Proses tidak akan mengkhianati hasil, tidak ada kesuksesan yang instan, begitu kita semua dijejali kalimat motivasi yang diharapkan menumbuhkan semangat juang. Akhir-akhir ini saya sadar, ternyata kalimat itu hanya untuk menjelaskan status sosial kita saja, bahwa kita bukan siapa-siapa. Bukan anak Presiden seperti Gibran Rakabuming yang diberikan hadiah oleh Pamannya seperangkat Undang-Undang yang bisa menyulap Gibran secara instan menjadi Cawapres.

Dulu saya respect betul dengan Presiden Joko Widodo, Jokowi adalah panutan, bagaimana ketekunan dan proses benar-benar tidak akan menghianati hasil. Saya ikuti bagaimana perjalanan karir Jokowi, bagaimana pencapaian prestasi politiknya, bagaimana cobaan menempa dirinya sehingga menjadi lebih kuat, hingga akhirnya menjadi Presiden. Bahkan Presiden yang bisa dikatakan merupakan Presiden terbaik yang dihasilkan oleh sistem demokrasi di Indonesia. Kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat, pada waktu itu. Tapi melihat hadiah Undang-Undang yang diberikan Keluarga Jokowi kepada Gibran Rakabuming, hati saya langsung kecut.

Andai saya memiliki sosok orang tua setekun Pak Jokowi, berjuang penuh kegigihan mencapai puncak kekuasaan, dan disaat kekuasaan masih digenggamnya memberikan hadiah-hadiah kekuasaan kepada anak-anaknya. Siapa yang tidak senang dihadiahi tiket Cawapres atau Ketum Parpol anak muda. Sebagai anak muda saja jelas iri pada anak-anak Pak Jokowi. Tapi apa boleh buat, Bapak saya bukan siapa-siapa, rakyat biasa persis seperti Jokowi dulu. Jokowi yang dulu terasa begitu dekat dengan rakyat biasa, kini berubah jadi wajah kekuasaan yang lapar dan tamak. Mengerahkan seluruh kekuatan aparatnya dan infrastruktur untuk melanggengkan kekuasaan.


Keprihatinan saya membuncah ketika melihat polisi dikerahkan untuk mengintimidasi lawan politik. Secara terang dan nyata Polisi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jokowi untuk memenangkan Gibran Rakabuming. Bahkan yang lebih menyedihkan, polisi tak henti-hentinya menyerang rakyat sendiri. Berbekal senjata gas air mata polisi kembali menyerang rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Terakhir penduduk Gresik mereasakan kebengisan polisi, yang secara membabi buta menembakkan gas air mata. Bahkan gas air mata itu terus ditembakkan polisi hingga ke jalan raya, sehingga mengancam keselamat banyak orang. Korban polisi terus berjatuhan, membekaskan trauma yang begitu mendalam bagi warga. Polisi terlihat semakin bengis menjelang Pemilu 2024, berubah menjadi pelayan penguasa bukan melayani kepentingan masyarakat. Di ujung kekuasaan rezim Jokowi, kondisi mencekam begitu terasa di masyarakat, siapa saja bisa tiba-tiba diseret hukum, siapa saja bisa jadi korban bengisnya aparat polisi yang telah menodai netralitas pemilu.

Kerja, Kerja, Kerja, begitu adagium Jokowi dahulu. Kata yang diucapkan Jokowi untuk menyemangati kita membangun negara ini. Sebagai Jokower pada saat itu, Kerja, Kerja, Kerja begitu menyemangati saya untuk berproses meniti karir dan memberikan sumbahngsih untuk negara ini. Tapi kata tersebut sekarang sudah tidak lagi relevan, yang  menjadi relevan sekarang, hanya ada satu kata “LAWAN”. Melawan penguasa yang ingin merusak demokrasi, melawan ketamakan yang ingi mempertahankan kekuasaan.

Visi melawan ketamakan kekuasaan itu kini sejalan dengan apa yang dikumandangkan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Ganjaris adalah bentuk konsistensi fterhadap nilai-nilai luhur membangun negeri dan melidungi rakyat, meneruskan cita-cita yang kini telah ditinggalkan dan dilanggar oleh Jokowi. Ganjaris adalah metaforfosis ketika menjadi Jokower sudah tidak lagi membanggakan.