Hai agan-agan dan aganwati semua. Kembali ane menbuat cerita tapi kali ini ane mau cerita tentang kisah seseorang yang berarti dalam hidup ane. Mantan ane.
Jadi, ini adalah kisah dia jauh sebelum ketemu sama ane.







Namanya Barra, dia punya penyesalan yang sangat mendalam tentang percintaannya dengan seorang wanita yang tak lain adalah teman seangkatannya sendiri, bernama Rahma. Barra memutuskan Rahma karena ia tidak pernah mencintainya bahkan Rahma telah menyerahkan kesuciannya pun, tidak membuat Barra bertahan padanya.

"Maaf, kita putus saja, ya," kata Barra dengan berat hati. Ia sebenarnya berat mengucapkannya mengingat apa yang sudah Rahma berikan padanya. Bukan hal mudah baginya tapi ia juga ngga bisa bohongi Rahma terus-terusan, ia ingin Rahma menemuman pria yang mencintainya.

Rahma terdiam sebentar, kerongkongannya tercekat saat mendengar hal yang paling ia takuti. Bahkan, ia sudah memberi semuanya untuk Barra, demi mengikat pria itu tetap padanya.

Mata Rahma memerah. "Nggak! Aku tidak mau!" jeritnya, "tolong jangan tinggalkan aku!"

"Maaf, aku nggak bisa," sela Barra, aku nggak mau kita jalani hubungan tanpa cinta. Ku harap kau menemukan pria yang benar-benar mencintaimu."

Bulir-bulir air mata Rahma mulai berjatuhan, tidak menyangka Barra bisa semudah itu melepaskannya setelah apa yang telah Rahma berikan. "Teganya kau, Barra ...," ucapnya sambil terisak.

"Maafkan aku, Rahma ...."

Setelah kejadian itu, Barra lama tidak masuk kuliah untuk menghindari Rahma selama setahun. Berharap ia tak akan berada salam satu mata kuliah dengan mantannya itu. Terdengar pengecut tapi Barra juga tak mau membuat Rahma malu jika bertemu dengannya.

Terakhir, Barra mendengar kabar bahwa Rahma menjalin cinta dengan pria tertampan di angkatan mereka, bernama Evan. Evan sebenarnya sudah lama mengejar Rahma sebelum Rahma bersama Barra namun Rahma lebih memilih mengejar cinta Barra.

Dan semester lima, Barra memutuskan untuk kembali mengambil mata kuliah kembali, berharap ia tak pernah sekelas dengan Rahma walaupun ia harus bergabung dengan adik tingkatnya.

Barra duduk di pojok kursi paling depan di ruang kuliah itu, menunggu dosen datang. Tidak lama kemudian ruangan itu penuh dan seorang wanita cantik masuk dan duduk di samping Barra.

Barra tahu wanita itu, dia adik kelasnya, seorang yang pendiam, sudah menikah dengan pria kaya dan sudah memiliki satu anak perempuan, namun ia pinter.

"Pasti catatan kuliahnya lengkap," pikir Barra.

Barra pun berniat untuk mendekati adik kelasnya itu.