Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Mas.BrayyAvatar border
TS
Mas.Brayy
Ahli Hukum Tata Negara ttg Presiden Kampanye.UU Mbulet,Tabrakan Pasal,Multi Tafsir
Ahli Hukum Tata Negara ttg Presiden Kampanye.UU Mbulet,Tabrakan Pasal,Multi Tafsir

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan pernyataan kontroversial tentang keterlibatan Presiden dalam pemilihan umum (pemilu). Menurutnya, Presiden memiliki hak politik untuk memihak bahkan ikut berkampanye dalam pemilu.

"Presiden itu boleh, loh, kampanye. Presiden itu boleh, loh, memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh,” kata Jokowi di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, dikutip dari Kumparan News Rabu (24/1).

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, menjelaskan bahwa ada beberapa pasal dalam UU Pemilu yang mengatur kegiatan kampanye oleh presiden. Namun, aturan-aturan tersebut tidak ada yang bisa menjelaskan aturan keterlibatan presiden dalam kampanye secara jelas.

Pertama adalah Pasal 299, yang menyebutkan presiden dan wakil presiden memiliki hak melaksanakan kampanye. Tapi menurut Yance, konteks dari pasal tersebut adalah presiden dan wakil presiden yang sedang menjabat mengajukan diri lagi menjadi calon dalam kontestasi pemilu berikutnya.

“Kalau seperti itu kan mereka (presiden dan wakil presiden) sebagai peserta pemilu, maka bisa ikut melaksanakan kampanye itu,” kata Yance kepada Pandangan Jogja, Rabu (24/1).

Dalam ketentuan lain, yakni Pasal 281, disebutkan juga bahwa presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, dan sebagainya bisa diikutsertakan dalam kegiatan kampanye. Artinya, presiden boleh diajak berkampanye.

“Syaratnya mereka tidak boleh menggunakan fasilitas jabatannya kecuali soal pengamanan, dan yang kedua mereka harus cuti di luar tanggungan negara,” jelasnya.



Pasal Lain Melarang

Namun dalam Pasal 282 disebutkan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan ataupun merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

“Presiden itu termasuk pejabat negara. Jadi Pasal 282 ini melarang,” kata dia.

Bahkan dalam Pasal 283 disebutkan secara tegas bahwa pejabat negara, pejabat struktural, serta pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu baik sebelum, selama, maupun sesudah masa kampanye.

“Larangan itu meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, pemberian barang kepada ASN, anggota keluarga, maupun kepada masyarakat. Jadi ini kalau tidak hati-hati memang ini rentan jadi dispute, nanti sengketa di dalam prosesnya,” jelas Yance.

Di luar aturan-aturan tersebut, menurut Yance keterlibatan presiden dalam proses kampanye akan meningkatkan potensi terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

“Misalkan presiden memberikan bansos gitu ya, pagi dia kasih bansos ke masyarakat atas nama presiden. Nanti sore dia ikut kampanye untuk anaknya. Nah itu kan tidak bisa kita bedakan dia sebagai presiden atau sebagai seorang ayah,” ujarnya.


Dinilai Salah Kaprah

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dian Kus Pratiwi, mengatakan bahwa pernyataan Jokowi tentang keterlibatan presiden dalam kampanye telah memperkeruh dan membuat gaduh suasana kampanye yang sudah berjalan relatif demokratis sampai saat ini.

Ia juga menyebut, pemahaman bahwa presiden berhak ikut serta dalam kampanye pemilu berdasarkan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) UU HAM serta Pasal 281 dan 304 UU Pemilu adalah pemahaman yang salah kaprah.

“Salah kaprah juga tercermin dari betapa sulitnya memisahkan fakta antara figur seorang Joko Widodo sebagai personal individu yang tetap memiliki hak berpolitik dan sebagai presiden yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga dibatasi kekuasaannya termasuk hak politiknya,” kata Dian Kus Pratiwi dalam keterangan resminya.

Salah kaprah tersebut menurutnya juga terlihat dari inkonsistensi sikap presiden selama ini yang selalu menekankan netralitas pejabat publik termasuk presiden, bahkan mengajak kepada seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), POLRI, dan TNI untuk bersikap netral.

“Tetapi pucuk pimpinannya yakni presiden justru ingin melenggang dengan berpihak dan berkampanye dalam pemilu,” kata dia.

Pemaknaan hak politik seorang presiden menurut dia harus dimaknai secara komprehensif dan holistik, tidak hanya berfokus pada masih diperbolehkannya berpihak dan ikut serta dalam kampanye tetapi juga terbatas pada etika pemilu yang sehat dan etika menjalankan kekuasaan pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana amanat Reformasi 1998.

Netralitas seorang presiden menurutnya justru tersirat dalam aturan main tertinggi dalam bernegara, yakni Pasal 4 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD NKRI 1945, yang intinya menyebutkan bahwa presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan harus tunduk pada konstitusi; bersumpah akan memenuhi kewajiban presiden dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya dan berbakti kepada nusa dan bangsa; serta Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil).

“Ketentuan demikian mengamanatkan bahwa presiden dalam pemilu harus bersikap seadil-adilnya dan tunduk pada asas luber jurdil,” tegasnya.

Karena itu, PSHK FH UII merekomendasikan supaya presiden bersikap negarawan dengan tetap memegang teguh netralitas dan menghormati asas-asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Selain itu, presiden harus tetap fokus dalam menyelesaikan sisa tugasnya sampai akhir tahun 2024 dan tidak melakukan manuver-manuver yang justru memperkeruh dan membuat gaduh proses Pemilu 2024.


Ahli Hukum Tata Negara soal Presiden Ikut Kampanye: Jangan Untungkan Satu Calon (msn.com)

--------------------------------------


a. yg satu bilang, presiden harus netral, gak boleh dukung siapa2.
b. satu lagi bilang, harus netral, tp kalo dukung calon dari partai yg sama, boleh, bahkan wajib.
c. satunya lagi bilang, presiden boleh dukung siapa aja yg dia sukai.

jadi menafsirkannya tergantung kepentingan aja emoticon-Big Grin

berhubung dari sononya emang UU nya emang mbulet, tabrakan antar pasal, sehingga jadilah multi tafsir (tafsir suka2),
maka ane usul jalan tengah aja ya...

jadi kita bikin suka2 aja lah..
yg mau kampanye monggo, 
yg gak mau kampanye juga ndak apa2. 
jawaban a,b,c semuanya benar / boleh.

asal jangan mengklaim merasa paling benar aja,
lalu menyalahkan bhw yg lain salah.
UU nya aja membolehkan semuanya.

Ahli Hukum Tata Negara ttg Presiden Kampanye.UU Mbulet,Tabrakan Pasal,Multi Tafsiremoticon-Ngakak 


Diubah oleh Mas.Brayy 25-01-2024 03:23
agus774
pecakmujahir
marsuki
marsuki dan 7 lainnya memberi reputasi
4
983
96
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.