekitar satu kilometer dari gedung sekolah YPPGI Kepas Kopo dan sederet kios di Jalan Raya Madi yang dibakar pada 22 Mei dini hari. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) telah menyatakan diri sebagai pihak yang melakukan pembakaran tersebut.

Aparat keamanan membuat klaim, seorang warga sipil kehilangan nyawa karena ditembak TPNPB dalam kontak senjata pada hari itu. Pada saat yang sama, seorang milisi pro-kemerdekaan bernama Detius Kogoya tewas di tangan aparat, meski sempat dilarikan ke RSUD Paniai.

 Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
Keterangan gambar,Terdapat enam pasien anak yang dipindahkan dari RSUD Paniai ke RSUD Deiyai pada 26 Mei lalu.

Namun baru pada 26 Mei, RSUD Paniai benar-benar berhenti beroperasi. Seluruh pasien rawat inap telah keluar, termasuk enam pasien anak yang dipindahkan ke RSUD Kabupaten Deiyai. Dua RSUD ini berjarak sekitar 24 kilometer.

Pada hari Minggu itu, pasukan militer menempati dan bermalam di lantai tiga RSUD Paniai, kata seorang tenaga kesehatan. Keesokan harinya, pada 27 Mei, rumah sakit itu ditutup penuh. Sebuah truk militer berwarna hijau dan dua mobil patroli terlihat diparkir di depan poliklinik RSUD. Tidak ada kendaraan lain maupun pekerja medis yang terlihat di halaman rumah sakit itu.

Senin (27/05) pagi itu, puluhan tenaga medis, terutama perawat asli Papua, berkumpul di sekitar rumah sakit. Mereka menuntut aparat militer keluar dari RSUD. Mereka berkeras, pelayanan kesehatan harus bergulir kembali.

“Rumah sakit ini bukan tempat untuk bikin pos, di sini tempat pelayanan,” kata seorang tenaga kesehatan pada momen protes itu.

”Kami yang bertugas di rumah sakit: perawat, satpam, petugas kebersihan, berkumpul di halaman rumah sakit. Kami mau kasih keluar tentara yang ada di lantai tiga agar kami bisa melayani masyarakat,” serunya.

Mengapa tentara menempati RSUD Paniai?
Para pekerja kesehatan yang berkumpul di depan pagar RSUD itu membentangkan spanduk berisi enam pernyataan.

Poin utama mereka adalah tuntutan agar pemerintah “segera menarik kembali semua personel TNI/Polri yang sudah ditempatkan di lantai tiga RSUD selama empat hari empat malam”.

Pada spanduk itu, mereka juga menulis bahwa penutupan RSUD oleh aparat memicu “pemulangan pasien tanpa sebab sehingga merugikan jiwa pasien”.

Para tenaga medis itu menyatakan, mereka ingin kembali melayani masyarakat pada 28 Mei.

 Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
Keterangan gambar,Seorang pasien anak dipotret berbaring di tempat tidur rawat inap, saat dia hendak dipindahkan ke RSUD Deiyai, 26 Mei lalu.

Para tenaga medis yang mayoritas merupakan orang asli Papua itu kemudian dijumpai oleh otoritas di kabupaten itu dalam sebuah forum musyawarah. Selain mereka, pertemuan itu dihadiri pula oleh Kapolres Paniai, AKBP Abdul Syukur Felani; Direktur RSUD Paniai, Agus Chen; dan Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Paniai, Soleman Boma.

Soleman, dalam forum itu, menyebut keberadaan RSUD Paniai vital bagi masyarakat. Dia meminta rumah sakit itu dapat kembali beroperasi per 28 Mei. Dia berkata, tentara dan polisi harus keluar dari rumah sakit, tapi “tetap memberikan rasa aman kepada para tenaga medis”.

Soleman menyebut terdapat kabar bohong yang beredar di masyarakat sehingga menyebabkan penutupan rumah sakit. Dia tidak menyebut secara detail hoaks yang dia maksud.

“Hoaks ini harus dilawan. Ini perang. Maka, semua tenaga kesehatan satukan persepsi agar bisa menjalankan tugas dengan baik,” ujar Soleman.

“Kepentingan melayani sangat penting, tidak bisa kepentingan pribadi yang diutamakan,” imbuhnya.

 Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
Keterangan gambar,Puluhan pekerja medis di RSUD Paniai berkumpul untuk menuntut aparat keluar dari rumah sakit mereka, pada 27 Mei lalu.
Dokter Agus, pimpinan RSUD Paniai, menyebut keberadaan tentara di tempat kerjanya merupakan instruksi Kementerian Kesehatan. Instruksi itu, kata Agus, keluar setelah otoritas kesehatan berkoordinasi dengan Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan, terkait situasi keamanan di Paniai.

“Karena ada nakes yang masih melayani, untuk memberikan rasa aman, akhirnya satgas gabungan TNI/Polri itu dikirim,” kata Agus.

“Mereka tugasnya untuk menjaga, bukan untuk apa-apa, untuk pendatang dan putra daerah.

Kami takut KKB. Saya takut, semua takut KKB,” kata Agus menyebut istilah kelompok kriminal bersenjata yang digunakan pemerintah saat merujuk TPNPB.

Seiring peningkatan intensitas kontak tembak di Paniai, Agus meminta para dokter RSUD untuk bekerja di Puskesmas Enarotali. Tujuannya, kata dia, selain untuk menghilangkan keresahan para dokter tersebut, tapi juga untuk memastikan pelayanan medis tetap berjalan.

Agus berkata, penempatan aparat di RSUD Paniai adalah upaya mencegah pembakaran fasilitas kesehatan. Strategi itu, klaim dia, untuk mengantisipasi berulangnya pembakaran puskesmas di sejumlah daerah di Papua, yang dituduhkan kepada milisi pro-kemerdekaan.

 Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
Keterangan gambar,Sejumlah pekerja medis RSUD Paniai berkumpul pada Senin (27/05), untuk menuntut pembukaan kembali rumah sakit mereka.
Alasan serupa dinyatakan Juru Bicara Kodam Cenderawasih, Letkol Candra Kurniawan. Dia membantah bahwa militer telah mengusir para pasien rawat inap. Candra membuat klaim, tentara datang ke RSUD Paniai justru karena permintaan tenaga medis yang takut kepada TPNPB.

Namun, sebagaimana tuntutan para tenaga kerja yang berkumpul di depan RSUD Paniai, Senin lalu, Agus menyebut sebagian pegawai rumah sakit “risih dengan kedatangan tentara dan polisi”.

Sebagai jalan tengah, dalam forum musyawarah Senin pagi lalu, Agus meminta pemerintah mengerahkan Satpol PP untuk berjaga di dalam lingkungan RSUD. Forum itu menyepakati, tentara dan polisi akan keluar dari rumah sakit itu. Mereka dipindahkan ke gedung Perpustakaan Daerah.

Bantahan TPNPB
Sebby Sambom, juru bicara TPNPB yang berada di Papua Nugini, menyanggah tuduhan institusi militer dan kepolisian. Dia menyebut tuduhan bahwa milisi pro-kemerdekaan akan membakar RSUD Paniai tidak benar.

Sebaliknya, kata Sebby, pihak aparat keamananlah yang telah melanggar hukum humaniter internasional dalam pengambilalihan rumah sakit tersebut.

TNI melakukan pembohongan publik. Kami tidak ada rencana seperti itu,” ujarnya.

 Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
Keterangan gambar,Sejumlah kios yang berada sekitar satu kilometer dari RSUD Paniai dibakar oleh TPNPB pada 22 Mei lalu.
Sebby membuat klaim, pihaknya hanya mengincar aparat keamanan dalam konflik bersenjata di Papua. Dia berkata, TNI/Polri harus meninggalkan lingkungan warga sipil agar kontak tembak tidak menyasar warga.

Dalam berbagai peristiwa, Sebby menyebut milisi pro-kemerdekaan menyerang fasilitas pendidikan dan kesehatan yang digunakan aparat militer dan kepolisian sebagai pos. Ini bertentangan dengan yang dia sampaikan kepada BBC News Indonesia terkait RSUD Paniai.

Paniai 'jadi zona perang’
Eskalasi kontak tembak di Paniai meningkat sejak TPNPB membunuh Komandan Koramil Aradide, Letnan Dua Oktavianus Sogalrey, awal April lalu. Dia tewas dalam serangan mendadak oleh milisi TPNPB di Jalan Trans Paniai-Intan Jaya.

Sebelum kematiannya, Oktavianus tengah mengendarai sepeda motor seorang diri. Milisi TPNPB yang bersembunyi di semak belukar kemudian menyerangnya dengan tembakan dan senjata tajam.

TPNPB menyebut pembunuhan Sogalrey adalah pembalasan mereka atas aksi aparat militer yang membunuh pimpinan milisi pro-kemerdekaan, Abubakar Kagoya di Tembagapura, Mimika.

Sekitar sebulan setelah kejadian itu, kepolisian menangkap laki-laki bernama Anan Nawipa, yang mereka tuduh sebagai anggota TPNPB pelaku pembunuhan Sogalrey.

Namun pimpinan TPNPB, Matius Gobay, menyebut Anan sebagai korban salah tangkap. “Dia orang tidak berdosa,” ujarnya.

“Selama dua hari saya sudah cek sampai pos terbawah, tidak ada namanya. Kalau dia pelaku pembunuhan, dia tidak akan keluar ke daerah Enarotali (ibu kota Paniai),” kata Matius.

 Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
Keterangan gambar,Potret Letnan Dua Oktavianus Sogalrey beberapa saat sebelum diserang oleh milisi TPNPB.
Eskalasi konflik bersenjata di Paniai terus meningkat sejak peristiwa itu. Sebby Sambom berkata, TPNPB menyatakan kabupaten tersebut sebagai zona perang.

Mereka membakar gedung sekolah YPPGI Kepas Kopo di dekat RSUD Paniai yang dalam beberap waktu terakhir digunakan oleh aparat militer dan kepolisian.

Seorang pimpinan gereja di Paniai berkata, situasi keamanan di Paniai pada 22 hingga 24 Mei begitu mencekam. Kontak tembak dan pembakaran fasilitas umum memicu ketakutan di masyarakat. Situasi itu, menurutnya, lebih buruk dari Tragedi Paniai Berdarah pada 8 Desember 2014.

Kronologis peristiwa Paniai, 2014
Kasus 'pelanggaran HAM berat' di Paniai, Papua: Keluarga korban tuntut keadilan, eks pejabat TNI klaim tak ada perintah dari atas
Dalam peristiwa Paniai Berdarah yang disebut Komnas HAM tergolong pelanggaran HAM berat itu, lima orang tewas dan belasan orang terluka. Pemicunya, aparat militer dan keamanan menembaki kerumunan pengunjuk rasa di Lapangan Karel Gobai, Enarotali.

Satu-satunya terdakwa dalam kasus itu, Isak Sattu, dibebaskan oleh Pengadilan HAM Makassar pada Desember 2022.

 Mengapa aparat TNI/Polri sempat menduduki RSUD Paniai?
“Biasanya kalau terjadi sebuah peristiwa, jam itu terjadi, jam itu selesai,” kata pendeta yang turut mendampingi keluarga korban Tragedi Paniai Berdarah.

“Tapi yang terjadi sekarang ini, lebih menakutkan. Masyarakat waswas.”

“Selama tiga hari berturut-turut sejak 22 Mei, warga non-Papua menutup pintu, semua kios dan warung tutup. Orang asli Papua juga sama, mereka menetap di rumah selama tiga hari,” ujar pendeta tersebut.

“Kami salah apa?”
Bukan hanya cemas, dokter Agus Chen juga bertanya-tanya soal risiko pekerja medis di RSUD Paniai menjadi korban konflik bersenjata. Apalagi, kata dia, para dokter dan tenaga medis di rumah sakit itu selalu memberikan pertolongan medis untuk warga di Paniai.

”Kami salah apa? Apakah kami meminta uang saat melayani orang sakit,” ujar Agus.

“Saya sedih, kenapa kami dipojokkan? Apakah itu untuk mencari perhatian?” tuturnya.

Komite Palang Merah Internasional, sebuah organisasi kemanusiaan yang diberi mandat oleh negara-negara penandatangan Konvensi Jenewa untuk melindungi korban konflik bersenjata, berulang kali menyerukan posisi rumah sakit dan fasilitas medis dalam situasi perang.

Protokol Tambahan II 1977 mengatur tambahan ketentuan khusus mengenai konflik bersenjata non-internasional atau yang terjadi dalam cakupan domestik sebuah negara. Menurut regulasi ini, para pihak yang berkonflik tidak boleh menyerang warga sipil, rumah ibadah, rumah sakit dan juga pekerja kesehatan.

Namun, pemerintah Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi atau memberlakukan Protokol II Konvensi Jenewa itu ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Keengganan ini sebuah langkah yang dikritik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) sebagai langkah politis pemerintah Indonesia.

Selasa (28/05) pagi, personel TNI/Polri telah meninggalkan RSUD Paniai. Pekerja medis dan pegawai lain di rumah sakit itu membersihkan lantai tiga yang digunakan aparat keamanan untuk bermalam.

“Kepada masyarakat yang mau berobat jangan terhambat dengan hal-hal yang tidak masuk akal, mulai pagi ini kalian bisa datang berobat,” kata seorang pekerja medis.

Reportase tambahan oleh wartawan di Nabire, Abeth You.

https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/cd11ldev13lo

soal masalah Paniai, ada akun di Twitter melaporkan betapa mencekamnya Paniai rabu minggu lalu dan aksi KKB di Paniai. Besoknya ditempatkan personil TNI dan Polisi di RSUD namun akunt ersebut hilang karena menjadi sasaran OPM yang menuduh mereka-mereka intel. Tapi entah kenapa bisa hilang.
Sekarang malah media-media melaporkan TNI menduduki dan mengusir pasien-pasien RSUD. Padahal benang merah adalah keamanan RSUD terancam karena KKB namun mulai dituduh TNI yang menjadikan RSUD sebagai pos militer.


0
484
25
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.3KThread41.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.