Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lenna6Avatar border
TS
lenna6
JARI ORANG MATI
Judul: Jari Orang Mati
Genre: Horor, supranatural, angst, drama, romantis, comedy, misteri, dan thriller.
Story by: Lenna S.E

Penghuni Baru

Semburat jingga di awan seperti perpaduan warna buah mangga merah yang separuh masak pada jam empat sore.
Sinar itu menyinari tanah yang menghampar luas dan dipenuhi oleh rumah-rumah tak beratap yang hampir memenuhi lahan tersebut.

Sumadi, Laki-laki paruh baya yang rambutnya belum sepenuhnya beruban, sesekali melepaskan topinya setiap sepuluh menit sekali saat menggali liang. Meskipun hari ini sudah sore, rasa panas yang tinggi membuat keringatnya terus menetes. Laki-laki itu merasa heran karena belum pernah ada calon penghuni yang datang dari jauh untuk tinggal di tempat yang sepi dan terpelosok.

Pria itu mengeluh lelah, keringatnya semakin bercucuran saat napasnya memburu. Dia merasa tidak betah lagi berada di dalam liang lahat yang panas dan pengap.

“Kang, Kang Asep! Tulungin!” ucapnya sambil mengangkat tangan dari liang lahat. Pria bernama Asep segera membantunya.

“Kenapa Kang?” tanyanya.

“Aku capek. Dadaku sesak sekali,” jawabnya setelah keluar dari liang. Sumadi melangkahkan kakinya menuju pohon nangka. Langkahnya lunglai dan tak berhenti memegangi dadanya kirinya. Dia duduk di bawah pohon nangka sambil menyelonjorkan kakinya.

“Ya sudah. Istirahat saja Kang. Biar aku dan Kang Budi yang melanjutkannya.”

“Maaf, ya. Sepertinya asmaku kambuh.” Sumadi memegangi dadanya, matanya separuh terpejam saat bersandar. Hal itu tidak luput dari pandangan Asep.

Asep menggelengkan kepalanya, lalu dengan sembarangan melempar sarungnya ke salah satu tempat sebelum masuk ke dalam liang.

“Kang Sumadi kenapa, Sep?” tanya Budi. Dia beristirahat sebentar, menegakkan tubuhnya sebelum kembali membungkuk untuk menggali lebih dalam.

“Biasa. Asmanya kambuh.”

“Heran. Anaknya sudah pada kerja, ngapain masih ikut gali kubur segala. Kalau aku, mending di rumah saja. Sudah tahu sakit, ngapain masih ikut seperti ini.”

Asep tertawa renyah, berpikir bahwa Budi tidak sepenuhnya memahami situasinya dengan jelas.

“Anak-anak Kang Sumadi itu tinggalnya jauh. Penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dua keluarga. Jadi, mau tidak mau Kang Sumadi tetap bekerja. Walaupun dalam keadaan sakit.”

Setelah dirasa cukup dalam, Asep segera keluar. Dia tidak perlu meminta bantuan kepada orang lain karena memiliki tubuh yang kecil dan ramping. Setelah sampai di atas, dia pun membantu Budi yang memiliki tubuh agak lebih besar dari Asep maupun Sumadi. Tak lupa memunguti sarungnya yang melingkari sebuah batu nisan yang meninggal satu tahun yang lalu.

“Kapan jenazahnya akan tiba?” Asep menatap arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Seharusnya, jenazah sudah sampai di depan TPU.

“Kalau dari jadwalnya, kemungkinan sudah sampai di depan TPU.”

Pandangan Asep tertuju ke depan. Tepatnya di depan TPU yang masih sepi. Padahal, hari sudah mulai gelap. Tak sengaja, dia terkejut ketika melihat Sumadi yang tertidur pulas dibawah pohon nangka.

"Astaghfirullah, Kang!” katanya sambil berjalan terburu-buru menuju Sumadi yang tertidur pulas di bawah pohon nangka. Dia melewati beberapa nisan yang hampir ditendang dalam kepanikan.“Kang!Bangun, Kang!”

Asep mengguncang tubuhnya, tetapi tidak ada respon. Sumadi seperti tidak sadarkan diri. Budi yang ada di belakangnya dengan cepat menyusul. Seketika mereka menjadi panik.
“Kang! Bangun, Kang! Ini sudah mau Maghrib!”

Tubuh Sumadi terasa lemas, sementara suhu tubuhnya naik. Laki-laki itu tidak bersuara, tetapi suhu panas tubuhnya cukup membuat mereka merasa sedikit lega. Napasnya terdengar lemah. Setidaknya Kang Sumadi tidak mati pikir mereka.

“Kang … bangun. Aku antar pulang,” kata Asep. Sumadi lagi-lagi tidak menjawab. Mungkin dia sudah pingsan sedari tadi.

“Ya sudah Kang, antar saja. Mumpung jenazahnya belum tiba,” ujar pria bertubuh sedikit besar itu. Sambil membantu memapah Sumadi menuju motor yang terparkir di depan TPU.

Budi membantu menaikkan tubuh Sumadi ke atas motor reot milik Asep. Tak lupa, dia melilitkan sarung dari Asep, jaga-jaga kalau nanti ada apa-apa. Akan tetapi, semoga saja tidak seperti itu.

“Hati-hati, Kang,” ucapnya sambil menepuk pundak Asep.

“Ya, Kang. Maaf ya, harus ku tinggal dulu sebentar,” jawabnya sambil menyalakan mesin motor.

“Tidak apa-apa! Cepat, antar kang Sumadi pulang.”

“Aku permisi dulu, Kang.” Budi membalasnya dengan gumaman. Asep melajukan motornya dengan pelan, melewati jalanan cor semen sambil tetap berhati-hati mengingat kondisi dari Sumadi yang sekarang tengah menyenderkan kepala di bahunya.

Pukul enam lebih sepuluh menit, di saat suara serangga mulai ramai mengiringi TPU, membuat Budi semakin merinding. Yang benar saja! Di malam-malam begini, tak ada informasi mengenai kejelasan tentang kapan jenazah akan tiba.
Terlebih, dia harus sendirian merasakan sensasi berada di pemakaman dan hanya bermodalkan senternya. Lampu makam terletak di rumah keranda yang jaraknya agak jauh dan juga di jalanan yang membuat suasana pemakaman ini terasa lebih remang-remang. Tubuhnya merinding ketakutan, serta nyamuk-nyamuk yang menyerang tanpa henti dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus semakin kencang membuat malamnya kian mencekam.

“Lama bener, Kang Asep,” gerutunya. Dia duduk di tepi jalan sambil memperhatikan makam yang baru saja digali.

Budi tidak bisa meninggalkan makam begitu saja. Disampingnya terdapat kebun jati yang lumayan besar. Sering terdapat ular yang melewati area ini. Membuatnya was-was kalau ular itu akan masuk ke liang lahat. Dulu, saat almarhum ayahnya sedang menggali makam di TPU ini, dia meninggalkannya begitu saja untuk pergi kencing di pinggiran jalan. Tak lama, saat akan menguburkan jenazah, ayahnya terpatuk ular dan membuatnya meninggal beberapa jam setelah kejadian itu.

Meskipun ada berbagai versi mengenai kematian ayahnya, seperti; pamali, dianggap tidak sopan karena jalan itu ada penunggunya, atau amal perbuatan si pemiliknya yang tidak baik, maka dari itu terdapat ular di liang lahatnya. Namun, Budi tidak pernah mendapati hal serupa setelah kejadian itu. Dia selalu waspada dan berjaga-jaga untuk menghindari hal-hal seperti itu.

Setelah menunggu cukup lama, sambil melihat ke depan TPU, terdengar suara ambulans dari kejauhan. Suaranya masih pelan dan membuat Budi lagi-lagi harus menunggu. Secara tiba-tiba terdengar suara seperti kerikil yang dilempar. Batu kecil itu terdengar mengenai papan nisan yang disandarkan di makam lain. Budi seketika menoleh, dengan tangan gemetar dia menyenteri lubang itu. Menunggu sambil bertanya apa dan siapa yang melakukannya? Hari sudah semakin gelap hingga membuat fokusnya buyar. Di malam-malam begini, pastilah tidak ada orang. Di sini juga tidak ada binatang, kecuali ular yang dulu pernah mematuk ayahnya.

“Kan Budi!” ujar seseorang sambil menepuk pundaknya. Budi yang saat itu sedang gelisah, terkejut bukan main. Senter yang dibawanya sampai terlempar ke udara dan mengenai kepalanya.

Budi berdiri, sambil memegangi dadanya yang bergemuruh hebat. Melupakan sejenak rasa sakit di kepalanya. “Astaghfirullah! Mas Marman! Mas ini bikin aku terkejut saja!”

“Habisnya ngapain jongkok di situ? Jenazahnya sudah tiba.” Marman menunjuk pada rombongan yang mendahului mobil ambulans.

“Oh, begitu … tidak ada apa-apa, Mas Marman. Tadi sudah terdengar suara ambulansnya, tetapi masih pelan.”

Marman menarik napas panjang. Dilihatnya kembali makam yang gelap, juga seperti tidak menemukan keberadaan Asep dan Sumadi.
“Kemana Kang Asep dan Kang Sumadi, Kang?” tanyanya sambil menoleh ke arah Budi.

“Kang Sumadi asmanya kambuh lagi. Dia sepertinya pingsan sampai Kang Asep mengantarnya pulang. Tapi sampai sekarang, Kang Asep belum juga kembali.”

Wajah sedikit terkejut Marman hilang oleh suara ambulans yang semakin keras. Lampu mobilnya terlihat begitu terang seolah-olah membuka jalan sambil diiringi dengan isak tangis keluarga yang mengikutinya dari belakang.

Ketika jenazah dimasukkan ke liang lahat, Asep secara tidak terduga datang dengan bai badannya yang sudah wangi. Baju koko beserta sarungnya tampak rapi dan licin. Tak lupa, peci hitam berbordir corak kecil beraneka warna menghiasi sisi kanannya.

“Tega kamu ya, Kang?” bisiknya. Sambil mendengarkan adzan yang dikumandangkan.

Asep tersenyum kikuk. “Maaf Kang, sekalian….”

“Dasar!”

Dartono, warga dari desa Cempaka, Kabupaten Pati, meninggal karena gagal ginjal akut. Tak ingin dikebumikan di tempat tinggalnya karena beliau sudah berjanji akan dikebumikan di tempat ini. Tak ada yang mengetahui apa alasannya. Yang jelas, warga di dusun Mangleng, kecamatan Bringin ini, awalnya menolak mentah-mentah hal tersebut. Namun, saat keluarga tersebut membeli sebidang tanah khusus untuk memakamkan almarhum, Marman selaku ketua RT meminta sebuah saran. Pada akhirnya, saran tersebut telah disetujui tanpa pikir panjang.

Keluarga hanya menyebutkan bahwa hal itu terjadi karena salah satu mimpi yang memiliki petunjuk atas takdir seseorang. Termasuk, pada Darsono.
Diubah oleh lenna6 04-05-2024 09:35
pulaukapok
bukhorigan
bukhorigan dan pulaukapok memberi reputasi
2
83
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.